Pikirannya cuma satu, siapa Aryandra Putera?
Bagaimana dia bisa tahu dengan detail tentang dirinya? Dilihat dari cara
berkomunikasi, orang itu pasti bukan tipe orang yang asyik diajak ke bar lalu
berjam-jam berbicara tentang bisnis ataupun hal yang menyenangkan seperti
Brandy, Port, Sherry, atau champagne.
Setiap malam setelah kejadian di Bandung,
Juna tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya mengembara ke semua detail
yang diucapkan oleh Arya. Belum lagi rasa pusing yang mendadak sering muncul di
tengah malam. Tak ada lagi teman-teman wanita yang ia kencani. Dia melupakan
Bella, Sheira, dan nama-nama lain. Dan yang lebih fatal, dia mengacaukan tender
dengan perusahaan telekomunikasi kelas kakap di hari Senin.
Seminggu setelah kejadian itu, tepatnya di
satu sore yang cerah di daerah Jakarta Utara, Juna tengah duduk-duduk di tepian
kolam renang di rumahnya. Matanya sibuk mengamati kartu nama Arya tanpa kedip.
Dia sudah sejam di tempat itu dengan tindakan yang sama.
Mungkin
dia bisa menjelaskan rasa sakit kepala yang beberapa hari ini menghantui. Mungkin
dia juga bisa lebih mendetailkan siapa itu Haryan N. Juliandro, yang ia sebut-sebut
sebagai ayah kandungnya.
Sampai detik ini pun dia tidak juga
menghubungi Raya, mamanya, yang tinggal di Singapura. Dia tidak akan mencari
tahu lebih detail tentang apa yang sebenarnya terjadi, sebelum dia mendapatkan
informasi lengkap dari Arya.
Tangan Juna meraih Iphone 6, mengamati
sebentar, lalu menekan nomer Arya dengan cepat. Dengan hentakan kecil, jempol
kanan Juna menekan tombol hijau di layar ponsel.
“Akhirnya kamu menghubungiku. Butuh waktu
seminggu lebih untuk berpikir?”
Sudah Juna duga, orang itu pasti tidak
memiliki selera humor sedikit pun. Kaku sekali.
“Aku tak punya banyak waktu. Di mana aku bisa
menemuimu?”
Terdengar helaan napas kecil.
“Sebelumnya ada satu pertanyaan yang ingin
aku ajukan kepadamu.”
“Katakan!”
“Mengapa tiba-tiba berpikir untuk
menghubungiku?
Juna terdiam. Harus kukatakan kepadanya.
“Apakah kamu masih pusing?”
“Tak hanya itu, Arya.”
“Lalu?”
“Beberapa hari, pandanganku mendadak kabur di
malam hari. Dan aku beberapa kali seperti melihat…..sesuatu yang seharusnya tak
kulihat.”
# # #
Dua jam setelah komunikasi via telepon,
mereka berjanji untuk bertemu di dekat Monumen Nasional. Sesuai dengan perintah
Arya, Juna tidak diperkenankan untuk menaiki mobil sendiri. Dia harus diantar
oleh seseorang, naik taksi, atau busway. Pak Tedjo sedang cuti pulang ke
Surabaya karena ada keluarganya yang meninggal, jelas dia tak mungkin
mengantarkan Juna. Naik busway adalah pilihan yang salah karena di hari Minggu
seperti sekarang, wilayah Halte Cempaka Mas adalah neraka. Penuh dan panas. Dia
baru sekali naik busway, itu juga karena terpaksa. Selebihnya, dia kapok.
Kini Juna memutuskan untuk naik taksi.
13.2 km dari rumah Juna, Arya sudah menunggu
seorang diri di depan pintu Monas sisi Jalan Silang Monas Tenggara. Dia ditemani
oleh para tukang bajaj yang berjejer tak beraturan tepat di luar pintu gerbang.
Langit sudah mulai menghitam sekitar sejam
yang lalu. Cahaya di monumen kebanggaan Jakarta itu mulai menyala dan
mempercantik tubuh tegapnya.
Sebuah taksi berhenti di depan Arya, kaca kiri
di sisi penumpang turun. Kepala Juna melongok ke luar.
“Mengapa memilih tempat seperti ini untuk
bertemu?” Juna membuka pintu taksi lalu membantingnya emosi. “Dua jam dari
Kelapa Gading, sinting.”
“Pertama, kamu sepertinya harus membiasakan
diri untuk naik angkutan umum dan melihat lebih dekat kota Jakarta. Kedua, kamu
harus belajar mengendalikan diri.” Arya tak menghiraukan Juna yang berdiri di
depannya, dia berjalan mendahuluinya.
“Ke mana?”
“Halte busway,” jawab Arya.
“What?”
Lima belas menit setelah menunggu di halte, Juna
dan Arya kini berdesakan dengan penumpang lain di dalam busway menuju Halte
Harmoni. Sepanjang perjalanan Juna tampak kegerahan dan memaki-maki Arya. Arya
hanya diam tak membalas. Turun di Harmoni, mereka harus ganti busway lagi ke
arah Blok M dan berhenti di Halte Dukuh atas.
“Ganti lagi?” tanya Juna kesal ketika mereka
turun di halte dukuh.
“Tidak. Kita hampir sampai.” Arya berjalan
duluan keluar dari halte. Juna mengejarnya dan segera menyeimbangkan langkah
kakinya.
Mereka berdua melewati jembatan
penyeberangan. Juna beberapa kali harus mengumpat lirih ketika hampir menabrak
orang yang berjalan tergesa atau para penjual yang riuh ramai di sepanjang
jembatan. Arya hanya melirik kecil dan tersenyum.
“Untuk menjadi seorang Mata Rantai, kamu
harus mengendalikan emosimu, Juna.”
“Aku belum memutuskan sekarang.”
“Setidaknya kamu harus belajar dari jalanan,”
ucap Arya di antara keriuhan orang. “Seorang Mata Rantai juga harus bisa
mengenali jalan dan keadaan sekitar. Ada satu ilmu, yang nanti akan diajarkan
kepadamu juga, tentang cara mengenali dan menandai keadaan sekitar. Tadi
mungkin kamu tidak memperhatikan kilatan petir di atas Menara Monas karena
terlalu sibuk dengan omelanmu, atau seorang pencopet di Halte Harmoni di
samping kirimu, atau seseorang yang memanjat Monumen Selamat Datang di bunderan
HI.”
Arya berhenti dan menoleh ke arah Juna.
“Mengapa memandangku?”
“Aku harus menekan tombol di depanmu.” Arya
menunjuk ke arah tombol merah sebesar piring di depan Juna. “Kita sudah sampai.”
Juna memandang sekitarnya. Dia berada di
depan pintu kaca seukuran lebar satu meter. Pagar tinggi membatasi ruangan,
atau halaman, dengan trotoar tempat Juna berdiri sekarang. Beberapa meter di
sebelah kanannya adalah pintu gerbang keluar masuk mobil yang dijaga ketat oleh
orang-orang berjas rapi. Seekor anjing pelacak di dekat mereka. Mirip sekali
seperti di hotel-hotel berbintang lima.
Arya menekan tombol di depan Juna. Pintu kaca
mendadak menjadi jernih dan mereka bisa melihat keadaan di dalam pintu itu. Seorang
penjaga yang mengenali Arya tampak tersenyum, meski kaku, dan menekan sesuatu
di depannya. Pintu kaca itu mendadak buram kembali dan menyisakan bekas tangan
bergaris merah. Arya menempelkan tangan itu ke sana.
Pintu terbuka.
“Selamat malam Tuan Arya,” sapa petugas yang
memiliki badan besar, kulit hitam, dan hidung yang runcing. Di atas saku
kirinya, tampak jelas namanya : Tora Widjajanto.
Mata Tora melihat ke arah Juna.
“Seorang kandidat,” ujar Arya seakan tahu
pertanyaan Tora. Arya menyerahkan sebuah kartu kecil kepada Tora. Tora
mengamatinya, lalu matanya beralih ke Juna. Dia mengangguk.
Arya tak mempedulikan Juna yang tampak
kebingungan. Dia terus berjalan melewati lorong kecil yang di kanan kirinya
rumput hijau terawat. Lorong itu terhubung dengan halaman luas dengan rumput
yang tak kalah hijau. Sesampai di ujung lorong itu, mereka berdua disambut oleh
sebuah tulisan besar di tengah air mancur setinggi 2 meter : MATA RANTAI.
“Selamat datang,” ucap Arya kepada Juna.
Halaman itu begitu luas dengan pohon –pohon
rindang, kolam ikan, dan bunga-bunga berwarna-warni di sana. Setelah melewati
kolam air mancur, ada sebuah rumput yang dipotong sangat rapi membentuk sebuah
lambang yang belum terlihat jelas. Kata Arya, kita akan melihatnya jika sudah
berada di lantai 2 gedung ini.
Di depan mereka, berdiri gedung megah dengan
kaca-kaca besar sebagai dindingnya. Ada gedung utama dan dua gedung kembar di
belakangnya. Ketiga gedung itu membentuk sebuah simetris sempurna. Kontras
dengan kaca-kaca besar, dinding-dinding tanpa kacanya berwarna hitam dan
putih—berselang-seling.
Di sepanjang jalan, Juna melihat orang-orang
berpakaian sangat rapi: berjas, atau blesser, berwarna hitam—warna yang sangat
ia benci—dan bersepatu sangat mengkilap.
Mereka masuk ke lobi yang luas dengan lantai
marmer mengkilap. Meja resepsionis berada di antara tangga besar berlapis karpet hitam berukir emas. Tangga di kiri, meja resepsionis, dan tangga di
kanan membentuk lagi-lagi membentuk simetris seperti gedung ini. Lukisan-lukisan
besar dengan frame ukiran ada di beberapa sudut dinding. Batu-batu marmer
membentuk aneka hewan, didominasi oleh naga, ular, dan belalalng.
Di belakang meja resepsionis, terdapat
lambang yang entah apa artinya. Tak ada tulisan Mata Rantai di sana. Juna seperti
pernah melihat lambang itu. Tapi ia lupa di mana.
“Ini perusahaan yang kata kamu mau bangkrut?”
tanya Juna heran. Kantornya sendiri tak sebesar ini.
“Ya, biaya operasionalnya terlalu besar.
Sekarang kita harus menekannya besar-besaran.” Penjelasan Arya terlalu singkat.
Juna masih melihat-lihat area lobi dan tidak
menyadari bahwa Arya sudah menghilang dari depannya. Dia celingukan ke kanan
dan ke kiri. Ada seorang lelaki tua yang berdiri di dekat tangga. Seperti yang
lain, dia berjas rapi dan sepatu mengkilap.
“Apakah kamu melihat seseorang yang bersamaku
tadi?” tanyanya.
“Tuan Arya?”
Oh, dia
mengenalnya.
“Ya, Arya. Kamu melihatnya?”
Lelaki itu menunjuk ke lantai dua. Juna
mengangguk kecil lalu bergegas meninggalkan lobi. Padahal sebenarnya dia masih
ingin berlama-lama di sana dan sedikit menggoda resepsionis. Dia melihat bahwa
wanita-wanita itu sangat menarik.
Juna menaiki tangga dan tepat di anak tangga
terakhir, dia melihat Arya sedang berbincang dengan seseorang.
“Juna, ke marilah!” Juna mendekat. “Kenalkan
ini Janero Karsten. Salah satu asisten dari Tuan Mata. Janero, kenalkan ini
Juna.”
“Sedang berkenalan denganmu Tuan Tuna,” ujar
Janero sambil menjabat tangan Juna erat.
“Juna,” ujar Juna membenarkan pelafalan
namanya.
“Zina?” kening Janero mengerut.
“Juna. Jennifer Lawrence, Ussy Sulistiawati,
Nabila Syakieb, Ariana Grande,”
“Excusme.”
Janero tampak berpikir sebentar. “Oh, of
course, Juna, Tuan Juna. Senang bertemu dengan Anda akhirnya. Anda ternyata
lebih muda dari perkiraan saya. Anda sangat terkenal sekali saat ini di antara
kami. Bukan begitu, Arya?”
Arya tak menghiraukan pertanyaan Janero.
Juna nyengir kecil. Apakah orang-orang di
sini memang diciptakan untuk menyebalkan semua? batin Juna.
Mereka bertiga berjalan ke arah lift diiringi
dengan obrolan yang lebih banyak didominasi oleh Janero. Seperti saat dipintu
gerbang, lift diakses menggunakan telapak tangan. Mereka bertiga masuk. Dan tak
sampai lima detik mereka sudah sampai di lantai paling atas gedung ini, lantai
17.
Di luar lift, Juna dikenalkan dengan beberapa
orang yang ada di sana. Mereka tampak sungkan dan terdengar berbisik-bisik
ketika Juna meninggalkan mereka. Dan persinggahan mereka adalah sebuah ruangan
bundar besar dengan dinding kaca. Tak ada properti apapun di sana.
Seorang wanita berdiri di tengah-tengah
ruangan itu. Dia mengenakan blaser warna biru tua yang membungkus baju warna
biru yang lebih cerah. Berbeda dengan beberapa wanita yang memakai blazer
hitam.
Yang membuat mata Juna tak berhenti melirik
adalah wanita itu mengenakan rok di atas lutut warna biru gelap. Terlihat
kakinya yang jenjang dan putih, serta semakin cantik dengan paduan high heels setinggi 12 cm berwarna biru
tua (lagi). Yang membuatnya tampak aneh adalah rambutnya yang dibuat sanggul
kecil dan menyisakan rambut sedikit yang terurai di ujung sanggulnya. Hanya
cara menata rambutnya inilah yang sama dengan wanita lain.
“Ariana, kenalkan ini Tuan Juna.”
“Ariana, tapi bukan Ariana Grande,” sambung
Janero memotong ucapan Arya. Janero melirik ke arah Juna yang tampak kesal.
“Juna Janero.”
“Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Muda.
Saya Ariana.”
Kaku dan tampak formal. Bukankah di awal Arya
mengatakan bahwa perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang
ilmu….gaib. Atau ia menyebutnya paranormal? Atau memang semuanya seperti itu.
Mistis.
Juna menjabat tangan Ariana. Dan seperti yang
ia lakukan kepada wanita-wanita lain, dia memegangnya sedikit lama dengan
sentuhan jempol lembut ke punggung tangan Ariana. Ariana tampak memandangnya
aneh.
“Senang berkenalan dengan Anda,” ucap Ariana
seolah menegaskan bahwa ia ingin terlepas dari tangan Juna.
Buru-buru Juna melepaskan tangan Ariana.
“Baiklah, Tuan-tuan dan Nona. Kita tidak
punya waktu banyak. Ada beberapa hal yang harus kita selesaikan hari ini. Dan
Tuan Juna…” Arya memandang Juna. Juna menoleh. “Kita akan mulai penjelasan dari
sini.”
Arya mengambil sesuatu dari saku jasnya.
Sebuah remote kecil, seperti ponsel Iphone 5. Dia menekan tombol di sana.
Sedetik kemudian kaca-kaca yang
mengelilingi ruangan itu menghitam, lalu terbuka. Lorong lebar ada di depan
mereka yang menghubungkan dengan sebuah ruangan lain. Arya memimpin mereka
melewati lorong yang medadak bercahaya terang. Mereka sampai di ruangan lain
yang lebih kecil. Arya menekan tombol lain. Dan ruangan itu mendadak menjadi
terang.
Meja kaca, kursi empuk besar, dan sebuah sofa
di sudut ruangan menjadi pengisi utama ruang itu.
Arya berjalan ke arah tembok. Memencet tombol
di remotenya kembali. Mendadak tembok itu menjadi seperti layar LED yang
mengeluarkan simbol yang mirip seperti di resepsionis. Mata Arya mengarah ke
simbol itu, seperti mencocokkan kode. Dan sebuah voice over kecil keluar dari
LED itu : Akses diterima.
Layar LED itu menampilkan Gedung Mata Rantai
dari sisi luar dan sebuah shortcut-shorcut yang belum Juna mengerti. Arya
memencet beberapa tombol. Dan sebuah video keluar.
Seorang lelaki tua keluar dari LED seperti
hologram 3D. Tersenyum kepada mereka. Lelaki itu tampak mengenakan jas dan
berkaca mata.
“Selamat Datang di Mata Rantai,” ucap hologram
itu seperti menyambut kedatangan mereka. Di belakang ia berdiri, ada gedung Mata
Rantai yang megah.
“Mengapa orang itu ada di layar? Tadi aku
melihatnya di resepsionis,” ucap Juna.
Ketiga orang yang berdiri di dekatnya menoleh
bersamaan.
“Maksudmu?” tanya Arya.
“Ya, orang itu.” Juna menunjuk hologram itu
lagi yang kini tampak duduk disebuah kursi yang sangat mirip dengan yang ada di
ruangan ini. “Tadi aku melihatnya.”
“Kamu yakin?” tanya Ariana.
“Sangat yakin,” ucap Juna sambil melempar
senyum kepada Ariana yang disambut dengan tatapan penuh keheranan. Juna merasa
dirinya seperti dihakimi oleh semua orang. Tak hanya Ariana, Arya dan Janero
juga menatap heran. “Tunggu, mengapa kalian melihatku seperti itu?”
“Tuan Juna. Mungkin penjelasannya akan kami
awali sekarang. Hologram di depan kamu sekarang adalah pemilik perusahaan ini.”
Juna melihat ke arah hologram itu lagi.
“Dia adalah Tuan Mata, atau Haryan N.
Juliandro. Dan beliau sudah meninggal sebulan lalu.”
# # #
[ BERSAMSUNG ]
Baca kelanjutannya di sini
*nungguin kelanjutan ceritanya* :D
ReplyDeleteBtw, salam kenal mas admin ^_^
Huaaaaa.. Kok bisa? Tuan Mata berwujud hologram, begitu kah?
ReplyDeletehehehe...bukan dong yaaa
Deleteini gaib digabungkan dengan teknologi?
ReplyDeleteIya :) sedang mencoba cerita baru :)
Deleteini gaib digabungkan dengan teknologi gitu?
ReplyDeleteMakin ke sini, saya makin menikmati
ReplyDeleteTypo: Selerea
partikel pun dipisah: sedikit pun
napas
bundaran
lapir, simtris, sedang berkenalan, apa pun, memenjet? memencet
thank koreksinya. Kamu jeli sekali :)
Delete