INTRO
Gegaraning
wong akrami (1)
Dudu
bandha dudu rupa (2)
Amung
ati pawitané (3)
Luput
pisan kena pisan (4)
Lamun
gampang luwih gampang (5)
Lamun
angèl, angèl kalangkung (6)
Tan
kena tinumbas arta (7)
(Tembang Asmaradana)
# # #
Perempuan itu menyukai matahari. Seperti dia
menyukai tari, terutama tari tradisional. Setiap pagi dan juga sore, dia akan
terlihat di belakang rumah, memandang matahari dari atas gundukan pasir.
Dia akan menari di sana. Jika pagi, dia akan
menghadap ke timur, jika sore dia akan berbalik ke barat. Tak jarang
keringatnya mengucur deras dari kulitnya, saat tubuhnya meliuk, memutar,
berlenggok-lenggok
seirama dengan nada yang ia bunyikan dari mulutnya.
Tak hanya menari, perempuan itu akan berdendang lirih. Lirik-lirik Pangkur, Asmaradana, Gambuh, ataupun gending-gending lain. Suaranya lirih, merdu. Memecah keheningan Gumuk Pasir Parangkusumo.
Rumahnya hanyalah sebuah gubuk kecil, terdiri dari
satu kamar tidur, dapur, dan ruang tamu tempat dia menjamu pelanggan-pelanggannya
yang datang memesan kopi atau hanya duduk mengobrol
saja. Di depan rumah, ada teras kecil beratap seng yang selalu berbunyi nyaring
saat hujan turun. Di belakang rumah
terhampar gumuk pasir nan luas, bak Gurun Sahara.
Panas jika siang menjelang, gersang berhias ilalang-ilalang yang menjalar
panjang.
Perempuan itu menyukai gumuk pasir, seperti ia
menyukai matahari. Keduanya seperti senyawa yang saling bersetubuh. Melengkapi
rasa satu dengan yang lain. Dan bersama keduanya, dia akan menari. Menikmati setiap
orgasme yang ia ciptakan sendiri.
Namun, terkadang tak hanya peluh yang mengalir ke
pipinya. Air matanya pun sesekali muncul, mendesak keluar dari kelopak matanya.
Membanjiri kedua pipinya. Dia tak berani mengusap, tak mungkin menghapus. Air
mata itu seperti dosa-dosa yang satu per satu keluar dari tubuhnya. Sengaja ada
untuk ia lihat, ia cermati, ia resapi.
Sekian tahun dia di sini, sekian lama dia menari.
Tapi tak pernah sekalipun dia merasa bebas. Seperti terkekang
dalam jeruji penjara, hatinya pilu. Apalagi saat bayang-bayang matahari berubah
menjadi Mamak, ataupun Roro. Yang tersenyum, melambai kepadanya.
Mamaklah yang kali pertama mengajarinya menari, tak
pernah lelah membekalinya gending-gending jawa yang sarat makna. Mamak pula
yang sedari kecil selalu bangga melihatnya pentas dari satu panggung ke
panggung lain.
“Kamu seperti Gambyong, tledek di Jaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta. Dia pintar
menari dan suaranya sangat merdu sehingga Gambyong menjadi pujaan kaum muda
jaman itu. Kamu juga harus seperti itu,” tutur Mamak kepada perempuan itu. Dan
kata-kata itu selalu melekat pada dirinya, ke mana saja dia
berpijak.
Namun, tak wujudnya sebuah batu terjal yang
menghantam dadanya, setiap ia mengingat ucapan Mamak saat itu pula hatinya
terasa sesak. Tangis, hanya itu yang dapat ia lakukan. Tangis yang tak mungkin
ia umbar di depan Mamak setiap ia pulang.
Mamak bukannya melarang, hanya saja mungkin dia tak
tahu. Perempuan itu tak pernah bercerita. Sedikitpun. Kepedihannya, rasa sesak
di dadanya. Mamak hanya tahu bahwa dia baik-baik saja. Dia bahagia, di sini.
Kendati sesekali Mamak selalu menanyakan
keadaannya, perempuan itu terpaksa berbohong. Bahwa dia bahagia, dia masih menari
dengan semua gemulai tubuh dan jiwanya, dan dia akan segera pulang untuk
bertemu Mamak dan Roro.
Itu janjinya, dan dia memang selalu menepati. Dia
selalu pulang, sewaktu hari Riyaya datang, lebaran haji, ataupun liburan sekolah. Dia akan membawa beras, baju, dan sesekali barang elektronik. Semuanya
untuk Mamak dan Roro. Dan dia akan takbiran di rumah bersama mereka.
Sesekali dia pulang bersama Mas Pram, lelaki yang
dekat dengannya.
Mas Pram akan mengantarkan perempuan itu dengan mobilnya.
Kadang Mas Pram menginap untuk beberapa hari jika tidak sedang dinas. Dan Mamak, juga Roro, mulai mengenal
Mas Pram.
Mamak tak banyak berkomentar tentang Mas Pram.
Perempuan itu juga tak banyak bercerita tentang lelaki bertubuh tegap dan berkulit
cokelat sawo matang itu kepada Mamak. Seperti matahari yang menyimpan sejuta
misteri dalam panasnya, begitupun perempuan itu. Dia hanya berharap, Mamak akan
menerima Mas Pram sebagai seorang lelaki yang kini menemaninya.
Mas Pram bukan lelaki yang baru dikenalnya kemarin.
Dia sudah mengenalnya sejak lama. Mereka bertemu tiga tahun lalu, tepatnya saat
acara Labuhan Alit di Parangkusumo. Waktu itu, perempuan itu sedang duduk-duduk
di dekat penjual kembang tujuh rupa di
salah satu sudut Parangkusumo. Dan mereka bertemu tanpa sengaja.
Mas Pram duduk begitu saja di samping perempuan itu,
tanpa cakap apapun. Rautnya serius memperhatikan handphone di tangannya.
“Bau kemenyan, ya?” gumam Mas Pram, tanpa peduli
kepada siapa dia berbicara. Seolah dia berbicara sendiri,
dan tak ingin ditanggapi.
Perempuan itu menoleh, tak mengerti. Dia diam, tak
menanggapi.
“Kamu tidak menciumnya?” Mas Pram menoleh,
keningnya berkerut. Ternyata dia berbicara dengan perempuan itu.
Perempuan itu mengangguk, lalu tersenyum simpul.
Mas Pram membalas senyum itu. Sangat manis.
Lelaki yang sangat tampan, ucap perempuan itu dalam hati. Rautnya tirus, hitam lebat alisnya menaungi matanya yang tajam,
hidungnya mancung, kulit mukanya bersih
meski berwarna cokelat. Sangat tampan. Lengannya besar berotot. Badannya tegap
bak seorang perwira.
Saat memasuki kawasan Pantai Parangkusumo, nuansa
sakral memang akan segera terasa. Bau kemenyan dan wangi kembang setaman yang
dijual oleh deretan penjual yang dengan mudah dijumpai, menawarkan suasana
mistis. Pantai yang terletak 30 km dari pusat kota Yogyakarta ini diyakini
sebagai gerbang masuk ke istana
laut selatan.
Tapi, entah siapa yang tertarik siapa. Siapa yang
mengagumi siapa. Mas Pram seperti terseret ke dalam pesona
perempuan itu.
Perempuan itu memang berparas menawan, berambut
hitam panjang, memiliki kaki jenjang nan mulus, juga belahan dada yang sangat
cukup membuat decak kagum para pemuda desa. Kulitanya putih
bak puteri keraton yang setiap hari berlulur bengkoang. Dia bukanlah wanita
biasa-biasa saja. Dia pintar menari, pandai bercakap dan bertutur kata, serta tingkahnya gemulai. Siapapun yang
bicara dengannya pasti akan terpikat oleh parasnya.
Pun dengan Mas Pram. Terhitung menit, Mas Pram mulai
merasa nyaman dengan perempuan itu. Entahlah, mungkin saat itu, dia sudah
tertarik. Mungkin dia sudah melihat dari jauh paras menawan perempuan itu, lalu
sengaja dia mendekat. Duduk di sampingnya, lalu sok bertanya tentang bau kemenyan. Seharusnya dia sudah mengerti,
di tempat ini orang-orang pasti akan membaui kemenyan. Di setiap sudut. Jadi
tak perlu berbasa-basi, harusnya dia sudah mengerti.
Mas Pram tak kalah pandai bercakap. Bibirnya selalu
melontarkan kata-kata manis yang sesekali diselingi tawa dan cubitan kecil dari
perempuan itu di pinggangnya. Lalu keduanya mulai akrab, bertukar nomer telepon.
Hingga perempuan itu kemudian menawarinya untuk
berteduh ke rumahnya saat rintik hujan mulai turun sore itu. Perempuan itu
membuatkan kopi panas, seperti yang ia lakukan pada tamu-tamunya yang lain.
Mereka berdua berbincang hingga
larut malam. Walaupun kadang, Mas Pram ditinggal sebentar karena perempuan itu
harus menjamu tamu-tamunya yang datang.
Keduanya lalu tak bertemu cukup lama. Sejak obrolan
panjang malam itu, Mas Pram tak datang lagi. Perempuan itu pun paham, Mas Pram
layaknya tamu-tamu lainnya. Datang, memesan kopi, ngobrol ngalor ngidul, lalu pulang. Kadang datang kembali, kadang hanya
sekali. Dia tak mempermasalahkannya.
Kemudian di suatu malam, ketika warung sepi karena
perempuan itu sengaja tak membukanya. Badannya sedang letih karena seharian dia
mengajari gadis-gadis kampung menari
untuk persiapan acara pentas tujuh belasan. Hanya beberapa yang datang lalu
pergi lagi karena merasa tidak diperhatikan.
Dia hendak beranjak tidur ketika tiba-tiba pintu
rumahnya digedor orang. Darahnya sejenak naik, ingin marah. Dia sedang sakit, dan
ada tamu tak sopan yang menggedor-gedor pintu. Dengan gusar dia membuka pintu.
Namun, marahnya segera padam saat ia melihat Mas Pram berdiri di terasnya.
Mas Pram tampak letih. Pipinya biru lebam seperti
habis dipukul orang dan dari sudut bibirnya ada darah yang membeku. Dia
mengenakan kaos yang sudah basah oleh keringat. Tas ransel menggantung di
punggungnya. Dari mulutnya, tercium bau alkohol yang menyengat.
“Mas Pram,” kata perempuan itu lirih, tak percaya.
Entah pesona apa yang sudah Mas Pram pancarkan ke hatinya, hingga dia masih
mengingat nama lelaki itu. Padahal mereka sudah cukup lama tak bertemu.
Dan Mas Pram hanya mengangguk kecil. Dia masih bisa
tersenyum dengan keadaannya yang mungkin bisa dikatakan mengenaskan.
“Aku letih. Boleh
aku masuk?” tanya Mas Pram.
Perempuan itu cepat mengangguk. Dia tak banyak
bertanya. Segera dia mengambil air hangat dan handuk untuk mengompres lebam di
pipi Mas Pram. Juga darah di sudut bibir Mas Pram yang sudah beku.
Mas Pram pun tak banyak cakap. Sesekali terdengar
rintihan kecil saat perempuan itu terlalu dalam menekan handuk di pipinya.
“Perih, Dek,” ujar Mas Pram. Dan perempuan itu
kemudian menekannya dengan perlahan, penuh kelembutan.
Malam itu, Mas Pram kemudian tidur di rumah
perempuan itu. Tak ada percakapan apapun di sana. Karena perempuan itu tahu,
Mas Pram letih dan butuh istirahat.
Sejak malam itu, mereka mulai kenal lebih dekat.
Mulai mengenal satu sama lain. Mas Pram jadi lebih sering main ke rumah
perempuan itu. Walaupun tak ada janji yang terucap lewat bibir untuk hubungan
mereka. Tak ada yang memulai, tak ada yang berharap banyak dari hubungan
mereka. Mereka hanya merasa nyaman satu sama lain. Merasa saling membutuhkan
saat kekosongan mulai melanda.
Kadang mereka bertemu di dekat Cepuri Parangkusumo,
tempat keramat berukuran sekitar 15x15 meter. Ada 2 buah
batu karang hitam di balik pagar temboknya. Batu
ini oleh penduduk setempat sering disebut dengan Batu Cinta.
Konon katanya, di batu inilah Panembahan Senopati,
Raja Mataram yang pertama, bertemu dengan Ratu Kidul dan membuat perjanjian.
Awalnya, Panembahan Senopati duduk bertapa di batu
yang berukuran lebih besar di sebelah utara. Tiba-tiba laut selatan bergemuruh
dan terjadi badai, ikan-ikan terlempar ke daratan, pasir bergelombang menepi. Ratu Kidul menampakkan diri ke permukaan
lautan, menemui Panembahan Senopati
dan akhirnya jatuh cinta. Ratu Kidul kemudian duduk di batu yang lebih kecil di
depan Panembahan Senopati, di sebelah selatan.
Dan di sana terjadi perjanjian itu. Panembahan Senopati berkeinginan untuk
memerintah Kerajaan Mataram dan memohon agar Ratu Kidul membantunya. Ratu Kidul
menyanggupinya dengan syarat bahwa seluruh keturunan Panembahan Senopati harus
menjadi suaminya. Walaupun mereka tidak menghasilkan anak.
Sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan kepada
Ratu Kidul, kemudian dilaksanakan upacara Labuhan Alit hingga kini. Kraton
Yogyakarta sebagai salah satu pecahan kerajaan Mataram pun melaksanakannya. Jika kita cermati, salah satu bagian labuhan itu
adalah penguburan benda-benda Kanjeng Dalem Sultan, termasuk pakaian, potongan
kuku, serta rambut.
Kini, Labuhan Alit Parangkusumo digelar secara
rutin di Pantai Parangkusumo setiap tanggal 30 bulan Rajab. Dan saat ritual itu
tiba, orang-orang pun berbondong-bondong datang.
Ngalap
berkah, begitu kata penduduk setempat. Mereka akan menunggu di sepanjang
pesisir pantai dan akan berebut menceburkan diri ke laut berusaha mendapatkan
barang-barang yang dilabuh.
Selain terkenal dengan Labuhan Alitnya,
Parangkusumo juga terkenal dengan Batu Cintanya.
Banyak orang kemudian percaya bahwa dengan
memanjatkan permohonan di dekat Batu Cinta, segala bentuk permintaan akan
terkabul. Datanglah kemudian beratus orang ke sana di setiap hari yang diyakini
sakral. Berdoa, meminta. Agar sehat dunia. Agar bahagia bersama keluarga.
Begitupun dengan Mas Pram, kala itu khusus datang
ke Parangkusumo untuk menyaksikan Labuhan Alit.
Dan bak Panembahan Senopati yang jatuh cinta dengan
Ratu Kidul, begitupun dengan dirinya yang entah darimana datangnya langsung
tertarik dengan perempuan itu. Dan perjanjian pun terjadi, meskipun tak
terucap. Karena mereka berdua sudah sama-sama dewasa dan mengerti.
Orang-orang hanya tahu bahwa Mas Pram adalah
pelanggan perempuan itu seperti kebanyakan orang. Pelanggan yang mencari
kehangatan di tengah malam, berbincang bersama
pelanggan lain di rumah perempuan itu, menikmati hangatnya kopi dan mie godhok.
Yang mereka tak tahu bahwa pagi hari setelah malam
itu, perempuan itu mengajak Mas Pram ke belakang rumah. Menyusuri gumuk pasir
di bawah sinar mentari yang belum terlalu panas. Perempuan itu lalu menari di
depan Mas Pram dengan dendang Asmaradana dari mulutnya.
Gerakan perempuan itu sangat gemulai. Langkah kaki,
gerak tangan, dan lenggok-lenggok
pinggul perempuan itu seirama dengan ketukan musik dari bibir mungilnya.
Mas Pram semakin terpesona dengan keindahan
perempuan itu. Bahkan dirinya terbius oleh pesona senyumnya yang terkadang
muncul tiba-tiba, menggoda jiwa kelakilakiannya.
Yang orang-orang tak tahu bahwa setelah menikmati
keindahan tarian perempuan itu di bawah mentari, mereka berdua kembali ke
rumah. Dan Mas Pram seperti tertarik dalam lingkaran pesona perempuan itu. Tak
kuasa, Mas Pram menarik tubuh perempuan itu
dalam pelukannya. Bibir mereka bertemu. Cukup lama Mas Pram menikmati setiap
lekuk tubuh perempuan itu. Hingga peluh membasahi tubuh mereka saat matahari
sudah beranjak naik tepat di atas kepala.
# # #
Langit tak lagi sempurna membentuk biru. Warna
jingga mulai sedikit demi sedikit
menyemburat, membentuk pola-pola. Burung bergerombol, terbang dari utara,
selatan, barat, timur, seakan bergegas mencari sarangnya karena hari hampir
gelap.
Ke mana
mereka akan berteduh nanti, mungkinkah mereka akan berkumpul bersama sanak
saudara di satu pohon. Ataukah bersama anak dan pasangan mereka. Atau justru
berdua saja, bercumbu dalam teduhnya perdu atau beringin rindang. Jika itu benar adanya, aku iri kepada mereka.
Aku ingin berdua, aku ingin bersama suamiku.
Aku tak mengerti. Kapan terakhir kali suamiku
pulang ke rumah. Mungkin seminggu yang lalu, atau dua minggu. Aku tak pernah
lagi menghitungnya. Sudah cukup terbiasa oleh keadaan. Memahami bahwa untuk
sesuap nasi, biaya sekolah si kecil, dan kebutuhan-kebutuhan lain, suamiku
harus bekerja siang malam hingga tak pulang.
Aku paham, aku tak pernah mengungkit. Mengapa dia
jarang pulang, mengapa proyeknya berpindah-pindah, mengapa dia tak kunjung
datang padahal di setiap malam aku selalu kedinginan menantinya. Dulu sebelum
ada si kecil, aku selalu kesepian jika malam menjelang. Tidur hanya bertemankan
guling semata.
Suamiku hanya sekali nelpon setiap jam sembilan
malam, selama setengah jam. Suaranya yang serak sedikit mengobati kerinduan
yang setiap waktu menjalar di tubuhku. Sebentar rasa rindu itu terobati oleh suaranya,
rayuannya yang sampai sekarang tak kumengerti-aku terbuai oleh itu semua.
Dia, suamiku, mencintaiku seutuhnya. Dia rela
meninggalkan rokok yang sudah bertahun-tahun menemaninya demi menikah denganku.
Bapak tak pernah menyukai setiap cowok perokok.
Prinsip beliau adalah jika dia memasukkan racun, maka akan banyak racun-racun
yang ia keluarkan. Entahlah, apa maksud Bapak. Sampai kini tak kumengerti.
Jika aku merindukannya setiap malam, apakah salah? Mungkin seorang wanita berumur lebih
dari 45 tahun tak sepantasnya merindukan suaminya yang pergi bekerja? Mungkin
aku seharusnya hanya memakluminya saja. Toh,
nanti dia akan pulang.
Sebenarnya dia tak pernah absen untuk kembali.
Jikapun proyek yang dia kerjakan harus memaksanya untuk lembur, dia akan tetap
menyempatkan pulang meskipun sebentar. Mencium kening si kecil, juga tak lupa
bibirku.
Dan jika dia datang, dia akan memelukku cukup lama.
Kami bercumbu sepanjang malam. Sungguh dia adalah lelaki yang baik, suami yang
pengertian, ayah sempurna bagi si kecil. Tak
pernah dia memukulku, mencampakkanku, atau membuatku terluka. Dia sangat manis
dan sopan.
Pernah suatu kali dia datang tanpa membawa uang. Dia
berulang kali meminta maaf kepadaku. Awalnya aku tak berani pulang, katanya.
Dengan raut yang sungguh-sungguh. Sorot matanya tajam menukik. Aku tahu, dia
tak mungkin berbohong. Aku tahu dia sepenuhnya.
Tapi aku kangen kamu, ujarnya kemudian. Lalu
memelukku. Saat itu, belum ada si kecil. Usia perkawinan kami sudah satu tahun,
dan kami memang belum dikaruniai si kecil. Aku hanya mengangguk mantap, lalu
membalas pelukannya.
Aku butuh kamu, bukan uangmu, jawabku kepadanya.
Lalu dia membopongku ke halaman belakang rumah. Di sana tumbuh pohon mangga
yang cukup rindang. Daun-daunnya sering berguguran mengotori pekarangan
belakang yang tak terlalu luas. Kami berdua duduk di bawah pohon itu,
bercengkerama cukup lama. Berbincang tentang segala hal.
Masih seperti biasanya, dia pintar merayuku. Dia
lalu membawaku melayang ke angkasa, menikmati keindahan sungai-sungai di surga.
Kami berdua bergelut dengan malam, melepas kerinduan yang sekian lama tertahan.
Yang kutahu, sebulan setelah itu, saat suamiku belum kembali lagi, aku
mual-mual di suatu pagi.
Lalu dia
datang kembali, kali ini dia membelikanku beberapa baju ibu hamil. Dia lalu
mengajakku membeli susu di supermarket. Aku benar-benar dijamu olehnya.
“Untuk beberapa saat, aku akan menetap di sini.
Sampai kamu melahirkan?” kata dia.
“Proyekmu?”
“Kamu lebih berharga dari apapun.”
“Ada ibu nanti yang bisa ke sini. Menemaniku. Ibu sudah menelpon kemarin.”
Suamiku menggeleng. Dia membelai rambutku.
Benar saja, dia menepati janjinya. Dia menemaniku
hingga si kecil lahir.
Si kecil benar-benar membawa berkah bagi kami.
Beberapa proyek besar berdatangan, di dekat tempat kami. Suamiku tak harus
berpindah dari satu kota ke kota lain. Dia menetap bertahun-tahun bersamaku
hingga si kecil berumur tiga tahun.
Aku memang
beruntung memiliki suami seperti dia.
Sejak bertemu dulu, aku memang sudah jatuh cinta
padanya. Terutama pada bibirnya. Dia bukan hanya tampan, menawan, berbadan
tegap, namun juga lelaki yang tegas dan berani. Terang-terangan dia
mendatangiku dulu, sewaktu aku pulang dari pabrik.
Dia sedang nongkrong bersama teman-temannya di
dekat pembangunan tower milik sebuah provider. Saat itu aku bersama Frida,
teman pabrik yang selalu pulang bersamaku. Kami lewat di depan mereka. Ternyata salah satu orang di
tongkrongan itu adalah kekasih Frida. Frida berhenti, ngobrol bersama
kekasihnya. Sedangkan aku hanya diam di sampingnya. Kemudian Frida
mengenalkanku pada mereka, termasuk orang yang saat
ini menjadi suamiku.
Benar adanya, cinta pada pandangan pertama. Aku
benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dia berwajah tirus, rambutnya cepak,
kulitnya cokelat, hidungnya mancung. Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya
dikemudian hari, aku tahu bahwa dia mewarisi wajah ibunya. Dan badan tegap yang
ia miliki jelas bahwa itu adalah warisan ayahnya.
Dan ada banyak alasan kami untuk bertemu kembali.
Dia meminta nomer teleponku. Lalu berulang kali menjemputku di pabrik. Melewati malam minggu
berdua. Hingga dia benar-benar melamarku di suatu senja di terminal, sebelum
dia berangkat ke Jogja. Ada proyek pengerjaan jembatan layang di sana.
Aku akan kembali, dan kuharap kamu sudah ada jawabannya,
katanya. Jangan kamu jawab sekarang, agar aku memiliki semangat di sana. Agar
proyekku segera selesai dan aku giat bekerja. Jangan kamu katakan sekarang jika
kamu menolaknya, karena fatal akibatnya. Jembatan yang kubuat bukannya kuat dan
kokoh, tapi justru akan ada orang yang meninggal di sana.
Dia tertawa.
Percayalah, jawablah dengan pikiran jernih.
Dia menggenggam
tanganku, lalu berlalu.
Sepanjang malam, sebelum dia kembali meminta
jawabanku, aku merenung. Memikirkan apa yang harus aku katakan padanya. Tetapi,
hati memang tak bisa dibohongi.
Aku menjemputnya di terminal. Dan aku berjanji
untuk menjadi istri yang baik baginya.
Jika kini
dia sudah jarang pulang, bukan berarti cintanya telah luntur untukku. Dia pergi
karena aku dan si kecil, karena sesuap nasi. Uang hasil buruhku di pabrik tak
akan cukup membelikan si kecil susu, biaya sekolah, dan kebutuhan lainnya.
Dan jika aku merindukannya di setiap penghujung
malam tiba, karena kedinginan yang teramat sangat, apakah aku salah?
Di suatu petang aku pernah bertanya kepadanya, kamu
masih mencintaiku?
Dia tak menjawab, hanya mencium keningku. Itu sudah
cukup untuk menjawabnya, bukan?
# # #
Perempuan itu seperti kembali menjadi seorang gadis
remaja SMP yang kali pertama jatuh cinta. Manja, malu-malu, suka senyum-senyum
sendiri. Desiran di jantungnya tak pernah berhenti saat Mas Pram datang dan
membelai rambutnya. Kadang Mas Pram melontarkan rayuan-rayuan gombal yang
membuatnya melayang. Perempuan itu seperti dicekoki 3 botol tequila. Mabuk dan melayang.
Butuh waktu beberapa menit untuk menenangkan
hatinya bila berduaan dengan Mas Pram. Mas Pram memang lihai dalam memanjakan
perempuan itu. Kadang perempuan itu sampai mencubit pinggang Mas Pram berulang
kali saat rayuan-rayuan maut Mas Pram mulai beraksi, hingga
membuat geli lelaki pujaannya itu.
Mas Pram datang dua minggu sekali. Dia akan
menginap dua hari, Sabtu dan Minggu. Selama dua hari itu, perempuan itu tak
menerima tamu satupun. Kadang ada pula pelanggan yang datang, namun tak pernah
akan dilayani. Bagi perempuan itu, dua hari belum cukup untuk berduaan dengan
Mas Pram. Jadi dia terpaksa menutup warungnya.
Dan dua minggu sekali dia akan menunggu. Namun, suatu
pekan, Mas Pram tak datang.
Sore itu, hujan turun rintik-rintik dan angin cukup
kencang. Rumahnya yang tak jauh dari
pantai terkena imbasnya. Spanduk bekas pemilu daerah yang sengaja dipasang di
depan rumah untuk menutupi teras depan tampak berkibar-kibar. Langit juga sudah
mulai menghitam. Matahari tak nampak.
Perempuan itu sengaja duduk menunggu Mas Pram di
teras depan. Seperti yang biasa ia lakukan setiap akhir pekan, dua minggu
sekali. Duduk sendiri sembari menikmati secangkir kopi. Dia tentu sudah mandi
dan mengenakan pakaian paling pantas yang ia miliki. Rambutnya sudah ia sisir
dan bau semerbak parfum menyebar ke mana-mana. Itu parfum pemberian Mas Pram, dan hanya dipakai saat ia
bertemu dengan Mas Pram.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Langit
sudah sempurna menghitam, namun Mas Pram tak kunjung datang.
Perempuan
itu mulai gelisah. Berulang kali dia melihat jam di dinding. Berulang kali dia
ke depan rumah, melihat ke ujung jalan. Berharap ada mobil Mas Pram di sana.
Tapi tak ada. Sampai petang menjelang, mobil itu tak menampakkan wujudnya.
Tetangga depan rumahnya, seorang perempuan seumuran
dengan perempuan itu, menyadari kegelisahan perempuan itu. Didatanginya rumah
perempuan itu dan mereka berdua ngobrol.
“Nunggu Masmu, Nur?” tanya perempuan paruh baya.
“Iya, Mbak Anis. Biasanya sudah datang.”
“Ah, kamu sudah tak sabar, ya?”
Perempuan itu hanya tersenyum kecil, seperti
mengiyakan.
“Saya jadi penasaran, gimana rasanya Masmu itu.
Legit kayak kue lapis, atau manis kayak gula jawa?”
“Dua-duanya lah, Mbak. Belum ada yang menandingi,”
perempuan itu tertawa genit.
“Lah, kalo polisi yang sering datang kemari itu?
Bukannya nggak kalah garang, Nur?”
“Aduh, dia mah cemen, Mbak. Baru dua kali juga
sudah KO. Lagian mulutnya sedikit bau, Mbak. Ngomongnya aja yang besar, tapi nggak ada yang lebih besar dari omongannya.
Ha ha ha,”
“Hush,
kamu itu. Kalo tertawa jangan keras-keras. Cah
wedhok lho. Tapi duitnya lumayan to?”
“Ya, kalo dompetnya sih tebel, Mbak.”
“Kalo Masmu?”
“Wah, kalo Mas Pram saya tidak mengharapkan
duitnya. Sudah dekat dengannya saja, saya sudah dag dig dug, Mbak. Pokoknya
beda aja rasanya dengan yang lain. Sensasinya
itu lho...serrrrr...”
Keduanya lalu tertawa.
Tetangga perempuan itu kemudian permisi untuk
pulang karena di depan rumahnya sudah ada pelanggan yang menunggu. Dengan tawa
genit, dia menghampiri pelanggan itu lalu menggandengnya ke dalam rumah. Dari
tingkahnya saja, jelas bahwa dia sangat gesit dalam melayani pelanggannya. Caranya
menyambut, menatap, dan berkelakar sangatlah profesional.
Tinggallah perempuan itu sendirian lagi di teras
rumahnya.
Mas Pram belum datang. Hujan sudah berubah menjadi
rintik gerimis. Angin sudah tak lagi kencang. Hanya sesekali terdengar gemuruh
ombak pantai selatan.
Tak ada pelanggan yang datang. Karena mereka sudah
tahu bahwa malam ini perempuan itu memang tak menerima tamu.
Lalu ada motor berhenti di depan rumahnya.
“Sendirian, Mbak?” sapa pengendara motor itu.
“Iya nih, Mas
Galih. Nunggu orang tapi nggak datang-datang,”
“Warungnya tutup? Saya kebetulan lapar, bisa
dibuatkan nasi goreng?” tanya Galih, pengendara itu.
“Oh, enggak kok Mas. Masuk saja sini,” ujar
perempuan itu berbohong. Dia berusaha tersenyum meskipun kini hatinya sedikit
miris. Mas Pramnya belum juga datang sampai detik ini. Jadi dia memutuskan
untuk membuka warungnya, melayani pelanggannya. Hal ini ia lakukan untuk
mengusir kegundahannya sembari menunggu Mas Pram.
Galih melepas helmnya, lalu masuk ke teras
perempuan itu. Perempuan itu masuk ke dalam rumah dan kembali lagi dengan
segelas kopi hitam.
“Diminum, Mas!” Perempuan
itu menyerahkan kopi buatannya.
“Nuwun,
Nur. Obat dingin,” Galih terkekeh. Diseruputnya kopi yang ia pegang, ia sesap
perlahan.
“Baru pulang dinas, Mas?”
“Iya. Tadi ada acara perpisahan teman kantor. Dia
dilantik jadi kepala divisi di kabupaten. Jadi acaranya sampai malam.”
Keduanya lalu terlibat obrolan ringan. Tentang
angin, pantai, berita-berita di TV, kadang nyrempet
ke obrolan dewasa. Perempuan itu lebih banyak mendominasi. Galih tak banyak
cakap, sesekali hanya menimpali. Bahkan lebih banyak tersenyum dan tertawa. Pastilah
dia pemuda baik-baik. Taat pada aturan. Tipe suami yang sayang pada istrinya.
Sejam berbincang dengan Galih, membuat perempuan
itu mulai bosan. Diliriknya halaman depan berulang kali. Belum ada tanda-tanda
Mas Pram datang. Padahal malam sudah larut, jam sudah menunjukkan angka 10. Gusar
hati perempuan itu, membuatnya terus menerus menarik nafas kecil. membuang
sesak. SMS yang ia kirim sejak maghrib juga tak mendapat balasan.
“Kamu seperti menunggu seseorang, Nur?” tanya
Galih, penasaran melihat perempuan itu beberapa kali melongok keluar rumah.
“Bukan siapa-siapa, Mas. Cuma pengen lihat keadaan
luar saja.” Perempuan itu lagi-lagi berbohong.
Kepada angin dia ingin berkata, sampaikanlah rasa
gundah ini kepada Mas Pram, di mana saja Mas Pram berada. Angin hanyalah udara
yang bergerak-gerak, ringan, tanpa beban. Ia tak mungkin diselipi rasa rindu
yang membuncah.
Lalu, kepada sunyi malam dia ingin berujar pula,
bahwa hatinya kini kelu. Wangi parfum yang sudah menempel di tubuhnya beberapa
jam lalu, kini kabur. Menguap bersama rasa sunyi di hatinya.
Kepada Galihlah kemudian dia bercerita, banyak.
Tanpa jeda. Tak pernah dia bercerita sebanyak ini, kepada lelaki pelanggannya.
Selain pada Mas Pram tentunya.
Mas Pram bukanlah pelanggan. Dialah hanyalah tamu,
tamu di hatinya. Bukan lagi tamu-tamu warungnya yang hanya datang meminta kopi,
ngobrol, lalu pergi begitu saja. Atau duduk lama, seperti Galih kini, dan
berakhir dengan derit suara di kamar tidur perempuan itu. Rintihan kecil dari
perempuan itu, yang sedikit banyak dia buat-buat. Juga suara gesekan-gesekan
dari si pelanggan yang tak ubahnya seperti harimau yang menerkam ayam di dalam
hutan. Tak akan dilepas, sebelum mereka menemukan titik puncak dari rasa di
dunia.
Namun, tidak dengan Mas Pram. Dengan lelaki
berkulit sawo matang itu, tak ada yang dilakukannya sia-sia. Perempuan itu
membuatkan nasi goreng ataupun bakmi godhog
dengan rasa cintanya, menyeduh kopi dengan sepenuh jiwa, juga menyerahkan
setiap jengkal di tubuhnya, tanpa ia tutup-tutupi. Dia tak pernah berpura-pura,
mengerang sekenanya, meliuk sewajarnya, juga kadang tersenyum kecil saat Mas
Pram sudah kelelahan di sampingnya.
Bagi perempuan itu, Mas Pram adalah kiriman Tuhan
untuknya. Untuk menghapus semua rasa gundah di hatinya, setiap hari. Mas Pram
tak pernah cemburu jika perempuan itu melayani ataupun digoda
pelanggan-pelanggannya. Dia sudah cukup dewasa untuk mengartikan hubungan
mereka.
Tapi kini, lelaki itu tak kunjung datang.
“Sudah malam rupanya,” Galih berujar, seperti pada
dirinya sendiri. Dia menyeruput kopi keempatnya. “Mataku pasti akan terjaga
hingga pagi karena kopi-kopi ini.” Galih beranjak, membenahi tas dan jaketnya
yang tergeletak di kursi.
“Tidak mau lanjut, Mas?” perempuan itu mengeluarkan
jurusnya, seperti biasa. Saat dia menghadapi tamu-tamunya. Mendekat, lalu
menyentuh pundak pelanggan perlahan. SOP yang dia buat sendiri sebagai standar
untuk melayani tamu-tamu. Dulu kali pertama diajari oleh Mbak Anis saat
perempuan itu datang dan menetap di rumahnya kini.
“Lain kali saja, Nur,” kata Galih tersenyum simpul.
Dia menjabat tangan perempuan itu dan menyelipkan dua lembar seratus ribu. “Lain
kali aku pasti ke sini.”
Dan malam gelap sepi kembali menemani perempuan itu
di teras depan. Hingga larut malam dan jalanan depan juga sudah mulai sepi.
Sesekali terdengar bunyi motor yang melintas, tapi tak pernah ada Mas Pram.
Perempuan itu memutuskan untuk menghungi Mas Pram.
Sekali, tak ada jawaban. Dua kali, masih tak ada. Tiga kali, masih sama.
Perempuan itu lalu kalah oleh keadaan.
Mas Pram benar-benar tak datang. Hingga pagi
menjelang dan jalanan kembali ramai oleh
pemuda-pemuda yang berlari pagi di depan rumahnya, juga orang-orang bermotor
yang menuju ke Pantai Depok, pantai di barat Parangkusumo.
Dan dia, perempuan itu, menari seperti biasanya di
belakang rumah. Menantang matahari. Gerakannya masih gemulai, meski dia baru
tidur dua jam tadi malam.
Semuanya masih sama. Tarian, matahari, padang
pasir, semilir angin, senyum dan tangisannya. Yang berbeda hanyalah, dia menari
dalam kesunyian. Tak ada dendang Pangkur,
ataupun Asmaradana dari bibir mungilnya. Dia
menari saja, tanpa irama. Sesekali matanya terpejam, seperti merasakan lantunan
yang hanya ada dalam angan-angannya saja.
Entah apa yang terjadi pagi tadi. Dia bangun dengan
keadaan gugup. Nafasnya tersengal-sengal. Dia seperti baru saja bermimpi buruk,
bertemu dengan genderuwo atau makhluk lain yang
berusaha untuk menyetubuhinya.
Mungkinkah itu yang membuatnya menari sunyi pagi
ini? Hanya perempuan itu yang tahu. Yang jelas, saat dia kembali ke teras rumah
dan berusaha melupakan apa yang terjadi, kesunyian itu masih ada.
Bahkan Galih yang kembali datang, kini dengan kaos
santai dan sepeda, tak bisa mengusir rasa sepinya. Galih memesan kopi.
Perempuan itu menambahkan singkong goreng. Keduanya lalu ngobrol hingga
matahari berada hampir di atas kepala. Perempuan itu pura-pura tertawa,
menutupi sesak di dadanya dengan senyum yang terpaksa.
Sepi itu kemudian memudar, terurai menjadi
keping-keping perih, saat Mas Pram datang sorenya. Membawa suatu berita.
“Maaf sebelumnya, aku baru cerita sekarang.”
Perempuan itu hanya tersenyum kecil. Jika berita
ini yang mengucapkannya adalah tamu-tamunya yang lain, mungkin dia tak akan
sesesak ini. Karena dia paham, tamu-tamunya itu kebanyakan bukan bujangan,
meskipun ada pula yang masih sendiri. Lebih banyak pria-pria yang sudah berumah
tangga. Yang mencari kebahagiaan lain di luar rumah mereka.
Kini Mas Pram yang berbicara langsung kepadanya.
Padahal sebelumnya mungkin dia tutup rapat-rapat.
Perempuan itu maklum. Tak banyak berkomentar,
ataupun memberontak. Dia harusnya sudah paham sedari awal. Sudah bertanya dari
awal. Namun, pesona Mas Pram seperti membungkam semua logika di otaknya.
Dan semuanya terungkap sore ini.
“Maafin Mas, Dek.”
Perempuan itu menggeleng perlahan. Mas Pram tak
salah. Dia yang harusnya tahu diri.
“Tapi Mas terlanjur sayang denganmu,”
Ucapan Mas Pram seperti mantra baginya, juga candu
yang menjalari setiap mili darahnya. Dia tersengat kembali. Dan logikanya
kembali buntu oleh rasa yang tak bisa dia jelaskan dengan ucapan.
Perempuan itu luluh. Mas Pram memeluknya.
“Mas janji akan lebih sering ke sini.”
“Tapi aku takut, Mas.”
“Takut apa?”
“Takut jika suatu waktu keluarga Mas tahu.”
Mas Pram tertegun sejenak. Seperti berpikir
sesuatu. “Tak akan. Mas pastikan itu.”
Sore itu menjadi titik tolak hubungan mereka.
Mas Pram bahkan menepati janjinya. Seperti janji Panembahan
Senopati kepada Ratu Kidul yang akan bertemu kembali di Batu Cinta. Mas Pram datang
semakin rutin. Kadang menginap cukup lama. Bahkan beberapa kali diajak
perempuan itu ke daerah asalnya. Dikenalkan kepada Mamak dan Roro.
Pernah suatu hari, mereka berdua ke Semarang
menemui Mamak dan Roro. Sepulang dari sana, mereka
sengaja tak langsung pulang ke Parangkusumo. Mas Pram mengajaknya pergi ke
Bandung, berdua mengendarai mobil. Tiga hari mereka di Bandung berdua.
Menelusuri setiap sudut kota kembang itu.
Perempuan itu tak merasakan hal apapun. Toh,
mungkin inilah jalan hidupnya. Mencintai Mas Pram. Kota kembang menjadi saksi
mereka, bahwa cinta mereka memang benar adanya. Mas Pram memperlakukan
perempuan itu dengan dewasa. Memanjakannya.
Pagi hari di hari terakhir mereka di Bandung, perempuan
itu menemukan dirinya di pelukan
Mas Pram. Mas Pram masih tidur dengan kelelahan.
Perempuan itu membenamkan kepalanya dalam dada Mas
Pram. Detak jantung Mas Pram terdengar lirih.
Jika memang ini adalah sebuah awal, perempuan itu
tak pernah menyesal.
# # #
Suamiku pulang. Tampangnya sangat kusut. Belum
pernah aku melihatnya seperti itu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Si kecil sudah tertidur.
“Tadi si kecil menunggumu. Baru saja dia tidur,”
kataku.
“Aku berangkat maghrib,”
“Tak mampir ke mana-mana, kan?”
“Maksudmu?”
Aku tahu, tak pantas aku menghakimi suamiku seperti
itu. Tapi perkataan ibu-ibu di arisan tadi, juga waktu aku pergi ke pasar,
bahwa banyak para pekerja-pekerja proyek yang mencari kesenangan lain di
tempatnya bekerja.
Mereka jauh dari keluarga, jauh dari istri untuk
waktu yang cukup lama. Tak ubahnya sebuah pedang yang tumpul jika tak sering
diasah dan digunakan. Mungkin itulah yang ditakutkan para istri mereka. Pasti
mereka kesepian, lalu perlahan mencari kesenangan. Dan cinta, kesetiaan, bisa luruh karenanya?
“Tadi si kecil menunggu boneka yang kemarin dia
minta.”
“Aku belum sempat membelikan.”
“Padahal kamu sudah berjanji waktu pulang kemarin.”
“Akan aku belikan besok di supermarket.”
“Lusa dia pentas di sekolahnya. Kamu bisa datang?”
“Besok pagi aku harus kembali. Ada yang mau kuurus
di Jogja.”
“Kamu baru sebentar, Mas. Aku...”
“Mengapa sekarang kamu cerewet?”
Aku diam.
“Aku capek. Ngantuk. Aku mau tidur.”
Suamiku pergi ke kamar. Meninggalkan aku yang sendirian di ruang depan. Aku
diam, tak berani aku membantah suamiku. Bukankah begitu kodrat seorang istri,
harus menurut kepada suami. Aku takut dosa. Aku takut harus
mempertanggungjawabkan semuanya di surga.
Kudatangi suamiku di kamar. Bau wangi badanku sudah
sedikit menghilang. Kusemprot sedikit lagi bagian leher dan tanganku dengan
parfum. Suamiku sudah tertidur di kasur. Aku berbaring di sampingnya. Berharap
dia akan sadar dan memelukku.
Namun, tak ada reaksi. Beberapa menit setelah itu,
kudengar dengkurnya. Aku maklum, dia pasti kelelahan. Namun, lebih lelah mana
dengan rinduku?
Shubuh, sebelum si kecil bangun dan bersiap ke
sekolah, suamiku sudah bergegas kembali.
“Aku harus kembali.”
“Tidak menunggu si kecil bangun.”
“Aku sudah menciumnya tadi.”
Lalu dia pergi, entah untuk berapa lama lagi. Aku
tak tahu.
Dan ketika si kecil bertanya, apakah bapak akan
datang ke pertunjukanku nanti, aku tak bisa menahan haru. Ingin rasanya
menangis saat itu. Si kecil mungkin tak mengerti pilu yang kurasakan kini. Dia
hanya tahu bahwa bapaknya tak datang siang itu. Dan boneka yang dijanjikannya
juga tak kunjung datang. Si kecil pun melupakannya meskipun awalnya merengek
terus kepadaku.
Dia tak lagi datang tepat waktu. Tak lagi menelpon
setiap malam hanya untuk sekedar menanyakan kabarku. Menanyakan si kecil yang
sudah masuk sekolah.
Tapi si kecil terus bertanya.
Di mana
bapak?
Aku menjawab, dia sedang bekerja.
Kok tidak pernah pulang?
Aku menjawab, proyeknya sedang banyak.
Apakah nanti bapak akan membawakanku boneka kalau
pulang?
Aku menjawab, pasti akan dibawakan.
Aku kangen bapak. Apakah bapak kangen denganku?
Aku diam, tak menjawab. Ada genangan air di sudut
mataku yang kuseka diam-diam tanpa sepenglihatan si kecil. Mataku sudah
bengkak, karena setiap malam terlalu lama menangis. Kulit keningku sudah
terlalu keriput memikirkan setiap jawaban atas pertanyaan si kecil. Satu
kebohongan akan berlanjut ke kebohongan selanjutnya.
Dan di ulang tahun si kecil yang kedelapan, dia
kembali berjanji akan datang. Membawakan boneka beruang besar. Kubuatkan pesta
kecil-kecilan untuk si kecil.
Baru kali ini bisa kubuatkan pesta, setelah kami
lewati 7 kali ulang tahun bersama-sama. Namun, tak pernah kurayakan. Aku,
suamiku, dan si kecil biasanya hanya akan pergi makan atau ke tempat wisata.
Suamiku pasti akan cuti dan meluangkan waktu untuk si kecil. Tetapi, ketika si
kecil benar-benar ingin dibuatkan pesta, suamiku justru tidak datang.
Si kecil menangis. Tak mau keluar kamar. Tak mau
meniup lilin ulang tahun. Teman-temannya bingung, akupun bingung. Senja itu, si
kecil benar-benar menangis.
Suamiku datang sehari setelahnya, membawa boneka
beruang besar permintaan si kecil.
Si kecil tetap ngambek, tak mau ngomong.
Bapak minta maaf, kemarin banyak proyek. Bapak
harus cari duit untuk membelikan adek boneka, kata suamiku meyakinkan si kecil.
Bapak jahat, kata si kecil.
Aku diam, tak ikut campur urusan anak bapak itu.
Suamiku membelai rambut panjang si kecil. Mencoba
merayu.
Kita jalan-jalan yuk dek, bapak lagi pengen bakso
nih. Nanti kita ke kebun binatang. Terus pulangnya kita beli baju. Gimana? Ujar
suamiku. Si kecil menjawab, aku mau tas, sepatu, dan baju. Suamiku berkata,
apapun akan bapak belikan. Lalu keduanya kembali akur.
Sebegitu mudahkah meluluhkan hati si kecil, atau
sepintar itukah rayuan suamiku. Padahal aku sendiri masih tak bisa menerima
alasan suamiku.
Dan suamiku menginap malam itu setelah seharian
kami jalan-jalan ke kebun binatang, supermarket, dan makan bakso. Seperti
janjinya. Kami ngobrol malam itu. Dia kembali romantis.
Katanya, dia kangen denganku. Kujawab, aku juga.
Tanpa cakap dia mencium bibirku, lama. Setelah
sekian lama, kurasakan bibirnya kembali. Masih seperti dulu, dia pintar
memainkannya. Kami berpanggutan cukup lama. Kami menanggalkan pakaian satu
persatu. Dengan jeda sentuhan, belaian, dan ciuman.
Paginya, kami dibangunkan oleh ketukan pintu kamar
oleh si kecil. Suamiku masih di sampingku dengan nafas memburu. Dan itulah
terakhir kali aku mendengar suara nafas itu.
# # #
Perempuan itu memiliki rutinitas setiap akhir pekan
di siang hari, yaitu mengajari gadis-gadis berbagai seni tarian di pendopo
desa. Ilmu tari yang diwariskan dari Mamak, ia ajarkan dengan perlahan. Tetapi
dari semua tarian yang ia pelajari, dia paling menyukai tari gambyong.
Seperti kata Mamak sewaktu dia kali pertama belajar
tari gambyong. Tari ini tak pernah menampilkan emosi karena untuk menjaga sifat
kewanitaan yang pada dasarnya halus dan lemah lembut. Sifat inilah yang
dihormati, sehingga menjadi dasar setiap gerakan.
Tak akan pernah ditemukan dalam gerakan tarian gambyong
luapan emosi penari. Semuanya lemah lembut dan halus. Tidak ada gerakan
meloncat, tak ada tangan yang selalu
lebih tinggi dari bahu. Tari ini mengungkapkan keluwesan, kelembutan, dan
kelincahan seorang makhluk hawa.
Begitulah dulu Mamak selalu bercerita kepada
perempuan itu. Agar perempuan itu senantiasa menjaga tingkah dan tuturnya. Juga
agar para lelaki menghormati dan mengaguminya secara sempurnya.
Tak mudah untuk menarikannya. Seorang penari harus
memiliki dasar tarian yang kuat, selain dari faktor kebiasaan dan kematangan. Biasanya
tari gambyong dipentaskan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu perkawinan.
Perempuan itu sangat mengenal tarian ini karena dulu sewaktu masih sekolah di SMK
Pariwisata, dia sering diminta untuk menari di sekolah, di kampung ketika ada
resepsi pernikahan, atau acara-acara khusus adat.
Dulu dia memang ingin sekali bercita-cita menjadi
seorang penari. Jauh sebelum dia seperti ini.
Lalu Mamak dan Roro tak lagi bisa hidup dengan
hanya jualan sayur di pasar. Sementara biaya kehidupan mulai naik sedikit demi
sedikit. Mereka butuh nasi, butuh pakaian, dan tempat tinggal. Akhirnya dia
memutuskan untuk pergi, merantau.
“Mamak tak mengijinkan kamu ke Jakarta,” Mamak
melarang perempuan itu.
“Kenapa, Mak?” tanya perempuan itu.
“Merantaulah, tapi jangan di sana. Kamu tidak lihat
di TV, banyak anak gadis yang diperkosa di sana, banyak penjarahan dan preman.
Mamak tak rela jika kamu ke sana. Kamu perempuan. ”
Perempuan
itu menurut saja. Dia lalu pergi ke Yogya, melamar menjadi seorang resepsionis
hotel. Tiga tahun bekerja di sana, hingga dia bertemu dengan Tante Yanti di
Pasar Beringharjo ketika dia sedang berbelanja. Tante Yanti menawari pekerjaan
sebagai resepsionis di hotelnya. Gajinya lebih tinggi beberapa ratus ribu dan
dapat tempat tinggal.
Perempuan itu setuju. Dia hijrah ke salah satu
hotel di Parangkusumo, daerah di ujung selatan kota Yogyakarta. Tante
Yanti menyukainya karena keluwesan perempuan itu.
Lalu ada tamu yang datang ke hotel Tante Yanti.
Tamu itu menyukai perempuan itu. Datang setiap akhir pekan, membawa oleh-oleh.
Sekali datang biasa saja. Lalu datang lagi, masih
biasa. Hingga dia mengajaknya bermain ke pantai. Berdua saja. Di sana, tamu itu
mencium si perempuan. Perempuan itu yang masih lugu, diam biasa saja. Dia masih
ingat pesan Mamak, bahwa perempuan harus lembut dan halus.
Lalu ada getaran hebat dalam dirinya saat tangan
tamu itu mulai masuk ke roknya, kaosnya. Dan ketika pagi tiba, dia berada di
salah satu kamar hotel Tante Yanti. Berselimut tebal. Sendirian saja. Tak ada
siapa-siapa.
Tapi ternyata dia tak sendiri. Ada suara guyuran
air di dalam kamar mandi. Perempuan itu diam, menunggu. Lalu si tamu keluar
kamar mandi hanya menggunakan handuk saja. Dia tersenyum kepada perempuan itu.
Perempuan itu tertegun, lalu mengingat apa yang terjadi tadi malam.
Tadi malam, mereka berdua di pantai.
Lalu turun hujan.
Mereka ke hotel.
Ada Tante Yanti juga.
Lalu, si tamu menuntun perempuan itu ke sudut
hotel. Ada desiran lagi yang muncul sangat hebat dalam hatinya, bulu kuduknya
merinding.
Dan kini, dia tahu apa yang terjadi tadi malam.
Tamu itu lalu bergegas pergi. Meninggalkan
perempuan itu bersama beberapa lembar uang seratus ribuan.
Yang tak pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro
adalah dia hijrah ke Parangkusumo dan kini memiliki rumah di sana, pemberian
Tante Yanti. Tante Yanti memberinya hadiah karena dia telah menjadi tambang
emasnya selama beberapa tahun.
Yang tak pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro
bahwa dia bukan lagi resepsionis hotel, tapi seorang penjual nasi goreng, bakmi
godhok, kopi, di pinggiran jalan yang
menghubungkan Parangkusumo dan Depok.
Yang tak pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro
adalah dia sering menari di belakang rumah sembari menangis di pagi dan senja
hari. Dia seperti terbelenggu oleh penjara. Lalu kembali tersenyum saat
pelanggan-pelanggannya datang satu per satu malam harinya.
Dan yang tak
pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro bahwa dia seperti rindu akan sosok
Bapak, lalu menemukannya pada tamu yang dulu mengajaknya ke pantai, lalu
mencumbunya sepanjang malam. Tamu itu seorang lelaki 40 tahun yang memanjakannya.
Seperti seorang bapak kepada puterinya.
Yang tak akan pernah ia ceritakan kepada Mamak dan
Roro bahwa dia akan selalu membenci bapaknya, sampai kapanpun.
Namun, jika sore ini Mamak menelpon dengan tangis
yang tersedu, memintanya untuk pulang pekan ini. Apakah rasa benci itu harus
tetap tertahan? Bukankah yang meminta adalah perempuan yang dengan kekuatannya
berjuang untuk membesarkannya. Sendirian saja.
Perempuan itu sedang membenarkan gerakan tangan
seorang gadis yang ia ajari menari, saat dering handphone berbunyi di tasnya.
Dari Mamak.
“Pulanglah pekan ini.” Pinta Mamak. Perempuan itu
diam. Tak menjawab.
Lanjut Mamak, “Pulanglah, karena ini Mamak yang
minta.”
# # #
Aku
melahirkan lagi untuk kedua kalinya. Adik si kecil perempuan. Secantik si kecil.
Dia lahir di Rumah Sakit Sayang Ibu, seperti kakaknya. Si kecil begitu gembira
mendapatkan seorang adik yang sudah lama ia rindukan. Maaf sayang, baru
sekarang bisa ibu penuhi. Ayah tak pernah lagi menjamah ibu seperti dulu,
dengan cintanya. Terakhir adalah waktu itu, saat ulang tahunmu yang kedelapan.
Dan dalam tarikan nafas terakhirku, aku berdoa kepada Tuhan. Ijinkan telur itu
menjadi janin.
Benar saja. Aku
muntah-muntah di suatu pagi. Mual
rasanya perutku. Aku kembali hamil setelah kuperiksakan ke dokter.
Tapi kehamilanku yang kedua seperti tak diharapkan
suamiku. Dia semakin jarang pulang ke rumah.
Tak lagi mengajakku ke supermarket untuk membeli susu ibu hamil. Tak membelikan
peralatan bayi.
Dia perempuan, seperti kakaknya, pakai saja bekas
kakaknya. Kilahnya.
Aku diam tak membantah. Lagi-lagi aku ingin menjadi
istri yang baik baginya. Aku memilih diam.
Kemudian dia menghilang tanpa kabar untuk sekian
waktu. Aku tak mencari. Toh, dia
sudah cukup dewasa. Kujalani kehamilanku sendirian. Inilah yang berbeda dengan
kehamilanku yang pertama. Tak ada suamiku di sisiku, bahkan ketika aku
melahirkan sekalipun.
Suamiku baru datang ketika adik si kecil sudah
berumur tujuh hari.
Ke mana
saja, tanyaku.
Aku mencari uang, jawabnya.
Tak kubantah. Dia selalu beralasan sama. Bukankah
itu yang selalu ia katakan kepadaku.
Adik si kecil tumbuh cepat tanpa kehadiran suamiku.
Suamiku lagi-lagi menghilang. Pernah kubertanya, proyeknya di mana. Dia hanya menjawab, sedang
banyak. Berpindah-pindah. Kadang di Cirebon, kadang ke Purwokerto, lebih banyak
di Yogyakarta, tapi kadang juga di Surabaya.
Banyak uangnya, tak pernah sampai kepadaku, ujarku.
Dia menatapku tajam. Aku kalah, memilih diam. Lalu
aku tak bertanya-tanya lagi.
Suatu minggu aku pergi ke pasar. Si kecil dan
adiknya kutitipkan pada Mbok Minah, tetanggaku. Adik si kecil sudah bisa berjalan
dan si kecil sudah pandai merawat adiknya. Si kecil begitu mencintai adiknya.
Di pasar sedang santer tersebar berita tentang
pekerja-pekerja proyek yang senang main perempuan di daerah tempat proyeknya
berlangsung. Untuk mengisi kesepian jauh dari istri, kabarnya. Bahkan ada yang
rela meninggalkan istrinya karena telah menemukan wanita yang lebih muda dan
segar.
Aku bergidik.
Kulihat diriku di pantulan kaca saat aku melewati
penjual almari. Kulitku mulai keriput, tak sesegar dulu.
Lalu aku ingat suamiku. Dia yang kini jarang
pulang.
Berita di pasar itu seperti tumpukan jerami yang
disiram minyak tanah lalu disulut api. Cepat menyebar, cepat membesar.
Perbincangan tentang lelaki-lelaki yang kerja jauh dari keluarganya lalu
mencoba mencari kesenangan lain, bahkan ada yang sampai menikah lagi, tersebar
begitu cepat.
Ada yang terang-terangan bercerita di depan umum,
saat ibu-ibu berkumpul di penjual sayur di salah satu sudut pasar. Dia
bercerita bahwa suaminya terang-terangan meminta ijin kawin lagi, karena di
kota lain dia telah menanam benih pada seorang gadis desa yang masih cantik
jelita.
Aku tak ada masalah, asalkan dapurku masih
mengepul, dan emas di tangan dan leherku nambah, katanya, perempuan yang
bercerita itu.
Yang lain menimpali, bahwa dia tak rela suaminya
berbuat seperti itu. Dia memilih cerai. Tak mau dia dimadu.
Lain cerita dengan Yu Siam yang suaminya jadi supir
truk antar kota, mengangkut pasir, semen, atau beras. Suaminya sering mampir ke
warung-warung remang untuk melampiaskan hasratnya yang tak dipenuhi Yu Siam.
Aku diam. Ingin rasanya menutup telinga rapat-rapat
mendengar kabar itu. Namun, dia seperti angin yang menyusup dengan leluasa di
sela-sela telinga. Mengantarkan kabar itu ke otakku, lalu ke hatiku. Sesak rasanya di dada.
Bagaimana suamimu? Bukankah dia bekerja di luar
kota juga? Tanya Yu Siam kepadaku. Aku hanya tersenyum.
Dia suami setia, jawabku dalam hati. Dia selalu
setia seperti janjinya yang ia ucapkan dipernikahan kami dulu, juga janjinya
kepada Bapak saat melamar dulu. Dia akan menjagaku seutuhnya dengan ikatan
sakral perkawinan. Tak mungkin dia mengingkarinya, meskipun sudah sekian tahun
lamanya.
Aku memilih
pulang. Meninggalkan orang-orang dengan sejuta pernyataannya tentang
suami-suami mereka. Apa untungnya sebenarnya menjelek-jelekkan keluarga, bahkan
suaminya, mengumbar aib di depan orang-orang. Di pasar pula.
Petang itu, suamiku pulang setelah, lagi-lagi,
sekian lama tak pulang. Kali ini dia terlihat lebih rapi dari biasanya. Lebih
wangi dan tampak lebih muda dengan gaya rambut yang jabrik-jabrik ber-gel. Kapan terakhir dia memotong
rambutnya menjadi model seperti itu? Bukankah ketika masih berpacaran denganku
dulu.
Gaya berpakaiannya juga lebih trendy dengan jeans dan polo shirt warna putih. Yang lebih
mengherankan, dia memakai kacamata hitam.
Dari mana,
Mas, tanyaku. Penasaran.
Dari Yogya, kan, jawabnya. Dia duduk, lalu
menyulut sebatang rokok.
Kubertanya lagi, sekarang ngrokok?
Dia mengangguk.
Sekarang tambah ganteng ya. Lebih gaya pakaian dan
rambutnya, ujarku. Aku sedikit tertawa. Berharap dia akan menoleh ke arahku,
lalu merayuku, menggodaku, seperti dulu. Tentunya dengan rayuan mautnya.
Tapi dia justru diam, menghisap rokoknya
dalam-dalam. Sungguh seperti bukan suamiku yang kukenal.
Aku lapar, buatkan mie rebus. Jangan lupa kopi.
Pintanya kepadaku.
Aku menurut. Kubuatkan mie rebus rasa ayam bawang
kesukaannya, juga kopi tanpa gula. Kuantar kepadanya yang duduk di depan televisi
menyaksikan berita banjir di Jakarta. Aku ikut duduk di sampingnya.
Kok mienya asin, komentarnya. Suamiku menoleh ke
arahku.
Asin? Tanyaku.
Dia mengangguk, lalu berkata agak lantang, coba kau
rasakan sendiri saja.
Kuambil alih mangkok di tangannya. Kuseruput sedikit
kuah mie di dalam mangkok. Rasanya masih sama seperti mie yang biasa kubuatkan
sebulan lalu, setahun lalu, lima tahun lalu. Sejak kita bertemu dulu.
Kopinya kenapa pahit, dia bertanya padaku.
# # #
Perempuan itu sedang duduk-duduk seorang diri di
depan rumah. Menikmati keindahan sore. Hari ini adalah Kamis minggu kedua di bulan April,
berarti dua hari lagi dia akan bertemu dengan Mas Pram. Dua hari lagi dia akan
meluapkan kebuncahan rindunya pada sosok yang setiap waktu ada di pikirannya itu.
Mungkin benar kata orang, cinta memang selalu buta.
Bukankah dia tahu, apa yang dia lakukan hanyalah menambah deretan dosa-dosa
saja. Dia memeluk lelaki yang sudah punya orang lain, dia mencium lelaki yang
bukan lagi sendiri, dia bercinta dengan lelaki yang sudah beranak pinak.
Bukankah itu semakin menambah luka, karena cintanya
bukan hanya menyakiti dirinya, namun juga orang lain.
Tetapi, Mas Pram selalu bilang, dia begitu
mencintainya. Tak ingin dia melepaskannya. Bukankah mulut lelaki selalu pintar
berkata-kata. Tetapi mulut lelaki juga yang bisa menakhlukkan hati seorang
wanita, sekeras apapun itu.
Perempuan itu pernah meminta agar hubungan mereka
diakhiri saja. Karena dia tak ingin menambah rentetan daftar dosa-dosa,
bukankah setiap malam dia sudah menabung dosa. Lalu jika ditambah dengan
hubungannya dengan Mas Pram, itu akan menambah dosanya.
Dan Mas Pram tidak setuju. Dia tak ingin mengakhiri
kisah cinta mereka hanya alasan itu. Perempuan itu sadar, dia juga sudah
tergantung dengan Mas Pram. Hanya Mas Pram yang bisa membuatnya merasa nyaman
berada di dekatnya. Mas Pram bisa ngemong
tanpa menggurui, bisa membuatnya merasa sebagai seorang wanita yang perlu
dihargai, bukan hanya budak nafsu dunia semata.
Tetapi, sepertinya bukan hanya dia yang begitu
mencintai Mas Pram. Saat sore itu dia sedang duduk seorang diri, sebuah mobil
Jazz warna metalic berhenti di
depannya. Seorang perempuan, kira-kira berumur 45 tahun, seorang lelaki,
kira-kira masih 30an tahun, dan anak perempuan kira-kira berumur 8 tahun, turun
dari mobil.
Mereka mencari perempuan itu.
Perempuan itu menyambut keduanya, seperti dia
menyambut tamu-tamunya yang lain. Masih dengan standar senyum yang sering
membuat lelaki-lelaki takluk padanya.
“Kamu, Nur?” tanya tamu perempuannya.
Perempuan itu mengangguk. Dari mana dia tahu, tanya
perempuan itu dalam hati.
Kedua tamunya berdiam diri cukup lama. Lalu si tamu
perempuan tiba-tiba menangis sesegukan. Si lelaki yang menemaninya
menenangkannya. Si tamu perempuan menghapus air matanya, mencoba menenangkan
hati. Si lelaki mengelus-elus punggung tamu perempuan itu. Si anak perempuan
ikut-ikutan menangis.
Perempuan itu bingung. Siapakah mereka? Datang
tiba-tiba, lalu menangis tanpa sebab di depannya.
“Saya adiknya Mas Pram,” ucap tamu lelakinya.
Perempuan itu tersentak kaget. Adik?
“Dan saya istrinya,” kata tamu perempuan itu. “Ini
anak kami yang kedua.” Tamu perempuan itu mengelus rambut si anak perempuan.
Ada hening yang tiba-tiba tercipta di antara
mereka.
“Tolong tinggalkan suami saya,” pinta tamu
perempuan.
Perempuan itu tercekat kerongkongannya. Ada semacam
sumbat di sana, suaranya tak keluar sedikitpun.
# # #
Aku bertengkar hebat dengan suamiku. Ini belum
pernah kami lakukan selama ini. Aku selalu mengalah kepadanya. Aku ingin
menjadi istri yang baik. Ingin menjadi istri yang selalu mendampinginya. Aku
tak ingin membangkang. Bukankah salah satu kodrat seorang istri adalah berbakti
kepada suaminya.
Namun, rasa sesak di dadaku sudah tak terbendung
lagi setelah apa yang kutemukan dalam jaketnya. Sebuah sapu tangan warna
kuning. Ada bekas lipstik di sana. Lalu di dompetnya, yang belum pernah
sekalipun kujamah, ada foto perempuan. Bukan aku. Perempuan berambut lurus
sebahu dan berbibir tipis.
Dan di suatu malam, kucuri dengar suamiku menelpon,
pasti perempuan yang fotonya ada di dompetnya. Suamiku tertawa cekikikan.
Kadang merayu, kadang mesra, kadang gombal, kadang jorok.
Aku muak. Kututupi telingaku tak mau lagi
mendengar, namun semakin kututup, suaranya semakin menusuk ke gendang telinga.
Akhirnya aku marah padanya. Aku menangis, semua
sesak di dadaku seakan memaksa untuk keluar. Si kecil dan adiknya ikut menangis.
Awalnya dia diam. Tapi kemudian dia berkilah. Kami
bertengkar hebat.
Dia bukan lagi suamiku yang kukenal dulu. Dia telah
berubah menjadi harimau lapar dan aku
adalah ayam kampung yang siap disantapnya.
Lalu dia pergi, tanpa menyelesaikan semuanya.
Meninggalkan aku yang meraung-raung di teras depan. Dia tak peduli. Kedua
puteriku berteriak bersama memanggil bapaknya. Dia masih tak peduli. Dia
membanting pintu mobil keras-keras, lalu pergi berlalu dari halaman rumah.
Emosi kadang membuntukan otak. Hingga syaraf-syaraf
yang seharusnya bekerja dengan normal, menjadi terganggu. Mungkin itu yang
terjadi dengan suamiku.
Yang kutahu, saat aku masih menangis di pelataran
rumah, kudengar suara mobil berbenturan. Aku tercekat saat melihat mobil
suamiku sudah ringsek ditabrak truk di depan rumah.
# # #
Perempuan itu tak lagi berhubungan dengan Mas Pram.
Seusai tamu perempuannya, yang mengaku adalah istri Mas Pram, perempuan itu tak
menghubungi Mas Pram. Berharap Mas Pram yang akan menghubunginya terlebih
dahulu. Tapi ternyata harapannya palsu, Mas Pram benar-benar sudah tak
menghubunginya.
Walaupun kadang di malam hari, rasa rindunya
kembali mendera hebat. Ia ingin tahu kabar Mas Pram, ingin tahu keadaannya.
Sedang apa dia? Apakah dia sedang berdua
bersama istrinya, bercumbu sepanjang malam tanpa henti. Ataukah dia sedang
tamasya bersama keluarga. Atau justru mereka bertengkar hebat. Perempuan itu
ingin tahu.
Di hari sabtunya, perempuan itu sebenarnya masih
setia menunggu Mas Pram. Tetapi, Mas Pram tak datang.
Perempuan itu seperti seorang pesakitan yang
kekurangan obat. Hatinya tiba-tiba ngelu.
Setelah sekian lama dia mencintai Mas Pram dan menutup-nutupi hubungan mereka.
Dia yang selalu deg-degan setiap bertemu dengannya. Dan sepertinya hormon norepinephrine telah benar-benar bekerja
sempurna setiap dia bersama Mas Pram. Hormon itu menyebabkan detak jantungnya
meningkat serta bingung harus berkata apa saat bersama dengan Mas Pram.
Tetapi kini, hormon itu tak lagi berfungsi.
Berhari-hari dia tak doyan makan. Warungnya tutup.
Dia tak lagi menari setiap pagi dan sore hari, kebiasaan yang belum pernah dia
tinggalkan. Tetapi, Mas Pram telah memporak-porandakan hidupnya. Beberapa
pelanggan yang datang tak ia layani. Dia membisu dan tidak memiliki gairah
lagi.
Sebulan sudah waktu itu berlalu. Mas Pram pun tak
ada kabarnya lagi. Perempuan itu perlahan mulai untuk menata hidup kembali.
Mungkin dia memang harus benar-benar melupakan Mas
Pram.
Dia mulai menyibukkan kembali dengan rutinitasnya.
Mulai mencoba untuk mengembalikan feel-nya
untuk menari. Dan entah karena apa, dia mulai tak menangis lagi saat menari di
pagi dan sore hari. Dia justru tersenyum, bergembira meski kadang rasa sesak
masih ada di dada.
Hanya matahari yang kini masih setia menemaninya,
menemani kesendiriannya. Tamu-tamunya kembali melihat senyum manisnya. Senyum
yang dulu sempat membuat lelaki seperti Mas Pram jatuh hati, kemudian membina
hubungan dengannya meski terlarang.
Dan ternyata bukan hanya matahari yang kini
menemaninya.
# # #
“Namanya
Galih, Mak,” kataku pada Mamak.
Akhirnya aku memutuskan pulang. Menemui Mamak dan
Roro, tentunya bukan karena hal lain. Tak ada alasan lain selain mereka.
“Bukannya kemarin Pram?”
“Sudah ganti, Mak. Sekarang namanya Galih. Dia
bekerja di pemerintahan.”
Mamak tak banyak komentar mengenai Galih. Mamak
memang bukan tipe orang yang mau ikut campur urusan orang. Bukan pula orang
yang ingin sok tahu. Hidupnya lurus saja. Bahkan karena terlalu lurusnya,
beliau sampai tidak tahu bahwa lelaki yang ia cintai selingkuh dengan wanita
lain.
Setelah setahun melupakan Mas Pram, kini aku dekat
dengan Galih. Entah bagaimana awalnya, Galih datang di saat yang tepat. Dia
datang dengan sejuta rasa cintanya. Meskipun jujur, awalnya aku tidak terlalu
tertarik dengannya. Aku tahu dia mendekatiku.
Yang membuatku bingung adalah mengapa lelaki
baik-baik seperti dia, yang kuanggap lurus dan tidak mungkin main perempuan, bisa
jatuh cinta dengan seorang perempuan pekerja malam sepertiku. Akal logikaku
masih belum bisa menerima. Dia tipe pria baik-baik yang memilih diam jika tidak
diajak bicara. Dia tipe pria yang disukai ibu-ibu mertuanya.
Tetapi pria pendiam itulah yang suatu malam dengan
beraninya melamarku. Saat dia datang malam-malam basah kuyup sepulangnya
bekerja.
“Aku bekerja untuk kamu, untuk membangun keluarga
bersama kamu. aku tidak peduli siapa kamu, apa pekerjaanmu. Tetapi yang
kuminta, jika kamu benar-benar mau bersamaku, berhentilah dari pekerjaan ini
dan jadilah milikku seutuhnya,” ucap Galih waktu itu.
Ingin rasanya aku menangis waktu itu. Setelah
sekian lama, lelaki hanya menginginkan tubuhku saja, untuk memuaskan nafsunya,
masih ada orang seperti Galih, atau Mas Pram. Yang
menerimaku apa adanya.
Ah, Mas Pram. Mengapa kamu masih ada di hatiku
hingga kini.
Dan aku berpikir, aku memang seharusnya mulai
memikirkan masa depanku. Iri rasanya melihat perempuan-perempuan bersama
suaminya pergi bersama, bercanda bersama buah hatinya. Ingin rasanya aku
seperti itu. Dulu aku ingin menikmati hal itu bersama Mas Pram.
“Aku ikut
bahagia, Nur, kamu sudah memilih lelaki terbaik menurutmu. Mamak hanya bisa
berdoa agar kamu selalu bahagia.”
Aku menatap Mamak. Wanita itu seperti kehilangan
cahayanya setelah ditinggal suaminya.
Padahal jelas-jelas suaminya sudah selingkuh dengan wanita lain. Sudah
jelas-jelas waktu aku masih kecil, suaminya selalu pergi tak pernah pulang.
Tetapi wanita itu masih setia, masih menunggu, hingga siksa batin kemudian
membuka matanya.
Mungkinkah itu yang dirasakan istri Mas Pram, kesepian. Sementara suaminya
bersama orang lain.
Aku kembali menepis pikiranku tentang Mas Pram.
“Padahal Mamak ingin mengenalkanmu dengan anaknya
teman Mamak. Dia seorang guru dan sedang mencari seorang istri.”
“Galih juga lelaki yang baik kok Mak. Tidak
seperti...,” kugantung kalimatku. Bayangan Bapak dan Mas Pram bergantian
berkelebat.
“Kamu masih membenci Bapakmu?”
Bapakku? Bapakku yang selingkuh?
Lalu apa bedanya dengan Mas Pram? Pikiranku yang
lain tiba-tiba bertanya. Aku diam. Entahlah, mungkin memang cinta tak butuh
logika dan kadang hidup memang tak butuh untuk berpikir tentang hal-hal seperti
itu.
“Mamak dan Roro akan ziarah ke makam Bapak sore
ini. Kamu mau ikut?”
# # #
Untuk pertama kalinya aku mendatangi makam Bapak.
Untuk pertama kalinya kutabur bunga ke atasnya.
Untuk pertama kalinya, aku meneteskan air mata.
Bapak, pernahkah kamu tahu. Dulu sewaktu kecil aku
sangat merindukanmu ketika kamu pergi dan tak pulang-pulang. Pernahkah kamu
tahu sampai detik ini aku masih marah karena dulu kamu pernah tak datang ke
ulang tahunku. Padahal kamu sudah berjanji membawa boneka. Bahkan bakso dan
jalan-jalan yang kamu berikan tak bisa mengobati luka di hatiku.
Bapak, pernahkah kamu tahu. Sampai sekarang aku
masih mengingatnya.
Bapak, pernahkah kamu tahu, aku merindukan sosokmu.
Aku butuh perhatianmu.
# # #
Aku pulang ke Jogja setelah seminggu berada di
Semarang. Selama di sana, kuajak Mamak dan Roro jalan-jalan.
“Nur, kamu kerja apa sih di Yogya?”
tanya Mamak suatu sore. Entah mengapa Mamak tiba-tiba menanyakannya.
“Resepsionis hotel, Mak. Tapi nanti setelah menikah
dengan Mas Galih, aku akan berhenti jadi resepsionis Mak. Aku mau buka sanggar
tari saja.”
Mamak tak lagi banyak bertanya setelah kujawab.
Mungkin dia hanya iseng bertanya. Yang jelas, dia seperti bangga padaku. Itu
terlihat dari sorot matanya yang berbinar.
Oh, matahari, ingin rasanya aku segera menari di
bawah sinarmu di gumuk pasir. Aku ingin menangis di sana.
Matahari, pernahkah kamu tahu, tetes air mataku
belum seutuhnya bisa menghapus dosa-dosaku. Itu justru mengingatkanku, betapa
apa yang kulakukan hanyalah tabungan-tabungan dosa dan karma. Betapa aku telah
melukai banyak sekali hati para istri yang tak mengerti kelakukan suami mereka
bersamaku.
Galih mungkin yang nanti menjadi ujung dari
pencarian jati diriku. Dia mungkin adalah titisan Tuhan untukku. Galih bukanlah
sosok yang sempurna, tetapi setidaknya kini hatiku telah memilihnya.
Dia lelaki yang baik, sejauh ini aku mengenalnya
seperti itu. Tidak neko-neko. Bahkan
menyentuh tanganku saja dia tidak berani. Apalagi menciumku.
Walaupun sampai detik ini, saat Galih sudah di
hatiku, nama Mas Pram masih melekat juga. Terselip di antara berjuta darah yang
mengalir.
Akhirnya aku kembali ke rumahku di Parangkusumo.
Langit masih cerah, matahari masih bersinar. Ingin rasanya aku menari kembali
di bawahnya. Menikmati sisa-sisa sore sebelum nanti malam Galih datang
menjemputku. Kami akan jalan-jalan berdua.
Galih tipe lelaki yang romantis. Masih kuingat
dengan jelas bagaimana dia akhirnya memutuskan melamarku di tepi pantai saat
bulan purnama sedang terang-terangnya. Dia berlutut di depanku. Memintaku untuk
mendampingi mengarungi kehidupan bersamanya.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju rumah Mbak
Anis yang terletak tepat di depan rumahku. Kemarin sebelum pergi ke Semarang,
kutitipkan kunci rumah kepadanya. Aku meminta tolong agar setiap sore lampu
rumah dinyalakan.
Kuketuk pintu rumah Mbak Anis. Sepi. Tidak seperti
biasanya. Padahal ini malam minggu. Biasanya warung Mbak Anis sudah ramai
pelanggan. Tapi kini sepi. Apakah Mbak Anis pergi?
Tapi pintu depan seperti tidak dikunci. Kuberanikan
untuk masuk, siapa tahu Mbak Anis sedang memasak di dapur dan tidak mendengar.
Sepi. Tak ada orang. Di depan kamar Mbak Anis aku
berhenti. Aku tahu itu kamar Mbak Anis, karena hanya itu satu-satunya kamar di
rumah ini. Terdengar bunyi berisik di dalam kamar itu.
Mungkin Mbak Anis sedang menjamu tamunya.
Memang benar, terdengar bunyi derit tempat tidurnya
yang lumayan keras hingga ke luar.
Juga suara Mbak Anis yang kadang manja, kadang merintih,
diselingi tawa kecil seorang lelaki.
Tubuhku mengejang, aku seperti mengenal tawa itu.
Kuintip kamar Mbak Anis melalui celah pintu yang ternyata sedikit terbuka. Di
sana kulihat Mbak Anis bersama seorang lelaki, berdua saja, tanpa busana.
Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku mengejang.
Ingin aku segera pergi ke belakang rumah, menari di atas gundukan pasir di
bawah matahari. Ingin rasanya kunikmati itu sendiri. Lalu menangis
sejadi-jadinya. Cincin yang diberi Galih malam itu, di pantai saat melamarku,
tiba-tiba lepas dari jari manisku.
# # #
Catatan:
(1)
penguat dalam pernikahan
(2)
bukan harta atau fisik
(3)
tetapi hatilah modal utamanya
(4)
sekali jadi, jadi selamanya
(5)
jika mudah, semakin gampang
(6)
jika sulit, sulitnya bukan main
(7)
tak bisa ditebus dengan harta
Nebaca lirik di atas agak merinding aku, sukses buat tulisannya
ReplyDeleteTerimakasih kedatangan dan komentarnya.
DeleteTunggu dongeng-dongeng lainnya.
Salam Ndongeng.
Wira
Gatau kenapa, malah sedih sekali di bagian jalan-jalan ke kebun binatang :(
ReplyDeletewah, yang ini agak mistis juga.
ReplyDeletehmm, matahari bisa jadi inspirasi ya untuk perempua di cerita ini :)