Bagi Sandro Verdinan bertemu
dengan Deva Sailendra adalah suatu keharusan. Seperti minum obat alergi dari
dokter yang harus tuntas. Candunya melebihi menegak ekstasi kecil, tapi
perlahan-lahan menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Selama tiga tahun berjumpa
dengan Deva, sudah banyak pengalaman tak terduga yang membuatnya semakin ingin
dekat dengan Deva. Dua bulan terakhir, candu itu semakin kuat dan menjadi-jadi.
Bagi Sandro, Deva adalah candu
itu.
Dua minggu yang lalu, ketika event pameran dari salah satu merek otomotif nomer wahid di Indonesia sudah membuat otaknya mengepul, hanya satu orang yang bisa membangkitkan semangatnya. Dialah Deva. Setelah event selesai, Devalah orang yang kali pertama ia temui. Padahal hujan sedang mengguyur Jakarta dan ia sejujurnya bersyukur karena hujan tak menghancurkan event yang sudah ia garap tiga bulan terakhir dengan klien yang super rese.
Setahun yang lalu, saat ia baru
saja ditinggalkan oleh Ve karena gadis itu lebih memilih pria yang bekerja di
perusahaan oil and gas daripada
bersamanya yang hanya seorang Account Manager salah satu Event Organizer.
Hidupnya seperti sudah menjadi abu yang siap untuk ditabur ke lautan lepas,
tapi Devalah yang mengumpulkannya lagi lalu menempatkannya pada tabung bersih
nan wangi. Deva menyelamatkan hidupnya dengan tawa dan tingkah yang selalu
menyenangkan.Dua minggu yang lalu, ketika event pameran dari salah satu merek otomotif nomer wahid di Indonesia sudah membuat otaknya mengepul, hanya satu orang yang bisa membangkitkan semangatnya. Dialah Deva. Setelah event selesai, Devalah orang yang kali pertama ia temui. Padahal hujan sedang mengguyur Jakarta dan ia sejujurnya bersyukur karena hujan tak menghancurkan event yang sudah ia garap tiga bulan terakhir dengan klien yang super rese.
Mungkin dia memang sudah waktunya
mencintai orang lain selain Ve. Mungkin Deva dikirimkan oleh Tuhan di
kehidupannya agar ia sadar bahwa kehidupan harus tetap jalan. Ia tak boleh
rapuh, apalagi umurnya sudah menginjak 32 tahun. Umur yang seharusnya sudah ia
raih bersama istri dan anak-anaknya.
Tetapi dia masih sendiri di sini.
Ia masih bersama event-event di mall-mall, ia masih harus
tertawa palsu dengan klien saat bertemu, atau dia harus ikut karaoke dengan
rekan kerjanya yang masih berumur 25 tahun.
Dan diapun kini merasakan jatuh
cinta kembali.
Dia bergairah dengan bunga-bunga
cinta yang kembali hadir di kehidupannya. Dia mulai dipuji atasannya karena ia
terus mendapatkan tender dari klien-klien kelas kakap. Hal semacam itu efek
dari dirinya yang sedang jatuh cinta. Apakah cinta selalu membuatnya
bersemangat seperti itu?
Lalu, dia tersadar.
Ini tak mungkin terjadi. Cinta
ini seperti memakan buah simalakama. Ia tak mengakuinya salah, ia mengakuinya
pun salah.
Ini semua karena Deva.
Iya Deva Sailendra.
Bocah 4 tahun yang suka tersenyum
dan memiliki Ibu yang sangat manis. Deva adalah jelmaan ibunya, Violet.
Dan dia mencintai Violet. Lalu
apa jadinya jika Violet adalah istri dari sahabatnya, Arko?
# # #
VIOLET
“Berarti kamu yang jemput Deva?”
“Iya, biasanya juga seperti itu.”
“Makasih ya, Ndro, nggak tahu deh
apa jadinya kalau nggak ada kamu. Maaf banget merepotkan, ini bos tiba-tiba
kasih kerjaan lagi.”
“Siap, Tuan Puteri. Mau kujemput
sekalian atau...”
“Boleh deh, nanti aku WA ya.”
Dan sambungan terputus. Violet
menghela nafas lega. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan seharusnya dia
sudah jalan pulang menjemput Deva di rumah eyangnya. Tadinya dia berpikir akan
membiarkan Deva di sana sampai ia pulang kerja, tapi ia sudah cukup merepotkan
mamanya. Walaupun ia tahu, mamanya akan dengan senang hati merawat cucunya itu.
Untung ada Sandro yang bisa
dimintai tolong.
Violet menatap foto Deva,
dirinya, dan Arko—suaminya di frame foto yang sengaja ia letakkan di meja
kerja. Deva masih berumur satu setengah tahun dan baru saja akan belajar jalan.
Dan Arko masih terlihat sangat bahagia di foto itu.
Jika ia memandang foto itu
berlama-lama, pasti nantinya akan berakhir dengan tetasan air mata. Seluruh
kenangan bersama suaminya itu akan berloncatan di pikirannya. Senyumnya,
cemberutnya, caranya makan, caranya tidur yang kadang ngorok tapi tetap ia
rindukan.
Ia rindu pada Arko.
Ia rindu dicium.
Ia rindu dipeluk dan diberi
semangat.
Ia merindukan Arko, suaminya yang
meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan mobil di Tol Dalam Kota. Dan sampai
detik ini, ia tak bisa mengijinkan orang lain untuk mengisi ruang hatinya menggantikan
Arko.
Termasuk Sandro, sahabat Arko?
# # #
SANDRO
Sandro memperhatikan Deva yang
sedang berlarian mengejar bola. Ia terlalu keras menendang sehingga bola itu
terpelanting lumayan jauh. Namun, bocah itu tetap tertawa mengejarnya. Sandro
sendiri tetap berdiri di tempatnya dengan wajah sumringah.
Ini hari Minggu.
Dan biasanya dia memang sengaja
pergi ke rumah Violet untuk khusus bertemu dengan Deva. Untuk bermain-main
dengan bocah itu.
Dan untuk bertemu Violet.
Meskipun dia harus menekan
perasaannya. Tetapi melihat wanita dewasa itu menyuapi Deva, menyapu, atau
sekedar duduk santai dengan pakaian rumah membuat Sandro menelan ludah dan
bersemangat sepanjang hari.
Jadi jika hari Senin adalah hari
paling memalaskan sedunia, dia sudah menemukan obatnya di hari Minggu.
Violetpun selalu mengijinkan
Sandro untuk datang. Bahkan mengajaknya jalan-jalan.
“Bagaimana yang kemarin?” tanya
Sandro ketika Violet datang membawakannya jus jambu kesukaannya. Violet kini
hanya memakai celana pendek dan kaos santai. Sungguh pemandangan yang Sandro
suka.
“Yang kemarin yang mana? Banyak
hal yang kita obrolkan, Ndro. Suka linglung deh. Udah tua sih,” sindir Violet
yang disambut Sandro dengan monyongan mulut.
“Si Alvian. Dia sudah kontak kamu?”
Violet duduk di kursi teras sambil
memperhatikan Deva yang menendang bola. Kursi ini adalah spot terbaik di
halaman belakang rumahnya saat hari libur seperti sekarang.
“Sudah,” jawabnya.
“Lalu?”
“Tak ada lalu.”
Sandro menoleh ke arah Violet.
“Tak ada lalu?”
“Iya, tak ada lalu. Lagian
usahamu untuk mengenalkan teman-temanmu si para lajang itu kepadaku selalu
gagal. Orangnya aneh semua. Pertama dulu, Vicko. Anak manja seperti itu kamu
kenalkan kepadaku yang termasuk wanita karier nomer wahid di Jakarta? Becanda
saja. Kedua, Neo yang sudah berumur 45 tahun dan sempat menikah. Nggak perlu
kujelaskan kenapa aku menolaknya. Lalu, Andre, yang playboy dan tangannya sudah
ke mana-mana pas ketemu pertama kali. Siapa lagi itu?” Violet tampak
mengingat-ingat nama-nama yang pernah dikenalkan kepadanya.
“Kamu terlalu pemilih.”
“Apa? Pemilih? Pertama, aku
bukannya pemilih tapi Arko sudah terlalu sempurna untuk digantikan orang lain.
Kedua, kualitas orang-orang yang kamu kenalkan nggak ada yang bisa di atas
rata-rata?”
“Ya, kamu....”
“Syuuuttt...kamu stop deh nyariin
aku pendamping hidup. Aku baik-baik saja. Kamu mendingngan nyari buat kamu
sendiri. Sudah 32 tahun...eh salah bulan depan 33, kan? Jangan-jangan kamu juga
yang pemilih. Coba katakan padaku, apa kriteria wanita idamanmu. Sekarang
giliran aku yang nyariin jodoh buat kamu.”
Seperti kamu,
batin Sandro. Dan ditepis oleh pikirannya sendiri.
“Entahlah,” jawab Sandro. “Kalo
kamu, sebenarnya apa kriteria pria idaman kamu?”
# # #
VIOLET
Kriteriaku seperti kamu. Jika ia bisa menjawabnya tadi, ia akan menjawab seperti itu.
Tapi dia hanya tertegun, tak berani berkata apa-apa. Setahun ini, Sandro sudah
merasuki kehidupannya. Ia menjelma menjadi Arko kedua.
Apakah ia patut jika kini ia
merasakan debar cinta?
Apakah ia salah?
Jika cinta itu salah, mengapa ia
selalu saja menentramkan?
Setiap ia memandang Sandro, dia
seperti melihat Arko dengan bentuk yang lain. Sandro bukan Arko, Arko bukan
Sandro. Tapi, ia menemukan sisi Arko di dalam Sandro yang membuatnya tertarik.
Lantas, apakah kini ia harus
menyalahkan dirinya?
# # #
SANDRO
Mungkin Tuhan akan mengirimkan
cintanya pada waktu yang tepat. Apakah Violet adalah orang yang DIA kirimkan
untuknya.
Sandro tak tahu.
Yang jelas rasa bersalah karena
telah mencintai Violet terus membayanginya belakangan ini.
Violet adalah candu.
Deva juga candu.
Kedua orang itu sudah merasuki
hidupku pelan-pelan dan menyedot seluruh perhatiannya.
Sandro tak tahu apakah ini cara
Tuhan menunjukkan jalan, bahwa ia harus mengatakan yang sejujurnya terjadi.
Pada Violet.
# # #
Hujan membunuh suasana sore ini.
Deva sedang manja dengan kakek neneknya. Dan kedua orang tua Violet itu
membawanya ke Bandung akhir pekan ini. Lantas rumah Violet mendadak menjadi
sepi tanpa Deva. Hujan yang turun sejak tadi malam tanpa henti. Violet jadi
malas masak dan melakukan hal-hal semacamnya : mencuci, nyapu, dll. Mbak Ira
yang biasa bantu-bantu lagi ijin pulang ke Depok, ke rumah saudaranya yang
hajatan.
Dia benar-benar kesepian, dan
kelaparan tentunya.
Sepanjang hari, ia hanya duduk di
depan televisi, membaca majalah, atau berselancar di twitter atau path. DVD di
kamar tak mampu mengobati. Teman-temannya sedang sibuk dengan keluarganya
sendiri atau pacarnya. Iya, ini malam minggu dan ia baru sadar bahwa dirinya
mendadak menjadi zombie yang kesepian.
Dua tahun sejak kepergian Arko
dan dia masih sendiri.
Banyak orang yang menyuruhnya
untuk segera melupakan Arko dan kembali menjalin hubungan dengan orang lain.
Melupakan Arko? Apakah
orang-orang itu sinting? Arko adalah separuh jiwanya. Dia akan selalu ada di
hati. Walaupun sekarang dia sudah di alam lain, tapi Violet tak akan
melupakannya.
Lalu apakah dia akan terus
sendiri?
Dan kesendirian ini membuatnya
semakin berlarut-larut dalam kesedihan karena kehilangan seseorang.
Spontan dia menelpon Sandro.
“Ada acara? Temenin gue dong,”
# # #
SANDRO
“Nggak ada. Ke mana?”
“Malam mingguan,” terdengar nada
ketawa dari seberang telepon.
Sandro mengernyit. Wanita ini menggodaku?
“Orang-orang yang kukenalkan
padamu tidak ada yang coc....”
“Syuuut...nggak usah banyak bawel.
Gue tunggu di rumah 30 menit.”
Sambungan terputus.
Sandro melongo di tempat.
# # #
VIOLET
“Apakah kamu tak bisa membawaku
ke tempat yang lebih romantis?”
Violet melihat ke sekeliling.
Tenda-tenda makan yang berjejer di depannya, asap-asap dari pembakaran, motor
yang lalu lalang, mobil yang diparkir tak rapi. Ini kawasan Sunter Hijau. Surga
makanan memang, tapi untuk hari yang sedikit basah dan becek ini sungguh
menyebalkan pergi ke tempat ini.
“Gue laper,” jawab Sandro.
“Ya, elo bawa gue ke tempat yang
lebih keren kek. Ke Kelapa Gading kek, atau ke mana gitu. Ke tempat romantis.”
“Lah, kita kan bukan pacaran,”
Ada hening yang sedikit tercipta
diantara dirinya dan pria di depannya kini. Pria itu berpenampilan seadanya.
Kaos warna hitam, celana tiga perempat chino, dan sepatu kets warna putih garis
biru. Tapi dia tetap wangi dan berwajah bersih.
Namun tetap saja jomplang dengan
penampilan Violet yang sudah siap buat diajak ngedate.
“Ye, gitu aja manyun. Yuk ah,
keburu laper nih.” Sandro menggandeng tangan Violet dan masuk ke dalam salah
satu tenda seafood kegemarannya.
Darah Violet mendadak beku. Ada
desiran di tubuhnya seperti sengatan listrik berkilo-kilo watt. Ada apa ini?
Tangan Sandro yang mendadak menyentuh kulitnya seperti sengat lebah yang tiba-tiba.
Bulu kuduknya berdiri, tapi dia merasa senang dan membiarkannya.
Keduanya lalu mengambil tempat
duduk.
“Kamu mesen apa? Oh, udang saus
tiram dan kerang saus padang, kan?” Pria di depannya itu tersenyum.
Senyum yang spontan mengingatkan
dia pada seseorang.
Arko.
Violet menggeleng pelan.
Tak ada salahnya membuka hati sekarang.
Tapi apakah harus dengan dia. Si Sandro?
# # #
SANDRO
Mobil Sandro merapat ke rumah
Violet tepat pukul sepuluh malam. Mereka baru saja kelar makan dan nonton di
daerah Kelapa Gading. Hujan masih menyisakan gerimis rintik-rintik.
Lantunan lagu-lagu romantis di
salah satu stasiun radio dibiarkan oleh keduanya. Seolah mereka sedang meratapi
nasib yang sama.
Bagi Sandro, dari malam-malam
sepanjang hidupnya, malam ini adalah malam terbaik saat dia mencintai
seseorang. Malam dimana dia bisa tertawa lepas, tersenyum tanpa jaim,
bersendawa, dan melihat dengan jelas wanita yang sudah menyita hari-harinya
belakangan ini.
Sandro tak akan pernah tahu, apa
yang ia lakukan ini sudah tepat. Atau justru jurang masalah jika Violet tahu.
Atau siapapun tahu.
Orang-orang tahu, Sandro adalah
teman dekat Arko.
Dan itu masalahnya.
Dia kini mencintai orang yang
salah.
# # #
VIOLET
Cara Tuhan menunjukkan cinta
malam ini begitu indah. Langit memang tak berbintang. Hujan terus saja turun.
Tapi setelah malam penuh gelap dan kesedihan karena ditinggal Arko, malam ini
Violet bisa merasakan hadirnya cinta di sekelilingnya.
Sandro menjelma menjadi pangeran
malam ini meskipun dia memakai pakaian santai. Dan Violet seolah tersihir oleh
pesona sahabat suaminya itu.
Dan malam itu lagu You and Me-nya
Lifehouse menjadi saksi saat dia terpaku dan beku, dan bibir Sandro dengan
lembut menyentuh bibirnya perlahan. Dia membiarkannya. Lalu saat Sandro menarik
perlahan, mata mereka bertemu dan Violet seperti tenggelam ke dalam mata itu.
# # #
SANDRO
Sepanjang perjalanan, Sandro
terus melamun. Terkadang dia tertawa sendiri mengingat apa yang baru saja
terjadi. Dia spontan saja mencium bibir Violet. Dan wanita itu membiarkannya.
Sudah lama dia tak merasakan bibir perempuan dan malam ini dia seperti
tersengat kelaki-lakiannya. Dan dia pun terpaksa harus berhenti di Seven
Eleven, membeli minum dan menenangkan hatinya yang berbunga-bunga. Dia merokok
sebentar sembari mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Tapi, apakah yang ia lakukan
salah?
Sandro tiba di apartemennya tiga
puluh menit sebelum tengah malam.
Saat ia membuka pintu
apartemennya, Sandro melihat apartemennya sudah terang benderang. Barang-barang
sedikit berantakan.
Dan dia mendengar seseorang
menangis di kamar mandi.
Hanya ada dua orang yang memegang
kunci apartemen ini. Pertama, tentu dirinya. Orang tuanya tak memegang. Adik
laki-lakinya yang masih kuliah pun tidak.
Berarti dia adalah....Arko.
# # #
VIOLET
Violet tidak dapat tidur.
Bayangan Sandro terus menerus
hadir di pikirannya.
Malam itu, mereka berciuman.
Tapi di belakang bayangan Sandro ada
Arko yang terus menerus melihatnya. Dia seperti cemburu menyaksikan kejadian
tadi.
Tuhan, ada apa ini?
# # #
SANDRO
“Kamu datang?”
Suara isak tangis itu sudah reda.
Sandro melihat ada kemarahan di sana. Apartemennya seperti baru saja di rampok
orang. Barang-barang pecah dimana-mana.
“Apakah kamu peduli?” tanya Arko.
Sandro terdiam, lalu dia duduk di
sofa.
“Aku tahu, pasti tadi kamu
melihatnya.”
“Ya, tentu aku melihatnya. Sudah
menjadi ritualku bahwa setiap malam minggu aku ada di dekat rumah Violet dan
memandang dia dari jauh. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.”
“Mengapa tak kamu pastikan dari
dekat?”
“Mengapa kamu jadi
menyalahkanku?”
“Karena kamu memang salah. Kamu
pura-pura meninggal kecelakaan, padahal kamu ada. Di sini, di Jakarta. Kamu
kesakitan dan selalu rapuh. Perlu kamu tahu, Violet selalu menceritakan tentang
kesedihannya ketika kamu tinggal. Dia...”
“Stop menghakimiku. Tugasmu hanya
satu, Ndro, kamu menjaga dia dan Deva. Itu saja. Bukan jatuh cinta kepadanya.”
“Kamu menyuruhku mencarikan
Violet pendamping hidup. Tapi menyalahkanku ketika aku mencintainya?”
“Aku...”
“Ini nggak adil, Ko. Kamu yang
membuat semuanya menjadi seperti ini. Ngerti?”
“Kamu tak perlu jatuh cinta
kepadanya.”
“Bagaimana aku tak jatuh cinta,
aku setiap saat ada di dekat dia. Di dekat Deva. Dan dia membutuhkan orang
untuk membagi kesedihan. Jadi jangan salahkan aku jika aku jatuh cinta
kepadanya.”
Arko kembali menangis. Tangisnya
semakin kencang. Tubuh kurus itu semakin terlihat rapuh. Dan Sandro sebenarnya
tak tega melihat itu semua. Leukimia yang menggerogoti tubuhnya semakin hari
semakin parah. Tubuhnya layu. Rambutnya habis karena kemoterapi. Tak ada yang
tahu tentang keadaannya. Keluarganya, teman-temannya. Semua. Dia pura-pura
meninggal karena kecelakaan lalu membuat skenario kecil bersama Sandro.
Dan Sandro bertugas untuk menjaga
Violet dan Deva.
“Lebih baik aku mati,” ucap Arko.
“Ya, kamu lebih baik mati.”
“Dan kamu akan bahagia bersama
Violet?”
“Memangnya kamu sekarang bisa
membahagiakan dia? Dia butuh pendamping dan kamu tak bisa hadir di dekatnya.
Ini pilihan siapa? Ini pilihan kamu.”
Kemarahan Sandro menyulut. Dia
berdiri dan memandang Arko dengan marah. Selama ini dia sudah bersabar
menghadapi Arko karena Arko adalah sahabatnya. Dia yang merawat Arko, menemani
kemoterapi.
“Ndro, maafkan aku...”
“Kamu keterlaluan...”
“Aku...”
“Aku juga tak meminta untuk jatuh
cinta pada istrimu. AKU TAK PERNAH MINTA.” Sandro keluar apartemennya,
membanting pintu dan berlari.
Arko mengejarnya dengan susah
payah. Tubuhnya yang lemah tak berdaya mengejarnya. Sandro keluar apartemen,
menyeberang jalan dan tak mempedulika Arko yang berteriak kepadanya.
Sandro tak pernah menoleh.
Dia tak peduli betapa sakitnya
Arko berlari.
Hatinya juga sakit.
Dia sudah mengorbankan
perasaannya.
Dia tak menoleh, kecuali saat
semua orang di sekelilingnya berteriak ketika sebuah sedan menabrak Arko.
# # #
VIOLET
Foto pernikahan Violet dan Arko
yang ada di kamar jatuh. Kacanya pecah berserakan di lantai dan salah satu
pecahannya mengenai kaki Violet.
# # #
SANDRO
“Maafkan aku...” Sandro tak
berani menatap Violet yang berdiri di depannya.
Violet tampak terisak. Tadi
Sandro menghubunginya. Ia ingin menjelaskan semuanya. Dan saat ini Arko
membutuhkannya. Membutuhkan dukungan Violet.
“Aku telah berbohon selama ini,”
“Dan mengorbankan perasaanmu?”
suara Violet tampak terisak.
Sandro mendongak. “Maafkan
aku...”
PLAAAK...tangan Violet mendarat
di pipi Arko. “Itu untuk kebohongan ini semua.” Violet menangis dan tertunduk
lesu. Sandro merengkuhnya, namun wanita itu menampik dengan kuat. “Biarkan aku
sendiri...”
“Aku...”
“BIARKAN AKU SENDIRI....”
# # #
VIOLET
Ini adalah pemandangan paling
mengenaskan yang pernah ia lihat. Bahkan suasana berkabung saat pemakaman dulu
tak semenyakitkan ini. Arko tampak terbujur kaku tak sadarkan diri dengan
selang-selang banyak di tubuhnya.
Suaminya masih hidup.
Selama ini suaminya masih hidup.
Dan suaminya membuat skenario
yang kini justru menyakitinya.
Ia benci dibohongi seperti ini.
“Mengapa kamu lakukan ini
padaku?” tanya Violet pelan. “Mengapa?”
# # #
SANDRO
Tengah malam. Keluarga Arko dan
Violet tampak berkumpul. Dan Sandro ada di pojokkan rumah sakit seorang diri.
Tak ada yang peduli.
Violet masih marah.
Dan dia pun enggan untuk mendekat
saat ini.
Kecuali saat dokter
memberitahukan bahwa Arko membutuhkan donor darah. Dia kekurangan darah cukup
banyak.
Dan kebetulan golongan darah
mereka sama.
# # #
ENDING
Tuhan adalah sutradara terbaik di
dunia ini. Dialah yang menciptakan skenario-skenario menakjubkan.
Kadang ada keajaiban yang selalu
DIA berikan.
Kadang sesuatu yang diharapkan
oleh manusia, tak sejalan dengan rencana-NYA. Namun, DIA-lah yang maha benar.
Dialah yang menciptakan
kehidupan.
Dia pula yang menciptakan
kematian.
Burung-burung menjadi sakti hari
ini. Payung hitam, baju hitam, suasana haru dan berkabung di sini.
Malam itu, darah Sandro sudah
membantu Arko. Justru Sandrolah yang menjadi sangat lemah. Dia berkorban, bukan
lagi perasaannya tapi juga darahnya. Untuk sahabatnya.
Tuhanlah yang menolongnya.
Tapi dia membuat rencana yang
luar biasa dan tak terduga.
Mungkin, ini yang terbaik untuk
hubungan Arko, Sandro, dan Violet.
Gundukan tanah basah.
Tangisan dimana-mana. Bukan lagi
tangis seperti waktu itu. Tapi ini tangis yang sejujur-jujurnya.
Violet mengapit tangan Deva.
Mungkin Tuhan memang sudah
menggariskan bahwa Arko memang harus pergi. Meninggalkannya.
Violet memandang ke depan. Ia
melihat Sandro. Sandro tak mendekat ke pemakaman Arko. Violet menarik nafas.
Hari ini cukup berat baginya, tapi ia harus menyelesaikan ini semua.
# # #
“Mengapa tidak mendekat?” tanya
Violet.
“Apakah harus mendekat untuk
menunjukkan rasa belasungkawa?”
“Dia sahabatmu.”
“Justru karena dia sahabatku, dia
pasti tahu aku sudah datang.”
“Apakah kamu selalu seperti ini?”
“Maksudmu?”
“Berkorban untuk sahabatmu?”
“Bukankah sudah banyak yang
bilang. Mencari seribu musuh lebih susah
dari mencari satu sahabat. Arko terlalu baik. Dia sahabat yang baik.”
“Dan diapun bilang seperti itu
kepadaku. Dia selalu bilang bahwa kamu adalah sahabat terbaiknya.”
“Semoga dia bahagia di sana?”
“Kamu juga harus bahagia.”
“Kamu pun begitu, Violet.”
“Arko bilang padaku malam itu
sebelum dia meninggal...” Violet terdiam sebentar. “Jika ada satu orang yang
pantas untuk menggantikan dia menjadi suamiku....itu adalah kamu.”
Sandro memandang Violet gamang.
“Sepertinya Deva sudah menemukan ayahnya.”
Violet tersenyum kecil.
Di kejauhan, Deva tampak berlari
ke arah mereka.
-end-
Panjang .. skip dulu ya.. yang setengah buat temen begadang ntar malem ahh...
ReplyDeleteDitunggu
ReplyDeleteTapi ini bagus, huaaaaah :(
Thank you :)
Delete