BAB 6
Pesta
berlangsung hingga tengah malam. Suara musik menggema di rungan bulat
berdinding kaca. Lantai dansa masih penuh dengan para karyawan Mata Rantai.
Besok hari minggu dan tidak ada kerjaan yang menuntut untuk datang pagi. Jadi
mereka lebih memilih berpesta sampai pagi. Tapi tidak untuk Juna Mata.
Kepalanya mendadak pusing kembali dan dia memilih untuk menepi dari keramaian.
Orang-orang tak menyadari kepergian Juna. Dia melewati lorong panjang. Lift berada di ujung lorong, namun dia berbelok ke kiri, menuju pintu darurat. Setelah menuruni beberapa anak tangga, dia meraba dinding di depannya. Tanda garis biru mengelilingi pergelangan tangannya.
Akses diterima. Selamat Datang Tuan Juna
Mata.
Dinding
terbuka. Sebuah lift. Ketika mengajaknya ke lift ini kemarin, Ariana bilang
bahwa ini lift khusus ke lantai 13, angka lantai yang tidak pernah ada di lift
umum gedung. Letak pintunya tersembunyi dan hanya 4 orang yang tahu
keberadaannya. Ariana, Arya, Janero, dan pemilik ruangan istimewa di lantai
13. Dan kini, Junalah si pemilik ruangan
itu. Ruangan 13 lebih tepat disebut sebagai rumah.
Lift
terbuka dan Juna disambut oleh ruang tamu besar dengan sofa-sofa berbahan lembut.
Permadani warna merah marun menutupi lantai marmer warna cokelat tua. Di
belakang ruang tamu adalah ruang santai, dapur bersih, kamar mandi tamu, dan
dua kamar. Satu kamar milik Arya, asisten utama di Mata Rantai. Dan satu lagi
adalah milik Tuan Mata, yang kini menjadi milik Juna.
Awalnya
Juna menolak tinggal di tempat ini. Sendiri, di dalam gedung yang masih terasa
asing, akan membuatnya mati kebosanan. Namun, setelah memasuki kamarnya, dia
seperti tersihir untuk menempatinya. Kamarnya hanya diisi oleh kamar tidur
berukuran besar, sebuah meja kerja, dan kursi goyang di dekat jendela super
besar berukir naga. Di belakang tempat tidur, ada lukisan besar seorang lelaki
tampan. Lukisan Tuan Mata yang tampak gagah. Lukisan itu seolah-olah selalu
mengikuti arah gerak siapapun yang datang ke kamar ini.
Juna
seharusnya takut.
Tapi
tidak, dia tidak takut sama sekali. Sama tidak takutnya, saat ia memutuskan
untuk menerima tawaran Arya dan bergabung dengan Mata Rantai. Ia sendiri belum
terlalu mengenal Tuan Mata. Mamanya sudah cerita bahwa Tuan Mata memang ayah
kandungnya. Sampai detik ini, dia belum percaya. Walaupun di jurang hati kecilnya,
ia mengakuinya. Sedikit.
Mengapa
dia menerima tawaran Arya? Sesorean mengobrol dengan ibunya seperti membuka
hatinya. Nyonya Raya bercerita, sesekali menangis. Menceritakan kisah cintanya
yang kandas karena profesi Tuan Mata sebagai seorang paranormal. Kakek Juna tak
setuju, mungkin siapapun tak setuju memiliki menantu dukun yang sudah beristri.
Apakah
ini keputusan tepat? Juna tak mengerti. Ia hanya ingin membuktikan sendiri.
Jika memang benar, Tuan Mata adalah ayahnya, tentu ada sesuatu yang diwariskan
kepada dirinya. Bukan harta, bukan tahta. Mungkin sesuatu yang lebih personal. Ia
ingin mengenal lebih dekat dengan dia.
Dan
tentunya, ingin mengembalikan Mata Rantai menjadi perusahaan yang luar biasa.
Juna
menghempaskan tubuhnya ke kasur. Rasa pusing kepalanya sedikit menghilang. Arya
tentu masih berhutang satu cerita, mengapa dia selalu pusing seperti itu.
Dia
melepas jas yang membuatnya kegerahan. Ada sesuatu yang mengganjal di saku
jasnya. Sebuah undangan.
Grand Opening Galeri Mahakarya. Undangan
dari Alexa Crain. Juna mengembuskan napas kecil. Mungkin dia memang harus
segera bertindak, mempelajari semua hal tentang organisasi yang tidak sama
sekali ia mengerti ini. Mengenal semua orang baik-baik. Termasuk datang ke
acara-acara penting, seperti grand
opening galeri ini.
Juna
meletakkan undangan itu di meja kecil di samping tempat tidur. Di sana juga ada
remote, seperti remote TV. Saat datang ke kamar ini untuk pertama
kalinya bersama Ariana kemarin, dia diajari untuk menggunakan alat itu.
Juna
menekan tombol merah. Dinding kamar di depannya berubah terang, seperti sebuah
layar LED besar. Juna kembali memencet tombol lagi, angka 1. Dan kini layar itu
menampakkan keadaan ruang di lantai satu. Dia mengganti ke angka 17 dan dia
melihat ruang pesta yang masih tampak ramai. Satu-satunya tempat yang tidak ada
di tombol itu adalah toilet. Jadi, Juna bisa memonitor semua hal yang ada di
gedung ini.
Di
pojok kanan atas, ada lambang pesan yang belum terbaca. Juna menekan tanda
pesan itu. Pesan dari Ariana.
Hi, Tuan.
Ready for your first training on Monday?
06.00 – 07.00 : Swimming
07.00 – 08.00 : Makan pagi
08.00 – 10.00 : Meeting bersama para asisten
10.00 – 12.00 : Pembukuan Organisasi bersama
Aryanda Putera
12.00 – 13.00 : Makan siang
13.00 – 15.00 : Pengenalan dasar-dasar ilmu
gaib bersama Dodo dan Dede
15.00 – 17.00 : Fitting baju bersama Eva
17.00 – 19.00 : Istirahat
19.00 – 21.00 : Makan malam bersama pemerintahan
21.00 – 24.00 : Persiapan untuk praktik
pengujian diri
24.00 – 03.00 : Praktik Ilmu Gaib
Juna
mendelik melihat jadwalnya untuk Senin besok. Dia menekan tombol telepon warna
hijau di layar. Lalu mencari nama Mrs. Ariana di daftar kontak.
“Hai,
Tuan.” Muka Ariana muncul di layar itu. Wajahnya terlihat lelah. Juna tahu
bahwa gadis itu masih ada di ruang pesta.
“Masih
ada di ruang pesta?”
“Ya,
menemani beberapa kolega. Tuan sudah ada di kamar sepertinya?”
“Cepatlah
kembali ke apartemenmu, hari sudah mau pagi. Apa yang akan orang katakan kalau
tahu kamu pulang sepagi ini?” Juna melihat ke jam dinding. Hampir jam dua pagi.
“Astaga,
mengapa Tuan mendadak cerewet seperti itu?”
Juna
tertegun. Menyadari apa yang seharusnya tidak ia katakan. “Lupakan. Yang jelas
aku ingin menanyakan jadwal saya di hari Senin. Mengapa jadi sepadat itu? Dan
apa itu....pengenalan dasar ilmu gaib? Training macam apa itu? Dan satu lagi,
di sini mengapa jadi kamu yang jadi banyak mengatur jadwal. Saya yang bosnya,
bukankah seperti itu?”
“Oh,
ternyata memang Tuan cerewet sekali. Arya yang memintaku menyusun jadwal
seperti itu untuk kebaikan Tuan. Seharusnya Tuan mengerti.”
Juna
mendengus sebal. Wanita yang ada di layar itu tersenyum kecil sambil terus
ngomong. Dan untuk pertama kalinya, Juna memilih untuk mendengarkan seorang
wanita. Hal yang tidak pernah ia lakukan. Baginya selama ini, auranya sudah
bisa menaklukkan semua wanita. Tapi ternyata tidak untuk Ariana.
Setelah
Ariana tidak berada di layar, Juna melempar remotenya di atas kasur. Meski rasa
pusingnya berangsur hilang, namun dia tidak bisa membayangkan betapa
menyebalkannya hari Senin besok.
# # #
Hari
Senin Juna dimulai dengan pertengkaran kecil dengan Ariana. Juna memilih untuk
tidak berenang dan langsung mau makan. Dia juga langsung memajukan meeting dengan para asisten. Di sanalah
Juna mulai mendengarkan satu persatu penjelasan tentang jalannya perusahaan ini.
Juna langsung memanggil Kepala Departemen terkait. Meminta mereka untuk
menjabarkan secara detail apa yang mereka kerjakan. Hadiah buat Juna adalah
setumpuk buku neraca keuangan dan laporan bisnis. Meeting yang dijadwalkan hanya dua jam, molor sampai makan siang.
Ariana
tak berkutik ketika Juna memutar balikkan jadwal. Dia memilih untuk fitting baju bersama si Eva terlebih
dahulu. Beberapa stelan jas dan kemeja sudah dibuatkan Eva. Juna juga memilih
beberapa baju santai, sepatu, dan aksesoris.
“Saya
seharusnya tidak perlu banyak bekerja, Bos,” ucap Eva kepada Juna. Satu-satunya
orang yang memanggilnya Bos hanyalah dirinya.
“Maksudmu?”
“Kamu
sudah terlalu tampan, memiliki bentuk badan yang proporsional, bentuk wajah
tirus yang sangat indah. Bahkan pacarku saja tidak seperti itu,” Eva tertawa
cekikikan sambil melirik seorang brondong yang duduk di sofa. Secara penampilan
terlihat sangat oke.
Menurut
Ariana, Gerry, cowok itu, adalah pacar yang setia. Umurnya memang lima tahun di
bawah Eva. Dan sudah satu setengah tahun ini mereka pacaran.
“Mereka
gay?” tanya Juna kepada Ariana pelan saat Eva tak lagi di dekatnya.
“Tidak.
Mereka hanya tidak tahu caranya membedakan jenis kelamin lelaki dan perempuan.
Bagiku itu sah-sah saja,” jelas Ariana kepada Juna.
Setelah
dua jam memilih baju dan aksesoris dengan Eva, sesekali diselingi dengan canda
tawa bersama Gerry, mereka mengakhiri sesi itu. Juna ditarik oleh Ariana keluar
dari ruang kerja Eva di lantai 5 dan segera menuju lantai 3, tempat Dodo dan
Dede berada.
Sesi
latihan bersama dua orang itu cukup menyenangkan. Mereka adalah penggemar berat
teknologi dan juga alam gaib. Bersama mereka, Juna diajarkan bermacam-macam
jenis kasus yang pernah mereka tangani. Kuntilanak, genderuwo, pocong, rumah
berhantu. Sampai pada titik ketika mereka menjelaskan tentang rasa pusing yang
sering diderita oleh Juna.
“Tuan
Juna tak perlu khawatir. Itu efek dari penglihatan untuk alam gaib yang semakin
tinggi. Nantinya tak hanya bisa melihat, kamu juga akan bisa berpindah ke altar
yang lain. Kehidupan antara dunia dan alam akhir. Di mana orang-orang yang
matinya penasaran berada di sana. Mengalami penyiksaan batin. Itu karena kamu
punya indera ketujuh Tuan.” Dede menjelaskan kepada Juna. Dia memang terlihat memiliki pengetahuan yang luas. “Rasa pusing itu
nanti akan berangsur-angsur hilang kok. Begitulah yang dialami orang-orang yang
memiliki indera ketujuh.”
Juna
hanya menelan ludah memandangi kedua asistennya itu. Tidak perlu mencari
penjelasan dari Arya. Penjelasan mereka sudah cukup.
Selain
menjelaskan berbagai hal tentang alam gaib, Juna juga diajak bermain-main
dengan beberapa aplikasi ciptaan mereka di tabs. Misalnya, games menangkap
tuyul yang lucu namun bertugas untuk mencuri uang-uang di rumah. Juna dibuat
kesal oleh tingkah laku tuyul yang ternyata lebih sangat menyebalkan karena
licik dan lincah. Nama permainannya Tangkap Tuyul.
“Kalo
ini apa?” tanya Juna sembari menunjuk satu aplikasi yang diberi judul Jejak
Hantu.
Dodo
mendekati Juna. “Oh itu, itu adalah alat pendeteksi jejak hantu. Aku yang
menciptakannya.”
“Aku
yang mengusulkan idenya,” sambung Dede tak mau kalah.
Juna
menekan simbol aplikasi berupa pocong yang di bawahnya bertuliskan Jejak Hantu.
“Jangan
sekarang praktiknya. Nanti saja malam saja, Tuan.” Dede merebut paksa tabs dari
tangan Juna, seolah dia merebut dari temannya, bukan atasannya.
“I’m your Boss, right?” Juna pura-pura galak.
“Tapi
sekarang sudah hampir jam setengah empat. Sudah waktunya kita melihat konser di
TV. Sorry.” Dodo menyalakan televisi
LED.
“Do,
coba kamu panggil Gordon dulu. Dia pasti juga tak ingin ketinggalan.”
Gordon
tiba lima menit setelah Dodo menghubunginya. Sejak tadi dia berada di pos
satpam, menanti panggilan untuk bertugas. Tapi ternyata Juna tidak pergi keluar
kantor, jadi tidak membutuhkan penjagaan.
Dodo,
Dede, dan Gordon tampak langsung duduk di depan televisi tanpa memedulikan Juna
yang ada di belakang mereka. Pukul 16.30 tepat, layar televisi menampilkan
panggung raksasa dengan jutaan penggemar ada di depannya yang berteriak-teriak.
Mereka bertiga sudah ikutan berteriak saat personel SNSD keluar dengan lagu
pertama mereka.
# # #
Tepat
pukul 21.00, Juna dijemput di lantai 13 oleh Ariana. Tak ada penjelasan apapun
dari Ariana. Namun, melihat jadwalnya, malam ini adalah praktik pengujian alam
gaib. Juna belum tahu, apa yang akan terjadi nanti. Bayangannya, dia akan
menghadapi makhluk gaib, seperti pocong atau genderuwo.
Sial,
mengapa mendadak Juna merasa takut. Dia memilih diam sepanjang perjalanan dari
kamar lantai 13 ke lobi.
“Kamu
takut, Tuan?” tanya Ariana.
Juna
tak menjawab dan hanya menggeleng. Dia tak mungkin berterus terang di depan
asisten wanitanya itu.
Di
lobi, mereka berdua disambut oleh Dodo, Dede, Janero, dan Gordon. Dodo dan Dede
menyambut dengan jabat erat sambil tertawa. Sementara Janero hanya diam cuek. Sejak
mendengar percakapan Janero dan seseorang di toilet kemarin, Juna merasa bahwa
Janero seperti sebuah ancaman di sini.
Tanpa
percakapan yang banyak, Juna diajak naik mobil. Di dalam mobil, Dodo dan Dede
masih membicarakan tentang konser SNSD yang sore tadi diputar di televisi di
bangku pertama. Dodo yang menyetir, sementara Dede berada di sampingnya.
Sesekali mereka berdebat, siapakah tadi yang menyanyinya paling bagus. Lalu
mereka mengomentari pakaian yang dipakai di lagu pertama hingga terakhir. Sementara
Gordon yang berada di baris belakang tak banyak komentar. Lelaki sangar itu
memang tak terlalu banyak bicara.
Di
bangku kedua, Ariana diapit oleh Juna dan Janero. Janero tak banyak cakap
seperti waktu pertama kali bertemu. Dia memilih memandangi kerlip lampu jalan. Ariana
sesekali masih menanggapi ketika Juna bertanya. Namun, dia tak memberitahu ke
manakah mereka akan pergi.
Mobil
berhenti di sebuah jalan sepi. Mereka semua keluar.
Juna
Mata mengamati keadaan sekitar. Di kanan kiri jalan adalah pohon-pohon
menjulang tinggi dengan daun-daun besar. Jalanan tak beraspal dan sedikit
becek. Pantas saja tadi di dalam mobil serasa bergoyang-goyang. Dan sepertinya
mereka sudah keluar dari wilayah Jakarta.
Mata
Juna berakhir pada papan setinggi dua meter bercat putih. Sebenarnya catnya
sudah mulai memudar dan mulai berubah cokelat. Namun, warna cokelatnya tidak
menutupi tulisan hitam yang ada di sana.
MAKAM
SEKARJATI, DEPOK.
# # #
“Apa
yang akan kita lakukan di sini?” tanya Juna setelah dia dan yang lain berada di
dalam makam.
Tak
ada cahaya di sana. Satu-satunya cahaya berasal dari senter yang dibawa oleh
Ariana. Tetapi cahaya senter itu justru menambah aura mistis. Beberapa kali
cahayanya mengenai batu nisan berwarna putih. Atau makam baru yang masih
beraroma mawar dan melati yang segar. Wangi kamboja bercampur dengan tanah
basah terkadang tercium juga.
“Nonton
film,” jawab Janero sambil melirik Juna. Sepertinya dia lupa bahwa Juna nanti
akan menjadi atasannya.
“Janero,
apakah kamu akan terus bercanda? Ingat kan Juna nanti akan menjadi....”
“Bos
kita, right?” Janero memandang
Ariana. Ariana bersikap tak acuh dan kembali berjalan tanpa memedulikan yang
lain. Sementara Janero mengikutinya dari belakang.
“Perjuangannya
masih patut diacungi jempol, kan?” Dede terkekeh kecil. Dodo mengimbanginya
dengan semburan tawa yang membuat Ariana menoleh dan mendelik ke arah keduanya.
Dodo dan Dede menutup mulut mereka bersamaan.
“Apa
yang kalian sembunyikan tentang mereka?” tanya Juna yang berdiri di baris belakang
bersama Dodo dan Dede. Ariana dan Janero berada dua meter di depan mereka.
Suaranya sangat pelan, namun masih bisa terdengar oleh kedua asistennya itu.
“Kisah
cinta klasik. Si pangeran masih mengharapkan sang puteri menerima cintanya.
Meski sudah dibawakan bunga mawar setruk, tetapi sang puteri tetap tidak
menerima cinta pangeran.”
Dodo
bersikap sok unyu menimpali ucapan Dodo. “Oh, mirip kisah drama korea.”
Juna
ikut terkekeh. Tebakannya benar. Janero pasti menyukai Ariana.
Perjalanan
mereka berujung di tengah makam. Kamboja semakin melepaskan aromanya. Menusuk
hidung. Menebarkan wangi khas yang membuat bulu kuduk berdiri.
Dodo
mengeluarkan sebuah baskom kecil dari dalam tasnya. Sementara Dede menggelar
tikar dan menempatkan meja kecil di atasnya.
“Ayo
duduk,” ajak Ariana kepada semua orang.
Keenam
orang itu duduk melingkari meja. Di atas meja kini terdapat baskom berisi air,
pensil, kertas warna putih beberapa lembar, dan racikan bunga tujuh rupa. Dede
mengeluarkan tabs dari dalam tasnya, menghidupkan aplikasi Jejak Hantu.
“Saatnya
menguji aplikasi kita nih, Do.” Dede mengerlingkan mata ke arah Dodo. Dodo
mengangguk.
Dari
kelima orang itu, hanya Juna yang tak paham dengan apa yang akan terjadi. Jika
ini adalah pengujian alam gaib, apakah mereka akan meninggalkannya sendiri di
sini? Di tengah makam menyeramkan ini. Mungkin dia harus menjaga lilin agar
tetap menyala, atau yang lebih ekstrem dia harus menunggui hantu-hantu yang
ingin minum air kembang.
Jujur,
selama ini Juna belum pernah melihat hantu. Walaupun belakangan ini, dia sering
melihat bayangan-bayangan aneh yang berseliweran di sekitarnya, tetapi secara
kasat mata dia belum pernah melihat. Dan sangat menjengkelkan sekali jika malam
ini dia dipaksa untuk ‘melihat’.
“Tuan,”panggil
Ariana. Juna menoleh ke arah gadis yang belakangan ini membuat jantungnya
beberapa kali berhenti berdetak. “Apakah Tuan sudah diceritakan oleh Arya atau
ibu kamu, bahwa kamu....”
Juna
langsung menyambar ucapan Ariana. “Indera ketujuh. Mereka yang cerita tadi.”
Juna menunjuk Dodo dan Dede.
“Ya,
tepat sekali. Indera keenam hanya bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh
mata awam. Sementara indera ketujuh, bisa melihat, merasakan, bahkan bisa
berada di alam lain. Alam antara kehidupan bumi dan alam kematian.”
“Kamu
takut?” Janero bertanya kepada Juna.
Juna
menggeleng. “Akan lebih takut jika ditolak seorang wanita.”
Dodo
dan Dede tersedak. Hampir saja mereka tertawa jika tidak segera ingat bahwa
mereka masih berada di tengah-tengah makam. Janero memandang tajam ke arah Juna
yang dibalas dengan tatapan sinis.
“Malam
ini, kita akan melatih indera keenam dan ketujuh kamu, Tuan Mata.”
Lampu
senter di matikan. Tersisa nyala lilin kecil. Angin semilir pelan yang membuat
api lilin berkibar-kibar. Beberapa kali mati. Lalu dihidupkan lagi oleh Ariana.
“Mereka
datang,” ucap Dede lirih sambil melihat titik-titik merah mendekat ke lingkaran
hitam sebagai penanda keberadaan mereka di aplikasinya. Tabsnya berbunyi tut
tut tut beberapa kali.
“Siapa
kalian?” tanya Janero, entah kepada siapa.
Pensil
di atas meja tiba-tiba bergerak sendiri. Menulis sesuatu di atas kertas. Tetapi
anehnya, tulisan itu tidak terlihat. Sepertinya pensil itu khusus yang
diciptakan oleh Dodo dan Dede. Saat pensil itu berhenti menulis, Ariana
mengambil kertasnya dan memasukkan ke dalam baskom yang berisi air.
Dan
tulisannya terlihat.
AKU
MULYADI.
Bulu
kuduk Juna mendadak berdiri. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Lalu
pandangannya kembali pada Janero yang bertanya secara cepat entah kepada siapa.
Pensil bergerak lagi di atas kertas, Ariana mengambil kertasnya lalu memasukkan
ke dalam baskom. Begitu seterusnya sampai beberapa kali.
Juna
merasakan kepalanya pening. Ada suara-suara yang berbisik-bisik
kepadanya. Pandangannya mengabur. Dia memegangi kepala. Rasanya sakit sekali. Suara
itu semakin lama semakin keras dan mengacaukan telinga. Gendang telinga seakan
dipukul-pukul.
Indera ketujuh akan semakin terasah di umurmu
yang kedua puluh delapan
Suara
mama Juna sore itu menggema kembali.
Umur dua puluh delapan adalah umur yang
matang untuk menerima ilmu ini.
Ilmu penglihatan.
Ilmu pendengaran.
Suara
mamanya semakin keras.
Kamu memang darah mata.
Telinganya
sakit. Juna menjerit. Matanya perih. Pandangannya kabur. Dan saat ia membuka
mata, dia melihat hantu di mana-mana. Di belakang Ariana, di dekat tanah
kuburan baru, di atas pohon. Semua bermacam-macam bentuknya.
Dan
Juna pun pingsan.
# # #
BAB 7
Sehari kemudian.
Beratus kilometer dari ibu kota yang mulai diguyur hujan, pria keturunan Jawa Sunda tampak turun dari kereta api sambil menenteng tas ransel hitam dan menggandeng seorang anak laki-laki berambut ikal sedikit panjang, Gru Alvando. Ben Lenwa, pria itu, semenjak di dalam kereta sampai saat ini tak henti menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Gru. Misalnya, mengapa kereta api harus dibagi dalam beberapa gerbong panjang. Naya, istri Lenwa, hanya tersenyum kecil melihat kedua lelakinya saling beradu pendapat.
Beratus kilometer dari ibu kota yang mulai diguyur hujan, pria keturunan Jawa Sunda tampak turun dari kereta api sambil menenteng tas ransel hitam dan menggandeng seorang anak laki-laki berambut ikal sedikit panjang, Gru Alvando. Ben Lenwa, pria itu, semenjak di dalam kereta sampai saat ini tak henti menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Gru. Misalnya, mengapa kereta api harus dibagi dalam beberapa gerbong panjang. Naya, istri Lenwa, hanya tersenyum kecil melihat kedua lelakinya saling beradu pendapat.
Pagi tadi mereka bertiga berangkat dari ibu
kota dan sengaja memilih kereta paling pagi agar tidak terlalu malam sampai ke
Yogyakarta. Lenwa jelas ingin sekali mengajak anak dan istrinya naik pesawat,
tetapi Gru menolak. Bocah delapan tahun itu lebih senang jika bisa menikmati
hijaunya sawah atau air sungai yang jernih daripada mati bosan melihat awan.
Gru tidak membenci awan. Dia juga tidak membenci pesawat. Tetapi gebrakan Ignasius
Jonan beberapa tahun terakhir membuatnya bercita-cita untuk menjadi seorang
masinis. Dan untuk pergi ke Yogyakarta kali ini, dia memilih untuk memakai
kereta api.
“Ilmu standar yang pernah kubaca, Yah,
menjelaskan bahwa lempengan besi rel kereta api akan memuai dan memanjang jika
siang hari. Rel kereta api akan banyak menerima kalor dan membuat partikel-partikel
rel bergetar lebih cepat dan saling menjauh dan terjadilah pemuaian. Makanya,
ada celah di setiap sambungannya. Hal itu menjaga agar rel kereta tidak
bengkok,” ujar Gru di samping ayahnya.
“Sepertinya kamu harus mengurangi buku bacaan
yang terlalu berat.” Lenwa menggosok rambut ikal Gru. Gru sedikit menghindar
dan pura-pura cemberut.
Naya tertawa terkekeh. “Mirip seperti ayahnya
yang tidak bisa lepas dari buku.”
“Tapi Gru tidak mau jadi arsitek seperti
ayah. Gru mau jadi masinis,” Gru membusungkan dadanya. Bangga dengan
cita-citanya.
Lenwa hanya tertawa. Untuk bocah seumuran
Gru, Lenwa tentu bangga memiliki putera seperti Gru. Selain rajin membaca, Gru
juga cerdas dalam berhitung dan bermain musik. Kombinasi yang diturunkan dari
darah Lenwa. Satu-satunya yang tidak ia turunkan mungkin bakat menggambarnya.
Lenwa adalah seorang arsitektur di sebuah kontraktor ternama di Jakarta. Dari
kecil bakat menggambarnya sudah terlihat dan saat kuliah ia mumutuskan untuk
mengambil jurusan arsitektur.
Sebagai seorang arsitek, tentu Lenwa selalu
ingin membuat masterpiece yang luar
biasa. Sebuah karya yang menggabungkan antara ide, kreativitas, dan kesempatan.
Hari ini, dia akan melihat wujud dari ketiga hal tersebut. Untuk alasan itulah,
ia datang ke kota ini bersama anak istrinya. Lenwa sengaja mengajak Naya dan
Gru untuk menyaksikan karyanya yang akan diresmikan akhir pekan ini. Sebuah
karya yang mungkin saja tidak terwujud karena dia hanyalah seorang arsitek yang
bekerja di bawah kontraktor pembangunan perumahan. Untung saja dia bertemu
dengan Alexa Crain, milyader yang membiayai mega proyeknya : GALERI MAHAKARYA.
# # #
Selepas dari stasiun Tugu, Lenwa membawa anak
dan istrinya ke Galeri Mahakarya. Mereka bertiga dijemput oleh seorang supir
berumur 35 tahun yang sudah akrab dengan Lenwa karena selama mengerjakan proyek
Mahakarya dialah yang menjadi supir pribadinya.
Malam belum terlalu larut saat mereka tiba di
Galeri Mahakarya. Lampu-lampu menyala indah menerangi setiap lekuk galeri itu.
Orang masih terlalu ramai untuk menyiapkan acara untuk besok minggu. Lenwa
membiarkan Gru dan Naya menikmati Mahakarya sementara dirinya sibuk memeriksa
beberapa hal.
Ben Lenwa mempunyai kebiasaan yang unik
ketika bangunan yang ia rancang akhirnya di-launching
oleh pemiliknya. Dia akan mengitari bangunan itu sekali. Di semua sisi, tanpa
terkecuali. Padahal selama berbulan-bulan dia sudah hampir hafal semua detail
tentang bangunan tersebut. Tetapi, beberapa hari sebelum peresmian itu, dia
akan mengitari lagi seorang diri, menikmati setiap inchi apa yang telah ia
rancang. Dia akan memastikan bahwa tidak ada celah cacat di setiap bagian. Kemudian
Lenwa akan mengambil satu spot di sudut favoritnya untuk menikmati secangkir
teh panas. Inilah kepuasan seorang arsitektur. Ketika apa yang ia bayangkan,
bisa diwujudkan.
Wujud kali ini berbeda. Ia adalah seorang
arsitektur yang bekerja di bawah naungan kontraktor pembangun perumahan. Biasanya
dia bisa mengerjakan desainnya dengan secepat kilat, karena sudah tentu
templatenya sangat mudah ditemui. Sudah melekat dalam dirinya. Di mana letak
kamar, di mana letak taman. Semuanya seragam. Tapi tidak untuk wujud sekarang.
Bagaimana bisa seorang Pedro, penasehat
milyader muda yang penuh dengan ide dan kreativitas, memintanya untuk
mendesainkan sebuah museum yang menyimpan benda-benda seni. Tak ada panduan
khusus untuk permintaan ini. Dia hanya bilang bahwa keinginannya adalah membuat
sebuah bangunan simetris, tanpa batas, menjadi penopang langit, dan sebagai tempat
paling nyaman di kaki gunung nan megah, Gunung Merapi.
Kliennya itu menyebutkan angka yang lumayan
fantastis untuk sebuah proyek megadahsyat. Merunut dari pendidikan yang pernah
Lenwa lakukan, dia sudah lama tidak bermimpi membuat bangunan sekaliber Burj
Khalifa, atau sefantastis Hutan Spiral
Hundertwasser Building.
Selama
sepuluh tahun terakhir dia mendesain bangunan seragam. Dia mengerjakan proyek
yang diminta supercepat. Sepertinya ia sudah mematikan kreativitas dan memilih
jalur mainstream arsitektur. Semuanya tentu karena kebutuhan rumah tangganya;
dia harus membayar tagihan rumah, membayar pendidikan Gru, mobil, dan kebutuhan
lain setiap bulan. Dia tak seidealis Kenzo Tange, atau Daniel Liberskind yang
hobi membuat bangunan runcing. Keterbatasan biaya, tentunya. Begitulah bentuk masterpiece yang sesungguhnya. Ketika
ide, kreativitas, dan kesempatan datang berbarengan.
Jika
setahun lalu, tiba-tiba Pedro, seorang penasehat milyader, menghubunginya untuk
menawari sebuah proyek megadahsyat, apakah ia bisa menolak? Nilai proyek fantastis
itu bisa menghidupinya satu tahun ke depan tanpa bekerja. Nilai yang cukup
fantastis. Diapun mengundurkan dari Firma Architect dan memilih mengerjakan
proyek ini dengan tim bentukan Pedro.
Lenwa
menyesap tehnya sambil duduk di balkon tanpa atap di lantai 2. Bintang tampak
menyebar memenuhi langit. Jaket kulit yang menutupi kemeja lengan pendek
batiknya sedikit mengusir hawa dingin yang menyergap. Dia tidak mendengar suara
Gru ataupun Naya. Mungkin mereka berdua sedang asyik melihat-lihat lukisan atau
patung di lantai satu.
Lenwa
kembali menyesap tehnya yang mulai dingin. Rasa kantuk mulai menyerang. Dia
beberapa kali memijit-mijit kepalanya yang terasa sakit sejak tadi pagi. Sejak
kepulangannya dari Yogyakarta seminggu lalu, dia memang merasakan sakit kepala
yang luar biasa. Ia pikir itu karena dia terlalu kelelahan bekerja. Bukankah
memang seperti itu? Setahun terakhir tenaganya terforsir untuk Mahakarya. Dia
tak ingin Mahakarya cacat. Dia akan memastikan bahwa kepercayaan yang Pedro dan
Alexa Crain berikan tidaklah sia-sia.
Dokter yang
memeriksanya pun berkata bahwa Lenwa hanya kelelahan. Jadi dia pun mendiamkan
rasa sakit itu dan meminum beberapa pil obat pereda rasa sakit. Naya belum tahu
tentang hal ini. Rasa sakit itu timbul tenggelam. Biasanya akan sakit pada pagi
dan malam hari. Seperti sekarang.
Ketika gerimis
mulai turun, Lenwa beranjak dari kursi rotan dan berlari kecil ke dalam
ruangan. Di depan pintu dia terhuyung dan hampir menabrak dinding. Dia memegangi
kepalanya. Pandangannya mengabur. Dia berpegangan pada gagang pintu dan
berusaha berdiri 100%. Dia menarik nafas panjang. Saat rongga paru-parunya
terisi penuh, ia merasakan kepalanya
mulai membaik.
Dia
menghela nafas lagi. Pandangannya pun mulai membaik. Pintu di depannya terbuat
dari kaca yang bisa memantulkan wajahnya. Walapun samar, dia bisa melihat pantulan
mukanya ada di kaca itu. Dengan mata yang merah.
# # #
BAB 8
Hari Sabtu yang cerah seharusnya adalah waktu
yang menyenangkan untuk pergi bermain futsal atau berenang, atau bersiap-siap
untuk kencan bersama wanita-wanita pilihan. Jika dulu masih di Digiforyou,
mungkin Juna bisa melakukan itu semua. Tetapi setelah mengalami minggu yang
sangat berat bersama para asisten-asistennya, dia memilih untuk berdiam diri di
kamar. Beberapa kali dering telepon berbunyi dan ia tak menghiraukannya.
Setelah berhadapan dengan buku-buku tebal laporan keuangan perusahaan, strategi-strategi
marketing, dan juga makhluk-makhluk astral yang bermunculan, ia harus
meredamkan otaknya yang panas.
Namun, Ariana mengacaukan semuanya.
Karena beberapa kali telepon Ariana tidak diangkat,
dia memilih muncul ke lantai 13, dan mengetuk pintu kamar Juna. Juna berjalan
ogah-ogahan ke depan pintu dan menemukan Ariana tersenyum lebar di sana. Pagi
ini, Ariana mengenakan t-shirt warna putih, celana jeans, sepatu kets.
Rambutnya dikucir kuda. Penampilan yang lebih santai dari yang biasa Juna
lihat.
“Kamu sudah biasa mengganggu Bos di akhir
pekan ya?” tanya Juna dengan muka cemberut.
“Tidak seperti karyawan pada umumnya yang
diganggu bos, aku justru senang mengganggu bos. Saya tidak ingin bosku
melupakan bahwa akhir pekan ini ada pertemuan penting. Sudah siap?”
Juna diam, mencoba mengingat-ingat kira-kira
pertemuan penting apa yang menyebabkan dia harus bersiap-siap di hari Sabtu
yang cerah ini. Dan dia pun tidak ingat apapun. Mungkin dia terlalu sibuk
mempelajari urusan perusahaan ini sehingga melupakan agenda-agenda penting.
Juna menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada
siapapun di ruang tengah. Biasanya Arya sedang membaca koran di sana, tetapi
kali ini tidak ada. Juna kembali memusatkan perhatian pada Ariana yang berdiri
di depannya.
“Tidakkah kamu membiarkan bosmu ini sedikit
santai di hari Sabtu? Sudah seminggu ini, kamu menyiksaku dengan jadwal yang
menyebalkan.” Juna masuk ke dalam kamar. Ariana masih berdiri mematung di luar.
“Masuklah. Tidak ada siapapun di sini.”
Ariana dengan canggung masuk ke kamar Juna.
Juna baru sadar bahwa selain berpakaian santai, Ariana juga membawa ransel
besar di punggungnya.
“Kamu mau pergi?” tanya Juna.
“Tidak. Kita yang akan pergi.”
Kening Juna mengerut. Ekor matanya mengikuti
arah pandang Ariana ke layar LED di dinding yang masih menyala. Di sana, ada
jadwal kerjaan dan pertemuan seminggu ini. Juna baru mengerti bahwa akhir pekan
ini dia harus ke Yogya. Pertama, dia akan mengadakan meeting bersama para Chief Rantai. Kedua, dia harus menghadiri
peresmian Galeri Mahakarya milik salah satu Chief Rantai, Alexa Crain. Meeting yang seharusnya di adakan di
Jakarta, memang sengaja dipindahkan ke Yogyakarta karena bertepatan dengan hari
pertama Galeri Mahakarya dibuka untuk umum.
Juna mendengus sebal. Pikirannya masih kacau
karena kini dia tak mungkin sendiri lagi di mana pun dia berada. Kini dia bisa
melihat makhluk-makhluk astral yang kadang menampakkan diri tak tahu waktu.
Peristiwa di makam hari Senin kemarin seakan membuka panca inderanya. Dia
pingsan setelah melihat makhluk-makhluk gaib, walaupun masih samar. Hari Selasa
sore yang cerah, dia menemukan dirinya terbujur lemas di tempat tidur.
Arianalah yang datang pertama kali saat dia sadar, sambil membawa bubur ayam
hangat dan segelas susu.
Belum selesai urusan dengan hantu-hantu itu,
Juna harus berhadapan dengan serangkaian meeting.
Hari Kamis kemarin dia berbincang dengan Arya tentang kondisi perusahaan sampai
larut.
Mata Rantai bukanlah Digiforyou. Perusahaan
ini sudah terlampau besar dan membutuhkan tenaga ekstra untuk mengembalikannya
menjadi normal. Meskipun dia memiliki tangan kanan yang bisa diandalkan, tetapi
dia tetap sebagai pengambil keputusan untuk semua hal di Mata Rantai. Termasuk
pemecatan puluhan karyawan di unit usaha alat berat. Yang ia hadapi kini tidak
lagi anak muda yang masih agresif dan penuh semangat, seperti di Digiforyou.
Tetapi para orang-orang yang umurnya sudah jauh di atas dia dengan pengalaman
yang tentunya melebihi dirinya.
Dia tidak ada pengalaman sedikitpun di dunia
perhotelan, kontraktor, apalagi dunia konsultan gaib. Dan kini, dia didaulat
untuk memimpin perusahaan yang hampir bangkrut dengan pemimpin di setiap lini
yang sudah berumur.
“Arya sudah siap?” tanya Juna.
“Arya ada meeting
dengan kolega di rutan di Jakarta Selatan.
Ada seorang koruptor yang mendadak dirasuki oleh hantu ketika di
penjara. Koruptor itu menggaruk-garuk lantai dan melakukan penyerangan terhadap
beberapa sipir. Arya yang akan membereskannya. Dia ditemani Janero. Besok
mereka akan menyusul sebelum meeting.”
“Dengan siapa kita akan ke Yogya?”
“Aku, Eva, Dodo, Dede, dan Gordon tentu
saja.” Ariana menyeringai kecil, seperti malu. Dari tadi mukanya memang bersemu
merah dan matanya tak ingin menatap lelaki di depannya kini.
“Mengapa kamu sepertinya risih? Aku memang
belum mandi.” Juna mencium lengan kanan dan kirinya yang memang sedikit bau
asam. Ketika bibirnya menyentuh lengan kirinya, mendadak dia membeku. Bibirnya
menempel di kulit, bukan di kain. Matanya melirik ke bawah, ke arah pusarnya
yang penuh dengan tato dan bulu-bulu halus. Dan di bawahnya ada boxer warna
hitam yang menutupi kemaluannya.
Ariana tersenyum kecut. “Aku tunggu di luar.”
Juna mematung memandangi Ariana yang pergi
dari kamarnya. Jadi dari tadi dia hanya mengenakan boxer saja? Oh damn. Jika wanita itu bukan Ariana,
mungkin dia justru akan sengaja melakukannya. Memamerkan sixpack perut dan tato
yang mengelilingi pusarnya. Namun karena wanita yang melihat adalah Ariana, dia
menjadi seperti seorang yang pria pelacur.
# # #
Perjalanan ke Yogya dengan menggunakan pesawat
siang cukup melelahkan. Belum lagi ternyata, pesawat paling keren di negeri
ini, mendadak delay sejam yang
membuat Juna mati kebosanan di ruang tunggu ekslusif di bandara. Untung saja
ada Dede yang memintanya untuk menginstal permainan Tangkap Tuyul di ponsel yang
ternyata mengasyikkan juga.
Juna baru sadar bahwa para asistennya selalu
berusaha untuk memberikan service yang terbaik untuk dirinya. Ariana,
memastikan semua hal tidak ada kendala. Tiket pesawat, ruang tunggu, makanan,
bagasi. Bahkan dia yang membawakan charger
ponsel ketika ponsel Juna mulai kehabisan baterai. Dodo dan Dede bertugas untuk
membawakan tas, mengobrol, dan berusaha agar dirinya tidak mati kebosanan. Eva
bertugas membawakan jas dan kadang dengan lebay-nya dia mengelap muka Juna yang
berminyak. Dia akan memastikan Juna tampil prima, kapan pun.
Sementara Gordon, dia selalu berdiri di
samping Juna. Tanpa bicara. Dia akan menjaga Juna ke manapun bosnya itu pergi.
Walaupun ternyata sangat berlebihan. Misalnya ketika Juna sedang berada di
toilet, Gordon akan berada di depan pintu sambil bermuka seram. Juna hanya
geleng-geleng kepala. Hampir saja dia melarang Gordon melakukan itu, tetapi
Ariana melarangnya. Menurut Ariana, sebagai seorang generasi Mata, Juna akan
terus mendapatkan ancaman dari mana saja.
Mereka sampai di Bandara Adisucipto Yogya
siang hari disambut oleh Alexa Crain sebagai tuan rumah. Lelaki 35 tahun itu
seperti biasa, tampil sangat necis mulai dari ujung rambut hingga sepatu.
Juna dan yang lain diantar menuju hotel untuk
istirahat sebentar, sebelum nanti malam akan menghadiri peresmian Galeri
Mahakarya.
Waktu jeda yang lumayan lama, Juna gunakan
untuk melemaskan otot-ototnya sambil membaca beberapa materi untuk meeting besok. Sesekali dia kembali
memainkan Tangkap Tuyul. Dia sudah melesat ke level 30. Permainan itu
benar-benar membuat kecanduan. Permainanannya sederhana, dia memasang jebakan
untuk menghalangi tuyul-tuyul yang akan mencuri uang. Mirip plants vs zombie.
Yang membedakan hanyalah jebakan-jebakannya saja.
Tepat pukul 17.00, Eva datang ke kamar Juna.
Juna sudah selesai mandi dan menunggu pakaiannya.
“Hai, Bos, aku sudah menyiapkan pakaian
terbaik hari ini. Jas batik. Sangat cocok untuk potongan tubuhmu yang
proporsional.” Eva menunjukkan stelan jas hasil rancangannya kepada Juna. Dress
code malam ini memang batik.
Juna mengangguk mantap. Dia sangat bangga
kepada Eva. Eva adalah seorang desainer yang berbakat.
“Good.
Aku suka. Aku penasaran, butikmu ada di daerah mana? Kapan-kapan aku pengen
mampir.” Juna mengenakan jas batiknya. Sangat pas dan cocok. Waktu pertama
datang ke Mata Rantai, Eva memang sudah mengukur tubuhnya. Baik untuk baju,
jas, celana panjang, celana pendek, sepatu.
“Di Kemang. Kapan-kapan aku akan ajak kamu ke
sana, Bos,” jawab Eva sambil merapikan rambut Juna. “Sorry, Bos, mungkin agak
tutup mata.” Eva menyemprotkan hair spray
ke rambut Juna.
“Pacarmu nggak ikut? Siapa kemarin namanya,
aku lupa.” Juna iseng ingin mengetahui sejauh mana hubungan Eva dengan cowoknya
kemarin.
“Gerry,” jawab Eva. “Dia sedang jaga butik.
Butik itu milik kami berdua.”
“Wow, romantis sekali kalian sampai punya
butik bersama. Tidak banyak pasangan seperti kalian yang bisa seperti itu.”
Eva menghentikan gerakan tangannya yang
lentik. Dia menatap Juna dari cermin.
Juna menyadari ucapannya yang tidak pantas,
buru-buru meralatnya. “Oh tidak, Eva, maksudku bukan seperti itu. Begini,
seharusnya…”
“Ah, no
problem Bos. Kedua orang tua kami sudah tahu. Lagian aku sudah cukup nyaman
dengan keadaan kami sekarang.” Eva tersenyum. Sedikit pun dia tidak tersinggung
dengan perkataan atasannya.
“Oh, ya?” Juna tampak membelalakkan mata.
Tidak percaya. Eva mengangguk. “Pasti terasa sulit waktu di awal.”
“Ya, begitulah. Namun, kami saling mencintai.
Apa yang bisa menghalangi selain rasa cinta? Jika nanti Tuhan marah, seharusnya
dia mengerti. Aku tidak mau berbohong pada diriku, perasaanku.”
Juna mengangguk. Tak ingin melanjutkan
percakapan itu, dia menatap mukanya yang kini sudah semakin tampan. “Aku suka tatanan
rambut seperti ini,” ucap Juna basa-basi, mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian
berdiri dan merapikan jasnya kembali.
“Yuk, Ariana pasti sudah menunggu,” ucap Eva
sambil menyambar syal batik miliknya yang tersampir di kursi.
# # #
Galeri Mahakarya adalah bentuk sempurna
rancangan seorang arsitek. Bangunan itu berada di Jalan Kaliurang. Berlatar
belakang Gunung Merapi yang megah. Terdiri dari 3 lantai, berbentuk setengah
lingkaran. Tampak simetris. Ada tangga panjang berada di depan yang
menghubungkan halaman dan teras depan. Halamannya yang luas menambah kemegahan
galeri milik pribadi ini. Malam ini, halamannya bertaburan lampu-lampu yang digantung
di pohon. Lampu tembak warna putih sengaja di arahkan ke dinding untuk menambah
kesan elegan.
Mobil yang membawa Juna memasuki halaman
parkir di samping galeri yang kini sudah mulai dipenuhi mobil undangan. Orang
mulai memenuhi halaman dan juga teras depan. Di pintu utama sudah ada pita
berhias bunga.
Acara dimulai dengan makan ala pesta kebun.
Tamu-tamu penting tampak hadir. Juna menjadi
pusat perhatian. Orang-orang ingin tahu siapakah yang melanjutkan generasi Mata
Rantai. Juna beberapa kali harus menghentikan makannya karena ada orang yang
datang dan berkenalan.
Tepat pukul setengah delapan, MC memandu
jalannya acara utama. Alexa Crain memberikan sambutan singkat dan mengucapkan
selamat datang kepada para tamu undangan. Dia menjelaskan detail tentang konsep
Galeri Mahakarya. Galeri itu nantinya dibuka untuk umum. Akan ada tiket yang
dipungut untuk setiap kedatangan. Hasil penjualan tiket akan disumbangkan
kepada panti asuhan. Konsep sederhana yang mencengangkan semua orang. Mengingat
untuk membangun galeri megah itu tentu memerlukan biaya yang tak sedikit. Tapi,
orang takkan heran jika ada nama Alexa Crain di belakang pembangunan Galeri
Mahakarya.
“Namun tidak lengkap jika saya tidak
memanggil arsitek dari galeri ini yang luar biasa. Mari kita sambut, Ben
Lenwa.”
Seorang pria berbadan tambun dengan kepala
botak dan mengenakan batik lengan pendek maju ke depan. Tepuk tangan riuh
menyambutnya.
Setelah acara sambutan singkat, Alexa
didampingi oleh Lenwa memotong pita yang menggantung di pintu utama. Pintu
berwarna putih itu terbuka lebar. Semua orang buru-buru masuk karena penasaran,
semegah apa Galeri Mahakarya.
Dan para undangan tidak kecewa dengan konsep
galeri itu. Beberapa koleksi pribadi di pajang dengan indah. Lukisan, patung,
benda-benda antik, keris, harimau yang diawetkan. Para tamu mulai menikmati
setiap sisi dari Galeri Mahakarya. Mulai dari lantai satu hingga paling atas.
Di tengah acara, Juna ditarik oleh Alexa
Crain.
“Ada yang ingin berkenalan dengan Anda.”
Juna mengangguk. Alexa mengenalkan Juna pada
Lenwa yang ternyata sangat ramah. Setelah bertukaran kartu nama, Juna permisi
untuk pergi ke toilet. Dia tidak mengijinkan Gordon untuk mengikutinya. Bodyguard-nya itu pun menurut.
Juna tidak benar-benar pergi ke toilet. Dia
pergi ke balkon lantai dua dan mengambil tempat yang tidak terlalu ramai. Dia
mengeluarkan rokoknya. Beberapa saat kemudian, dia sudah duduk sambil memainkan
kembali Tangkap Tuyul ditemani asap rokok.
“Di sini rupanya kamu, Bos.”
Juna menoleh dan mendapati Dede sudah berada
di sampingnya.
“Ya, aku bosan di dalam. Terlalu ramai. Aku
sedang ketagihan memainkan ini.” Juna menunjukkan ponselnya yang sedang
memainkan Tangkap Tuyul. “Aku mentok di level 50. Aku sudah tidak tahu lagi
harus bagaimana.”
“Tuyul itu suka mainan anak atau nggak
kepiting,” ujar Dede. “Kamu sudah beli kepiting atau mainan?”
Juna menggeleng. Lalu dia memainkan ponselnya
kembali.
“Dari tadi aku tidak melihat Ariana. Ke mana
dia?” tanya Juna. Matanya tetap fokus ke Tangkap Tuyul. Dede mengangkat bahu.
Lanjut Juna. “Coba kamu hubungi dia. Aku sudah mulai bosan di sini. Apakah
tidak ada tempat yang lebih menarik?”
# # #
Maksud Juna dengan tempat yang lebih menarik
itu adalah hotel tempatnya menginap atau coffee shop yang nyaman. Tapi Ariana
malah membawa Juna pergi ke angkringan pinggir jalan di daerah dekat Stasiun
Tugu yang ramai sekali. Angkringan itu banyak sekali dan berjajar sepanjang
jalan. Banyak orang yang nongkrong di sana. Alunan musik dari pengamen jalanan
sesekali menyambangi mereka.
“Apakah ini tempat yang menurutmu menarik?”
tanya Juna kepada Ariana.
Dodo dan Dede hanya tertawa melihat ekspresi
wajah Juna yang tampak bete. Bukannya merasa bersalah, Ariana justru mengajak
Juna untuk pergi ke salah satu angkringan.
“Kamu harus mencoba kopi joss di sini.”
Ariana tersenyum. Dia menoleh ke arah penjual. “Kopi Joss empat ya Pak,” ujar
Ariana kepada penjualnya tanpa meminta persetujuan Juna. Dia juga memilih
beberapa gorengan dan sate usus.
Mereka berempat mengambil tempat duduk di
tikar yang digelar di atas trotoar. Tak berapa lama kopi joss dan gorengan
datang. Juna memandangi kopi hitam pekat yang diseduh di gelas bening. Yang
mengagetkan dirinya adalah kopi itu dimasuki bara panas.
“Ini tidak membuat sakit?” tanya Juna, jijik.
“Dicoba dulu aja sih.” Ariana menyeruput
kopinya. “Segar. Setidaknya di sini tidak ada kolega-kolega yang mengganggumu,
kan?” Ariana seolah bisa membaca pikiran Juna yang bosan dengan acara di Galeri
Mahakarya.
Juna menyeruput kopinya. Dia mengangguk
kecil. “Not bad.”
Juna mulai terbiasa dengan suasana yang ada.
Bagi dia, ketiga asistennya adalah orang yang asyik. Dia seperti kembali berada
di Digiforyou. Bertemu dengan orang-orang yang asyik dan berjiwa muda. Ah,
betapa dia merindukan Digiforyou dan juga Fernando.
Dan bagi ketiga asistennya, Juna adalah bos
yang asyik. Untuk ukuran CEO sekelas Mata Rantai, Juna masih mau berbaur dengan
karyawan. Masih mau mengobrol tentang hal-hal di luar kerjaan. Itu yang membuat
ketiga karyawannya sudah mulai merasa dekat dengan Juna.
Di tengah obrolan mereka, Juna mendadak
membeku di tempat dan mukanya pucat. Spontan ketiga asistennya ikut terdiam.
“Bos…” tanya Dodo yang duduk tempat di
sampingnya.
“Di belakangmu,” Juna menunjuk ke arah
Ariana. Ariana menoleh ke kanan dan ke kiri meminta penjelasanmu. Namun, di
belakangnya hanya ada pagar tembok bercat putih. “Jangan bergerak…ada….”
“What?”
tanya Ariana pelan.
“Ada
kecoa. Di belakangmu ada kecoa.” Belum sempat Ariana berbicara, Juna sudah
melompat ke belakang sambil menjerit. Ariana menoleh ke belakang dan melihat
ada kecoa di belakangnya. Pandangannya kemudian kembali pada Juna yang tampak
ketakutan di depannya.
Mendadak Ariana, Dodo, dan Dede tertawa.
# # #
“Jangan bilang kepada siapapun. I’m your Bos, right? Dan ini perintah.”
Juna menatap ketiga asistennya yang kini tampak tertawa terpingkal-pingkal di
dalam mobil. Sejak dari tempat angkringan sampai ke dalam mobil, ketiganya
tidak berhenti tertawa. “Oh, come on.
Setiap orang punya fobia.”
“Tapi tidak dengan kecoa. Aku saja tidak
takut.” Ariana mencibir Juna.
“Aku bukannya takut, tapi geli. Apalagi tadi
dia hampir terbang.”
Ketiga asisten Juna kembali tertawa melihat
Juna yang bergidik. Bahkan supir merekapun ikut tertawa.
Tawa mereka berhenti saat dering ponsel Juna
berbunyi. Dari nomer tak dikenal.
“Siapa yang tengah malam menelepon?” ujar
Juna sedikit kesal. Namun, dia tetap mengangkatnya. “Halo….”
Juna terdiam mendengarkan suara di ponselnya.
“Halo, Tuan Mata. Maaf menghubungi Anda
malam-malam seperti sekarang. Namun, saya tidak tahu harus menghubungi siapa
lagi. Saya ingin meminta bantuan. Saya…saya belakangan ini seperti diikuti oleh
seseorang. Tidak, maksud saya hantu atau iblis.”
Juna menelan ludah. Belum selesai
keterkejutan tentang kecoa, dia harus berhadapan dengan hal lain yang belum ia
mengerti.
“Maaf, tapi…”
“Tuan harus membantu saya. Sudah seminggu ini
saya seperti mendapatkan teror.”
“Baik Pak Lenwa, mungkin nanti saya, maksud
saya, Mata Rantai akan membantu Anda.”
# # #
Typo: nonya, kepalanya pening bkn kepala, apa pun, ada beberapa lg tp lupa catet, cek sendiri yah hihih
ReplyDeleteaku saya dlm 1 kalimat. Anak buah juna, aku kamu ga papa? Kalau modelnya kaya teman, oke sih. Tp ada dialog ariana yg cocoknya kamu diganti Anda.
Ep 7 kaya kurang nyambung. Tiba2 ada nama2 baru. Kirain itu beda cerita. Ternyata dihubungin sama pameran.
Saya sukaaa sama asisten2 juga. Game tangkap tuyul jg bikin penasaran. Main hantu tp doyan snsd wakakak
maap dah cerewet :D
Ep 7 memang sengaja ada karena untuk mengenalkan tokoh Ben Lenwa dan sebagai pembuka kasus 1.
DeleteThank saran2nya :)
Saran dikit lagi. Perepisode 1 post. Kalau 1 post 3 episode panjangggg.
ReplyDeleteJd kalau org baca kan enak. Masa iya di judul tulisannya 5 ternyata sdh episode 8?
Mungkin aku akan menjelaskan bedanya BAB dan EPISODE di serial ini.
Delete1 Episode itu beda dengan 1 Bab. 1 Episode bisa terdiri dari beberapa Bab (kadang 2 atau 3 tergantung mood).
Jadi untuk episode 5 itu ada 3 Bab. Bab 6, 7, 8. Bukan episode 6, 7, 8
But, thank you :)
aku suka nih ngikutin serial mata rantai. tapi episode kali ini panjang banget.. gak sanggup baca sampai bawah.akhirnya berhenti sampe juna pake boxer hehehe
ReplyDeleteterus ada beberapa kalimat yang aneh sih. kayak: Mereka bertiga dijemput oleh seorang supir berumur 3 tahun... kayaknya typo yah?
Khusus episode kali ini aja kok yang panjang. Nextnya maximal 2 Bab.
DeleteIya ada typo. Thank koreksinya.