BAB 10
Malam sudah larut menyisakan suara jangkrik dan deru angin. Baik Naya maupun Gru sudah tertidur di kamar, sementara Lenwa duduk seorang diri di teras rumah. Naya belum cerita apapun tentang apa yang terjadi, tetapi sejak kedatangan Lenwa tadi, dia mulai bersikap aneh. Terakhir dia mulai meracau sendiri yang tak jelas. Dia berkata bahwa Gru sudah datang, Gru sudah mandi, Gru sudah ingin makan. Itu tidak mungkin, jelas-jelas Gru baru saja
datang bersama dengan Lenwa. Akhirnya Lenwa meminta Naya untuk beristirahat menenangkan diri.
Malam sudah larut menyisakan suara jangkrik dan deru angin. Baik Naya maupun Gru sudah tertidur di kamar, sementara Lenwa duduk seorang diri di teras rumah. Naya belum cerita apapun tentang apa yang terjadi, tetapi sejak kedatangan Lenwa tadi, dia mulai bersikap aneh. Terakhir dia mulai meracau sendiri yang tak jelas. Dia berkata bahwa Gru sudah datang, Gru sudah mandi, Gru sudah ingin makan. Itu tidak mungkin, jelas-jelas Gru baru saja
datang bersama dengan Lenwa. Akhirnya Lenwa meminta Naya untuk beristirahat menenangkan diri.
Lenwa menimbang ponsel di tangannya. Sejak
terakhir kali ia mengirim SMS kepada pimpinan Mata Rantai setengah jam lalu,
dia belum menerima balasan apapun. Dia menceritakan tentang kejadian malam ini.
Lenwa yakin, kejadian malam ini bukanlah kejadian yang biasa. Naya pasti tidak
berhalusinasi. Ini pasti ada hubungannya dengan makhluk-makhluk yang mengganggu
belakangan ini.
Awalnya Lenwa berpikir bahwa dia kelelahan. Tetapi ternyata tidak, dia tidak kelelahan. Setelah merasakan pusing luar biasa beberapa kali, dia mengalami hal-hal aneh. Dia mendengar suara-suara yang berbisik di telinganya ketika ia tidur, melihat bayangan berkelebat di depannya dengan cepat, atau seperti merasakan ada seseorang yang menemani ketika ia duduk seorang diri. Dia juga suka melihat bayangan orang lain di dalam cermin.
Dan bayangan yang ada lebih banyak seorang
anak kecil.
Jumat, minggu lalu, Lenwa pulang dari kantor
di daerah Sudirman. Hari sudah larut. Pikirannya sudah dipenuhi oleh proposal
desain untuk sebuah mall di Bekasi yang digarapnya. Memasuki komplek
perumahannya, dia merasakan ada hal yang tidak beres. Mobilnya berhenti
mendadak. Dia mencoba menyalakan mobilnya, tidak bisa. Beberapa kali dia mencoba,
tetap tidak bisa. Akhirnya dia menyerah dan diam diri di dalam mobil sejenak.
Ketika pikirannya sedang kalut, ada seorang
anak kecil—kira-kira seumuran Gru—berdiri tak jauh dari mobilnya. Anak kecil
itu berambut sedikit panjang, menutupi telinga, dan berponi. Kulitnya putih
bersih. Dia tampak sangat manis. Anak itu diam saja. Lenwa berpikir bahwa
mungkin anak itu hanyalah seorang anak dari salah satu penghungi perumahan.
Tetapi ternyata anggapannya salah.
Lenwa mengamati dari dalam mobil ketika anak
itu berbalik arah, menjauhinya. Perlahan bayangan itu hilang. Tak berbekas.
Lenwa mengucek-ucek matanya. Memastikan bahwa
apa yang ia lihat adalah salah. Dia memastikan sekali lagi, tetap tidak ada.
Anak itu menghilang. Lenwa buru-buru keluar dari mobil dan berjalan mendekati
tempat berdiri anak itu tadi. Tidak ada tanda-tanda bahwa anak itu ada. Lenwa
memandang ke kanan dan ke kiri, tak ada siapapun. Bulu kuduknya berdiri ketika
angin semilir menerpa tubuhnya.
Menyadari ketidakberesan yang terjadi, arsitektur
itu memutuskan untuk kembali ke dalam mobil. Dia pasti kelelahan sehingga
berhalusinasi ada seorang anak kecil di depan mobilnya yang mogok.
Lenwa membuka pintu. Tubuhnya kaku. Anak
kecil yang tadi berdiri di depan mobilnya, yang kemudian menghilang, kini sudah
duduk di dalam mobilnya. Mukanya pucat dan di pelipisnya ada darah yang
mengalir.
Anak itu menoleh ke arah Lenwa. Dia tak
berkata apa-apa. Hanya tersenyum kecil.
Lenwa membanting pintu mobilnya, lalu
berjalan cepat ke belakang. Tubuhnya terjengkang karena ia berhati-hati. Dia menjerit,
meminta tolong. Jeritannya semakin keras saat dia melihat anak kecil itu keluar
dari mobil dan berjalan mendekatinya. Lenwa mendadak pingsan.
Saat ia terbangun, Lenwa sudah dikelilingi
oleh satpam komplek. Dia tidak melihat anak kecil itu lagi.
Apakah anak itu adalah anak yang sama dengan
yang Naya lihat? Jika benar, apa yang diinginkan anak itu? Lenwa sudah
menceritakan hal ini kepada kantor Mata Rantai. Dan Juna Mata sendiri yang
mengabari bahwa Mata Rantai akan membantu untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi
sampai hari ini, belum ada kabar kapankah mereka akan datang. Lenwa takut,
suasana mencekam itu akan semakin mengganggunya. Dan Lenwa semakin yakin,
rumahnyalah yang bermasalah.
Rumah ini ia beli setahun yang lalu, ketika
ia mulai menerima honor dari proyek Galeri Mahakarya. Rumah yang ia beli dari
seorang pengusaha garmen. Awalnya tidak ada yang aneh di rumah ini, sampai
suatu ketika dia menemukan dirinya mulai dihantui oleh makhluk-makhluk halus.
Lenwa memang belum cerita apapun kepada Naya.
Tetapi melihat kejadian malam ini, dia pasti akan segera mengobrol dengan Naya.
Dia tak ingin keluarganya ikut-ikutan diganggu oleh makhluk-makhluk yang entah
datang dari mana.
Terutama Gru. Lenwa tak ingin menjadi
ketakutan. Lenwa sangat menyayangi anak lelakinya itu.
# # #
Gru Alvando menarik selimutnya sampai leher.
Sejak tadi dia belum bisa tidur, padahal latihan sore tadi sangatlah berat. Kak
Bagas benar-benar membuat semua anak didiknya berlatih tanpa henti.
Pertandingan bola antar klub anak-anak di bawah 10 tahun dua minggu depan
memang pantas untuk diperjuangkan. Gru yang memang suka sepakbola mengharapkan
dirinya dipilih menjadi seorang kapten, jadi dia berlatih sangat keras.
Seharusnya malam ini, dia langsung bisa
tidur. Tetapi tidak. Di saat kelelahan seperti sekarang, dia malah tidak bisa
tidur. Dia membolak-balik tubuhnya di atas kasur, menarik selimut, membukanya
kembali, duduk, menyalakan lampu, memadamkan lagi. Dia sudah mencoba menghitung
domba, tetapi sampai domba-dombanya beranak pinak, dia tetap tidak bisa tidur.
Gru memiringkan tubuhnya menghadap ke
dinding. Dia kembali menghitung domba. Tetap tidak mempan. Tetapi, tubuhnya
memang mulai letih dan matanya mulai mengantuk. Dia terus menghitung domba dan
memejamkan matanya rapat-rapat.
Baru saja nyawanya ada diambang hidup dan
tidur, ada seseorang yang memanggilnya.
Seorang anak kecil.
Suaranya pelan. Sangat dekat. Gru membuka
mata perlahan, memasang telinganya.
“Mam…Pap…” Gru memanggil kedua orang tuanya.
Tidak ada yang menyahut. Gru memejamkan matanya kembali. Suara itu kembali
terdengar, kali ini lebih keras dan sangat dekat.
Gru membuka matanya cepat. Suara itu
terdengar sekali lagi, di bawah tempat tidurnya. Gru perlahan melongokkan
kepala ke kolong tempat tidur. Tetapi, tidak ada siapapun di sana.
“Gru….”
Gru duduk. Melihat ke kanan dan ke kiri. Tak
ada siapapun. Suara itu terdengar lebih keras. Gru merasa bahwa suara itu
berasal dari permainan kereta api yang ada di atas meja. Dia turun dari tempat
tidur dan memeriksa mainan itu. Tak ada apa-apa.
“Jangan
ambil mainan itu…”
Gru menoleh. Suara itu berkelebat di
belakangnya, seperti ada seorang yang berlari. Namun, tidak ada siapa-siapa. Gru
melihat mainannya, lalu membantingnya ke lantai. Dia ketakutan dan berlari ke
arah pintu. Buru-buru ia menarik gagang pintu, namun tidak berhasil. Pintu
kamar tidak bisa dibuka. Gru berbalik arah.
Di dekat mainannya, Gru melihat seorang anak
kecil sedang jongkok. Matanya sayu dan pucat. Anak kecil berponi itu memandang
ke arah Gru. Dia memakai baju tidur warna biru muda.
“Mau
bermain denganku?” ucap anak kecil itu.
“Mama…Papa….” Gru menggedor-gedor pintu
kuat-kuat.
# # #
Hari Senin. Pukul 10.00. Ruang Meeting lantai
7 gedung Mata Rantai. Ruang meeting yang hanya muat untuk 15 orang itu penuh
terisi oleh para Chief Rantai dan Para Asisten Juna. Juna memerintahkan semua
Chief agar datang ke Jakarta karena ada hal penting yang harus ia sampaikan. Ia
tak ingin berbicara pada hologram saja. Dia ingin melihat mereka langsung.
Tak ada yang bersuara ketika memasuki ruangan
meeting itu. Mereka tidak membahas apapun sampai Juna datang bersama Ariana.
Meeting langsung dibuka oleh Juna sendiri. Ada 3 komponen besar yang langsung
disampaikan oleh Juna. Pertama, akan ada pemotongan opex besar-besaran di semua
lini bisnis. Cost Reduction Program
jangka pendek dan jangka panjang akan dilaksanakan. Juna sudah memikirkan
masak-masak bahwa cara tercepat untuk memulihkan kondisi keuangan perusahan ini
adalah dengan melakukan pemotongan biaya. Jadi semua lini bisnis dari atas
sampai bawah diberi tantangan untuk melaksanakannya.
Tentu saja Ronero tidak setuju jika lini
bisnisnya juga mengalami Cost Reduction.
Karena dari laporan keuangan tiga bulan terakhir, hanya dirinyalah yang
mengalami pertumbuhan positif. Namun, Juna kali ini bersikeras bahwa semua
Chief harus mematuhinya. Tak satupun bisa membantah. Beberapa kali, Ronero
sempat berdebat dengan Juna. Juna mempertahankan apa yang sudah menjadi
keputusannya, sedangkan Ronero tetap tidak setuju.
“I’m
your Boss, now. Seberapa tua Anda berada di Mata Rantai, atau seberapa
banyak pengalaman Anda, sekarang sayalah yang tetap memutuskan.” Perkataan Juna
langsung membungkam mulut Ronero. Juna sudah menahan diri untuk tidak mengatakan
kalimat ‘I’m Your Boss’, namun dia
sudah tidak tahu lagi bagaimana menghadapi para Chief yang usianya memang jauh
di atas dirinya.
“Kedua, ada beberapa perombakan di asisten
saya. Saya merasa bahwa selama ini, tugas masing-masing asisten masih kabur.
Ada tumpang tindih dalam pembagian kerjaan. Jadi, saya ingin merombaknya.” Juna
memandangi asistennya yang duduk berseberangan dengannya. Semua kepala asisten
tampak mendongak. “Arya tidak lagi akan menjadi asisten. Dia akan menjadi
penasehat utama. Kita tentu sudah tahu bahwa Tuan Mata sebelumnya sudah
mempercayakan sepenuhnya perusahaan ini kepada Arya. Arya tahu seluk beluk
tentang perusahaan ini. Jadi, saya mengangkat dia jadi penasehat utama.
Tugasnya adalah mengontrol semua hal di Mata Rantai. Kasarnya, jadi orang kedua
saya. Posisinya ada di atas para asisten.” Juna melihat Arya yang dibalas
dengan anggukan. Menurut Juna, Arya pantas mendapatkan penghargaan ini.
“Dodo dan Dede tetap akan memegang konsultasi
gaib. Namun kapasitasnya saya tambahi. Saya tak ingin hanya sebagai konsultan,
namun juga sebagai seorang peneliti, seorang pengembang untuk aplikasi-aplikasi
yang bisa membantu. Akan ada dana tambahan yang khusus saya berikan. Nanti Arya
yang akan mengurus tambahan dana ini. Dibicarakan dengan departemen Finance dan
Akunting.” Juna melirik Dodo dan Dede yang tampak sangat kegirangan.
“Eva tetap akan membantu saya untuk memilih
baju, tak ada yang lebih hebat dari dia untuk urusan fashion di sini. Saya
mempercayakan sepenuhnya pengaturan baju saya kepadanya. Dan Gordon akan tetap
mengawal saya sampai kapanpun.”
“Dan Ariana,” Juna melirik ke arah Ariana.
Wanita itu membalas tatapan Juna. “Ariana akan menjadi asisten pribadi saya.”
Ariana membelangakkan mata. “Mengatur semua jadwal saya seperti biasa. Namun,
sekarang dia khusus bekerja untuk itu. Tak perlu terlibat diurusan hal gaib,
keuangan, atau fashion.”
“Lalu saya?” tanya Janero.
Juna menahan nafas sebentar, sebelum dia
melanjutkan ucapannya. “Sudah saya bilang sejak awal tadi bahwa tidak akan ada
lagi tugas asisten yang merangkap. Jadi…” Juna menarik nafas kecil. “Kamu akan
saya perintahkan untuk menjadi asisten Dodo dan Dede di Departemen Gaib dan
Teknologi.”
“Asisten….mereka?” Janero menunjuk ke arah Dodo
dan Dede.
“Iya, ada masalah?” Juna memandang Janero.
Janero mendengus sebal. Dia tak berkomentar.
“Ada yang keberatan dengan keputusan saya?”
Juna meninggikan suaranya. Tak ada yang bersuara. “Jika tidak ada, saya ingin
melanjutkan ke hal ketiga yang ingin saya sampaikan. Ada satu kasus yang harus
saya pecahkan. Bapak dan Ibu sudah tahu bahwa untuk ilmu gaib saya masih jauh,
jadi saya ingin terus belajar. Dan kasus ini akan sebagai langkah awal saya
untuk mendalaminya.”
Juna lalu menceritakan tentang kasus yang
menimpa Ben Lenwa dan keluarganya. Beberapa minggu yang lalu, tepatnya saat peresmian
Galeri Mahakarya, Lenwa menelepon dirinya. Dia berkata bahwa dia seperti
diganggu oleh makhluk halus. Dia diteror terus menerus. Bahkan kemarin, tidak
hanya dirinya yang diganggu. Namun juga keluarganya. Naya, istrinya, dan Gru,
anaknya mulai didatangi juga. Dan Lenwa beranggapan bahwa rumahnyalah yang
bermasalah.
“Lenwa tak pernah cerita apapun kepadaku,”
ujar Alexa Crain.
“Dia memang belum cerita kepada siapapun.
Kebetulan setelah kamu memperkenalkan kami di pembukaan Galeri Mahakarya, dia
menghubungiku. Dia meminta tolong agar Mata Rantai membereskan kasus ini,” kata
Juna. Lanjutnya, “Jadi saya akan konsentrasi untuk belajar. Saya tahu belajar
hal ini tidak mudah, saya butuh konsentrasi. Jadi dua minggu ke depan, semua
hal tentang Mata Rantai akan saya serahkan kepada Arya. Saya akan tetap
memantau dan menerima laporan.”
Meeting siang itu berakhir saat makan siang. Tak
ada perdebatan, walaupun Juna tahu, ada beberapa orang yang tidak menyetujui
keputusannya.
“Tuan…” Arya menghampiri Juna yang tengah
memberesi berkas di meja. “Boleh bicara sebentar.”
Juna mengangguk. “Katakan,”
“Apakah tidak berlebihan untuk pengangkatan
saya….”
“Arya, tidak ada yang berlebihan. Lagian
semua orang sudah setuju, bukan? Apa yang perlu dirisaukan.”
“Ada banyak orang yang lebih berhak untuk
ini. Ronero misalnya, dia lebih senior. Atau Alexa Crain, atau…”
“Tapi Tuan Mata lebih mempercayaimu daripada
mereka. Saya pun begitu. Jadi, bantulah saya.” Juna menatap Arya penuh arti.
“Saya sangat membutuhkan bantuan Anda dan para asisten untuk mengatasi
permasalahan Mata Rantai.”
Arya tampak terdiam. Lalu mengangguk. “Saya
akan berusaha.”
“Tentu saja, Arya. Saya berharap lebih
padamu. Oh iya, saya akan pergi ke butiknya Eva sebelum pergi ke rumah Ben
Lenwa. Saya akan mengajak Ariana. Apakah kamu masih membutuhkanku?”
“Oh tidak, tentu tidak. Tuan bisa pergi
sekarang.” Arya mengangguk kecil. Juna mengangguk juga, lalu pergi meninggalkan
ruang meeting.
# # #
Mobil Juna melaju ke butik Eva di daerah
Kemang. Hari ini, Juna memang sudah janji akan pergi melihat butik Eva setelah
meeting. Dan dia mengajak Ariana untuk menemaninya. Eva sudah pergi duluan
dengan mobilnya.
Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan
antara Juna dan Ariana di dalam mobil. Keduanya tampak terdiam memandangi
jalanan Jakarta siang itu yang mulai macet.
Sebenarnya Ariana ingin sekali mengajak Juna
berbicara, namun dia memilih untuk diam saja. Sesekali dia melirik Juna yang
juga diam. Lelaki di sampingnya kini sejujurnya sangatlah menarik. Ariana
sempat terpesona olehnya. Dari semua hal yang Juna miliki, matanyalah yang
menyiratkan pesona yang luar biasa. Mata yang bulat, bening, berwarna biru kehitaman.
Dikelilingi oleh bulu mata yang panjang, walaupun tidak terlalu lentik, dan
alis mata yang tebal. Jika memandang orang, mata itu seperti berbicara. Dan
wanita manapun pasti akan tenggelam di dalamnya ketika diajak bicara. Maka,
Ariana paling tidak suka memandang mata itu saat berbicara dengan Juna. Karena
pasti dia akan kalah, dia akan tak sanggup bicara.
Selain itu, pipi Juna juga membentuk rahang
yang kuat. Raut wajahnya tidak bulat, tapi lonjong dengan kedua pipi yang
membentuk pahatan wajah sempurna. Pipi itu dilapisi oleh kulit yang tidak putih
dan tidak cokelat, gabungan keduanya memberikan efek warna yang justru menarik
untuk paras lelaki. Juna juga pasti rajin membersihkannya, karena mukanya
tampak bersih bercahaya.
Beberapa kali berada di dekat Juna, membuat
dada Ariana berdegup kencang. Lelaki itu sangatlah wangi. Wangi khas seorang
pria yang kadang bercampur dengan asap rokok. Postur tubuh Juna yang tinggi dan
lingkup dadanya yang kuat, menurut Ariana adalah tempat yang nyaman untuk bersandar.
Berada dipelukannya pastilah menyenangkan.
Ariana tertawa kecil, menertawakan lamunannya
yang tidak-tidak. Tapi jujur, Juna memang tipe orang yang mengintimidasi setiap
wanita yang berada di dekatnya. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya.
“Mengapa kamu tersenyum kecil seperti itu?”
Tahu-tahu Juna sudah memandang Ariana dengan muka datar. Alis kanannya
terangkat sedikit.
Ariana seperti terperangkap. Dia mencoba
menenangkan diri. Dia mengusap hidungnya yang tidak basah.
“Kamu gugup semobil denganku?” tanya Juna.
Ariana terkejut. Jika tidak ada pintu mobil
di sisi kirinya, pasti dia sudah terlonjak ke belakang dan jatuh. Gugup? Ariana
menelan ludah. Jika diingat-ingat, Ariana memang tidak pernah berduaan dengan
Juna selama ini, di dalam mobil terutama. Jika mereka bersama, pasti selalu ada
Dodo, Dede, atau Eva. Atau jika tidak, mereka sedang dalam diskusi tentang
kerjaan yang serius. Bukan dalam suasana santai saat ini.
“Atau kamu masih teringat dengan warna
boxerku waktu itu?” tanya Juna kemudian.
“Apa?” Ariana mendengus sebal mengingat
peristiwa pagi itu. Dia benar-benar berada di suasana yang canggung. Kejadian
di kamar waktu itu sebenarnya sangat memalukan. Bisa-bisanya dia dengan tenang
berbicara dengan lelaki—dan itu bosnya—yang hanya berpakaian boxer saja.
Mungkin saat itu pengecualiaan. Toh saat itu, Ariana dalam suasana yang
leluasa. Bisa bergerak ke mana pun. Bukan seperti sekarang yang terjepit di
dalam mobil.
“Apakah kamu sudah melihatnya?” Tanpa
menunggu jawaban dari Ariana, Juna kembali bertanya. Ariana mengerutkan kening.
“Tatoku, di pusar. Apa kamu melihatnya?”
Ariana mendelik. “Oh tidak, aku bahkan tidak
menyadari kamu sedang bertelanjang dada waktu itu, Tuan.”
Juna mendesah kecil. “Ah, wanita selalu
berpura-pura. Terlihat dari hidungmu yang sekarang merah. Akui saja, badanku
memang bagus. Apalagi dengan tato di pusar yang keren. Kamu mau melihatnya
sekarang.” Juna pura-pura akan mengangkat kemejanya.
“Jangan macam-macam.” Ariana mengangkat
tasnya, membentengi diri. “Meskipun kamu adalah bosku…”
“Yeah, I’m Your Boss…”
“Bukan berarti bisa berbuat semena-mena.
Nanti akan aku laporkan ke KOMNASHAM.”
Juna tertawa melihat reaksi Ariana.
“Nggak lucu,” Ariana mendengus sebal dan
kembali menatap jalan, tak menghiraukan Juna.
“Habisnya kamu gugup, ngerti? Semobil dengan
orang tampan memang selalu bikin gugup kok.” Juna melirik Ariana, tapi wanita
itu tidak meliriknya sedikitpun. Juna menimpalinya lagi. “Mengapa kalau wanita
selalu ngambek, justru aku semakin senang menggodanya?”
“Aku tidak ngambek,”
“Aku tidak bilang kamu ngambek,”
“Terserah,”
“Dan selalu bilang terserah.”
“Apa maumu?”
“Dan selalu bilang apa maumu,”
Ariana diam. Juna tertawa kembali. Tapi dia
segera mengabaikan Ariana, karena mobilnya sudah memasuki pekarangan parkir
butiknya Eva. Parkiran itu tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk 4-5 mobil saja
dan beberapa sepeda motor. Sisanya biasanya parkir di tepi jalan. Untung hari
itu tidak terlalu ramai, jadi mobil Juna bisa parkir tepat di depan pintu
masuk.
Perdebatan di dalam mobil pun berakhir. Ariana
tanpa mempedulikan Juna, keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam butik.
“Ini siapa yang jadi bos sih?” Keluh Juna
saat melihat Ariana pergi. “Dasar wanita,”
Butik Eva bergaya tradisional modern. Dari
depan tampak ornamen-ornamen dinding kayu yang dipadukan dengan lampu gantung
warna perak. Jendela kaca besar memperlihatkan beberapa baju rancangan Eva. Ada
kursi-kursi dari potongan batang kayu besar yang diletakkan berdampingan dengan
meja kaca berkaki perak. Paduan yang sederhana namun keren. Di depan, ada plang
besar bertuliskan BOUTIQUE BY EVAGE yang berwarna perak dan berlatar kayu
cokelat.
Ketika masuk, kita akan disambut oleh ruangan
besar dengan sofa rotan cokelat berbusa merah maroon. Meja resepsionis berada
di ujung ruang dan tampak seorang wanita dan pria berada di balik meja.
Juna masuk dan mendapati Ariana sudah duduk
di sofa bersama Gerry. Tak ada percakapan di sana.
“Hai…” sapa Juna kepada Gerry. Baru dua kali
Juna bertemu dengan pacar Eva tersebut. Dan ternyata jika dilihat dari dekat,
mirip dengan salah satu personelnya One Direction. Oke, mungkin Juna tidak tahu
siapa saja personelnya One Direction.
Ariana memberi isyarat kepada Juna agar duduk
dengan tenang tanpa banyak bicara. Juna menurut karena tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi.
“Aku nggak ngerti lagi harus gimana, Ariana.
Emang Eva selalu gitu, ya? Dia belakangan ini jadi cemburuan. Padahal, cowok
itu adalah temannya temanku. Kemarin dia minta diantar beli kemeja. Ya, karena
seleraku memang bagus, aku mau aja. Aku bukan maksud apa-apa. Tapi Eva
mempermasalahkannya,” ujar Gerry dengan muka sedih.
Juna tampak tak mengerti dan mencari tahu
jawab dari Ariana. Ariana menggeleng pelan.
Gerry menatap Ariana. “Jadi aku harus bagaimana?”
Ariana yang ditodong pertanyaan seperti itu,
tampak terkejut. Belum hilang keterkejutannya, Eva sudah datang dengan muka
tampak lusuh. Make up-nya berantakan, sepertinya habis menangis. Dia mendatangi
Gerry.
“Mengapa kamu masih di sini?” tanyanya kepada
Gerry.
Gerry berdiri dan mencoba memegang tangan
Eva. “Sayang, aku bisa jelaskan.”
“Cukup, aku nggak mau penjelasan apapun. Aku
sedang banyak tamu, jadi plis, mending kamu pergi dulu.” Eva memandang Ariana
dan Juna bergantian. “Oh, ada kalian. Maaf, aku sedang kalut. Jadi aku…”
“Tidak, kami yang salah. Kami akan datang
lagi sore nanti. Sekarang selesikan masalahmu dengan Gerry terlebih dahulu.”
“Oh, tidak Ariana…”
“Tidak Eva. Kami pergi dulu. Bukan begitu,
Tuan Juna?” Ariana memberi kode kepada Juna agar menyetujuinya. Juna yang tak
tahu apa-apa hanya mengangguk kecil menyetujui.
Ariana dan Juna akhirnya minta ijin untuk
pergi. Setelah di dalam mobil, Juna baru meminta penjelasan kepada Ariana.
“Haduh, kamu nggak peka banget ya jadi
Lelaki. Eva dan Gerry sedang ada masalah. Eva menuduh Gerry berselingkuh. Gerry
kemarin pergi sama teman lelakinya untuk belanja baju. Dan setelah itu, mereka
sempat beberapa kali SMS-an dan jalan bareng. Eva jelas curiga. Aku tadi sempat
dicurhati Eva sih sebelum meeting. Tapi aku nggak menyangka bakal serumit tadi.
Lelaki memang begitu ya, suka mempermainkan wanita. Ya, kan?” Ariana menoleh ke
arah Juna yang memandangnya heran. “Ya, kan?”
“Apa? Aku tak mengerti. Dari tadi kamu
nerocos saja tanpa henti. Aku tak tahu apa yang kamu katakan. Tapi tunggu, aku
mulai mengerti sekarang.”
“Kamu memang menyebalkan.”
“Aku?”
“Iya, kamu. Kamu harusnya peka sedikit jadi
bos.”
“What, mengapa jadi aku yang dipermasalahkan.
Tunggu, aku nggak tahu apa-apa masalah Eva. Dan permasalahan dengan pacar
Gay-nya itu. Jadi aku tidak bisa berkata apa-apa.”
“Jangan pernah berkata seperti itu. Mereka
pasangan biasa. Justru, cinta mereka itu luar biasa. Dan bahayanya, kalo sudah
cemburu, bisa berabe. Sudah pernah dengar kan
beberapa kasus pembunuhan gara-gara cemburu cinta sesama jenis.”
Juna menarik nafas. Dia benar-benar tidak
paham. “Oke, aku pusing sekarang. Aku lapar.”
Mobil Juna tahu-tahu sudah belok ke salah
satu restoran di daerah Kuningan. Setelah mendapatkan parkir, Juna keluar dari
dalam mobil tanpa mempedulikan Ariana. Saatnya
balas dendam, batin Juna. Ariana berlari kecil mengejar Juna.
“Haduh, Tuan. Mengapa sih suka bikin rencana
dadakan kayak gini.”
“Aku lapar. Kamu mau aku mati kelaparan.”
Seorang pelayan mencegat mereka di depan pintu.
Juna memesan satu meja dan pelayan itu mengantarkannya ke salah satu meja. Baru
beberapa langkah mereka masuk ke dalam restoran, langkah Juna terhenti.
Tangannya menarik tangan Ariana. Ariana hampir marah, namun buru-buru Juna
menutup mulutnya dengan telunjuk.
Juna menunjuk salah satu meja di dalam
restoran.
“Sepertinya kita jangan makan di sini.” Juna
menoleh ke arah Ariana. Ariana melihat ke arah yang ditunjuk Juna.
Ariana melihat ada Janero dan Ronero sedang
makan dan berbincang di sana.
“Kita pergi saja,” ajak Juna sambil menarik
tangan Ariana.
“Kenapa?” tanya Ariana pelan.
“Nanti kuceritakan.”
Juna dan Ariana keluar dari restoran dan
tidak menghiraukan teriakan pelayan yang tadi melayani mereka.
# # #
Baca kelanjutannya di sini.
Err siapa hantu anak2 itu??? Masa ditabrak kereta???
ReplyDeleteErr hrsnya juna sama arian nguping si jareno hihi
typo beberapa kata, kaya: setujua, bukan? Apa yang perlu dirisaukan.
Beberapa kalimat tanya diakhiri titik, hrsnya ?
Aaa semangat belajar Juna!
Hehe. Kamu mau ngelamar jadi editor? Thank you koreksinya. Jdi semangat belajar.
DeleteMasuknya Genre apa nih sob?
ReplyDeleteSalam kenal ya ditunggu next cerita :)
kunjungan baliknya nih kalau berkenan ^.^ dedimagination.blogspot.com
Halo
DeleteGenre campur aduk sob.
Salam kenal balik.