Yang sering mengalami luka, bukan jenis luka
yang bisa diobati dengan membeli obat di apotek. Hatiku rapuh sejak kecil.
Sejak aku belum mengenal rasa gemetar di relung jiwa. Sejak aku masih sering
menangis karena melihat kedua orang tuaku bertengkar, ayahku membanting piring,
ibuku menangis di pojok kamar. Akulah perempuan yang mendadak selalu pilu saat
ayah pergi dari rumah, tak kembali lagi untuk waktu yang lama. Lalu kudengar
ibu menangis suatu malam. Menangisi ayah yang dulu membuatnya jatuh cinta.
Menangisi ayah karena cinta mereka tak lagi utuh. Pecah, berderai. Dan kepingan
cinta ayah menyatu dengan hati perempuan lain. Yang mungkin tak pernah patah
hati.
Perputaran waktu membawaku pada satu sore,
hujan turun saat itu, dan aku bertemu dengan dia. Dia yang awalnya kubenci,
bukan karena dia mencintaiku. Namun, karena dia laki-laki.
Laki-laki yang penuh pesona. Rambutnya selalu
disisir rapi. Tubuhnya selalu wangi. Bajunya disetrika tanpa ada cela. Dia yang
selalu berdiri tegap, berjalan penuh dengan rasa gagah dan mantap. Selalu
menjadi perbincangan semua wanita di sekolah. Dialah si juara umum dalam hal
mata pelajaran. Dialah yang selalu berhasil membuat poin saat kejuaraan basket
antar sekolah.
Dialah yang membuatku jatuh cinta. Bagaimana
bisa, aku yang membenci laki-laki karena ulah ayahku sendiri, bisa jatuh hati
pada seorang laki-laki? Bagaimana bisa, rasa yang sudah lama mati, dikebiri,
lambat laun mulai mencair karena pesona seorang lelaki? Bagaimana mungkin?
Suatu sore yang cerah, padahal biasanya
hujan, dia datang ke rumah. Tak biasanya, ibu bersikap ramah pada teman
lelakiku. Dia meminta ijin kepada ibu untuk mengajakku pergi bermain. Saat itu
sabtu sore. Ibu mengijinkan. Toh, aku sudah tujuh belas tahun. Sebentar lagi
aku sudah kuliah. Ibu hanya berpesan agar aku hati-hati menjaga hati. Aku pun
mengangguk.
Kami berdua pergi ke padang rumput yang
indah. Warna hijau mendominasi, sesekali di selingi oleh warna jingga. Langit
tak bermendung. Dia memegang tanganku. Dan sang juara umum di sekolah itu
mendadak gugup saat dia mengatakan : ‘Kamu mau melengkapi hatiku?’.
Aku luluh.
Aku akhirnya melengkapi hatinya. Kami berdua
seperti sepasang merpati yang terbang tinggi di antara awan, lalu hinggap di
gedung paling tinggi. Tak banyak bicara menikmati langit jingga sore.
Tuhan begitu baik. Setelah hatiku rapuh
karena membenci ayah, ternyata ada seorang lelaki yang mau melengkapi hatiku.
Apakah memang begitu, selalu ada pelangi
setelah mendung dan badai hujan?
Tapi, bukankah sudah kukatakan di awal
dongeng ini. Akulah perempuan yang sering patah hati. Dia yang membuatku jatuh
cinta, kini menjadi seorang yang membuatku patah hati juga.
Dia pergi. Dia menghilang. Pergi entah ke
mana. Tak ada kabar. Menghilang seperti seorang pemberontak di tahun 1965.
Jejaknya tak ada yang tahu. Bertahun-tahun aku merindu, bertahun-tahun aku
mencari.
Dia yang membuatku jatuh cinta, kini menjadi
orang yang paling kubenci. Dia tak lebih pengecutnya dari ayahku. Dia tak lebih
menyakitkannya daripada mantan suami ibu. Dia yang menawarkan begitu banyak
cerita.
Apa yang ia tanyakan dulu kepadaku sore itu :
Melengkapi Hatinya? Hatinya yang mana?
Aku hancur. Aku lebur. Bertahun aku merindu,
bertahun aku menanggung derita. Dia seperti pembuka luka-luka. Setiap aku
berhubungan dengan seorang pria, selalu kandas begitu saja. Selalu aku yang
menjadi korbannya. Dan karena dia. Karena dia yang membuka cinta, lalu
menguburnya.
Dia yang bernama Mahesa. Dia yang menabur
luka.
Lalu, sebulan yang lalu, Mahesa datang.
Kembali menawarkan cinta.
# # #
Ibu pernah bilang kepadaku, pilihlah dia yang
sekali melihatnya, kamu akan bahagia jika hidup bersamanya.
Lalu aku bertanya, apa yang ibu rasakan ketika
pertama kali melihat ayah.
Ibu menjawab. “Cinta.”
Aku bertanya kembali. “Cinta? Lalu apakah ibu
tidak bahagia?”
“Ibu bahagia. Sebab itu ibu menerima lamaran
ayahmu. Namun, mungkin ayah tidak.”
Aku tertegun. Sepicisan itukah cinta?
Haruskah kita menerima orang yang membuat kita bahagia, sementara kita tidak
tahu apakah dia merasakan hal yang sama? Mengapa selalu ada yang dikorbankan?
Apakah memang begitu yang namanya perasaan.
“Apakah kamu bahagia melihat Mahesa kini?”
“Tidak. Aku membencinya. Aku batal menikah
karena lelaki yang akan kunikahi pergi dan kembali pada mantannya. Aku selalu
dikhianati, diselingkuhi. Dan itu semua karena dulu Mahesa pergi
meninggalkanku. Karena dia yang membuka
gerbang rasa sakitku.”
“Apakah kamu tidak pernah berpikir, mungkin
Tuhan memang selalu membuatmu patah hati, orang-orang yang kamu cintai pergi,
karena suatu hari nanti akan datang seorang yang benar-benar Tuhan kirimkan
untukmu?”
Aku tertegun. “Jadi selama ini Tuhan belum
mengirimkan seseorang itu?”
Ibu menggeleng.
“Bagaimana dengan ibu?”
Ibu tersenyum kecil. “Karena ibu masih
mencintai ayah, apapun yang telah ia perbuat kepada ibu.”
Bodoh, pikirku.
# # #
Akulah perempuan yang sering patah hati.
Yang kini sedang duduk menanti seorang pria
yang akan menjabat petugas KUA. Aku sudah dipermak menjadi seorang bidadari.
Berpakaian serba putih dengan sanggul kecil berhias bunga melati. Aku yang dari
pagi ibu puji, bahwa aku cantik laksana bidadari. Aku mewarisi kecantikan ibu.
Akulah perempuan yang sering patah hati.
Yang kini sedang menunggu. Berdoa dalam hati
bahwa lelaki yang akan datang itu tak lagi pergi. Aku berdoa agar tak lagi ada
pengecut yang meninggalkanku di hari pernikahanku kini.
Aku berdoa, agar tak ada lagi yang merengut
kebahagianku.
Akulah perempuan yang sering patah hati. Yang
kini duduk berwas-was diri. Karena aku tak ingin hatiku kembali hancur. Kembali
menoreh luka.
Aku tak ingin seperti sahabatku, Rinjani,
yang ditinggal pergi ke surga oleh calon suaminya. Suaminya meninggal saat
menjadi relawan di daerah konflik (Baca kisah Rinjani di dongeng DAN BIARKAN
WAKTU TERHENTI, di sini).
Aku tak ingin tiba-tiba ada seorang yang
datang, tergopoh-gopoh, membawa berita bahwa dia telah pergi. Pergi untuk
selamanya. Tuhan memanggilnya lebih cepat dari yang diduga.
Tapi, dia memang datang.
Ibu memang benar. Mungkin Tuhan selalu
membuatku patah hati, agar hatiku terus teruji. Agar aku dipertemukan oleh
orang yang tepat.
Sejak bertemu dengannya, aku memang selalu
berpikir bahwa dialah yang bisa membuatku terus bahagia. Selama hidupku.
Yah, meskipun orang itu pernah juga membuatku
patah hati.
“Itu Mahesa,” Ibu menunjuk seorang pria yang
berjalan ke arah meja ijab qabul. Masih seperti dulu, rambutnya disisir rapi. Jalannya
penuh gagah dan mantap. Dan kudengar semua wanita di sekitarku berbisik bahwa
Mahesa ganteng sekali. Hari ini. Di pernikahan kami.
Aku tersenyum.
Akulah perempuan yang sering patah hati. Agar
aku tahu, bagaimana rasanya mencintai.
# # #
Untuk seorang kawan yang
ingin dibuatkan sebuah cerita tentang arti patah hati.
Apakah sekarang kamu
mengerti?
Keren cerpennya..
ReplyDeleteTernyata patah hat mmaksa kita untuk mnjd prbadi yg lbih kuat dan tegar..smoga wanita lain sadar dan paham makna sakit hati..hehe
Salam kenal dari saya :)
Salam kenal balik bro :)
DeleteKeren cerpennya gan..
ReplyDeletePatah hati memang bisa merubah kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi..
Tuhan sudah menuliskan kisahNya,
DeleteAlhamdulillah happy ending.. Kadang sakit itu justru harus dirasakan agar bisa menguji mental yak :D
ReplyDeleteTuhan selalu menyimpan yang terbaik di terakhir bukannya?
DeletePatah hati memang mengajarkan kita untuk mencintai ya
ReplyDeleteIya
DeleteDan rasa ikhlas
Terlatih patah hati. Aku aja sampe males pacaran haha
ReplyDeleteWew !!
Delete