Janero Karsten hampir sepuluh tahun bekerja
di Kepolisian Negara Virtual dengan predikat setiap tahun yang selalu sempurna.
Baginya, prestasi yang ia dapatkan hanyalah sebuah bonus dari rasa cinta kepada
dunia kerjanya itu. Selama ini, dia telah memecahkan berbagai macam kasus,
mulai dari penangkapan maling ayam hingga pembunuhan berantai yang terjadi tiga
tahun lalu dan hampir meledakkan kepalanya.
Hari itu, hari dimana dia harus menyudahi
kasus pembunuhan, dia hampir saja tertembak oleh pembunuh berantai. Hatinya
tiba-tiba rapuh dan langsung menyurutkan semangat untuk memburu si penjahat.
Itu semua karena Verre, gadis yang dipacarinya selama 5 tahun dan akan ia nikahi
diumurnya yang ke tiga puluh dua. Tetapi Verre justru pergi dan memilih untuk
meninggalkannya yang telah mencintai gadis itu seumur hidup. Seluruh jiwa raga.
Hidup Janero seperti dimatikan sesaat. OFF.
Dia beku.
Dan hari itu adalah satu hari sebelum dia
membongkar kasus pembunuhan berantai di Region Tengah, Negara Virtual ini.
Semua konsentrasi tentang penjahat itu tiba-tiba memudar dan berganti menjadi
wajah Verre di mana-mana.
Untung saja, pada hari penangkapan itu, dia
kembali terjaga dan memusatkan pada kasus yang ditanganinya selama hampir enam
bulan. Hari di mana ia hampir saja ditembak, dia memutuskan untuk melupakan
Verre dan tidak akan kembali mengingat gadis itu.
Dia menembak penjahat itu tepat ketika sebuah
peluru hampir saja meledakkan kepalanya. Bayangan penjahat itu menjelma menjadi
Verre yang langsung dia ledakkan dengan selongsong pelurunya.
Maka, ketika suatu hari ada seorang wanita
yang dengan kerendahan hatinya menerima semua kekurangan dan kelebihan Janero,
dia memutuskan untuk tidak berlama-lama memacarinya. Tiga bulan setelah mereka berkenalan,
mereka menikah di bawah langit bertabur bintang dengan pesta kecil bersama
sanak sodara. Badai cinta Janero seakan melambat, dia tak lagi mengingat Verre
dan memusatkan diri pada Angie, istrinya.
Tiga tahun hidup dengan kesuksesan dan
ketenaran di kalangan kepolisian, menyebabkan dia menjadi bintang bersinar.
Masih muda, ganteng, berpangkat Mayor, memiliki keluarga kecil yang bahagia.
Setiap perkumpulan para keluarga kepolisian, dia selalu membawa Angie dan
Lanang, anak pertamanya. Semua orang iri, semua orang seolah ingin menjadi
Janero.
Padahal hidup Janero tak seindah yang mereka
pikirkan. Ini bukan tentang pandangan orang terhadap rumahnya, kariernya,
ataupun keluarganya. Semuanya tampak normal dan masuk ke dalam daftar
kesuksesan yang ingin dicapai semua orang di usia muda. Ini lebih ke masalah
batin dan perasaaan. Ini masalah memiliki dan ingin diakui. Masalah kepuasan
batin. Dan Janero seperti tak mendapatkannya meskipun ia sekarang ini bahagia.
Kapten Boy pernah bilang kepadanya bahwa dari
semua kasus-kasus di dunia ini yang pernah ia pecahkan ada satu kasus yang
menurutnya paling rumit. Kasus cinta. Seperti yang dikatakan atasannya itu,
Janero merasa bahwa kasus cinta memang kasus yang sangat rumit.
Kemarin malam, Kapten Boy mengajaknya pergi
ke Kedai Seribu Kopi. Mereka berdua penggemar kopi dan sama-sama menyukai Papua
Nugini. Rasa pekat dan sedikit asam yang tercipta dari kopi itu membuat mereka
berdua bisa sedikit lebih relaks dari pekerjaan. Kapten Boy bukan hanya seorang
atasan, tapi dia juga seorang mentor, sahabat, dan juga saudara.
Dia yang membimbingnya hingga Janero bisa
mencapai prestasi setinggi sekarang. Selain ngobrol masalah cinta, dia juga
memberitahu Janero bahwa bintang dia sekarang sedang bersinar. Dia memiliki
kesempatan besar untuk naik menjadi seorang Kapten.
“Kamu sedang disorot saat ini karena
prestasimu. Tentunya mereka berharap kamu bisa segera naik jabatan dan menjadi
Kapten termuda.”
“Itu impian saya,”
“Tapi ada satu syarat yang harus kamu penuhi.
Ada satu kasus besar yang harus kamu selidiki,” ujar Kapten Boy sesaat setelah
mereka membicarakan rencana mereka masa depan. “Ini sebuah opportunity, kesempatan baik untukmu. Aku juga sudah membicarakan
ini dengan Jenderal Lee dan diapun setuju.”
“Kasus baru?”
Kapten Boy mengangguk. “Ada satu orang yang
harus kamu selidiki. Pejabat Negara. Dia sepertinya terlibat dalam kasus
pencucian uang, penyelundupan, dan kasus uang besar lain. Sudah lama aku
mengincar orang ini, namun aku belum cukup bukti untuk menyeretnya ke meja hijau.”
Janero belum menanggapi ucapan Kapten Boy.
“Kamu diberi waktu maksimal satu tahun. Lebih
cepat lebih baik. Komisi Tindak Tegas sudah setuju kamu yang memimpin
penyelidikan ini.”
“Siapa dia?”
“Jarot. Kenal?”
# # #
Janero memandang foto Jarot di tangannya.
Hampir dua puluh tahun menjabat sebagai Pejabat Negara untuk beberapa generasi,
berpindah dari satu Rayon ke Rayon lain. Dia tak hanya piawai berbicara, namun
juga cerdas. Tak banyak yang mengetahui prestasi dia karena dia memang tak
ingin disorot oleh siapapun, terutama media. Dua tahun belakangan ini, namanya
kembali disorot setelah ia menjadi seorang penjabat Menteri Negara. Walaupun
sampai detik ini belum ada gebrakan-gebrakan menarik dari Departemen Negara
yang ia pimpin.
Lalu, Kapten Boy memberi daftar
kemungkinan-kemungkinan bentuk penyelewengan yang ia lakukan. Mulai dari kasus
pembangunan Gedung Seni Negara, sampai kasus pengadaan pesawat kenegaraan.
Janero sangat semangat sekali untuk kasus
ini. Ini kasus menantang dan besar. Lebih besar dari menemukan pembunuh
berantai di Region Tengah. Penyelundup uang itu lebih menyeramkan dari pembunuh
berantai manapun. Dan Janero sangat tertantang sekali untuk segera memulainya
dan menyelesaikannya.
Semua profil tentang Jarot sudah dia baca
satu persatu. Dia 45 tahun. Cenderung gendut dan tambun, setinggi dirinya.
Berambut botak di tengah namun masih terlihat hitam. Setidaknya itulah yang
dideskripsikan dari fotonya. Dia memiliki seorang istri, entah berapa
simpanannya, dan seorang putera yang masih berumur lima tahun.
Kini, Janero bimbang.
Bimbang apakah harus menerima tantangan
Kapten Boy ini.
Bimbang apakah dia harus meraih gelar Kapten
Termuda atau mengubur impiannya itu.
Ini bukan karena ia pesimis bisa memecahkan
kasus ini atau tidak? Dia sudah pernah memecahkan kasus pembunuhan berantai dan
kasus penyelewengan uang lain meskipun masih dalam skala kecil.
Bukan, bukan masalah itu.
Ini karena Jarot, si Pejabat Negara itu.
Jarot Kulantara, suami Verre.
# # #
Verre Ralinsyah menjelma menjadi sosok wanita
dewasa yang sangat menarik. Parasnya masih sama seperti terakhir Janero temui.
Berambut panjang yang selalu ia kuncir kuda. Tak banyak make up yang menghiasi
wajahnya, dia hanya memoles bedak tipis, lipstik tipis, tak banyak coretan yang
justru menunjukkan wajahnya yang memang alami cantik. Dengan tubuh jenjang 170
cm dan selalu memakai hak tinggi, dia menjelma menjadi bidadari yang diturunan
Tuhan dari Surga.
Kini Janero sedang memandanginya dari jauh.
Verre tampak sibuk bercanda dengan anaknya di sebuah restoran chinesse food
yang terkenal di kota ini. Di sampingnya ada Jarot yang tengah memandangi
Tabletnya. Mungkin dia sedang bekerja.
Seminggu lalu, Janero bertemu dengan Kapten
Boy dan akhirnya menerima tawaran untuk memecahkan kasus Jarot. Seminggu pula
dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ketika dia menerima
kasus ini.
Pertama, dia tentu harus berhadapan dengan
Verre setiap saat. Itu berarti akan membangkitkan rasa sakit hatinya.
Membangkitkan perasaan cinta yang dulu pernah ada dan mungkin sekarang pun
masih. Kedua, kepalanya yang dulu hampir ditembak pembunuh berantai mungkin
akan jadi hancur di kasus ini. Karena dia bisa saja tidak konsen, dan lagi-lagi
karena Verre.
Tetapi dia tak mungkin mengutarakan hal ini
kepada Kapten Boy. Bisa jadi Kapten Boy justru akan mengecap dirinya tidak
professional karena mencampur aduk masalah pribadi dan kerjaan. Lalu dia
memikirkan ini sendiri matang-matang.
Suatu malam, sebelum dia memutuskan untuk
menerima kasus ini, dia melihat Angie sedang mendongengkan Lanang sebelum tidur.
Angie tampak bersemangat.
Haruskah dia menodai pernikahannya? Tidak.
Angie sudah menyelamatkan hidupnya setelah perpisahan dengan Verre. Lantas
mengapa dia harus menodai pernikahan yang sudah ia bangun. Tidakkah baju putih
yang terkena noda akan tetap berbekas meskipun sudah dibilas dengan pemutih.
Jadi mengapa ia tak menerimanya saja? Meskipun dengan konsekuensi-konsekuensi
yang harus ia terima sendirian. Mungkin sakit hati, dendam, atau justru
perasaan cinta yang harus tumbuh tiba-tiba. Dia tak akan lagi mengingat Verre,
karena ada Angi dan Lanang.
Jadi, dia pun menerima tantangan itu.
Dia mengumpulkan semua hal tentang Jarot,
termasuk profil tentang Verre yang sebenarnya ia hafal di luar kepala. Tetapi
ternyata ada celah selama tiga tahun yang tak ia tahu. Verre menjelma menjadi
bidadari dewasa yang semakin menarik. Ibu dengan satu anak itu semakin terlihat
auranya. Janero benar-benar tak tahu bahwa suami Verre adalah Jarot. Dia sempat
tak peduli siapakah yang akan dinikahi Verre. Setelah perpisahan itu, mereka
benar-benar tak pernah berhubungan lagi.
Selama sepuluh menit, Janero duduk di
restoran ini, matanya takjub memandang Verre tak berkedip mata. Verre
benar-benar….cantik. Sekejap juga dia melupakan langkah yang harus ia ambil
untuk menyelidiki Jarot. Untung saja ponselnya berbunyi dan dia kembali sadar
ke dunia nyata.
“Ayah, apakah kita jadi liburan ke Pulau
Bidadari?” tanya putera Verre.
Si Jarot memandang anaknya. “Kapan kamu
libur?”
“Lusa sudah mulai libur. Dua minggu. Ayah
janji mau mengajakku ke Pulau Bidadari.”
“Ijin sama ibumu,”
“Bu, apakah kita jadi ke pulau bidadari?”
Verre tersenyum kecil. “Jika ayahmu tidak
sibuk.”
“Kebeneran lusa ayah ada meeting di sana.
Seminggu. Kita bisa liburan di sana sampai dua minggu.”
# # #
“Pulau Bidadari? Berapa lama?” Angie duduk di
samping ranjang memandangi Janero yang sibuk packing.
“Iya, pulau bidadari. Ini terkait kasus Jarot
yang harus aku selidiki. Kamu tak keberatan, kan?”
“Berapa lama?”
“Paling lama dua minggu.”
Angie tampak diam. Janero memandangnya.
Istrinya itu sebenarnya tak kalah cantik dengan Verre. Dia juga penyabar dan
menyayanginya sepenuh hati. Rasa cinta Janero padanya juga perlahan mulai
tumbuh setelah pernikahan mereka. Tapi…mengapa masih ada bayayang-bayang Verre
dalam hatinya.
“Hati-hati,” ujar Angie dengan senyum. Dia
bangkit berdiri memeluk Janero. “Aku menyayangimu, Mas.”
# # #
Pulau Bidadari. Sebuah resort baru di tepi
pantai dengan pemandangan laut biru yang indah. Langit tampak cerah di pagi dan
siang hari, dan mendadak sendu di sore hari.
Langit pagi dan langit sore selalu
berkorelasi bersama. Sama-sama positif menimbulkan aura keromantisan. Adakah
yang lebih romantis dari mereka. Bahkan, bercinta di pagi atau sore hari
cenderung menimbulkan hasrat dan hormon yang luar biasa. Seorang pujangga
menggambarkan pagi sebagai bentuk intimidasi terhadap malam yang kelam,
sementara sore adalah keromantisan yang harus tertutup oleh kegelapan. Mengapa
orang lebih cenderung bercinta di malam hari?
Warna sore adalah warna yang romantis, dimana
tak ada lagi hiruk pikuk kerjaan. Santai. Janero menikmati langit sore di
balkon resort ini dengan tatapan nanar ke depan. Hampir sebulan dia mulai fokus
dengan kasus ini. Mulai menata-nata strategi. Termasuk menginap di samping
resortnya Jarot.
Resort ini tergolong yang terbaik di negeri
ini. Harga tak jadi soal buat Janero karena ini semua dibiayai oleh kantor
karena alasan pekerjaan.
Apa yang ia butuhkan di resort secantik ini?
Istrinya. Tapi itu tak mungkin karena dia harus bekerja, bukan liburan.
Semburat jingga mulai memudar. Keromantisan
sore ini benar-benar sempurna. Janero menegak Domaine Faiveley terakhirnya. Rasanya seperti melayang. Ini
benar-benar sempurna.
Dan kesempurnaan sore ini ditambah dengan
sepasang mata yang memandang Janero dari sisi balkon yang lain.
Mata milik Verre.
# # #
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada
bertemu dengan orang yang pernah kita sayang dan kini dia milik orang lain.
Jika mengambil bahasa anak jaman sekarang,
cinta lama belum kelar.
Janero memandang mata Verre dengan takjub.
Hubungan itu sudah lama kandas, tiga tahun lalu. Bukan waktu yang sebentar.
Tapi masih saja dia merasakan getar yang sama di depan Verre.
Senyum itu masih indah.
Mata itu masih indah.
Adakah yang lebih indah dari sore ini?
Verre mendekat ke sisi balkon, begitupun
Janero. Keduanya tampak sedikit canggung.
“Sudah lama tak bertemu,” ujarnya.
“Sudah lama,” sambung Janero.
“Apa kabar?”
Janero menelan ludah. Pertanyaan itu sangat
sulit dijawab. Setelah apa yang ia lakukan tiga tahun lalu, kini dia bertanya
apa kabar.
“Baik, kamu?”
“Menyenangkan. Aku sedang liburan di sini
bersama keluarga. Anakku sedang tidur karena kelelahan, suamiku sedang bertemu
tamunya di resepsionis. Kamu….sama siapa?”
Janero kembali menelan ludah. “Aku liburan
sendiri,” Oh, shit, mengapa dia harus
mengatakan jawaban yang demikian. Seolah dirinya adalah pesakitan yang
menguntit mantan pacarnya. “Ada beberapa teman yang menyusul, tapi belum
datang,” dia berbohong.
Hanya itu. Verre kembali ke dalam kamarnya.
Meninggalkan Janero yang hanya bisa memandang. Langit berubah hitam. Siapa
bilang malam lebih romantic dari sore? Malam itu menyakitkan. Seperti sekarang.
# # #
Apakah lelaki tak boleh sakit hati? Bagaimana
bisa pernyataan itu terlontar dari orang yang tak pernah merasakan. Lelaki
punya hati. Hati memang tercipta untuk merasakan.
Merasakan sakit hati?
Malam itu, di bawah seribu bintang, Janero
kembali ke balkon. Mendengarkan suara deburan ombak yang menjelma menjadi
nyanyian-nyanyian dalam dirinya. Malam semelo ini. Siapa bilang romantis?
Janero mengutuk dirinya yang harus tinggal di sebelah resort Verre. Berarti dia
harus siap menghadapi kenyataan. Dia kadang melihat siluet Verre yang bercanda
dengan anaknya. Lalu keduanya tampak berkejaran di dalam kamar. Tapi bukankah
itu konsekuensi yang harus ia terima.
Malam sepertinya punya rahasia sendiri. Dia
bisa memutar balikkan hal.
Malam kedua di tempat itu, Janero memilih
pergi ke pantai. Dia ingin meredamkan perasaannya dan kembali memfokuskan diri
pada kasus yang ia ingin pecahkan. Ia tak mungkin menyia-nyiakan dua minggu ini
dengan hal yang menurutnya sangat tidak professional.
Maka, diapun pergi seorang diri ke tepi
pantai. Dia melepas sandal dan meninggalkannya begitu saja. Kakinya meninggalkan
jejak panjang. Dingin menyusup ke kakinya. Kadang ombak menyentuhnya.
Di penghujung perjalananya, dia menemukan
Verre.
Yang sedang memandang laut seorang diri.
Dan menangis.
# # #
Janero tak pernah tahu apa yang telah Tuhan
rencanakan. Kita tak pernah tahu.
Malam setelah ia bertemu dengan Verre adalah
malam kilas balik dalam kisah percintaannya. Malam itu, Verre tiba-tiba
menangis di hadapannya tanpa henti. Tak tahu apa yang harus ia lakukan, Jarot
hanya mematung. Verre menjelma menjadi sosok yang lemah. Rambutnya tampak
terbang terbawa angin, mukanya kusut. Berbeda dari apa yang ia lihat kemarin.
Di mana cahaya itu?
Dalam remang-remang suasana pantai, Janero
hanya mendiamkan Verre. Agar wanita itu menyelesaikan tangisnya. Tangis yang
sampai sekarang masih terngiang-ngiang di kepala Janero.
Janero merebahkan badan di tempat tidur. Dia
benar-benar lelah. Hari ini dia menjadi orang paling kepo, menguntit Janero ke
manapun dia pergi. Termasuk makan di jamuan makan malam kolega-kolega.
Verre tampak biasa saja. Berbeda dengan apa
yang ia lihat di pantai malam itu.
Muka itu tersenyum palsu kepada orang-orang
yang hadir.
Muka itu tampak tertekan ketika memotong
daging dan memasukkannya ke dalam mulut.
Sama tertekannya ketika malam itu ia
bercerita di tengah tangisnya.
Malam itu, diiringi dengan deburan ombak dan
semilirnya angin, Verre tiba-tiba memeluk Janero. Janero terpaku di tempat.
Ada apa ini?
Verre tersedu menangis di dada Janero. Janero
tampak bingung harus berbuat apa.
“Mengapa aku harus melihatmu lagi,” ucap
Verre. “Itu akan membuka cinta lamaku yang masih kupendam sampai kini...
aku merindukanmu, apakah kamu tahu?”
# # #
Aku
merindukanmu, apakah kamu tahu.
Kalimat itu seperti pedang bermata dua yang
menyabet Janero dengan cepat. Dia sudah menyimpan rapat hatinya yang hancur.
Dia sudah menyiapkan hatinya untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi jika bertemu dengan Verre.
Tapi tidak dengan malam berdebur ombak.
Tapi tidak dengan malam berhias bintang.
Tapi tidak dengan Verre yang memeluknya.
Tapi tidak dengan Verre yang mengatakan bahwa
dia masih mencintainya.
Tapi tidak dengan Verre yang bercerita bahwa
dia tidak bahagia. Pernikahannya palsu. Dia tertekan dengan kehidupannya. Jarot
mungkin bukan tipe suami pemukul, tapi dia juga bukan suami romantis. Jarot
mungkin bisa memberinya rumah dan uang, tapi tidak dengan kebahagiaan.
Itulah yang Verre sampaikan kepadanya.
Maka malam itu, Verre tak melepaskan
pelukannya.
Sampai di satu titik dia bilang bahwa….”Aku
masih mencintaimu, Janero Karsten”
# # #
“Sudah enam bulan, Jan.” Kapten Boy melihatku
tajam.
“Saya sudah 80% Kapten. Kesimpulannya memang
mengerucut pada analisis bahwa Jarot memang terlibat dalam kasus ini. Saya
sudah mengumpulkan semua bukti-bukti.”
“Kapan bisa melapor ke Komisi?”
“Secepatnya, paling lambat bulan depan.”
“Kamu memang pantas mendapatkan posisi itu.”
“Terimakasih Kapten,”
Janero menarik nafas perlahan. Kapten Boy
terlalu mempercayainya, pantaskah dia menodai itu.
Kasus ini memang terlalu berat. Dengan
kondisi bahwa Verre adalah mantan pacarnya dan kini jadi istri Jarot, itu
berarti mempersulit ruang geraknya. Apalagi kini Verre semakin dekat dengannya.
Baiklah, akan diceritakan bagaimana akhirnya
mereka bisa bertemu kembali dan menjalin sebuah hubungan….yang terlarang.
# # #
Malam ketujuh setelah kejadian menangis itu.
Hujan turun lebat. Janero yang awalnya akan
pergi mendadak mengurungkan diri. Dia memilih berdiam diri di balkon sembari
menikmati hujan dan membaca Jurnal Review. Tiba-tiba bel kamarnya berbunyi.
Verre datang, lalu memeluknya.
Janero mengajak Verre untuk masuk ke dalam
rumah. Mereka duduk di sofa. Verre bercerita bahwa dia baru saja dipukul oleh
Jarot. Ini adalah kejadian yang pertama kali. Kata Verre, akhir-akhir ini Jarot
mendadak menjadi seorang pemarah. Proyek pengadaan barang dan pesawat gagal
karena ada satu pihak yang menganalisis kebocoran uang. Hal itu membuat Jarot
geram.
Itu
adalah laporan saya, batin Jarot.
Verre yang jadi imbasnya. Dia dipukul dan
sering kena marah.
“Aku nggak tahu harus bagaimana lagi,” Tangis
Verre pecah.
Jarot merengkuh wanita itu dalam peluknya.
Sepertinya itu membuat Verre merasa nyaman. Wanita itu mempererat pelukannya.
“Apakah kamu masih mencintaiku?” Tanya Verre
tiba-tiba.
Janero terdiam.
Tiba-tiba juga, Verre mendekatkan bibirnya ke
bibir Jarot. Jarot terdiam dan menikmati. Verre mempererat pelukannya, dan
Janero mulai membuat serangan yang mengunci ruang gerak Verre.
Malam itu, hujan menjadi saksi kembalinya
cinta mereka berdua.
# # #
Bagi Janero, kehadiran Verre sebenarnya
mempermudah pembongkaran kasus ini. Verre justru menginginkan Jarot segera
ditangkap. Tapi Janero bilang bahwa ini semua harus pelan-pelan. Dalam sebuah
kasus, kita tidak boleh terburu-buru.
“Kapan kamu akan menangkapnya?”
“Sebentar lagi.”
“Lalu kamu akan kembali padaku?” Tanya Verre.
“Entahlah, aku sudah memiliki Angie, Re.
“Jadi kita akan terus seperti ini? Ini tidak
adil buatku.”
“Tapi aku juga tak ingin melepaskanmu,”
Jarot memeluk Verre erat.
“Kamu pangeranku,”
Mereka berciuman.
Bersamaan dengan itu, pintu terbuka.
Segerombolan polisi masuk.
Kejadiannya sangat cepat. Janero diringkus
beberap orang. Verre tampak memberontak dan menendang-nendang. Samar-samar
orang-orang bilang bahwa ini perselingkuhan. Verre meraung dan menangis
memanggil-manggil Janero.
Janero hampir saja memukul orang yang
meringkusnya. Sampai matanya melihat mata Jarot seperti menahan rasa
kemenangan.
Dan juga mata Kapten Boy dan Jendral Lee.
# # #
Angie membereskan meja kerja Janero yang
berantakan. Selama ini, Angie memang tak pernah mengurusi kerjaan Janero
sedikitpun.
Tapi sebulan lalu, tepatnya setelah Janero
pulang dari Pulau Bidadari, Angie mendapat amplop cokelat yang diantar orang
tak dikenal di rumahnya.
Amplop itu berisi foto-foto kemesraan Janero
dan seorang wanita.
Angie tak pernah tahu wanita itu, sampai
suatu ketika dia melihat berita di televisi dan melihat bahwa wanita itu adalah
istri pejabat negara.
Angie membisu. Dia tak berani mengatakan ini
kepada Janero. Dia menyimpan rapat-rapat apa yang ia ketahui. Sebelum ia tahu
kebenaran yang ia dapatkan.
Malam ini, di sela-sela Jurnal Review, dan
kertas-kertas berserakan di meja Janero, Angie melihat satu foto yang
mengejutkan dirinya.
Foto Verre dan Janero ketika mereka masih
pacaran.
# # #
ENDING
Aku seorang polisi di Negera Virtual ini.
Karierku tiba-tiba melesat setelah aku berhasil memecahkan beberapa kasus
dengan cepat. Puncaknya adalah ketika gembong pembunuhan berantai berhasil aku
bekuk di Region Tengah.
Kini, aku mendekam di sini. Di balik
pengasingan di Kepulauan Tanpa Nama.
Aku diasingkan setelah beberapa waktu lalu
aku dipergoki sedang berselingkuh dengan seorang istri dari pejabat yang sedang
kuselidiki. Maka, seluruh Komando Kepolisian menetapkan aku untuk
dibebastugaskan selama lima tahun. Tanpa pangkat. Dan selama sebulan ini
sebelum aku diasingkan ke pulau tak bernama, aku dimasukkan ke dalam sel dengan
tuduhan yang sampai detik ini tak masuk akal : aku membawa lari istri orang.
Kapten Boy pernah bilang kepadaku bahwa kasus
paling rumit di dunia ini yang sangat sulit dipecahkan adalah kasus percintaan.
Dan itu benar adanya.
Kasus percintaanku sangat sulit diselesikan.
Aku kehilangan Verre setelah penangkapan itu.
Dia tak ada kabar. Terakhir dia mengirimi aku SMS dan mengatakan bahwa masih
mencintaiku.
Kasus Jarot benar-benar ditutup dengan dalih
bahwa semua fakta yang kuutarakan adalah palsu. Aku termakan oleh dendam dan
sakit hati makanya aku membuat laporan-laporan palsu.
Shit, pejabat itu ingin kulumat habis-habis. Bisa-bisanya dia memutar
fakta dengan alibi seperti itu.
Tak ada yang membelaku.
Pun dengan Kapten Boy. Dia tak bisa berbuat
apa-apa. Dan aku sudah membuatnya kecewa. Suatu malam, Kapten Boy datang
padaku. Tak banyak cakap di antara kami. Karena aku sudah terlalu malu bicara
dengannya. Aku pun tak banyak membela diri. Maka kubiarkan Kapten Boy bicara
dan aku mendengarkan tanpa membantah.
“Bukankah sudah sering kukatakan, kasus yang
paling berat di dunia ini adalah kasus yang melibatkan percintaan. Cinta itu
ujungnya banyak : pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, korupsi.”
Aku mengangguk. Dan hanya satu yang kuucapkan
malam itu : Maafkan aku, Kapten.
Tapi apalah arti maaf, tak akan menghapus
noda di kain yang putih.
Aku kehilangan kepercayaan.
Aku kehilangan Verre.
Aku kehilangan jabatan.
Dan aku kehilangan Angie dan Lanang. Keduanya
diungsikan oleh mertuaku karena mereka menganggap bahwa aku gila.
Bagaimana bisa aku menyakiti Angie? Wanita
itu, menemuiku di sel ketika aku masih di Region Pusat. Dia menangis di
depanku. Aku tak tega melihatnya yang rapuh.
“Aku
masih mencintaimu, aku akan terus mencintamu,” ujarnya. Justru kalimat ini yang
membuatku dadaku sakit. Bagaimana bisa ada seorang wanita yang tetap bertahan
mencintai, meskipun telah disakiti.
Apakah karena cinta?
Aku tak tahu harus berbuat apa.
Apakah ada yang bisa menyetir hati? Kepada
siapa hati ini akan berlabuh. Pada cinta lamaku yang kupertahankan
habis-habisan.
Atau pada Angie, wanita yang kemudian datang
menyelamatkan aku dalam keterpurukan. Tapi tak pernah kucintai.
# # #
Sehari setelah pelesapan dari sel itu. Orang
pertama yang ingin kutemui adalah Verre. Aku merindukannya. Aku ingin
menyelesaikan kasus cinta ini secepat mungkin sebelum aku dibuang ke pulang
yang terasing.
Dan aku memang menemuinya.
Aku gembira sekali.
Ya, aku memang menemuinya dan aku memang
awalnya gembira.
Aku melihatnya sedang bermesraan dengan
Jarot. Mereka tertawa. Mereka bercanda.
“Polisi busuk itu tak bisa memasukkan aku ke
dalam penjara. Memangnya siapa dia,”
“Untung aku punya masa lalu dengan dia. Yang
bisa kumanfaatkan. Kujual aja cinta ini secara murahan. Dia percaya. Dan
kupaksa dia untuk bercerita tentang penanganan kasusmu secara detail.”
“Dan skenario penangkapan dua orang yang
sedang berselingkuh itu berhasil?”
“Ya, tepat sekali. Kasus ini ditutup dan kamu
bebas. Aku bisa menghilang sebentar agar kasus ini bisa ditutup kasus lain.
Kamu tidak tahu saja, di negara ini kasus-kasus akan tertutup dengan sendirinya.”
“Kamu memang luar biasa.” Lelaki itu mencium
gadis di depannya dengan mesra.
Dan aku melihatnya.
Darahku mendadak naik. Tanganku mengepal.
Dengan gerakan cepat aku ambil pistol yang selalu kubawa. Kuarahkan ke mereka.
Kutembakkan dua kali.
Dor.
Dor.
# # #
Angie pernah bilang bahwa dia akan
menjemputku di sel. Tapi aku tak tahu kalau dia melarikan diri dari rumah. Aku
pun tak tahu dia akhirnya benar-benar menjemputku. Aku justru pergi
meninggalkannya dan menemui Verre. Aku juga tak tahu, mengapa dia malah
menguntitku. Apakah dia ingin mengetahui, kemanakah aku pergi: menemuinya atau
menemui Verre?
Tuhan adalah sutradara terbaik di dunia ini.
Dia seperti ingin menunjukkan hal-hal yang
tak terduga, agar kita sadar apa yang perbuat.
Siang itu, sesaat setelah aku melihat fakta
bahwa ada pengkhianatan antara Jarot dan Verre, aku memang berencana membunuh
mereka berdua.
Aku memang mengacungkan pistol.
Kutembak dua kali.
Tapi bukan ke dada Verre. Bukan ke dada
Jarot.
Tapi ke dada Angie yang berlari di depanku
dan berteriak…JANGAN…LANANG TAK INGIN PUNYA AYAH YANG JADI PEMBUNUH…
Dor…dan aku menembaknya dua kali.
# # #
meh...
ReplyDeleteTwist yang luar Biasa.. Walaupun masih berbentuk Cerpen.. Namun tokoh-tokohnya dapat dikembangkan kembali..
ReplyDeleteMembcanya seperti menonton film Korea.. Rate : 3/5
Good Job
Thank you :)
Deleteboleh juga niih..
ReplyDeletesalam kenal.. visit back donk ke
-- katamiqhnur.com --
nggak bakal rugi deh.. :D
Suka nulis fiksi juga?
DeleteKeren keren.. Tapi kasihan banget Angie. Btw, di cerpen ini ada beberapa penulisan nama yang terbalik ya antara Jarot dan Janero? Seperti saat Angie menemani suaminya packing untuk pergi ke Pulau Bidadari. Disitu suaminya malah Jarot hehehe.
ReplyDeleteTerimakasih koreksinya :)
DeleteSegera diperbaiki
Sip sama-sama. Ada beberapa tuh. Semoga jadi lebih nyaman dan lancar dibacanya ;)
DeleteBerapa lama bikinnya bro? :D
ReplyDeleteDua hari mas ilham :)
Deletekeren nih :)
ReplyDeletebtw, itu yang di gambar itu won bin kan? dari film the man from nowhere
Iya bener :)
Delete