BAB 12
“Kasusku sudah berakhir. Kamu tidak perlu datang ke rumah untuk memecahkannya. Terima kasih. Maaf mengganggu, Tuan.”
“Kasusku sudah berakhir. Kamu tidak perlu datang ke rumah untuk memecahkannya. Terima kasih. Maaf mengganggu, Tuan.”
Telepon Lenwa siang itu terus mengusik Juna. Hati
kecilnya berkata bahwa Lenwa seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Bayangan
Lenwa terus menerus membayangi Juna. Bahkan sampai masuk ke dalam mimpinya.
Berbicara tentang mimpi, Juna tiga hari ini
selalu mengalami mimpi yang sama. Dia bermimpi melihat Gedung Mata Rantai yang
gelap perlahan diterangi oleh sinar dari berbagai sisi. Gedung itu menjadi
sangat terang dan menampakkan semua detailnya. Kemegahannya tampak terasa.
Orang itu adalah Ben Lenwa. Mukanya tampak
lain. Wajahnya menghitam, matanya bulat berwarna merah. Dia menatap Juna dengan
tatapan menyeramkan. Wajahnya yang halus mendadak timbul bercak-bercak warna
merah bercampur nanah. Dia maju ke arah Juna, lalu tangannya meraih leher Juna.
Mencengkeram leher itu kuat-kuat. Sangat kuat. Juna tidak bisa bernafas. Dengan
pandangan samar-samar, dia melihat satu persatu asistennya menjauhinya. Dodo,
Dede, Ariana, Janero, Arya. Satu persatu Chief Mata menghilang. Dan dia melihat
ada Dilan di sana. Dilan ingin menolongnya ketika ia dicekik oleh Lenwa. Tapi
Dilan dihadang seseorang, kemudian orang itu menebas kepala Dilan dengan
pedang.
Juna terbangun dari mimpinya. Begitulah mimpi
itu terus berulang hingga tiga malam ini. Dengan mimpi yang sama, dengan plot
yang sama, dan ending yang sama. Mimpi
itu mengusiknya. Mengapa Lenwa bisa muncul di Mata Rantai? Dan yang lebih
membuat Juna shock adalah keruntuhan
Mata Rantai.
Keputusan Juna untuk menjadi bagian dari Mata
Rantai adalah karena ia ingin mengembalikan kejayaan Mata Rantai. Karena ini
adalah warisan dari ayahnya, walaupun sampai detik ini dia belum bisa menerima
kenyataan ini. Tuan Haryan adalah ayahnya, ini bukan kenyataan yang
menyenangkan. Juna belum mengenal Tuan Haryan dengan baik. Yang beliau
tinggalkan hanyalah sebuah surat wasiat singkat yang menyebutkan kalau Juna
adalah penerus Mata Rantai. Dan maminya pun mengamininya.
Juna belum memberitahu Arya tentang
permintaan Lenwa. Karena dia memang ingin sekali bertemu dengan Lenwa untuk sekali
saja. Meminta penjelasan lebih detail mengapa kasusnya ditutup. Bukankah kata
Arya, kasus Lenwa adalah kasus pertamanya. Agar dia belajar. Jadi dia putuskan
untuk pergi ke rumah Lenwa.
Sore itu, hari Minggu yang cerah, mobil Juna
merapat ke salah satu perumahan di daerah Kuningan. Tidak susah menemukan alamat
rumah Lenwa. Juna tinggal menelepon Alexa Crain dan dengan gampang Alexa
memberitahunya.
Juna ditemani oleh Gordon akhirnya menemukan
rumah Lenwa. Mereka disambut oleh dua orang anak kecil yang sedang bermain di
teras rumah, satu anak berambut ikal agak panjang, mata belo. Yang satunya lagi
tampak lebih kurus, rambutnya lurus. Anak yang bermata belo lalu berlari ke
dalam rumah, memanggil mamanya, lalu keluar lagi bersama seorang perempuan. Ternyata
orang itu adalah istri Lenwa. Tak berapa lama kemudian, Lenwa menyusul ke depan
dan tampak kaget melihat Juna ada di rumahnya. Tapi Juna dan Gordon tetap dipersilakan
masuk.
Penampakan Lenwa jauh dari apa yang terakhir
Juna lihat. Sepanjang obrolan dengannya, Juna tidak pernah melihat Lenwa
melihat matanya. Dia selalu mencoba untuk mengalihkan pandangan. Sampai di satu
titik, Lenwa langsung mengerti dengan kedatangan Juna. Diapun mencoba
menjelaskan sekali lagi tentang kasusnya yang tak perlu dibantu oleh Mata
Rantai.
“Semuanya baik-baik saja,” kata Lenwa.
Juna hanya mengangguk, tidak mencoba untuk
menekan. Diapun permisi untuk pulang. Namun hati kecilnya berkata, dia pasti
akan kembali ke rumah ini nanti. Cepat atau lambat.
# # #
Beberapa hari setelah kedatangan Juna
Kediaman rumah Lenwa tampak sepi saat Naya
baru saja datang. Gru mungkin belum balik dari latihan bermain bola. Mobil
Lenwa sudah berada di parkiran.
Tumben
dia sudah balik, pikir Naya. Beberapa hari ini,
Lenwa memang selalu pulang larut malam. Naya berpikir bahwa itu adalah hal
wajar. Dia sudah terlalu sering ditinggal ketika Lenwa kemarin mengerjakan
Galeri Mahakarya. Dan kini suaminya itu sedang ada proyek mall besar di Bekasi.
Pasti waktunya juga akan tersita. Dan Nayapun memakluminya.
Tetapi Naya pikir, suaminya kini telah
berubah. Semenjak menyelesaikan Galeri Mahakarya, dia menjadi pribadi yang
kadang labil. Lenwa bisa menjadi sosok yang pendiam, tetapi sedetik kemudian
menjadi seorang yang emosional. Naya masih ingat kejadian kemarin pagi saat
akan berangkat ke kantor.
Hari masih terlalu pagi. Pukul 05.30. Seperti
biasa Naya sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Tiba-tiba dia mendengar Lenwa
berteriak-teriak di garasi. Kebiasaan Lenwa setiap pagi adalah mengontrol mobilnya.
Nayapun datang ke garasi dan melihat suaminya sedang membuka kap mobil,
memeriksa mesin. Dia memaki mesin mobil yang ternyata tidak mau menyala. Belum
pernah Naya melihat suaminya seemosional itu. Kemarahan Lenwa kemudian
berlanjut dengan hal-hal kecil yang tidak penting, seperti ‘mengapa sepeda Gru
diletakkan sembarangan’, ‘mengapa ada sepatu di depan pintu’, atau ‘mengapa air
panasnya habis’.
Naya hanya bisa terdiam. Mungkin suaminya
sedang setres memikirkan proyeknya. Nayapun mencoba berbicara baik-baik, memeluk
suaminya dari belakang, dan suaminya pun berangsur membaik.
Rumah masih sepi. Naya duduk di kursi dapur
sambil meneguk air mineral. Dia belum melihat suaminya.
Di dekat dapur ada kamar mandi tamu yang
sangat jarang digunakan, kecuali ada tamu yang menginap. Jarang sekali ada yang
membuka. Tetapi kini pintunya sedikit terbuka dan lampu dalamnya menyala. Naya
mendekat. Dia melihat ada seseorang yang berdiri membelakanginya, sedang
melihat ke kaca. Orang itu adalah suaminya.
Naya hampir saja mendorong gagang pintu,
namun ia urungkan karena dia mendengar Lenwa sedang berbicara seorang diri.
Suaranya terdengar berat dan serak. Naya menajamkan pendengaran, sambil
mengintip dari celah pintu yang sempit. Lenwa sedang berbicara tidak jelas
dengan cermin. Bayangan Naya tidak terlihat di cermin karena tertutup oleh
tubuh Lenwa.
“Aku tidak ingin melibatkan keluargaku, kamu
cukup melibatkan aku,” Lenwa terdengar berdialog dengan dirinya sendiri. Dia
berbicara lirih, seolah tak ingin ada seorang pun tahu. Dia terus menerus
berbicara dan membuat Naya ketakutan.
Naya mundur beberapa langkah. Tubuhnya
menyenggol ujung meja dan membuat gelas air minumnya bergoyang, menggelinding,
dan jatuh ke lantai. Pintu kamar mandi terbuka dan Lenwa sudah berdiri di sana.
“Kamu sudah pulang rupanya,” ujar Lenwa.
“Iy…iya…tadi aku kehausan. Oh, aku tidak
berhati-hati.” Naya memungut gelas yang jatuah di lantai dan pecah. Beberapa
pecahannya kecil. “Ouwch…” Naya menarik tangannya yang terkena pecahan gelas.
Ada darah mengucur di ujung jempolnya. Buru-buru Naya mengibas-ibas tangannya.
Tetapi Lenwa justru tak acuh, bahkan dia
malah pergi meninggalkan Naya sendirian. Naya memandangi punggung Lenwa yang
naik ke lantai dua. Rasa sakit di jempolnya bahkan tak ia rasakan lagi.
# # #
Puluhan
Kilometer dari Kuningan
Dodo dan Dede mendapatkan satu ruangan khusus
untuk eksperimen. Mereka berdua biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencoba-coba,
menciptakan aplikasi-aplikasi aneh, atau hanya duduk menonton drama Korea. Kini
ruangan mereka yang besar dan dipenuhi oleh benda-benda elektronik, mendapat
tambahan penghuni baru yaitu Janero. Dan har ini, ruangan mereka bertambah
sempit lagi ketika Alexa—yang kebetulan kantornya memang di Jakarta, Arya, dan Juna
datang untuk melihat presentasi Dodo dan Dede mengenai alat baru mereka, Pelacak
Hantu, yang sudah mereka sempurnakan.
Selama hampir satu jam, Dodo dan Dede
menjelaskan tentang aplikasi barunya itu. Selain bisa menemukan titik-titik
keberadaan hantu yang semakin akurat, aplikasi itu juga bisa menjelaskan daerah
mana yang sangat panas dan dingin. Panas bisa diartikan bahwa daerah itu adalah
daerah yang perlu dibersihkan dari gangguan gaib, ditandai di aplikasi dengan
warna merah. Sedangkan daerah dingin adalah daerah yang bebas dari gangguan
makhluk gaib dan ditandai warna biru.
“Aplikasi ini tentu akan membantu kita dalam
pembebasan alam gaib. Selama ini, kita hanya mengandalkan feeling kita, mengandalkan ilmu dari masing-masing. Tapi dengan
alat ini, kita semua akan terbantu,” kata Dodo.
“Tapi masih akan terus kita sempurnakan,”
sambung Dede.
“Mengapa tidak kamu ciptakan sebelum aku
mendirikan Mahakarya?” Alexa terkekeh. “Seharusnya aku menggunakan ini. Tapi
untuk ada Arya yang kemarin sudah membantu membebaskan lahannya.”
Semua orang satu persatu mencoba aplikasi
itu. Tak terkecuali Juna yang langsung tercetus ide untuk meminjamnya kepada
Dodo, lalu menggunakannya di rumah Lenwa. Sampai detik ini, dia masih yakin ada
sesuatu yang Lenwa sembunyikan darinya.
Ariana datang ke ruangan Dodo & Dede. Sejak
tadi dia memang tidak terlihat.
“Ada orang yang ingin bertemu denganmu,
Tuan,” ucap Ariana kepada Juna.
“Siapa?”
“Dilan,” jawab Ariana pendek.
# # #
Dilan sudah menunggu di ruangan Juna ketika
Juna datang bersama Ariana. Jarang sekali Juna melihat Dilan ada di Mata
Rantai, kecuali memang ada hal yang ingin ia sampaikan kepadanya.
Dilan meminta Ariana untuk meninggalkan
dirinya bersama Juna.
“Ada sesuatu yang penting?” tanya Juna. Dia
mengambil tempat duduk di samping Dilan.
“Tentu saja. Tidak ada yang lebih penting
daripada memberitahumu tentang hal ini. Seharusnya aku memberitahumu
kemarin-kemarin, tetapi maafkanlah aku karena baru sempat sekarang. Karena ini
menyangkut ayahmu, Tuan Mata….”
Mendengar nama Tuan Mata disebut, Juna
memicingkan mata. Selama ini, dia mendengar informasi tentang Tuan Mata dengan
suasanya yang tidak seprivat ini. Minimal ada tiga orang.
Dilan kemudian meminta Juna untuk membuka
pintu kamar Juna. Sesampainya di sana, dia mengetuk dinding di dekat bingkai.
“Tempelkan tanganmu di sini,” ucap Dilan
sambil menunjuk satu titik di dinding itu. Dilan menarik tangan kanan Juna
Mata, lalu menempelkannya di dinding. Dinding itu membuka sedikit, ada sebuah
kota kaca di sana. “Cocokkan sandi matamu.”
Juna menurut, dia mendekatkan matanya ke
kotak kaca itu. Laser merah dan biru menandai matanya. Bunyi ‘tit’ menandakan
sandi matanya diterima. Juna menarik matanya. Dinding di depannya bergerak
perlahan. Di sana ada sebuah almari kecil dan sebuah buku usang.
Dilan mengambil buku itu. “Sudah lama sekali
aku tak melihat buku ini. Terakhir kali, dua bulan sebelum aku menulis surat
wasiat bersama dengan Tuan Mata. Ambillah,” Dilan memberikan buku itu kepada
Juna. “Kotak ini tak akan terbuka jika bukan darah mata yang membukanya.” Dilan
menutup kotak itu, dindingnya kemudian menyatu kembali. Sangat rapi sehingga
terlihat seperti dinding yang tidak terbelah.
Juna melihat buku usang yang kini ada di
tangannya. Sebuah buku bersampul cokelat dengan gambar mata yang dengan ukiran
tak jelas di depannya. Juna membuka halaman pertama buku itu. Sebuah tulisan
tangan, di bagian bawah ada tanda tangan dengan nama terang : Haryan Januardo –
Mata Rantai 1. Anggapan Juna saat ini, buku usang ini ditulis oleh kakek
buyutnya itu. Halaman kedua menjelaskan tentang arti Mata Rantai sebenarnya.
Selama ini, buku-buku profil Mata Rantai
hanya menjelaskan tentang perusahaan ini secara umum. Bagaimana didirikan,
mengapa didirikan, dan bisnis apa yang dijalankan. Bukan arti dari Mata Rantai.
Arti Mata Rantai hanya dijelaskan sebagai sebuah ‘kejadian yang saling sambung
menyambung’. Bahwa semua peristiwa di dunia ini adalah kejadian yang saling
terhubung, begitu juga dengan dunia gaib.
Tetapi arti Mata Rantai di perusahaan ini
tentu tak segamblang itu. Dan buku usang itu menjelaskannya. Di halaman ketiga,
ada sebuah proses yang sangat Juna kenal. Rumput, Tikus, Ular, Elang.
“Rantai Makanan,” ucap Juna lirih.
“Proses makan dimakan. Secara implisit bisa
diartikan sebagai perpindahan satu energi ke energi lain. Demi kelangsungan dan
keseimbangan hidup. Alam gaib adalah salah satu bentuk keseimbangan hidup. Bagaimana
mereka ada dan kemudian tidak ada, hidup kemudian tidak hidup. Jika ada suatu
hal di alam diantara mereka yang hidup dan tidak hidup, berarti itu akan mengganggu
keseimbangan.”
“Iblis,” kata Juna lagi.
Dilan menoleh ke arah Juna yang sedang
melihat gambar sebuah makhluk raksasa berwarna hitam dengan mata merah.
Dilan tersenyum. “Iblis adalah salah satu bentuk
ketidakseimbangan itu Juna. Iblislah yang membuat dunia ini tidak seimbang,
membuat manusia tidak seimbang. Dialah penggoda nomer satu di dunia. Iblis
adalah simbol dari keserakahan, kesombongam, keangkuhan,
ketidakperikemanusiaan. Kasus korupsi, kejahatan, pembunuhan adalah bentuk
ketidakseimbangan ekosistem karena pengaruh iblis. Iblis bisa tertanam di dalam
diri manusia, atau berbisik di sekitaran kita.
Tuan Haryan menyadari bahwa darah mata juga
memilki ketidakseimbangan karena ada dua roh yang menjadi stir. Makanya dia
menciptakan alat penyeimbang tubuh. Kamu memiliki darah Mata Rantai, yang
dijabarkan menjadi rumput, tikus, ular, dan elang. Ketiganya sudah kamu miliki,
tapi tidak dengan elang. Kamu belum memilikinya. Tuan Haryan menciptakan Mata
Rantai karena dia adalah salah satu dari makhluk ciptaan Tuhan yang tidak
memiliki keseimbangan, dia memiliki 2 roh dalam hidupnya. Ketika Tuhan
menciptakan kita, Tuhan ‘mungkin’, maaf, kadang memasukkan dua roh ke dalam
tubuh kita. Hanya beberapa orang yang memilikinya. Dua roh itu bisa dua-duanya
baik, dua-duanya jahat, tapi yang lebih menakutkan kalau yang satu baik dan
yang satu jahat. Untung saja, Tuan Haryan dua rohnya baik. Begitu juga dengan
turunan-turunannya yang lain, termasuk kamu. Tapi….”
Juna memandang Dilan serius.
“Tapi, seharusnya manusia tidak boleh memiliki
dua roh. Karena itu membuat ketidakseimbangan. Maka Tuan Haryan mencari cara
agar bisa menyatukan rohnya, melakukan eksperimen, hingga membuat Mata Rantai.
Untung saja dia menggunakan nama Mata Rantai, bukan Rantai Makanan.” Dilan
terkekeh. “Dan dia menciptakan ilmu-ilmu khusus untuk menyatukan rohnya. Rumput
sebagai sesuatu yang hijau adalah untuk menyeimbangkan pikiran, tikus yang
cerdik untuk menyeimbangkan otak, ular yang lincah sebagai penyeimbang tubuh,
dan elang sebagai sumber kekuatan. Dia kemudian menggunakan ilmunya untuk
membantu orang-orang yang hidupnya tidak seimbang. Begitulah Mata Rantai
terbentuk, hingga besar seperti sekarang.”
Dilan terdiam, kemudian dia membalik halaman
buku yang dipegang Juna. “Tapi kamu harus menemukan kekuatan itu. Setiap
keturunan Mata Rantai pasti terlahir tidak seimbang, maka dia harus memakai
sebuah batu untuk menyeimbangkan tubuhnya. Jika dia kekurangan kekuatan, maka
harus memakai batu elang. Batu itu ditempa puluhan tahun, dibuat dengan
ketekunan dicampur dengan do’a. Kemudian dia harus melakukan ritual khusus
untuk menyatukan rohnya. Ketidakseimbangan itulah yang membuatmu bisa memiliki
indera ketujuh dan bisa menembus altar lain, tempat diantara dunia dan akherat.
Tempat bagi iblis-iblis ketidakseimbangan yang akan mengacaukan dunia.”
“Bagaimana aku bisa menyeimbangkan rohku, dan
apa akibatnya jika tidak kuseimbangkan.”
“Ritual. Penyempurnaan roh. Kamu harus
memakai batu yang dibuat oleh Tuan Haryan. Batu elang yang kini masih kusimpan
rapat-rapat di satu tempat. Jika kamu tidak melakukan keseimbangan, selama
hidup kamu akan menjadi orang yang labil, bahkan bisa berakhir dengan kematian
yang mengenaskan.”
Juna bergidik. Otak rasionalnya menyangkal
penjelasan Dilan. Tetapi, beberapa bulan ini, dia memang sudah menjadi bagian
dari hal yang tidak rasional. Dia sudah bergabung dengan Mata Rantai. Dan dia
berambisi agar Mata Rantai bisa kembali berjaya.
“Baiklah, kita harus melakukannya sekarang.”
“Tidak bisa. Kekuatan batu itu hanya akan
terjadi di malam bulan purnama.”
Juna terpaku di tempatnya. Tidak ada yang
lebih menyeramkan dari apa yang di dengarnya kini.
“Buka bajumu sekarang.”
“Apa?” tanya Juna.
“Turuti permintaanku.”
Juna menurut. Dia membuka bajunya. Tampak
sekarang tubuh padatnya yang kekar dan disekeliling pusarnya ada tato yang dulu
ia buat.
“Tato yang
bagus,” komentar Dilan.
“Ya, aku membuatnya ketika kuliah. Aku
menemukannya ketika sedang jalan-jalan. Seorang bapak tua, penato terkenal,
yang kemudian menyarankan aku untuk membuat tato ini.”
“Kamu tidak mengenal gambar tato itu?”
Juna melihat tatonya. Tato itu kini tampak
sedikit merah. Dia tak menyadarinya. Lalu Juna membalikkan tubuhnya, berhadapan
dengan cermin lebar. Dia kini bisa melihat dengan jelas bahwa tato itu adalah….
“Simbol Mata Rantai, kan?” tanya Dilan
seperti melihat keterkejutan Juna. “Seharusnya kamu menyadarinya. Logo Mata
Rantai ada di setiap sudut perusahaan ini. Mengapa kamu tidak mengenalinya?”
Juna menelan ludah. Ini benar-benar tidak
mungkin. Tato yang ia buat beberapa tahun lalu memang terlihat mirip dengan
simbol Mata Rantai. Tatonya memang berupa sebuah mata, dengan pusar sebagai
pusatnya, di samping-sampingnya menjulur desain artistik.
“Lihatlah!” Dilan menyentuh tato Juna. “Ini
adalah gambar rumput,” Dilan menunjukkan desain tato yang menjulur. “Ini Tikus,
ini ular.” Dilan menyentuh bagian kanan tato, sebuah sayap. “Dan ini sayap
elang.”
Astaga, Juna menutup mulut. Pantas saja dia
merasa pernah melihat logo besar di lobi Mata Rantai. Ternyata logo itu ada di
perutnya.
Dilan membuka halam terakhir buku yang di
pegang Juna. Di sana dijelaskan tentang arti simbol-simbol Mata Rantai. Juna
membacanya sekilas.
“Lain kali, bacalah sendiri. Lalu resapi.”
Dilan mengambil alih buku itu, lalu memasukkan kembali ke tempatnya di belakang
dinding. “Jangan pernah membukanya untuk siapapun. Hanya keluarga Mata Rantai.
Dan aku, tentu saja. Semua asisten juga tidak ada yang tahu.”
Dilan kemudian mengajak Juna untuk keluar
dari kamar. Dia berjanji, malam purnama nanti akan mengajaknya untuk mengambil
batu elang.
“Tapi Dilan, entah mengapa, aku merasa bahwa
aku seperti akan kehilangan kamu dekat-dekat ini. Apakah kita tidak bisa
mengambilnya sekarang saja?” Juna teringat akan mimpinya yang aneh. Namun dia
belum berniat untuk menceritakan mimpi itu kepada siapapun, termasuk kepada
Dilan hari ini.
“Percuma kita mengambilnya sekarang. Batu itu
tidak akan berkhasiat. Bersabarlah. Lagian aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
Lelaki tua berambut putih itu terkekeh.
Juna akhirnya mengangguk. Walaupun dalam hati
kecilnya, dia berkata bahwa, malam ini adalah malam terakhir dia bertemu dengan
Dilan. Karena ia merasa, mimpi itu memanglah nyata.
komplittttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt
ReplyDeleteseru bacanya! dilan :(
Thank you :)
DeleteIkutin terus yah.
Wooo filosofinya mata rantai keren.... Kok kepikiran sampai sana yah
ReplyDeleteJuna, jangan2 yg nato bapaknya sendiri
thank you
Delete