Sebutkan satu alasan mengapa kamu
mencintai seseorang? Perhatiannya? Kepribadiannya? Dia ganteng? Dia kaya? Kalau
kamu bertanya kepadaku mengapa aku mencintainya, aku akan menjawab karena
matanya. Mungkin ini adalah alasan paling klise yang pernah kamu dengar, tapi
sungguh itulah alasanku mencintainya.
Ya mestinya kita sadar bahwa mencintai
seseorang harusnya tanpa alasan.
Seperti kita mencintai Tuhan, apakah
butuh alasan? Tapi baiklah, aku tetap mencintai dia karena matanya.
Awal aku bertemu dengannya saat sore
hari sepulang kuliah. Matahari masih muncul sedikit. Aku mengendari motorku
perlahan sembari menikmati suasana sore di jalanan kota Yogyakarta. Sambil
kuhitung satu persatu lampu merah yang kulewati, aku bersenandung lagu-lagu
kesayanganku. Ada satu lagu yang sangat kusuka karena liriknya yang menyayat
hati. Kuulang-ulang lagu itu saat aku berhenti di lampu merah. Berarti aku akan
bersenandung lebih dari 15 kali. Dan di lampu merah yang ke delapan dari
kampusku, aku melihatnya.
Dia berdiri seorang diri tak jauh dari
lampu merah. Awalnya aku tak mengacuhkannya. Dia sama seperti orang lain di
sekitaran lampu merah Gondokusuman. Membawa gitar, bersenandung lirih tanpa
henti. Yang membedakannya dengan yang lain, dia hanya berdiri saja mematung.
Sementara yang lain sibuk menghampiri mobil dan motor yang berhenti sembari
menyodorkan gelas AQUA yang sudah kosong, berharap ada uang recehan yang
bergulir ke sana.
Tapi dia tidak. Dia hanya diam saja
dan bersenandung sendiri. Aku yang saat itu tepat berada di dekatnya sedikit
menikmati suaranya yang ternyata sangat merdu. Lalu aku tak sengaja menatap
matanya dan mungkin dia menatapku juga, mungkin. Mata itu menyorotkan sinar
yang berlainan, tapi justru aku tenggelam di dalamnya.
Semenjak saat itu, aku jadi sering
memperhatikannya setiap kali menunggu lampu merah di Gondokusuman. Aku sengaja
menghentikan motorku di dekatnya, lalu kudengar lamat-lamat dia bernyanyi.
Orang-orang melempar uang di depannya. Dan dia pun membiarkan suara-suara
bergerincing di dekat kakinya.
Oh iya, namanya TARA.
Dan ternyata dia buta.
TARA
Aku pernah jatuh cinta sekali saja.
Itupun kurasa hanya cinta monyet saat aku masih duduk di bangku SMP. Aku
mencintai seorang gadis tetangga kelas yang pandai sekali menari. Setiap gadis
itu mengikuti ekstrakurikuler menari, aku selalu datang menonton. Lalu aku pun
berkesempatan untuk berkenalan dan dekat dengannya. Aku jatuh cinta kepadanya
tanpa alasan. Aku tak mengerti mengapa aku begitu bersemangat saat dekat
dengannya. Tubuhku seperti disuntik berton-ton semangat saat dia memandangku,
tersenyum padaku, atau hanya berpapasan denganku.
Suatu hari kubuatkan dia lagu. Aku
memang mencintai musik dan bagiku musik adalah jiwaku. Lalu dengan gitar
kesayangan yang dihadiahi oleh ayah saat aku berusia sepuluh tahun, aku
menciptakan lagu untukku. Seperti saat ayah menciptakan lagu untuk ibu.
Bedanya, aku bisa bernanyanyi laguku itu untuk gadis pujaanku. Sementara ayah
tidak, ibu meninggalkan kami karena dia menikah lagi dengan seorang pria yang
lebih kaya dari ayah.
Aku dan ayah hidup pas-pasan saja di
dekat Malioboro. Kami hidup seadanya. Tak ada baju bagus, tak ada rumah
berlantai marmer, tak ada buku-buku bagus. Satu-satunya barang yang berharga
yang kumiliki hanyalah gitar pemberian ayah. Itupun dibeli ayah dengan hasil
jerih payahnya menabung. Ayah seorang kuli panggul di Malioboro yang
berpenghasilan tak lebih dari limapuluhribu sehari.
Tapi karena ayahlah aku menjadi lelaki
yang tangguh, tidak cengeng. Karena ayahlah, aku jadi lebih bisa mengejar
cintaku. Ayah bilang: cukuplah ia yang menahan sakit karena ibu, aku tak boleh
begitu. Dia mengajarkan aku tentang rasa cintanya padaku. Dia yang mengajarkan
aku tentang rasa tak sakit hati. Ayah sampai detik ini masih mencintai ibu. Tak
pernah sakit hati sedikitpun.
Bukankah itu makna cinta yang
sebenarnya, ketika kita merelakan orang yang kita sayangi bahagia.
Suatu ketika saat pelajaran fisika di
sekolah, mataku terciprat gas entah apa itu. Mataku perih sekali. Aku mengerang
kesakitan karenanya. Aku memejamkan mata erat-erat. Dunia di sekelilingku
gelap. Semua gelap. Sampai detik ini. Aku tak lagi bisa melihat ayah, aku tak
lagi bisa melihat gadis pujaanku. Dan perlahan aku merasa frustasi dan putus
asa.
Tapi ayah menyemangatiku. Aku harus
tetap menjadi yang terbaik. Namun, ayahpun ikut menyerah dengan keadaan. Dia
tak lagi sanggup membiayaiku sekolah setelah punggungnya sakit saat menggendong
barang yang begitu berat. Ayah jatuh dan tidak bisa jalan beberapa hari.
Semenjak itu, aku tak lagi sekolah.
Aku berdiri di sini. Bernyanyi karena dengan begitulah aku bisa terus merasa
bahagia.
SILA
Aku akhirnya memberanikan diri untuk
berkenalan dengan tara. Astaga, apakah dia menganggapku wanita hina. Aku yang
mendatanginya, lalu memintanya menyanyikan sebuah lagu. Lalu aku bertanya
namanya, kami mengobrol sebentar. Dia sangat menyenangkan. Belum pernah aku
menemukan lelaki menyenangkan seperti itu. Atau mungkinkin aku sudah terlalu
lama menikmati kesendirian, setelah beberapa tahun lalu aku dikhianati. Setelah
aku patah hati.
Mungkin, hati seseorang yang terlalu
lama sendiri gampang tersentuh. Mungkin, hanya dinyanyikan lagu saja sudah
tersentuh. Aku tersentuh karena suaranya yang merdu.
Aku menyukai matanya yang cokelat,
sangat cokelat. Meskipun aku tahu dia buta. Dan dia tak melihatku.
TARA
Suatu hari aku dihampiri oleh
seseorang. Dia memintaku untuk berdendang. Aku bertanya kepadanya, lagu apa
yang ingin kamu dengarkan. Lalu dia berkata bahwa dia ingin mendengarkan lagu
RUANG RINDU. Aku belum pernah didatangi wanita seperti ini dan meminta lagu.
Yang datang hanya orang-orang yang sekedar lewat dan melempar uang. Tak pernah
meminta lagu. Mungkin satu-satunya wanita yang meminta lagu adalah wanita
pujaanku yang sudah lama tak kulihat. Kemana dia aku pun tak tahu. Apa kabarnya
dia? Ah, sudahlah kata ayah aku tak perlu merisaukan wanita pujaanku.
Bukankah Tuhan telah memberikan tulang
rusuk dengan sempurna. Jikapun dia patah dan menjelma menjadi wanita, nanti
tulang rusukku akan menemukan saudaranya yang patah itu. Tak akan tertukar. Tak
akan terganti.
Namanya Sila, wanita yang meminta lagu
itu. Dia mengajakku mengobrol. Ah, sudah berapa lama aku tak mengobrol dengan
wanita. Awalnya aku ingin cuek saja, toh aku tak mengenalnya. Tapi mendengar
dia tertawa, bercerita, akupun terbawa suasana.
Lalu dia pergi, dan berjanji akan
datang lagi meminta lagu.
SILA
Ada episode-episode dramastis di
kehidupan ini yang harus kita lewati, salah satunya adalah ketika menjadi
mahasiswa. Menurutku ini adalah episode menentukan dalam hidup.
Harus memilih jurusan yang tepat,
harus berkarya yang hebat, harus mengasah softskill,
lulus cepat, dan memilih kerja yang tepat. Bagi orang biasa sepertiku, yang tak
terlalu punya modal untuk tetek bengek, aku harus bekerja ekstra keras selama
kuliah. Menjadi pengajar bagi anak-anak SD dan SMP yang membutuhkan les privat.
Membantu orang tua mencari modal agar kuliahku tak terbengkelai.
Kehidupan kuliah mengajarkan aku
tentang bagaimana caranya bertahan hidup dan tidak cengeng. Tapi aku
menikmatinya. Aku menabung, untuk nanti sebagai bekalku kuliah di luar negeri.
Ya, aku ingin sekali kuliah S2 di luar negeri. Mungkin aku akan mencari
beasiswa, mungkin aku akan berkerja lebih ekstra. Kadang aku merasa, hidupku
terlalu melelahkan. Hidupku terlalu berat.
Tapi semenjak aku bertemu dengan Tara,
aku jadi mengerti. Hidupku lebih baik, mengapa aku harus mengeluh. Apalagi, aku
tak tahu mengapa, ada semacam candu di Tara yang membuatku tertarik. Mungkin
ada dua hal : suara dan matanya. Mungkin aku tertarik padanya.
Rasanya seperti mendapatkan suntikan
semangat berkarung-karung, saat pulang kuliah mengobrol dengannya lalu
mendengarnya bernyanyi.
TARA
Mengapa dia jadi selalu datang?
Apakah dia sebenarnya adalah wanita
pujaanku yang hilang? Apakah dia tak mengenaliku lagi? Tapi aku yakin itu bukan
dia. Wanita ini kurasa...lebih menarik. Suaranya renyah. Selalu tertawa setiap
bercerita. Dia mengaku dia sebagai seorang perawat yang bekerja di salah satu
rumah sakit di Yogyakarta.
Aku menjadi suka mengobrol dengannya.
Lalu malam ini, aku membuatkannya
sebuah lagu.
Aku
ingin melihatmu, bidadari tanpa sayap yang diturunkan Tuhan dari surga
Aku
tak ingin sekedar mendengar suaramu yang menjadi candu
SILA
Aku berbohong kepadanya. Aku mengaku
bahwa aku seorang perawat di salah satu rumah sakit. Ah, padahal aku hanyalah
seorang mahasiswa biasa. Yang saat ini masih merajut mimpi-mimpi.
Suatu malam, aku berjanji kepada
diriku sendiri, aku ingin membantu dia agar bisa kembali melihat dunia.
Kabarnya operasi memang mahal dan aku tahu dia bukan dari keluarga berada.
Begitu juga aku.
Maka di setiap doaku malam-malam hari,
kepada Tuhan aku selalu meminta : Tuhan,
ijinkan aku kuliah S2 di luar negeri. Aku ingin menjadi tanganMu yang
mengulurkan ilmu-ilmu yang kupunya. Aku ingin jadi dosen. Kabulkanlah doaku
ini. Dan Tuhan, ijinkan Tara kembali melihat dunia. Ijinkan mimpinya untuk
memiliki Toko Alat Musik kesampaian. Bagaimanapun caranya. Jika kamu
mengijinkan aku kembali menjadi tanganMu untuk membantunya, maka kuatkan
tanganku. Kuatkan tekadku. Karena aku mencintainya Tuhan. Amin.
TARA
Sore itu dia kembali datang. Dan kami
mengobrol seperti biasa. Ini adalah obrolan terpanjang yang kami lakukan sejak
kali pertama bertemu. Dia bercerita tentang kegiatannya, tentang
mimpi-mimpinya. Tentang rencananya untuk sekolah lagi di luar negeri. Dia
wanita yang luar biasa.
Apakah aku salah jika aku kini
mencintainya.
Lalu, kunyanyikan lagu ciptaanku
kepadanya. Saat aku berhenti bernanyi, kudengar dia tak berkomentar apa-apa. Aku
bertanya, mengapa kamu terdiam.
“Aku menangis Tara. Lagu itu indah
sekali.”
Aku tertegun. Baru kali ini ada wanita
yang tersentuh dengan laguku. Apakah Tuhan telah menemukan tulang rusukku yang
patah?
SILA
Dia membuatkanku sebuah lagu. Lagu
yang indah. Apakah aku harus menjelaskan lagi mengapa aku mencintainya? Ini
bukan tentang bagaimana alasan kamu mencintai seseorang? Ini bukan bagaimana
kamu ingin memiliki? Tapi ini tentang jatuh cinta.
Cinta memang tanpa alasan.
Mencintai Tuhan haruskah beralasan?
Begitu juga aku mencintainya. Aku jatuh
cinta. Jika mata, suara, dan lagu adalah cara Tuhan mengantarkan rasa cintaku
padanya, itu hanyalah sebuah metode. Sebuah alat.
TARA
& SILA
Sore hari. Masih di perempatan yang
sama.
Sila : “Aku punya kabar gembira
untukmu, Tara.”
Tara : “Katakan. Semua yang kamu
katakan membuatku gembira.”
Sila : “Sebelumnya, aku ingin
bertanya. Apakah kamu tak ingin melihatku?”
Tara : “Apakah perlu kuulang lagu yang
kubuat untukmu.” Lalu dia bernyanyi lagi. “Aku
ingin melihatmu, bidadari tanpa sayap yang diturunkan Tuhan dari surga. Aku tak
ingin sekedar mendengar suaramu yang menjadi candu...”
Sila : “Dan Tuhan mengabulkan doamu,
Tara.”
Tara : “Maksudmu?”
Sila : “Kamu akan dioperasi. Matamu akan
sembuh. Kamu akan bisa melihat dunia.”
Tara : “Bagaimana bisa? Operasi mahal...”
Sila : “Semua telah diatur oleh Tuhan.
Aku punya sedikit rejeki. Ijinkah aku membantumu. Ijinkan aku membantu kamu
melihat bidadariku.”
Tara diam. Sunyi.
Tara : “Jika ada orang yang pertama
kali ingin kulihat itu adalah kamu, Sila.”
TARA
Jika
ada orang yang pertama kali inin kulihat, itu adalah kamu, Sila. Bidadari
tanpa sayapku.
Tapi ternyata tidak. Aku tak pernah
melihatmu. Aku tak pernah tahu kabarmu lagi. Apakah Tuhan kembali menghilangkan
lagi bidadariku.
SILA
Aku diterima kuliah S2 di San
Fransisco melalui beasiswa, termasuk biaya kehidupanku di sana. Maka uang
tabunganku sebagian kuserahkan kepada Tara. Aku ingin dia segera operasi mata. Tapi
kabar gembiraku tak sempat aku sampaikan pada Tara. Aku pindah ke San Fransisco
satu hari sebelum dia operasi mata. Aku hanya memandangnya dari jauh saat dia
ditemani oleh ayahnya di rumah sakit. Tak perlu aku meninggalkan kesedihan. Biarlah
ini hilang sementara.
Jika memang kami adalah sepasang
merpati yang nantinya tinggal di sarang yang sama, pastilah aku nanti akan
pulang di sarang yang tepat.
TARA
Aku bisa melihat kembali. Ayahku.
Dunia yang kini ada. Tapi aku tak bisa melihat bidadariku. Dia lenyap. Luruh.
SILA
Dua tahun masa studi di San Fransisco
harus diperpanjang lagi. Karena aku mendapatkan beasiswa S3. Semakin lama aku
harus memendam rinduku padanya. Tara. Aku merindukanmu.
TARA
5 tahun tak bertemu denganmu,
Bidadariku. Apakah aku harus menunggu? Apakah aku harus memperjuangkan cintaku?
Bagaimana jika kamu tak sama-sama memperjuangkan?
Bukankah cinta adalah 2 orang yang
sama-sama berjuang.
Jika hanya seorang, itu hanyalah
penyiksaan batin si pejuang.
SILA
Bulan jatuh di matamu, Tara. Itulah
yang pertama kali membuatku jatuh cinta. Aku merindukan matamu. Apakah kini
kamu sudah bisa melihat dunia?
SILA
Namaku Sila.
Aku pernah jatuh cinta dengan seorang
pemuda yang tak bisa melihat dan dia pintar sekali menyanyi. Aku pernah
dibuatkan lagu olehnya.
Aku
ingin melihatmu, bidadari tanpa sayap yang diturunkan Tuhan dari surga. Aku tak
ingin sekedar mendengar suaramu yang menjadi candu...
Apa kabarnya kini?
Sudah hampir delapan tahun aku tak
melihatnya. Apakah dia baik-baik saja?
Meskipun kini aku sudah bersanding
dengan tulang rusukku yang lain, tapi aku masih mengingatnya. Tulang rusukku
adalah orang Indonesia juga yang kutemui saat di San Fransisco.
Kini aku sudah kembali ke Indonesia. Dan
perasaanku mendorong agar aku mencarinya, si Tara. Maka, iseng aku berkeliling
bersama suamiku dengan kedok jalan-jalan keliling Yogyakarta. Iseng kuputari
jalan-jalan, berharap bertemu Tara.
Dan aku memang menemukannya, di sebuah
toko musik—seperti yang ia idamkan dulu—bernama TARA MUSIC. Toko itu besar,
sangat besar, terletak di pinggiran jalan Malioboro.
Dia masih sama. Lebih tampan.
Matanya tetap indah. Cokelat. Dan kami
saling menatap. Seolah saling kenal.
SILA
& TARA
Tara : “Apakah kita pernah bertemu? Sepertinya
kamu tidak asing.”
Sila : “Tidak, kita tidak pernah
bertemu.” Sila berbohong.
Lalu dari dalam toko musik, keluar
wanita cantik berjilbab biru muda sambil menggendong anak kecil kira-kira
berumur 2 tahun.
Aku melihatnya. Dan dia menyadarinya.
Tara : “Oh, ini istri saya.
TARA
Tadi ada tamu di toko. Aku seperti
mengenalnya. Apakah dia bidadari yang selama ini aku cari?
SILA
Mencintai seseorang yang tak berbalas memang
menyakitkan.
Tapi lebih menyakitkan jika kita
mencintai seseorang dan kita tidak pernah bilang.
Kita tidak pernah memperjuangkan.
Dan kita tidak pernah tahu, apakah dia
mencintai kita atau tidak.
TARA
Bukankah itu makna cinta yang
sebenarnya, ketika kita merelakan orang yang kita sayangi bahagia. Seperti aku
merelakanmu, Sila.
Aku tahu, wanita yang datang ke toko
itu adalah kamu. Itu pasti kamu.
Kamu yang sore itu sudah bersama
suamimu. Mengapa kamu menghindariku?
Tapi sudahlah, Tuhan juga sudah
mengirimkan bidadari lain untukku.
aku terharu :(
ReplyDeleteTerimakasih :)
DeleteCinta akhirnya milih takdirnya masing-masing
ReplyDeleteSeperti biasa, dia tahu jalan yang mana yang bisa membuat bahagia
Deleteah kampret bener ini endingnya. nyesek gua. kisah cinta emang gak selalu berakhir bahagia sih. bagus bro cerpennya. cuma masih ada typo diatas. seperti "membuatkan lagu untukku", gua asumsikan ini seharusnya "membuatkan lagu untuknya"
ReplyDeleteTerima kasih koreksinya :)
Deletejatuh cinta karena mata itu nggak klise-klise amat kok.
ReplyDeletetapi keren nih gaya tulisannya! :))
eh bro, followback blog dong :)
Deletehohoho
Thank you...siap segera meluncur
Deletekeren mas. beda dengan gaya tulisan yang pernah saya baca. haha ini per-point of view. jadi unik. hehe.
ReplyDeletebtw, kamu dapet liebster award dari aku, cek disini ya miafajarani.com
Segera dibales liebter awardnya :)
DeleteKeren kak tulisannya, kagum :)
ReplyDeletekenapa cerita yang aku baca di sini (belum semua aku baca, sih), endingnya selalu nggak bersama?
ReplyDeletekebanyakan kisah cinta begitu bukannya?
DeleteAnjir. POV nya keren banget. Bisa aja lu nulisnya! Keren!
ReplyDeleteCasino - Bracket betting guide for your chance to win
ReplyDeleteThe Casino is a bsjeon.net unique 바카라 casino that has gri-go.com been around for over a decade. It has managed 나비효과 to offer great games such as Blackjack, Roulette https://octcasino.com/ and Video Poker,