Mata bulat warna biru milik Juna menatap
ketiga wajah di depannya bergantian. Setelah itu, dia melihat hologram yang
kini tampak duduk di atas kursi warna emas berukir naga. Juna menelan ludah
karena menyadari bahwa hologram itu adalah Tuan Mata yang dikabarkan Arya telah
meninggal dunia. Sementara dirinya tadi baru berpapasan dengan Tuan Mata di
lobi perusahaan ini.
Hologram Tuan Mata diam saja. Namun, kedua
matanya seperti hidup dan memandang Juna.
“Arwah seseorang yang belum empat puluh hari
memang masih suka berdiam diri di ‘rumahnya’,” kata Ariana di tengah keheningan
yang tercipta.
“Ya mungkin benar,” ujar Juna lirih. Mata
Juna melirik lagi ke arah hologram.
“Atau kecuali kamu memang benar-benar
melihat….”
Arya menyela ucapan Ariana. “Ariana, mungkin
dia belum bisa dijelaskan terlalu detail. Lebih baik kita langsung ke pokoknya
saja. Waktu kita tidak banyak. Sudah hampir satu bulan kita mendiamkan
perusahaan ini.”
“Ya, tentu saja. Jika tidak menginginkan
perusahaan ini lebih bangkrut lagi, kita harus mengambil sikap,” Janero tampak
tersenyum kecut.
“Jaga ucapanmu, Janero,” sambar Ariana.
Matanya tajam menatap Janero. Janero membalas tatapan itu dengan senyum kecil.
Juna yang tak mengerti dengan pembicaraan
orang-orang di depannya berdehem sebentar dan berharap orang-orang itu
menyadari kembali kehadirannya.
“Maafkan percakapan ini, Tuan,” ujar Arya
kepada Juna. Juna mengernyitkan kening tak mengerti. Lanjut Arya, “Kami akan
melanjutkan penjelasan tentang Mata Rantai secepatnya.”
Arya menekan tombol remote di tangannya
kembali. Ruangan menjadi gelap. Arya meminta orang-orang untuk menepi dan
mengosongkan bagian tengah ruang. Ketika sudah kosong, ada cahaya yang keluar
dari atas membentuk lingkaran ke bawah. Cahaya itu merapat sedikit demi
sedikit, namun masih tembus pandang. Di dalam lingkaran cahaya itu ada hologram
perusahaan Mata Rantai. Dan juga penjelasan tentang Mata Rantai dalam infografis
3D.
Juna memerhatikan dengan saksama. Telinganya
juga mendengarkan. Dia berharap, penjelasan infografis itu akan mengerucut ke
satu pertanyaan: Siapa dirinya dan apa yang terjadi dengan dirinya selama
beberapa bulan ini?
Berdampingan dengan infografis itu, muncul
suara seorang wanita yang menjelaskan secara detail tentang Mata Rantai.
Mata Rantai adalah perusahaan keluarga.
Didirikan pada tahun 1935 di tengah carut marut keadaan negeri ini. Mata Rantai
sebagai perusahaan nasional menangani beberapa kasus yang berhubungan dengan
alam gaib. Awalnya perusahaan ini ditentang oleh pemerintahan karena dianggap
sebagai paham yang menyesatkan. Akhirnya, Tuan Haryan Severado, Tuan Mata
Generasi 1, menjadikan Mata Rantai tidak hanya bergerak dibidang jasa yang
berhubungan dengan alam gaib, namun juga perusahaan yang bergerak dalam bidang
lain.
Namun, di tahun 1946 setelah kemerdekaan
negara ini, Mata Rantai mengalami kendala perijinan dan akhirnya di tutup untuk
sementara. Dan dibuka kembali pada tahun 1965 oleh Tuan Mata ke-2, Tuan Haryan
Januardo. Tuan Mata ke-2 membangun kembali perusahaan ini. Mata Rantai tidak
hanya bergerak di bidang pelayanan jasa konsultan untuk pembangunan
gedung-gedung yang biasanya membutuhkan pembebasan lahan dari alam gaib, namun
juga di bidang alat berat dan perhotelan.
Kini, di tahun 2015, Mata Rantai telah
memiliki 5 anak perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang perhotelan dan
mall, konsultan, kontraktor, alat berat, dan lifestyle. Di bawah kepimpinan Tuan Mata Generasi 3, Haryan N.
Juliandro, Mata Rantai sempat mengalami masa keemasan di tahun 2010 hingga
2012. Lalu perlahan-lahan mulai merugi ketika Tuan Mata mendadak sakit.
“Mendengar penjelasan ini, aku berasumsi
bahwa perusahaan ini sangat besar. Namun, mengapa aku tidak pernah mendengar perusahaan
Mata Rantai?”
“Mata Rantai adalah sebuah istilah. Kamu
pernah mendengar Seen Moon, Building The Sun?” tanya Arya.
“Ya, mereka adalah raksana perhotelan dan
kontraktor. Setahu saya mereka di bahwa bendera besar MR Haryan Corp,” ujar
Juna. Lalu matanya melotot tak percaya, “Tunggu…jangan-jangan…”
“Tepat sekali. Masyarakat luas lebih mengenal
MR Haryan Corp dibandingkan Mata Rantai. Nama Mata Rantai hanya digunakan untuk
kalangan internal. Tidak pernah terpublikasi. Tetapi, jika kamu bergerak di
bidang kontraktor, nama Mata Rantai sangatlah familiar. Kami menggunakan Mata
Rantai untuk anak perusahaan yang bergerak di bidang konsultan….”
“Alam gaib,” ucap Janero melengkapi
penjelasan Ariana. Lelaki itu melirik Ariana sambil tersenyum. Ariana tak
menghiraukannya.
Juna menarik nafas perlahan. Semua penjelasan
di atas, belum menjawab pertanyaannya. Dan kedatangannya ke sini, bukan untuk
mencari ceramah tentang perusahaan ini.
“Lalu apa hubungannya semua ini denganku?”
ucap Juna tegas. Dia mulai gerah berada di sini.
Terdengar Janero terkekeh, seolah mengejek.
Arya melihat ke arah Janero. “Jaga sikapmu,
Janero. Sebentar lagi, jika dia lolos, dia akan menjadi….”
“Atasan kita?” tanya Janero pelan. “Dua puluh
delapan tahun dan baru saja berkecimpung di dunia bisnis? Dia bahkan tidak tahu
cara melihat hantu.”
“Maksud kamu, aku?” tanya Juna lantang.
“Cukup,” Arya menyudahi perdebatan, sebelum
terlambat. Arya mengalihkan padangannya kepada Ariana di samping kanannya.
“Ariana, tolong panggilkan Dilan.”
Ariana mengangguk dan berlalu dari ruangan
itu.
Beberapa menit kemudian, dia datang bersama
seorang lelaki tua. Juna menafsir bahwa umur lelaki itu 65 tahunan. Tinggi,
kurus, dengan mata cekung dan hidung bengkok. Rambutnya sudah putih beruban,
tetapi disisir dengan rapi. Kontras dengan orang-orang di sini, dia mengenakan
jas warna putih dengan dalaman warna merah marun.
“Helo, Arya, Janero. Maaf tadi aku terlambat. Dan aku belum makan siang, jadi terpaksa aku makan dulu di bawah,”
kata lelaki yang bernama Dilan itu. Logat bataknya sangat kental.
“No
Problem, Dilan. Kita belum terlalu lama,” ujar Arya.
Dilan mengambil tempat di samping Arya,
berseberangan dengan Juna.
Dia berdehem kecil, lalu mengeluarkan sebuah amplop
kecil dari saku dalam jasnya. Amplop berwarna hitam dengan tulisan tinta emas.
“Di mana dia?” tanyanya kepada Arya. Arya
spontan melihat ke arah Juna. Dilan mengikuti arah pandang Arya.
“Oh, dia.” Dilan tersenyum kecil.
Juna tampak kikuk dipandangi orang tua macam
Dilan. Dia membalasnya dengan sunggingan kecil (sebenarnya sangat kecil).
“Juna kenalkan ini Dilan. Dia adalah
pengacara Tuan Mata.”
Dilan menjabat tangan Juna kuat.
“Sangat mirip dengan ayahnya. Lihat matanya,
aku seperti melihat Juliandro sewaktu muda. Oh, aku jadi ingat sahabatku itu. Tak
kusangka dia pergi secepat ini,” Dilan menyeka air matanya yang hampir jatuh.
“Tapi sudahlah….” Dia menunjukkan amplop di tangannya ke depan. “Belum kubuka.”
Mata Janero, Arya, Ariana, dan Juna menatap
ke amplop hitam itu. Dilan menurunkan tangannya dan hampir saja membuka amplop
itu.
“Tunggu,” kata Juna. Semua mata melihatnya.
“Ya?”
“Aku mulai terlibat terlalu jauh. Tapi aku
tak mengerti dengan semua ini. Arya, tolong jelaskan kepadaku secepatnya atau
aku akan pergi dari sini. Pertama, mengapa kamu selalu mengatakan bahwa aku
adalah penerus generasi Mata. Kedua, mengapa saya beberapa hari ini pusing dan
melihat sesuatu yang aneh. Mungkin kita bisa mulai dari situ.”
Dilan tertawa kecil. “Darah Mata. Kamu
benar-benar mirip ayahmu, Juna. Aku akan segera menjawab
pertanyaan-pertanyaanmu.”
Juna mendelik.
“Jawaban pertama akan ketahuan jika kita
membuka amplop ini. Jawaban kedua adalah karena kamu tentu memiliki ilmu mata
ketujuh yang tentunya tidak dimiliki oleh sembarang orang di dunia ini.”
Tanpa memedulikan kebingungan di wajah Juna,
Dilan menyobek amplop di tangannya dan mengeluarkan kertas berwarna emas dari
dalam amplop.
“Oh, ini dia.” Dilan merentangkan kertas itu.
Lalu membacanya.
Jika
kertas ini telah di buka. Tentu aku sudah tiada. Maka, Mata Rantai akan
diteruskan rantainya. Dia harus tetap berputar.
Rumput,
katak, ular, elang, dan cacing.
Maka
orang berdarah Matalah yang pantas meneruskan Mata Rantai, sesuai titah dari
Generasi Pertama.
Semua
hal, bentuk, peraturan, dan harta di Mata Rantai kini menjadi milik penerus
berikutnya. Kuncinya akan aku serahkan sebentar lagi kepadanya. Kunci ke ruang
rahasia Mata Rantai.
Dia
memiliki jiwa seperti rumput, katak, ular, elang, dan cacing.
Selamat
melanjutkan Mata Rantai, Juna Mata.
# # #
“Juna tunggu,” Arya mengejar Juna dengan
berlari. Juna tampak berjalan sangat cepat menyusuri lorong berkaca. Tak
dihiraukan Arya yang terus mengejarnya. “Hei, bukankah kamu belum tahu jawaban
yang kedua.”
“Aku tak membutuhkannya.”
“Oh, come
on,”
Juna terus berjalan cepat, sementara Arya
sudah mengikuti di samping kanannya.
“Dengarkan penjelasanku,”
“Sudah terlalu bertele-tele, Arya. Dan
dengar, aku tak ingin terlibat dalam perusahaan supranatural, atau gaib, atau
apalah ini. Aku akan kembali ke hidupku, kembali ke perusahaanku, kembali
menjalani hidup normal. Dan kuharap kamu mengerti dan tidak akan menggangguku
lagi.”
“Oh, dengar, Arya. Kami berharap padamu.
Kunci Mata Rantai tak akan terpasang dengan baik tanpa penerusnya. Itu berarti
semua berkas, harta, dan segala hal tentang perusahaan ini tak akan ada yang
tahu.”
“Itu bukan urusanku tentu saja.”
“Apakah kamu belum percaya bahwa kamu adalah
anak kandung Tuan Mata?”
“No,”
“Apakah kamu belum yakin?”
“Not
yet. Dan buat apa?” langkah Arya semakin lebar dan cepat.
“Kamu tidak ingin mengetahui mengapa kamu
sering melihat hal-hal aneh belakangan ini?”
“Tidak lagi. Mungkin aku terlalu banyak
begadang dan kerja, jadi aku sering berhalusinasi.”
“Oh
come on, Tuan Juna.”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu.”
“Kamu memiliki indera ketujuh. Jadi kamu…”
“Stop,
Arya,” ucap Juna lantang. Juna berhenti dan memutar tubuhnya 90 derajat
sehingga ia sempurna melihat Arya. “Aku tak ingin mendengar penjelasan lebih
lanjut tentang Mata Rantai atau apapun itu. Kuharap kamu bisa mengerti.”
“Baiklah…baiklah.” Arya mengambil nafas. “Aku
tak akan memaksa lagi.”
“Good.”
“Tapi, aku akan mengatakan satu hal. Tolong
dengarkan.” Arya menatap Juna, serius. “Ada satu orang yang mungkin bisa
menjelaskan ini semua. Kamu pasti akan memercayainya. Aku mungkin tak akan
kamu percaya lagi. Warisan yang dibacakan oleh Dilan mungkin juga tak akan
menjelaskan semuanya. Tapi ada satu orang yang bisa menjelaskan hal ini selain
kami.”
Juna tak bergeming. Tak acuh dengan
penjelasan Arya.
“Ibumu. Tanyakan kepada dia, siapa ayahmu
sebenarnya. Jika kamu sudah tahu, terserah apapun keputusanmu, kami akan
terima.”
# # #
“Dia sudah pergi?” tanya Janero kepada Arya
yang dibalas dengan anggukan. Arya kembali ke ruang Tuan Mata. “Baguslah. Aku
masih ragu dengan dirinya. Dia masih sangat terlalu muda untuk memimpin
perusahaan sekaliber Mata Rantai. Kalian tahu kan, bahwa perusahaan ini bukan
perusahaan biasa.”
“Tapi kita harus menghormati keputusan Tuan
Mata. Bukankah begitu, Dilan?” tanya Ariana kepada Dilan.
Dilan hanya mengangguk. Baginya, apa yang
sudah diucapkan Tuan Mata kepadanya tidak bisa diubah lagi. Bahkan oleh
orang-orang didepannya kini. Yang tentunya masih berharap akan dipilih untuk
memimpin Mata Rantai.
“Lucu sekali. Seseorang yang tidak kita
kenal, tidak tahu siapa dia, tahu-tahu dititahkan untuk memimpin Mata Rantai,”
ucap Janero dengan tawa kecil.
“Janero, dia adalah putera kandung Tuan Mata.
Ingat itu,” Arya menegaskan ucapannya agar teman asistennya itu ingat.
“Kalian tidak perlu munafik. Pasti kalian
juga berharap dapat memimpin perusahaan ini, walaupun hampir bangkrut. Lagian dia hanya putera dari seseorang yang tak pernah dinikahi Tuan Mata.”
“Janero, jaga ucapanmu!” teriak Ariana.
“Dewan Sidanglah yang akan memutuskan
nantinya. Disaksikan oleh semua orang. Dan keputusan Tuan Mata tidak bisa
diganggu gugat. Siapkan saja diri kalian untuk membantu Juna Mata. Aku yakin
dia kembali,” kata Arya yang diberi anggukan setuju oleh Dilan.
# # #
BAB 4
Juna Mata sudah bilang bahwa dia tak perlu
dijemput di Changi Airport kepada
maminya. Dia bisa berangkat sendiri ke apartemen maminya itu. Tetapi, seperti
biasa, Nyonya Raya tidak pernah akan membiarkan putera pertamanya datang tanpa
sambutan darinya. Siang ini, berbalut gaun warna merah metalik dengan sepatu
warna merah juga, Nyonya Raya menjemput Juna seorang diri. Di usianya yang
hampir berkepala enam, Nyonya Raya masih terlihat enerjik dan fashionable.
“Bukankah sudah kubilang, Mami nggak perlu menjemputku,”
ucap Juna kepada maminya di dalam mobil.
“Dan bukankah sudah kubilang juga, Mommy
tidak rela melihat anak kesayangan mami terlantar di bandara.”
“Mam, Juna sudah puluhan kali ke Singapore
kali. Mengapa mami masih menganggapku seperti anak kecil.”
“Oh Dear,
mami tidak pernah menganggapmu anak kecil.” Nyonya Raya mengusap rambut Juna.
“Hentikan Mam, kamu bisa merusak rambutku.”
Nyonya Raya terkekeh kecil. “Kamu memang
tidak pernah berubah, Juna. Kita mau makan dulu, atau….”
“Ke apartemen langsung. Juna tidak punya
banyak waktu sini. Besok harus kembali ke Jakarta.”
“Oh Dear,
kamu tidak kangen sama mami?”
Juna tak menjawab. Sudah hampir sebulan lebih
dia memang tidak mengunjungi maminya di Singapura. Hal itu bukan tanpa alasan.
Kerjaannya memang sedang gila-gilaan di Jakarta.
“Papi ada?” tanya Juna kemudian.
Dia memandangi jalanan tanpa menoleh ke arah
maminya yang sedang melihat ponsel. Dia masih heran, mengapa negara sekecil ini
bisa makmur dan jalanannya tidak seruwet Jakarta. Juna kadang merasa tidak
betah tinggal di Jakarta. Tetapi dia tidak mungkin juga pindah bersama mami dan
papinya. Juna bukan tipe orang seperti itu. Ditempa dikeluarga seorang profesor
dan bisnisman menjadikan dia sangat mandiri. Termasuk untuk urusan uang.
Robert Harjoko, papinya, adalah seorang
profesor di universitas yang kini masih saja diminta mengajar padahal harusnya sudah pensiun. Namun karena ia menyukai dunia pendidikan, dia pun menyetujuinya. Sedangkan maminya adalah seorang pebisnis yang sukses
dengan butiknya. Paduan ini menghasilkan seorang Juna yang perfeksionis dan
disiplin untuk urusan pekerjaan.
“Masih mengajar. Mengapa? Ada yang perlu kamu
ceritakan kepadanya?”
“Oh, tidak. Justru aku berharap dia tidak
ada.”
Nyonya Raya melihat ke arah puteranya.
“Apakah kamu menghamili gadis orang?”
Juna mendelik. Pertanyaan macam apa ini? “Mom, plis. Jangan berangan yang tidak
jelas. Aku masih putera Tuan Robert dan Nyonya Raya yang baik.”
“Oh tidak Dear,
kata Fernando, kamu selalu berganti-ganti pasangan di Jakarta.”
Fernando adalah asisten Juna di kantor. Dia
adalah orang kepercayaan Juna dan Nyonya Raya.
“Ah, terkutuklah Fernando menyebar gosip yang
tidak jelas seperti ini.”
“Darling, sudah waktunya kamu…”
Juna memilih pura-pura menutup telinga dan
tidak mendengarkan nasihat Nyonya soal ‘Memilih Pasangan Hidup’. Nasihat itu
sudah berulang kali dia dengar dan isinya selalu sama. Bahwa dia sudah waktunya
untuk menikah, memiliki anak, mau mencari apalagi. Bukankah dia sudah memiliki
karier yang bagus. Begitu kira-kira isi ceramah Nyonya Raya kepada anaknya.
Nasihat yang sama dari ibu-ibu di negara manapun. Dan bagi Juna, hidupnya masih
terlalu muda untuk memikirkan rumah tangga. Dia masih 28 tahun dan masih ingin
mengembangkan perusahaan Digital Consultant-nya.
Jadi, Juna memilih kembali menatap jalan yang
seolah-olah berair. Fatamorgana.
Tunggu…mengapa
ada Tuan Mata di pinggiran jalan? Juna menoleh ke
belakang. Orang itu masih berdiri di pinggir jalan mengenakan jas warna hitam.
Persis seperti orang yang ia temui di lobi perusahaan Mata Rantai.
Oh
tidak-tidak. Pasti ini hanyalah halusinasi.
Untuk saat ini, Juna lebih memilih
mendengarkan maminya daripada melihat hal-hal yang aneh lagi.
“Jun…”
“Ya?” Juna menoleh ke arah maminya.
“Jadi kamu mau mami jodohkan dengan anak
gadis teman mami? Cantik, kok?”
Oh
shit…
# # #
Juna akhirnya meminta supir mami menghentikan
mobil di sebuah restoran masakan cina. Dia sudah tidak tahan dengan
nasihat-nasihat mami tentang pernikahan. Lebih parahnya, Nyonya Raya menunjukkan
beberapa foto anak gadis temannya kepada Juna. Hal itu semakin membuat Juna
muak.
Jadi di sinilah mereka kini. Restoran masakan
cina di kawasan Marina Bay.
“Mom, plis stop membicarakan pernikahan.
Nanti secepatnya akan aku bawakan gadis cantik ke hadapan mami dan papi.
Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus Juna bicarakan.”
“Promise
Me.”
Juna mengacungkan tulunjuk dan jari tengahnya
sambil berkata suer. Setidaknya maminya tak akan membicarakan
tentang gadis-gadis itu lagi.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nyonya
Raya setelah mereka duduk di dalam restoran.
Pelayan sudah datang untuk menanyakan
pesanan. Setelah pelayan itu pergi, Juna langsung akan bercerita kepada
maminya.
Juna menarik nafas panjang.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke
Singapura tadi, dia sudah memikirkan apa yang harus ia tanyakan kepada Nyonya
Raya. Sepulangnya dari Mata Rantai kemarin, Juna tidak bisa tidur. Dia terus
menerus dihantui oleh Mata Rantai. Warisan Mata Rantai kepada dirinya seperti
sebuah bom atom. Cepat atau lambat akan meledak jika tidak ia bereskan. Di hati
kecilnya yang terdalam, memang ada sedikit rasa percaya dengan apa yang
dikatakan oleh Arya.
Isi surat wasiat itu jelas, dia adalah pewaris
tunggal Mata Rantai. Dia akan menggantikan Tuan Mata untuk memimpin perusahaan
itu. Tetapi masalahnya, perusahaan itu berusuran dengan hal-hal gaib. Dan itu
yang tak ia suka.
“Apakah mami kenal dengan Haryan N.
Juliandro?” tanya Juna perlahan.
Nyonya Raya tampak terkejut dengan pertanyaan
puteranya. Namun, dia bisa menenangkan dirinya. Nyonya Raya kembali anggun
seperti biasa.
“Tidak,” jawab Nyonya Raya. Ekor matanya
tidak menatap Juna.
“Mami yakin?”
“Kamu tak percaya?”
“Beberapa hari yang lalu, Juna didatangi oleh
seseorang. Dia berkata bahwa dia adalah utusan Tuan Mata atau Tuan Haryan N.
Juliandro. Aku dibawa olehnya ke daerah Sudirman di Jakarta. Ke sebuah
perusahaan yang aku sendiri sampai sekarang tidak tahu keberadaannya. Mata
Rantai, mami pernah dengar?”
Nyonya Raya menyeruput ocha panas yang
tersaji di depannya. “Apa yang kamu bicarakan, Jun?”
“Dia juga bilang bahwa aku adalah pewaris
tunggal Mata Rantai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia bilang aku adalah
anak kandung Tuan Haryan.”
Nyonya Raya tersedak. Ada air yang menyembur
dari mulutnya. Buru-buru dia mengambil tisue di meja dan menyeka bibirnya yang
basah. Juna terdiam. Dia beranggapan bahwa maminya memang tahu tentang apa yang
ia katakan.
“Kamu bicara apa…”
“Aku berharap mami bisa menjelaskan tentang
hal ini. Karena beberapa hari ini, tiba-tiba aku sering merasa pusing dan
melihat hal-hal aneh.”
Nyonya Raya terdiam.
“Dan perlu mami ketahui, Tuan Haryan N.
Juliandro telah meninggal beberapa minggu yang lalu.”
“Apa?” suara Nyonya Raya meninggi.
“Aku asumsikan, pertanyaan itu menandakan
mami tahu hal ini.”
“Seharusnya kita tidak bicara di sini,”
Nyonya Raya berdiri dan meraih tasnya. “Ayo, akan mami jelaskan. Mungkin memang
sudah saatnya kamu tahu.”
# # #
Album foto itu tampak usang. Juna
membolak-balik halaman demi halaman dengan tatapan tak percaya. Di sana, banyak
sekali foto maminya saat masih muda.
Sepulang dari restoran cina tadi, Nyonya Raya
mengajak Juna ke butik. Di ruangan kerjanya, mami Juna mengeluarkan kotak
berwarna merah dari dalam almari. Di dalamnya berisi album foto dan beberapa
benda yang tak Juna mengerti.
Album itu cukup menjelaskan pertanyaan Juna.
Tidak ada foto papinya di sana. Yang ada hanyalah foto seorang pria bertubuh tegap
dan bersisir rapi. Dia seperti melihat dirinya dalam foto itu.
“Dia Haryan,” kata Nyonya Raya. “Ayah
kandungmu,” ujarnya pelan.
Juna tak bergeming. Dia tak meminta
penjelasan banyak. Foto-foto itu sudah cukup menjelaskan.
Nyonya Raya mengambil pensil dan sebuah
kertas berukuran A3 yang berada di samping printer. Dia membentangkan kertas
itu di meja, lalu dia menggambar sesuatu. Seperti sebuah silsilah. Juna tak
mengerti.
“Mata Rantai adalah perusahaan yang didirikan
oleh eyang buyutmu. Generasi pertama Mata. Dia diusir oleh keluarga besar
karena dianggap menyimpang. Dia bisa melihat hal-hal gaib dan suka bersikap
aneh. Oleh Haryan Pamungkas, ayahnya, dia dititipkan ke seorang sahabat.
Sahabatnya itu seorang pebisnis ulung. Olehnya, Eyang buyutmu diajari cara
berbisnis. Lahirlah Mata Rantai dari tangannya.
Mata Rantai tumbuh menjadi perusahaan besar
sampai generasi ketiga yang dipimpin oleh ayahmu. Seperti pemimpin yang lain,
ayahmu memiliki tangan dingin untuk urusan bisnis. Dia membesarkan Mata Rantai sampai
memiliki aset trilyunan. Nasibnya sangatlah baik, namun tidak untuk urusan
cinta.
Ayahmu jatuh cinta pada mami. Pun dengan
mami. Kami memiliki cinta yang besar. Waktu itu, mami tidak tahu kalau ternyata ayahmu sudah memiliki seorang istri dan anak. Mami terlanjur jatuh hati padanya dan tidak peduli ketika mami tahu bahwa dia tak lagi sendiri. Kami menikah diam-diam, lalu
lahirlah kamu. Sampai di satu titik, keluarga mami mengetahui kebenarannya. Ayah kamu yang sudah beristri dan bisnis alam gaib yang menurut mereka tidak wajar. Nenek kakek kamu, memaksa agar mami
meninggalkan ayahmu. Jika tidak, mami tidak akan dianggap sebagai anak lagi.
Saat itu, mami bingung harus berbuat apa. Tetapi akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan ayahmu. Bagaimanapun, mami tetap harus berbakti kepada orang tua.
Mami lalu bertemu dengan Robert, dan akhirnya kami menikah dan dikaruniai anak
perempuan. Adikmu, Vee.”
“Mami masih mencintai Tuan Mata?” tanya Juna.
Nyonya Raya mengangguk. “Kamu sangat mirip
dengannya Juna. Sangat mirip. Tetapi mami takut, keluarga akan membenci kamu
jika mami terus berhubungan dengan ayah.”
“Kenapa?”
“Saat itu umurmu masih empat tahun. Suatu
sore, kamu hilang. Tak ada yang tahu ke mana perginya kamu. Sehabis jam enam
petang, kamu ditemukan ada di sebuah pohon besar. Sedang menangis. Kamu bilang
bahwa kamu sedang bermain dengan seorang anak. Anak itu lalu mengajakmu untuk
pergi ke tempat dia di pohon itu.”
“Apa?”
“Kamu bisa pergi ke dunia lain. Dunia antara
ada dan tiada. Sejak saat itu, mami yakin bahwa darah ayahmu mengalir ke kamu,
Jun. Kamu bisa melihat makhluk-makhkluk tak kasat mata. Mami menanyakan itu
kepada orang yang mengerti tentang hal seperti itu. Mereka pun berpendapat yang
sama. Ilmu kamu akan semakin tinggi seiring dengan pertumbuhan usia kamu. Mami
takut keluarga akan tahu tentang hal ini. Untung saja, ilmu itu tidak akan bisa
digunakan sebelum kamu berumur 28 tahun. Selama ini, mami menyembunyikan hal
ini dari keluarga, kecuali papimu. Dia tahu tentang hal ini.”
“Papi tahu?”
Nyonya mengangguk. “Tapi dia selalu support
mami. Usiamu kini sudah 28 tahun. Mungkin, sudah waktunya ilmu itu digunakan
Juna.”
Juna terdiam. Nyonya Raya mengambil nafas.
Langit di luar sudah berubah gelap.
“Kamu memiliki darah Mata dan Indera
ketujuh.”
# # #
Hanya semalam Juna berada di Singapura.
Paginya, dia kembali ke Jakarta lagi.
Langit di Bandara Soekarno Hatta tampak
menghitam. Mendung bergelayut. Hujan rintik mulai turun. Beberapa suara
bergelegar tampak bergantian dengan deru suara pesawat.
Juna tampak berdiri di Terminal Kedatangan
sembari menyeruput kopi hitam tanpa gula. Dia sangat mengantuk. Tadi malam dia
tidak bisa tidur. Pun saat di pesawat tadi. Dia menunggu Fernando yang katanya
sedang terkena macet di Tol Dalam Kota.
Pikirannya kalut. Penjelasan maminya memang
tak masuk akal. Tetapi dia memercayai maminya sepenuh hati.
Juna merogoh Iphone 6-nya. Setelah menekan
beberapa tombol, dia menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.
“Halo, Arya. Kapan aku bisa mulai?”
# # #
[BERSAMBUNG]
Baca kelanjutannya di sini
di bagian dua umurnya ko 28, kalau yang ini sih cocok ama part 1 umurnya 25,,
ReplyDeletepunya indera ke enam aja udah istimewa apalagi indera ke tujuh ya XD
oke ditunggu kelanjutannya
Thank you koreksinya :)
DeleteMulai nangkep ceritanya,,, duh hal gaib apa yg akan dipecahkan si Juna?
ReplyDeleteSaran dikit:
memerhatikan, dibahwa, napas, dua puluh delapan th (Juna 25 th kan?), memakai aku - saya dlm 1 dialog. memedulikan, memercayakan, apa pun,
Juna 28 tahun kok :)
Delete