Aku punya cerita lagi. Kali ini tentang Jono. Seperti Bejo [baca cerita Bejo di sini], Jono pun hanya seorang pemuda biasa. Yuk, baca ceritanya.
CERITA TENTANG JONO
Jono hanyalah manusia biasa yang ingin hidup serba nyaman. Punya rumah
yang bagus, duit yang banyak, bisa jalan-jalan setiap saat, dan
kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya.
Tapi, ternyata kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Jono hanyalah pemuda desa yang tinggal di kampung. Dia anak
tunggal. Orang tuanya hanya petani yang
penghasilannya hanya mengandalkan hasil sawah orang lain. Ayahnya sehari-hari
bekerja di sawah orang lain, membantu membajak, menanam, mencangkul, dan segala
kegiatan persawahan lainnya. Sedangkan ibunya, sesekali pun menjadi seorang
pekerja sawah seperti suaminya. Menanam padi, mengangkut beras, dan hal-hal
lain yang masih bisa dilakukan oleh seorang perempuan. Dia kadang juga
berjualan di pasar untuk bantu-bantu suaminya agar dapurnya tetap mengepul.
Apa yang bisa diharapkan dari kedua orang tua Jono, selain kasih
sayang? Tak ada. Jono tumbuh menjadi pemuda yang biasa-biasa saja. Dia kadang
iri melihat teman-temannya punya sepeda motor baru, punya tas baru, sepatu
baru, baju-baju yang selalu baru, dan uang jajan yang sering kali tak pernah
habis. Hari-hari Jono dipenuhi oleh rutinitas membantu orang tuanya. Kadang di
sawah, kadang berjualan di pasar.
Jono hanyalah pemuda biasa yang tidak terlalu pintar. Dia lulus SMP
dengan nilai biasa-biasa saja. Lalu masuk ke STM, mengambil jurusan teknik
mesin. Dan dia masih biasa-biasa saja. Selulusnya dari STM, dia tidak
melanjutkan kuliah karena tak ada biaya.
Dia lalu merantau ke ibu kota. Mencari-cari kerja ke sana ke mari.
Ternyata susah. Berbekal ijasah SMA dia hanya bisa jadi kuli pabrik. Bekerja
siang malam tanpa henti, di dekat mesin. Orang-orang di kampungnya menganggap
Jono sudah sukses. Bisa kerja di ibu kota. Setiap bulan mengirimi ibunya uang.
Tak tahu saja mereka bagaimana kehidupan Jono di kota. Banting tulang tiap
malam karena lembur.
Lebaran tahun pertama, Jono masih sempat pulang ke rumah.
Lebaran tahun kedua, Jono masih pulang ke rumah.
Di tahun ketiga, dia harus di PHK oleh perusahaannya yang mendadak
mengurangi jumlah karyawan. Dia pun pindah kerja. Cari lagi. Cari lagi. Dapat. Cari
lagi.
Lebaran tahun ketiga, Jono tak pulang.
Tahun keempat, Jono tak pulang.
Tahun kelima, Jono tak pulang.
Orang tuanya mulai menanyakan. Tapi dia bilang, dia baik-baik saja.
Tahun keenam, dia ditelpon oleh sahabatnya.
“Lebaran pulang?” Jono menjawab. “Tidak. Tak punya uang.”
Merasa iba dengan nasib Jono, temannya itu meminjaminya uang. Lalu
Jono dipaksa pulang. Pulanglah ia ke rumah ibunya di kampung.
Jono disambung dengan gembira. Semua tetangga kumpul. Menyambut Jono ‘yang
sukses di kota’.
Jono pun gembira. Merasakan kehangatan keluarganya yang sudah lama tak
ia dapatkan.
Ternyata ibunya selama ini sering sakit-sakitan. Sering memimpikan
Jono. Kepulangan Jono bahkan seperti obat. Obat untuk kerinduan seorang ibunya
selama ini.
Jono tetap kembali ke kota.
Dua bulan setelahnya, dia kembali lagi ke kampung.
Ia ingin menemani ibunya saja. Menemani walaupun harus bekerja di
sawah, atau di mana saja. Ia tak perlu malu mengakui, bahwa dia memang masih
hidup susah di kota. Kepada ibunya ia bercerita. Ibunya maklum dan justru
gembira karena Jono kembali ke pangkuannya.
Jono kini tetap hidup di desa.
cukup meluluhkan hati juga ceritanya :D
ReplyDeleteTerimakasih sudah berkunjung
DeleteSalam Romantis,
@wignyaharsono