BAB 5
Fernando Ivan belum pernah melihat atasannya
seberantakan sekarang. Selama di Digiforyou, atasannya selalu menjadi panutan
untuk urusan fashion dan penampilan. Fernando bahkan akan kena tegur jika pergi
ke kantor hanya menggunakan jeans belel dan t-shirt usang yang belum dicuci.
Prinsip Fernando, bekerja di dunia kreatif tidak perlu mengikuti pakem untuk
berpenampilan rapi. Dengan tubuh tambun dan kepala botaknya, mengenakan baju
apapun akan selalu tampak aneh. Tapi bagi atasannya, sebagai konsultan digital
yang selalu bertemu dengan klien, penampilan haruslah terus dijaga.
Sebagai seorang asisten yang merangkap otak ide di Digiforyou, Fernando mendapat kepercayaan penuh dari Juna, atasannya. Jika tidak ada Juna, dialah yang menjadi stir di perusahaan. Bagi semua orang, Fernando adalah bayangan Juna versi jorok. Begitulah orang-orang kantor selalu berkata kepadanya.
Di sepanjang perjalanan dari bandara ke arah
kantor di daerah kuningan, Fernando melihat Juna memandang kosong ke arah
jalan. Beberapa lelucon jayus dari Fernando tak mendapat perhatian sedikitpun.
Juna
benar-benar aneh, pikir Fernando.
Dan keheranan Fernando semakin menjadi,
ketika sesampai di kantor, lantai 20 Wisma Dirgantara, Juna tampak buru-buru
memasukkan beberapa barang ke dalam tas. Laptop, beberapa buku, dan buku agenda
warna cokelat miliknya. Fernando hanya berdiri di ujung pintu tak bergeming.
“Neraca keuangan aman kan, Bos?”
Juna hanya mengangguk.
“Kurs keuangan memang tidak stabil. Tapi itu
bukan masalah krusial untuk perusahaan kita. Ah, ya mungkin sedikit krusial.
Tapi kamu tahu, kita bisa mengatasi itu selama ini. Proyek juga lagi lumayan
banyak.”
“Aku nitip Digi padamu,” ucap Juna tanpa
menoleh sedikitpun kepada Fernando yang terus berbicara.
Fernando berhenti bicara. Lalu melihat
atasannya sudah berdiri di depannya menenteng tas. “Ada masalah?”
“Tidak. Tak ada masalah apapun. Semua
berjalan sesuai yang kuharapkan. Tapi…” Kalimat itu menggantung dan Fernando
tampak menunggu Juna melanjutkan ucapannya. “Aku harus pergi untuk waktu yang
tak bisa diprediksi. Aku tak bisa menjelaskan padamu…”
“Kamu menyeludupkan uang?”
“Apa?”
“Hutang di bank dalam jumlah besar dan kamu
tidak bisa melunasi?”
“What?”
“Aku tidak bisa ditinggal dengan
hutang-hutang atau masalah yang terlalu rumit.”
“Dengar Fernando Ivan yang otaknya penuh
dengan permainan Dota 2, aku nggak peduli kamu bermain Dota berapa lama. Tapi
ingat, tugasmu adalah menjalankan perusahaan ini. Jadi saya serahkan tanggung
jawab penuh kepadamu selama aku pergi. Email dan kotak saya tetap aktif, jadi
laporkan semua kejadian kepada saya. Termasuk berapa wanita yang menghubungi
saya dalam seminggu.”
“What?”
Giliran Fernando yang dibuat bingung oleh atasannya.
Raut muka Juna mendadak serius. Fernando
tahu, atasannya memang sedang serius. Dia diam dan mulai mendengarkan apa yang
akan disampaikan kepadanya.
“Aku harus pergi. Aku belum bisa menjelaskan
mengapa aku harus pergi. Tapi, aku titip Digiforyou kepadamu. I trust you, you know that. Aku akan…aku
akan memberitahumu secepatnya. Tapi yang jelas ini bukan masalah keuangan
perusahaan atau bahkan……wanita.”
Fernando menghela napas lega.
Juna mengangguk sebentar, lalu keluar dari
ruangannya. Di luar tampak beberapa karyawannya sedang memandang ke arahnya.
Dia melihat mereka sebentar dan mereka tampak gugup lalu kembali bekerja. Juna
tak acuh. Di pikirannya cuma satu, dia harus cepat-cepat pergi dari sini.
“Bos,” panggil Fernando. Juna mengentikan
langkah, kemudian menoleh. “Hati-hati.”
Juna mengangguk.
“Dan satu lagi,” Fernando menyunggingkan
senyum kecil. “Kamu harus segera menentukan pilihan untuk wanita.”
Juna terkekeh kecil, lalu mengangguk lagi.
# # #
Aryanda Putera menemukan Juna di lobi. Tampaknya dia telah berpikir. Tiga jam
lalu, seusai dia mendapatkan telepon dari Juna, Arya memberitahu kepada seluruh
karyawan untuk bersiap-siap menyambut kedatangan calon pemimpin mereka.
Beberapa asisten sudah disiapkan.
Sore ini, Arya sendiri yang menyambut
kedatangan Juna. Dia tersenyum lebar di ujung tangga. Juna yang tampak
berantakan dari biasanya, hanya menyunggingkan senyum kecil. Kaos warna putih
dan jeans biru membalut tubuh Juna yang tampak letih. Sejak kemarin dia memang
kurang tidur karena terus memikirkan pilihan yang akan dia ambil.
Juna Januardo sudah memutuskan untuk kembali
menemui Arya. Obrolan panjang dengan maminya seperti membuka gerbang baru
lebar-lebar.
Ayahnya
sekarang bukanlah ayah kandungnya. Dia adalah anak kandung Haryan N. Juliandro
yang kini sudah meninggal. Yang lebih mengagetkan dia adalah pewaris
tunggal generasi Mata.
Nyonya Raya menyimpan rahasia ini selama
bertahun-tahun. Dan baru kemarin dia memberitahu puteranya tentang apa yang
sebenarnya terjadi.
Juna bukannya berontak, dia justru seperti
mendapat suntikan untuk membangkitkan kembali Mata Rantai. Maka sore ini, dia
kembali.
Arya mengajak Juna berkeliling. Mengenal
lebih jauh tentang Mata Rantai. Gedung Mata Rantai ternyata lebih luas dari
perkiraan Arya. Tiga tower utama ternyata saling terhubung satu sama lain
dengan jembatan kokoh berdinding kaca. Jika kita menyeberangi jembatan itu,
kita bisa melihat taman-taman hijau di sekitar gedung. Bunga-bunga tumbuh
bermekaran, pohon-pohon tertata rapi, ada kolam ikan. Dan yang lebih penting
adalah bangku-bangku untuk tempat duduk di sore hari yang nyaman. Bagaimana
bisa, perusahaan supranatural ini memiliki halaman yang begitu hijau
menakjubkan. Dari satu ruang ke ruang lain, Arya mengenalkan setiap sisi
perusahaan.
Kini mereka menuju ruangan ketika Juna
pertama kali ke sini. Di depan ruang itu, Arya berdiri di depan pintu. Juna
memperhatikan dengan saksama ketika sinar laser warna biru, hijau, dan merah
keluar dari tombol kecil di pintu lalu menyinari tubuh Arya. Terakhir sinar itu
menyinari mata Arya.
Pintu berubah menjadi layar yang dengan
tulisan warna biru metalik : AKSES DITERIMA.
Di dalam ruang sudah ada Ariana. Dia tampak
menundukkan kepala ketika mata Juna memandangnya sekilas.
“Tugasku hanya menemanimu berkeliling, Tuan
Juna. Selanjutnya, Ariana yang akan menemani. Saya ada meeting dengan beberapa
kolega. Ariana yang akan melanjutkan perkenalan tentang Mata Rantai dan
beberapa asisten Anda. Nanti malam, akan ada jamuan makan malam dengan para
asisten dan juga Dilan. Ada beberapa hal yang harus Anda ketahui.”
“Apakah kamu akan terus memanggilku seperti
itu?”
“Jika kamu lulus, saya akan terus memanggil
seperti itu. Bahkan kamu harus membiasakan diri untuk meninggalkan nama
Januardo dan memakai nama akhir Mata. Juna Mata,” Arya menyeringai.
Ditinggalkan dengan seorang gadis menawan di
ruangan tertutup, membuat Juna tampak sedikit canggung. Belum pernah dia segugup
sekarang. Ariana menjelaskan beberapa hal termasuk di manakah dia nanti akan
tinggal, siapa yang akan menemani, dan segudang ilmu lain. Tetapi Juna tak bisa
berkonsentrasi. Gadis yang menurutnya bermuka ‘baik-baik’ itu, justru
mengacaukan otaknya.
“Apakah Tuan sudah jelas dengan apa yang saya
sampaikan?”
Mata Ariana menatap Juna.
Juna tampak gelagapan, seperti tertangkap
sedang melamun.
“Apa?”
“Sepertinya Tuan sedang melamun?”
“Apakah kamu akan terus bersikap kaku seperti
itu kepadaku, Ariana?”
Arian tampak tersenyum kecil. “Seperti yang
telah dikatakan Arya, kami akan terus bersikap seperti ini jika kamu lulus
seleksi.”
“Lulus seleksi? Hei, bukankah aku kandidat
utama?”
“Kamu belum tentu kuat dengan apa yang akan
kamu alami nanti. Ini bukan perusahaan sembarangan, Tuan.”
“Oh, aku membenci ketika kamu memanggilku
seperti itu.”
“Tapi saya harus melakukannya.”
Pintu ruangan terbuka. Muncul dua orang di
sana yang sangat kontras bentuknya. Yang satu bertubuh sangat tinggi, kurus,
dengan rambut berponi yang hampir menutup matanya. Dia mengenakan kacamata
berframe kulit buaya. Hidungnya tampak panjang. Juna beranggapan bahwa orang
itu pasti jarang makan karena tubuhnya hampir menyerupai tengkorak berjalan.
Kontras dengan orang pertama, orang kedua
bertumbuh pendek gemuk. Rambutnya tidak tersisa sedikitpun. Kulitnya lebih
putih dari orang pertama. Dan Juna beranggapan bahwa orang ini pasti yang
menghabiskan makanan orang pertama.
“Selamat datang Dodo, Dede. Dari mana saja
kalian?” sapa Ariana kepada kedua orang itu.
Dodo dan Dede, nama kedua orang itu,
berdesakan masuk. Tingkah mereka berisik sekali. Sepatu saling bergesekan.
Tingkahnya benar-benar berbeda dengan orang-orang lain yang Juna temui di sini.
Mereka juga tidak mengenakan stelan blazer hitam dengan sepatu mengkilap. Gaya
mereka retro sekali.
“Kami baru saja bereksperimen dengan tuyul
kecil yang kami temukan di mall,” ucap Dodo, orang yang bertubuh gemuk.
“Kami? Aku yang menemukan tuyul sontoloyo
itu, Do. Dengan alat canggih temuan ini.” Dede, orang yang bertubuh jangkung,
mengacungkan tablet berukuran 10 inchi ke atas. Tablet itu masih menyala.
“Tapi aku yang menemukan aplikasi pencari
tuyul itu.”
“Hei, idenya dari aku. Ingat?”
“STOP!” Ariana sedikit berteriak membuat Dodo
dan Dede menoleh ke arahnya.
“Apa?” tanya Dodo dan Dede berbarengan.
“Kenalkan, ini Tuan Mata.” Ariana menunjuk
Juna, suaranya melembut. Juna tampak gelagapan persis seperti saat ia
tertangkap sedang melamun tadi. “Tuan, kenalkan ini Dodo dan Dede. Mereka
asisten untuk PERBURUAN MATA.”
Belum tuntas keterkejutan Juna dengan
kehadiran dua makhluk kontras tadi, dia dikejutkan lagi oleh suara langkah
sepatu yang menggema di ruangan itu. Sepatu itu miliki seorang pria bertubuh
tegap, bermuka sangar, dan berkulit cokelat yang kini berdiri di depan pintu. Dia
memakai topi sehingga menutupi rambutnya yang tampak ikal .
“Gordon, apakah kamu tidak bisa jalan
pelan-pelan saja? Kedatanganmu mengagetkan kami semua?”
Orang yang dipanggil Gordon itu hanya
menyeringai kecil sehingga menunjukkan muka garangnya. Mirip komandan kopasus.
Juna menelan ludah. Makhluk-makhluk apa ini.
Ariana kemudian mengenalkan mereka kembali
satu persatu. Termasuk tugas mereka masing-masing. Gordon, si makhluk sangar
tadi, ternyata adalah bodyguard-nya. Menurut
Ariana, Juna akan mendapatkan beberapa asisten yang mengurusi segala hal tentang
dirinya.
“Apakah tidak ada asisten yang tidak aneh
seperti mereka? Yang wanita mungkin?” bisik Juna di samping Ariana.
“Oh, tentu ada. Namanya Eva. Aku akan mengenalkan
dia pada Tuan saat makan malam nanti.” Ariana tersenyum lebar.
Juna kini lebih sumringah ketika mendengar
ada asisten wanita yang akan menemaninya. Setidaknya itu akan mengobati ketika
hari-harinya dipenuhi oleh asisten-asistennya yang aneh.
# # #
Makan malam kali ini sekaligus sebagai ajang
untuk mengenalkan Juna Mata dihadapan para karyawan Mata Rantai. Mereka berkumpul
di lantai paling atas di Tower Mata Rantai. Kini dinding-dindingnya yang
melingkar berubah menjadi pemandangan kota Jakarta di malam hari. Dinding itu
ternyata kaca tebal dan kita bisa melihat dengan jelas kota Jakarta. Atapnya
berubah menjadi jutaan kerlip bintang.
Ternyata makan malam kali ini bukan makan
malam biasa. Hadir di sana para pejabat tinggi Mata Rantai, termasuk para Chief
Rantai. Meja-meja yang disusun round
table sudah ada di sana. Suasana tampak semi formal dan romantis. Lagu-lagu
romantis mengalun pelan dari band akustik yang berada di pojok ruangan. Semua
orang tampak memakai stelan jeans hitam.
Juna mengenakan stelan jeans dan sepatu
mengkilap yang disiapkan oleh Ariana. Wanita itu sejak sore terus menemaninya
dan melayani setiap hal yang diinginkan oleh Juna.
Kini Juna duduk satu meja dengan Arya,
Ariana, Janero, dan para Chief Rantai yang belum terlalu Juna kenal. Dia sempat
berkenalan dengan beberapa orang dan berbasa-basi sedikit. Untung saja dia
sudah sering bertemu dengan klien-klien besar sehingga ilmu basa-basinya sudah
cukup teruji. Masih banyak yang belum ia ingat namanya. Yang jelas ia ingat
hanya nama Alexa Crain yang tadi sempat memberikan sebuah undangan kepadanya.
Undangan itu ia serahkan kepada Ariana dan belum sempat ia baca.
Arya membuka acara makan malam itu. Dia
berdiri di panggung kecil di tengah ruangan. Juna kemudian dipanggil untuk
berdiri bersamanya, lalu dikenalkan kepada semua orang. Arya membawakan acara
dengan cukup santai, tidak terlalu formal. Dia bahkan menyelipkan beberapa
gurauan.
Dari atas panggung, Juna bisa memandang
seluruh tamu yang hadir. Mata-mata itu menatapnya. Arya juga mengenalkan satu
persatu orang itu dan meminta mereka berdiri ketika namanya dipanggil.
Juna mengingat dengan cepat.
Alexa Crain si Chief Rantai Seen Moon, anak
cabang Mata Rantai di bidang perhotelan dan mall. Dia terlihat sangat dandy. Jelas sekali bahwa Alexa Crain
adalah pribadi yang memerhatikan penampilannya. Bestofa si Chief Rantai Valco,
perusahaan alat berat Mata Rantai yang sangat stylish dengan syal warna merahnya. Nalendra, Chief Rantai untuk
Seen TV. Dan yang paling mencolok adalah Ronero, Chief Rantai Building The Sun,
perusahaan kontraktor. Dia sangat banyak omong dan penyela, bahkan ketika Juna
yang berbicara.
Juna juga baru tahu bahwa Janero, Ariana, dan
Arya adalah para konsultan Mata Rantai dan sekaligus asisten pribadinya yang
mengurusi segala hal tentang operasional mata rantai. Mereka adalah orang-orang
kedua di Mata Rantai setelah Tuan Mata.
“Tidak mengurangi rasa hormat kepada Tuan
Mata yang telah mendahului kita, kami mengajak seluruh hadirin untuk bangkit
berdiri. Mari kita bersulang untuk Mata Rantai dan juga kehadiran Juna Januardo
kini.” Arya mengangkat gelas ramping berisi wine merah beraroma khas. Semua
hadirin mengikutinya.
Ketika hitungan ketiga, gelas-gelas itu
berbunyi diikuti oleh tepuk tangan meriah.
Arya dan Juna kembali ke tempat duduk mereka.
Disambut oleh jabat tangan para Chief.
Juna menoleh ke arah Ariana yang duduk di
sampingnya. “Mana asisten yang akan kamu kenalkan kepadaku?” Juna menagih janji
Ariana siang tadi.
“Oh, dia telat Tuan. Sebentar lagi dia
datang. Dia ada fashion show hari ini di Kemang.” Ariana tersenyum kecil. Malam
ini dia membiarkan rambutnya tergerai, namun masih rapi. Riasan wajahnya tidak
terlalu tebal, tapi sudah cukup untuk membuat pria manapun tampak
terkagum-kagum.
“Oh itu dia!” Ariana menunjuk ke arah pintu
masuk. Juna mengikuti arah pandang Ariana.
Dari arah pintu masuk, tampak seorang pria
kurus yang berjalan gemulai. Ada syal bulu-bulu warna perak yang melingkari lehernya.
Tangannya lentik sekali ketika menjabat tangan orang-orang yang menyambutnya. Dia
tersenyum kepada siapapun. Bicaranya tampak halus seperti wanita.
“Oh itu Eva,” Arya berseru kecil.
“Eva…kemarilah. Aku kenalkan kepada Tuan barumu,”
Eva, nama orang itu, tampak melambai kepada
Arya. Dia lalu berlari kecil antusias ke arah meja Juna.
Juna memandang ke arah Ariana. “Ini yang kamu
bilang wanita cantik?” Juna mendelik, sok galak. Ariana tertawa lepas.
# # #
Acara semakin malam. Bincang-bincang mulai ngelantur
ke mana-mana. Acara dilanjutkan dengan dansa. Lantunan musik berubah menjadi
sendu. Beberapa orang tampak turun ke lantai dan berdansa bersama pasangan
mereka.
Juna memijit kepalanya yang mendadak pusing.
Arya masih hutang penjelasan tentang rasa pusingnya ini. Dia menegak tandas
minuman di depannya. Dia mulai bosan dengan suasananya.
Ariana tampak masih berbincang dengan para
chief. Wanita di samping Juna itu memang memiliki skill komunikasi yang bagus.
Pantas saja orang-orang suka berbicara dengannya.
Janero tampak berdiri, lalu mendekati Ariana.
“Mau berdansa denganku?” tangannya mengulur.
Ariana memandang ke arah Janero, lalu
menggeleng pelan. “Aku sedang tak ingin berdansa. Ajaklah yang lain. Aku sedang
ingin duduk dan….” Ariana menoleh ke arah Juna. “…aku ingin berbincang lebih
lanjut dengan Tuan Mata. Boleh, kan?”
Janero menoleh ke arah Juna. Pandangannya
tampak menusuk. Lalu dia mengangguk kecil dan pergi berlalu.
Ariana memandang Juna memelas. “Maaf Tuan,
tadi aku melibatkan kamu. Saya benar-benar…”
“Dia menyukaimu,” ucap Juna lirih.
“Apa?”
“Dia…dia menyukaimu,”
“Siapa?”
“Janero. Terlihat dari caranya memandangmu.
Seharusnya kamu tidak menolak ajakan dansanya.”
Ariana memandang Juna tak percaya. Lelaki di
depannya itu kini berdiri, mengelap mulutnya dengan serbet, lalu mengambil
ponsel di meja.
“Atau jika kamu lebih memilih berdansa
denganku,” Juna memandang Ariana, lalu tertawa kecil. “Bercanda. Aku mau ke
toilet.” Juna lalu pergi meninggalkan Ariana yang tampak membatu di kursinya.
# # #
Juna sebenarnya tidak sakit perut. Tetapi dia
memilih untuk duduk berdiam diri di dalam bilik toilet sambil memeriksa
beberapa SMS, BBM, dan email di ponsel. BBM Fernando yang paling banyak.
Menanyakan keadaan dirinya dan mengabari bahwa Digiforyou aman-aman saja. Juna
tak membalasnya. Belum saatnya dia bercerita kepada partnernya itu.
“Dia masih dua puluh delapan tahun. Aku tak
percaya bakal di pimpin oleh dia sekarang. Juna, namanya lebih cocok untuk jadi
koki daripada memimpin perusahaan supranatural.”
Terdengar suara orang memasuki toilet.
Mendengar namanya disebut, Juna tampak menajamkan pendengarannya.
“Apakah dia bisa melihat hantu?” tanya orang
yang lain.
“Entahlah, kurasa tidak. Tapi aku tak tahu
pasti,” jawab seseorang yang tadi menyebut namanya. “Tunggu saja sampai dia
menyerah menghadapi genderuwo, tuyul, kuntilanak, dan pocong.”
Terdengar tawa keras yang menggema. Dua orang
tadi tampak meninggalkan toilet.
Juna menelan ludah dan tampak membeku. Dia
seperti mengenal suara salah satu orang tadi. Bukankah itu Janero?
# # #
BACA KELANJUTANNYA DI SINI
ini tuh novel kamu, review novel atau film?,
ReplyDeletesuka bacanya seru hehe, nice to meet you :)
http://litarachman.blogspot.com/
Itu cerita bersambun di blog ini. Update setiap malam minggu jam 20.00 yah. Nice to see you juga.
DeleteJadwal updatenya sama kayak blog gue. Hahah
ReplyDeleteAda juga yang malam Jumat kok dua minggu sekali :)
DeleteKayanya si Juna bakal cinlok sama ariana. Dan aku ngakak baca asisten2 si Juna
ReplyDeleteNotes:
apa pun, aku-saya lagi, napas. ayahnya meninggal 3 minggu lalu. eps sblmnya 1 bln mninggal. Memerhatikan, di manakah, partikel pun, bertubuh cangkung, gelapagap
Terima kasih koreksinya
Delete