BAB 9
Malam-malam setelah mendapatkan telepon dari Ben Lenwa, tidur Juna tidak pernah setenang biasanya. Semenjak berurusan dengan Mata Rantai, dia memang tidak pernah merasakan tidur yang nyenyak. Namun, telepon dari Ben Lenwa seperti membuka mata bahwa kehidupannya memang sudah tidak senormal dulu lagi. Pagi hari, dia pasti akan terbangun karena merasakan sakit kepala yang luar biasa.
Dia akan terduduk lama dan mencoba kembali ke dunianya kembali. Sebenarnya, dia dulu juga pernah mengalami hal ini.
Dulu waktu ia berumur delapan tahun, dia
sering bermimpi buruk. Dia seperti tersesat di satu ruangan besar tanpa batas.
Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali dirinya. Dia tidur, namun seperti hidup.
Dia
memanggil-manggil mamanya, tetapi tidak ada siapapun yang datang. Juna berlari
dan terus berlari. Tanpa batas. Ruang itu tak ada dinding. Dia kemudian
terbangun dengan nafas terengah-engah dan bajunya basah oleh keringat.
Mama dan papanya kemudian mengajaknya pergi
ke seorang kawan. Juna kecil belum mengerti apa yang terjadi dengannya.
Beberapa kali dia dibawa ke rumah kawan itu. Semenjak saat itu, dia mulai tidur
dengan nyenyak. Dan kejadian mimpi buruk itu tidak pernah terjadi lagi, sampai
beberapa bulan lalu. Kepalanya mendadak pusing dan dia didatangi mimpi-mimpi
masa kecilnya lagi.
Jika
benar ia memiliki indera ketujuh, lalu apa fungsinya?
Pertanyaan itu ia utarakan kepada Arya yang
tentu sudah punya banyak pengalaman. Arya adalah seorang konsultan dunia gaib.
Beberapa kasus besar sudah ia pecahkan. Termasuk ‘membersihkan’ lahan yang akan
dibangun mall besar di kawasan BSD. Ilmu kebatinannya, Arya dapatkan dari
Haryan. Beberapa tahun ia belajar. Dia memang tidak memiliki indera ketujuh
seperti Juna, tetapi kini kemampuannya untuk menganalisis dunia gaib tidak bisa
diragukan lagi. Hanya satu kekurangannya, dia tidak bisa menembus alam antara
dunia dan akherat. Itu saja.
Arya mengatakan bahwa Juga harus mengasah
ilmunya. Juna pun mulai rajin berlatih bersama Dodo dan Dede ditengah-tengah
kesibukannya memimpin Mata Rantai. Ia mempelajari cara mempertajam penglihatan,
cara menenangkan diri untuk melawan makhluk-makhluk gaib, dan cara untuk
menembus kehidupan antara dunia dan akherat. Dodo dan Dede juga mengenalkan
Juna pada Pak Yusuf, seorang Kyai yang sering membantu Mata Rantai dalam proses
pengusiran roh jahat. Teknologi dan agama memang harus selalu beriringan. Maka,
Juna pun mulai rajin menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan oleh Masjid
Istiqal, hal yang dulu bahkan tak pernah ia lakukan sedikitpun.
Di suatu sore yang cerah, Arya menghampiri
Juna yang tengah duduk di pinggir kolam sambil membaca koran dan menikmati
secangkir teh. Juna sudah tampak mulai tenang dan bisa menghadapi mimpi-mimpi
buruknya. Wajahnya mulai kembali bercahaya setelah beberapa minggu tampak terlihat
lusuh.
Arya mengawali pembicaraan dengan obrolan
tentang kasus Ben Lenwa. Menurutnya, inilah awal Juna untuk menghadapi kasus
yang berhubungan dengan alam gaib.
“Tuan bisa belajar memecahkan kasus ini.
Biar Ariana yang menemani. Mungkin Tuan juga bisa mengajak Dodo dan Dede. Aku
pikir, kasus Lenwa adalah kasus mudah. Dia mungkin hanya diganggu oleh hantu
kemarin sore. Kekuatannya pasti masih bisa diatasi.”
Juna menarik alisnya ke atas. “Entahlah. Aku
masih belum memutuskan. Apakah tidak sebaiknya kamu atau Janero yang menyelesaikan kasus ini. Sepertinya kasus akan mudah dipecahkan jika kalian yang membereskan.”
“Ini sebagai latihan awal agar Tuan bisa
mempertajam kemampuan indera ketujuh. Apa yang membuat Tuan ragu?”
“Kondisi Mata Rantai,” jawab Juna singkat.
“Aku membaca laporan dari Ariana. Kondiri keuangan kita sedang carut marut. Kamu
tahu sendiri, dolar sedang tidak stabil. Seen Moon membukukan keuangan minus bulan
kemarin. Aku harus berbicara dengan Alexa Crain untuk hal ini.”
Juna teringat akan beberapa meeting dengan
para Chief Rantai. Sektor Kontraktor di bawah bendera Building The Sun masih stabil. Tetapi di
sektor Hotel yang berada di bawah Alexa Crain mengalami
penurunan yang drastis. Sektor alat berat lebih parah lagi. Belum lagi kondisi di sektor pertelevisian dan surat
kabar yang sekarang banyak sekali pesaingnya. Beberapa Chief mulai diminta
untuk berpikir bagaimana agar keuntungan mereka tidak menurun. Opex perusahaan
di sektor hotel dan hiburan sangatlah
besar, dan Juna sedang merancang strategi untuk memangkasnya. Dia juga harus
memikirkan bagaimana menghadapi para Chief-nya yang notabene sudah memiliki
pengalaman jauh di atasnya.
Terutama Ronero. Pria berkulit hitam yang
selalu memakai topi itu tampak membentengi dirinya. Dia memang berumur jauh
dari Juna dan memiliki pengalaman di Mata Rantai yang jauh pula. Hal itulah
yang membuatnya beberapa kali tidak menuruti Juna sebagai atasannya. Dia adalah
satu-satunya Chief yang menunjukkan kinerja yang positif dua bulan terakhir.
Sektor Kontraktor yang berada di bawah benderanya masih membukukan keuangan
yang baik. Mungkin ini jadi alasan dia juga untuk tidak menuruti Juna.
“Tidak akan lebih dari satu bulan memecahkan
kasus Lenwa. Percayalah,” Arya tersenyum kecil. “Kita masih bisa berhubungan
via hologram, Tuan masih bisa mengontrol Mata Rantai."
“Baiklah, akan aku pertimbangkan.” Juna
menyeruput tehnya. Dia meyakinkan dirinya. Bukankah
ini menyenangkan? Menyelesaikan kasus alam gaib. Bukankah akan ada Ariana yang
menemaninya?
# # #
Tujuh belas kilometer dari Jalan Sudirman, di
sekitaran Kuningan, Naya sedang duduk membaca novel di teras depan rumah sambil
menunggu Gru pulang dari bermain bola bersama teman-temannya di taman komplek.
Suaminya, Ben Lenwa, sedang pergi bersama klien untuk membahas proyek Mega Mall
di daerah Bekasi. Sejak mengerjakan Mahakarya yang sukses menyedot perhatian
para penikmat bangunan arsitektur, Lenwa kebanjiran job. Hal itulah yang
membuatnya harus bekerja di hari Sabtu sekarang ini.
Sudah hampir maghrib, namun Gru belum juga
terlihat. Naya masuk ke dalam rumah, memanaskan makan malam yang sudah ia
siapkan sambil menonton acara gosip di televisi. Pukul 18.00, Gru ataupun Lenwa
belum menunjukkan tanda-tanda kepulangan.
Naya berinisiatif untuk mengontak Lenwa.
“Masih di Bekasi?” tanya Naya.
“Tidak, ini sudah perjalanan pulang. Macet
sekali di TB Simatupang. Gru sudah balik?”
“Belum,” jawab Naya pendek. Bebarengan dengan
itu, bel rumah berbunyi. “Oh, itu dia sudah balik. Kamu hati-hati, Honey.
Segera pulang. Aku sudah menyiapkan makanan kesuakaanmu.” Naya menutup telepon
rumahnya, lalu bergegas pergi ke depan.
Di depan rumah, dia menemukan Gru sedang
duduk di kursi teras sambil melepaskan sepatu bolanya. Rautnya tampak lesu dan
kecapekkan sekali.
“Sudah larut, baru balik?” tanya Naya. “Lain
kali jangan lupa kasih tahu Mama kalo latihan bolanya sampai selarut ini.”
“Tadi mengobrol sebentar,” jawab Gru pendek.
Dia meletakkan sepatunya, lalu masuk ke dalam rumah. Tak menghiraukan mamanya
yang sedang berdiri di depan pintu.
Naya mengikuti dari belakang. Gru duduk di
sofa, menyalakan televisi, lalu mematikannya lagi. Dia berjalan ke dapur,
membuka kulkas, mengeluarkan botol minuman. Menegaknya sampai habis. Naya hanya
berdiri di tengah ruang televisi sambil melihat tingkah aneh putera semata
wayangnya.
“Segeralah mandi, lalu makan. Mama sudah
menyiapkan ayam goreng kesukaanmu.”
Gru mengangguk kecil. Tanpa berkata apa-apa,
dia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2.
Naya melihat punggung Gru yang menghilang di
ujung tangga. Tidak seperti biasanya Gru bersikap seperti itu. Bocah itu
biasanya banyak bercerita tentang latihannya, atau setidaknya membicarakan
hal-hal lain. Menanyakan mamanya masak apa, apakah papa sudah pulang, apakah
dia boleh makan dulu tanpa perlu mandi.
Naya duduk di depan televisi, menyalakannya. Sebuah
sinetron yang tidak pernah ia ikuti. Tapi Naya membiarkannya. Pikirannya memang
tidak sedang ada di sana. Dia melirik jam dinding. Hampir jam setengah delapan.
Biasanya dia sudah duduk di meja makan bersama Gru dan Lenwa. Mereka akan
bercerita tentang banyak hal. Gru yang paling banyak bercerita tentang
kesehariannya di sekolah selama seminggu. Meskipun cerita itu sudah ia
ulang-ulang, namun baik Naya ataupun Lenwa tak bosan mendengarkannya.
Satu hal yang selalu ia ceritakan adalah
bagaimana dia selalu kagum dengan seorang masinis. Ketertarikan Gru dengan
kereta api memang sudah terlihat dari kecil. Hari itu adalah hari ulang
tahunnya, ketika papanya datang membawa hadiah satu set mainan kereta api.
Sepanjang hari Gru tidak lepas dari mainan itu. Dia juga menyeret papanya untuk
ikutan bermain sambil bertanya beberapa hal. Sejak saat itu, Gru jadi bersemangat
mengumpulkan permainan kereta api. Dan dia mengikrarkan diri bahwa nanti dia
akan menjadi seorang masinis. Sebulan lalu, Lenwa pulang dari Yogya dengan
membawa kotak besar berisi permainan kereta api yang terbuat dari kayu. Gru
tampak senang sekali menerima hadiah dari papanya. Dan memajang mainan itu di
kamarnya, melengkapi koleksi mainan kereta apinya.
Malam ini, tidak ada obrolan tentang kereta
api. Atau ocehan lain. Sebenarnya, ini terjadi sudah beberapa bulan. Ketika
Lenwa mulai sibuk dengan kerjaannya. Dan Gru mulai ngambek jika tidak ada
papanya di meja makan. Kereta api kayu adalah ucapan permintaan maaf Lenwa
karena sudah mulai jarang makan malam bareng lagi. Dan malam ini, Naya kembali
merasakan kesepian.
Lamunan Naya membuyar saat ia mendengar suara
sesuatu yang jatuh dari lantai dua. Naya segera berlari menaiki tangga sambil
memanggil-maggil nama Gru. Takut ada apa-apa dengan Gru, Naya membuka pintu
kamar Gru. Tak ada Gru di sana. Tapi terdengar suara gemericik air dari kamar
mandi.
“Ada apa Mom?” tanya Gru.
“Oh, tidak. Tadi mama mendengar ada yang
jatuh dari kamarmu.” Naya mengedarkan pandangan ke kamar Gru. Dia mendapati
kereta api kayu mainan Gru terjatuh di lantai. Beberapa bagiannya terlepas.
Naya memungutnya, lalu mengembalikan ke posisi semula di meja khusus yang Gru
siapkan untuk mainan-maiannya.
Naya kembali turun ke lantai dasar bertepatan
dengan suara deru mobil Lenwa di luar. Sebelum menyambut Lenwa, Naya tampak
merapikan meja makannya. Menyalakan lilin, menuang air mineral ke gelas. Tak
berapa lama, dia mendapati suaminya sudah ada di ruang makan.
Lenwa mengecup kening istrinya. “Sepertinya
makan malam yang spesial. Maaf aku terlambat.” Lenwa tersenyum. Perutnya sudah
mulai minta disi.
“Gru, cepat masuk sebelum kamu dimarahi
mamamu,” ujar Lenwa. “Dia tadi kulihat masih bermain di taman bersama anak yang
lain. Padahal hari sudah selarut ini. Apakah dia tidak menghubungimu?” Lenwa
menaruh tas dan jaketnya di kursi.
Naya tak mengerti dengan ucapan suaminya.
“Ya, maafkan aku. Tak akan kuulangi.” Gru
muncul di pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dan ruang tamu. Dia
masih terlihat letih, lengkap dengan baju bolanya. Raut mukanya tampak lesu.
“Tadi seharusnya aku menghubungi mama, tapi lihat.” Gru mengacungkan telepon
genggamnya. “Baterainya habis.”
“Papa akan mengambil ponsel itu jika hanya
digunakan untuk main games, dan tidak berfungsi untuk memberi kabar.”
“Oh, come
on papa. Hanya kali ini. Tadi Kak Bagas terlalu bersemangat mengajari kami
untuk pertandingan dua minggu lagi. Lalu dia bercerita tentang masa kecilnya.”
Gru tampak merengek.
“Tidak anak bandel.” Lenwa mengambil ponsel
dari tangan Gru. “Hukuman untuk anak papa yang tidak memberi kabar kalo pulang
telat. Seminggu ini tak ada ponsel.” Lenwa tampak puas melihat Gru yang
cemberut. “Segera minta maaf ke mamamu.”
“Tunggu….” Naya melihat kedua lelakinya. Lalu
tatapannya tertuju ke Gru di depannya. “Kapan kamu keluar rumah lagi? Bukankah
kamu sedang mandi?”
Gru dan Lenwa tampak saling pandang. Mereka
tak mengerti dengan ucapan Naya.
“Gru baru pulang sekarang kok. Oke, Gru tahu
Gru salah, tapi…”
Belum selesai ucapan Gru, Naya sudah balik
badan. Berlari menaiki tangga menuju kamar Gru. Dia tak lagi perlahan membuka
pintu, tapi mendobraknya. Sesampainya di sana, tak ada siapapun. Mainan kereta
api yang tadi ia tempatkan di meja, kini tergeletak kembali di lantai. Naya
berlari ke kamar mandi Gru. Tak ada siapapun juga. Kamar mandi itu bersih dan
kering. Tak ada tanda-tanda baru saja
digunakan.
Naya terpaku ditempatnya. Jadi siapa yang tadi datang berwujud Gru?
# # #
[bersambung]
Baca kelanjutannya di sini
Kaget liat Juna ke masjid. Tobat ciyeeeee
ReplyDeletestuju dg opini supranatural kudu gabung sama agama. Jd siapa Gru yg pulang duluan?
kayaknya dia belum beneran tobat nih. Dia bikin kesel aja nanti.
Deletekesel juga ganteng-ganteng tp takut kecoa.