INTRO
Musik : Tentang Cinta, Ipang
Sekilas
tentang dirimu yang lama kunanti, memikat hatiku, jumpamu pertama kali. Janji
yang telah terucap, tuk satukan hati kita, namun tak pernah terjadi.
# # #
Ini cerita
tentang Dewandaru. Kami bukan siapa-siapa. Maksudku, sampai detik ini kami
hanya...mungkin...teman. Tapi dulu kami saling memiliki. Dulu, dulu sekali. Saat
kami berdua masih sibuk dengan apa yang namanya Integral dan Logaritma. Masih
sibuk dengan apa yang namanya praktikum dan tugas-tugas lainnya.
Dia. Dia yang
pernah berhasil membuat pagiku seperti disengat semangat tegangan tingkat
tinggi, saat aku sendiri benar-benar tak ingin pergi kuliah dan bertemu dengan
Profesor Nakamura, dosen Jepang yang aksen Indonesianya saja sudah membuatku
pusing.
Dia. Dia yang
selalu hadir tepat waktu di pagar kosanku dengan motor birunya dan menanti
dengan setia saat aku harus sibuk dengan rambut, hidung berminyak, tangan yang
kasar, warna lipstik, dan kebingungan saat harus memilih antara ‘tas cokelat
bermotif bunga-bunga kecil atau besar, atau justru memakai tas tak bermotif
berwarna hitam atau kuning. Atau mending tak memakai tas.’.
Dia tak
pernah mengeluh.
Dia selalu
menjadi yang terbaik.
Mungkin 6
tahun ini aku sedikit lupa tentang dia. Tentang semua kisah yang telah ada.
Namun sore itu, saat aku duduk seorang diri di Cafe Cokelat, dia tiba-tiba
datang. Dia yang menguak semua tentang kenangan.
Tapi dia
tidak sendirian.
# # #
“Mana
pensilnya?”
Aku
menyorongkan pensil HB ke arahnya. “Masih lama?” tanyaku.
“Sebentar
lagi,” jawabnya pelan. “Tugasmu sudah selesai?” tanyanya lagi.
Aku
mengangguk kecil. Dewandaru mengusap rambutku pelan sambil tersenyum kecil.
Langit sudah mulai gelap, namun suasana di Perpustakaan Pusat Kampus masih
ramai. Menjelang akhir semester ini, dosen sering kali membuat pekerjaan yang
gila-gilaan. Belum lagi tugas bertumpuk-tumpuk yang menjadikan mahasiswa harus
lembur tak kira-kira.
“Berjanjilah
padaku, Ru.”
“Apa?”
“Untuk
selalu seperti ini.”
Dewandaru menghentikan
pekerjaan menggambar garis di bidang putih di depannya. Garis-garis yang
membentuk perspektif gedung lama di daerah Nol Kilomenter. Sebagai calon
arsitektur, Dewandaru memiliki tangan yang terampil. Dari tangan-tangannya
menghasilkan gambar-gambar yang nyaris sempurna dan membuatnya tak pernah
memiliki nilai di bawah A-.
“Selalu di
dekatku,” sambungku. Dia hanya mengangguk memberi janji. “Meskipun kita
berbeda.” Aku menunduk.
Dewandaru
menatapku. Dia pasti sudah tahu maksudku. Tapi dia hanya diam.
“Aku akan
selalu mencintamu. Percayalah.” Dia mengusap rambutku lagi.
“Ya, aku
percaya.”
Waktu itu
aku memang sangat percaya dengan semua ucapannya. Aku mencintainya, dia
mencintaiku. Cukup, itu cukup membuatku percaya kepadanya.
Hanya saja,
aku memiliki Al Quran.
Dan dia
memiliki Injil.
Tapi aku
percaya, cinta selalu ada di keduanya.
# # #
Tak pernah
ada yang lebih baik dari Dewandaru. Dia tipe lelaki yang selalu mencintai
wanita seutuhnya. Mungkin itu karena sejak kecil dia selalu hidup bersama
ibunya. Ayahnya sudah meninggal ketika dia beumur 8 tahun. Sejak saat itu ibunya
tak pernah lagi menikah. Mereka hidup berdua saja di ibukota. Hal inilah yang
membuat Dewandaru selalu memperlakukan aku sangat sopan. Dia tak pernah
melukaiku, dia tak pernah sedikitpun membuatku kesal. Jika sesekali dia
melakukannya, dia akan meminta maaf dengan cara-cara yang membuatku patut untuk
memaafkannya.
Dewandaru,
dia kukenal dari Semester Satu. Kami beda jurusan. Dia temannya teman
sejurusanku. Sejak saat itu, kami benar-benar seperti dua kutub magnet yang
berbeda. Saling tarik menarik. Dia yang melingkarkan cintanya kepadaku di suatu
malam. Meskipun kita sama-sama tahu, kita berbeda.
Aku tahu,
dia bukan seseorang yang taat. Jika tidak kupaksa-paksa untuk ke Gereja, dia
tak pernah mau. Akhirnya aku yang mengantarkannya. Aku memilih menunggunya di
depan Gereja, menunggunya untuk berdoa.
“Jika tidak
pernah meminta, mana mungkin di kasih. Apa doamu pagi ini?”
“Aku berdoa
agar kita selalu bersama.”
“Tuhanmu akan
mengabulkanmu.”
“Kamu
meminta apa pada Tuhanmu shubuh tadi.”
“Aku meminta
yang sama.”
“Apakah
Tuhan kita berbeda?”
“Entahlah.
Tapi aku tak peduli.”
Dan dia akan
gantian menemaniku ke Masjid Kampus untuk mengikuti Kajian Putri saat akhir
pekan. Dia akan duduk sendirian di selasar masjid, ditemani kertas gambarnya
yang sudah penuh dengan coretan.
Dan suatu
sore, dia menggambarkan aku sebuah masjid. Ada dia di sana, sedang menunggu.
# # #
Aku selalu
percaya bahwa setiap kenangan itu tak akan pernah bisa dihapus. Akan selalu
ada. Akan selalu ingat nantinya. Belum lagi kenangan tentang dia yang sangat
spesial.
Tapi, tak
pernah ada yang bisa mengerti apa yang telah digariskan oleh-Nya. Mungkin Tuhan
kami benar-benar berbeda. Aku dan dia berpisah di akhir semester. Aku menangis
seharian, tak pernah mau dengan keputusan ini.
Buatnya, ini
yang terbaik.
Aku yang
salah.
Ayahku tak
pernah setuju dengan hubunganku dan Dewandaru.
Jadi, ini
hanya sesaat?
Kami
memutuskan dengan sangat dewasa saat itu. Kami berpisah baik-baik. Tak pernah
ada permusuhan. Tak pernah ada pertikaian.
Aku hanya
percaya Tuhanku. Dia percaya Tuhannya.
Aku
mengikuti ayahku. Dia mengikuti ibunya. Karena kita berdua sama-sama tak ingin
melukai orang tua, meskipun cinta kami benar-benar sangat besar. Sangat besar.
Kami juga
tak ingin melukai Tuhan yang telah menghadirkan cinta yang luar biasa. Kami tak
ingin mengkhianati Tuhan kami masing-masing.
Tapi...jejak
yang dia tinggalkan di hatiku sangatlah dalam. Bahkan sampai detik ini.
# # #
Memang aku tak slalu, hadir dalam mimpi
indahmu. Mungkin aku tlah berlalu, jadi kenangan yang tak kau banggakan.
Tapi bagiku cinta, adalah harta yang
tersimpan.
Jejak langkah yang kau tinggal, mendewasakan
hatiku. Jejak langkah yang kau tinggal, takkan pernah hilang slalu. Begitulah
cintaku...(Lirik: Jejak Langkah, Glenn)
“Hai...”
sapanya. Dia masih seperti dulu. Mempesona.
Apa jadinya
jika kamu bertemu dengan mantan kekasihmu dan dia masih seperti dulu, sangat
mempesona. Apa jadinya jika dia justru malah bertambah oke dan membuat hatimu
sedikit berdesir lagi. Apa jadinya jika tiba-tiba semua kenangan tentang dia
bermunculan di otakmu, lalu memaksamu mengingat semua kenangan manis tentang
dia. Apa jadinya jika kamu bertemu lagi di depan mata. Apa jadinya jika, masih
ada sedikit rasa di hatiku untuknya.
“Kenalkan,
ini calon istriku.” Dia memandang wanita di sebelahnya. “Veira, kenalkan ini Karlita,
teman kuliahku dulu.”
Teman kuliahku dulu?
Aku menjabat
tangan Veira. Ada rasa cemburu yang tiba-tiba menyesap ke dada. Jadi wanita ini
yang telah mengisi hari-hari Dewandaru selama ini.
“Kamu
sendirian?” tanya Dewandaru.
“Suamiku
sedang dalam perjalanan ke sini. Menjemputku.”
“Oh, iya?”
“Nanti akan
aku kenalkan.”
“Harus.”
Mereka permisi.
Semoga mereka
putus, astaga, apa yang kupikirkan.
Semoga
mereka bahagia, ralatku.
# # #
Mau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah
satu. Engkau di sana, aku di sini, meski hatiku memilihmu. Andai ku bisa ingin
aku memelukmu lagi. Di hati ini hanya engkau mantan terindah, yang selalu
kurindukan. (Lirik Mantan Terindah, Kahitna)
Apakah kamu
punya mantan kekasih, yang sangat istimewa dan susah melupakannya?
*) judul cerita ini terinspirasi dari judul lagu glenn, Jejak Langkah
saat ketemu mantan, dia selalu terlihat lebih oke, lebih menawan. Susah untuk menolak kenangan yg memaksa muncul lagi, kalo udah ketemu ._. *curhat
ReplyDeleteTerkadang memang apa yang sudah hilang selalu lebih menarik, meskipun kita sudah ada yang baru :)
DeleteAku suka gaya penyampaiannya. Buatku sederhana, tapi aku jadi paham betul peliknya keadaan di ceritanya. Ah..aku aja yang belum pernah pacaran, jadi sakit hati bacanya. Kasian yg mengalami hal begini :(
ReplyDeleteAda beberapa orang di sekitar saya yang mengalami hal serupa. Dan ada yang bertahan, ada juga yang tidak.
DeleteKeep Reading.
W I R A
keren tulisannya. cinta beda agama emang selalu sulit ya.
ReplyDeleteThank you. Keep reading.
Delete