BAB 15
Malam sudah
hampir larut di rumah Lenwa.
Juna duduk di beranda rumah seorang diri,
sementara yang lain sudah ada di ruang tengah untuk menyiapkan ‘perburuan’
malam ini. Mata Juna terus menerus mengamati rumah teman Gru. Rumah itu tampak
sepi. Setiap Juna melihat ke rumah itu, mendadak pandangannya sedikit mengabur
dan kepalanya pening sesaat. Dia seperti merasakan hawa panas di sana. Sejak
sore tadi, pikirannya terusik oleh teman Gru yang sejak kali pertama melihatnya
langsung menyedot perhatian Juna.
Siapa
anak kecil itu?
Alasan Ariana cukup meyakinkan Juna. Meski pun
dia belum tahu lebih dalam tentang hal-hal seperti ini, namuan Juna merasa
bahwa Ariana ada benarnya. Malam ini, dia akan mencoba untuk ‘berkelana’. Walaupun
dia masih ragu. Karena dia tidak tahu, tempat apa yang nantinya akan ia tuju. Apakah
sebuah tempat gelap dengan lorong-lorong sempit, atau justru ruangan luas
dengan cahaya terang. Dia tak tahu.
Satu hal yang ia tanyakan kepada Ariana untuk
memastikan saja, dan pertanyaan itu membuat Ariana tertawa.
“Apakah
di sana ada kecoa?”
Muka Ariana mendadak merah seperti kepiting
rebus karena tertawa.
Juna merapatkan jaketnya, dia masuk ke dalam
rumah dan mendapati anak buahnya sedang duduk-duduk. Dia menghampiri Dede yang sedang
mengamati layar dua laptop untuk mendeteksi keberadaan iblis di rumah ini.
Layar pertama menampilkan beberapa ruangan di rumah Lenwa. Di setiap sudut
memang sudah dipasangi kamera pengintai. Sementara layar laptop kedua adalah
layar yang menampilkan aplikasi pelacak hantu.
Mendadak Juna mendapatkan ide.
“Berapa jarak yang bisa kamu jangkau?” tanya
Juna.
“Pelacak hantu memiliki bintik pelacak GPS
yang akan terus menerus mentransmisikan lokasi daerah-daerah yang lebih panas
dari lokasi sekitarnya. Gelombang elektromagnet yang ditangkap akan ditranfer
ke satelit global penyedia jasa provider dan akan muncul di layar ini. Jaraknya
bisa lebih 5-10 meter, namun saat ini aku terus menyempurnakannya.”
“Apakah aku boleh meminjam penguat sinyalnya?”
tanya Juna.
Dede mengangguk. Dia menyerahkan alatnya yang
lebih mirip sebuah remote AC bertombol besar. Juna membawa alat itu keluar rumah.
Jarak antara rumah Lenwa dan rumah anak itu mungkin 10 meter. Jadi kalau dia
berdiri di tepi jalan, sinyal Pelacak Hantu pasti akan menjangkau rumah itu.
Tiba-tiba alat itu berbunyi. Lampu kecil di
ujung antene berkedip. Dia menoleh ke rumah Lenwa. Di depan rumah, Dede berdiri
memegang laptopnya sambil melihat Juna dengan tatapan tidak percaya.
“Aku merasa ada sesuatu di rumah itu,” Juna
menunjuk rumah anak itu.
Juna kembali ke dalam rumah, lalu bertanya
kepada Gru tentang siapa sebenarnya teman yang tinggal di depan rumah. Gru
berkata bahwa anak itu hanyalah teman biasa yang baru saja pindah. Mereka
memiliki hobi yang sama, yaitu mainan kereta api mini. Juna menjelaskan kepada
semua orang bahwa Pelacak Hantu menandai rumah teman Gru dengan warna merah
menyala.
“Apakah anak itu sering main ke rumah ini?”
“Beberapa kali dia bermain dengan Gru. Namun
dia memang terlihat sangat pendiam. Ada apa sebenarnya?”
Juna terdiam. Dia merasa ada sesuatu yang
menyangkut anak itu yang berhubungan dengan rumah Lenwa. Sesuatu yang harus ia
pecahkan malam ini.
Dia menjelaskan secara singkat tentang
kecurigaannya. Ia mencoba meyakinkan semua orang bahwa apa yang ia yakini
adalah benar.
Rumah teman Gru ditandai warna merah oleh
Pelacak Hantu. Asumsinya ada 2. Rumah itu memang berhantu, atau anak itu adalah
hantu. Dan Juna merasa asumsi nomer dualah yang benar.
# # #
Juna meminta para asistennya menyiapkan
peralatan manual untuk berhubungan dengan iblis itu. Baskom berisi air, pensil,
kertas. Ia sangat yakin bahwa anak itu bukan sembarang anak kecil yang suka
bermain kereta api. Pasti dia adalah iblis yang sudah mengganggu rumah Lenwa. Mencoba
untuk datang ke sini karena merasa kesepian. Dan ia bertemu dengan Gru, anak
kecil lain yang juga menyukai kereta api.
Untuk memanggilnya, Juna sengaja meletakkan
kereta api mainan Gru di samping peralatan yang lain. Juna sudah membaca
beberapa buku tentang kehidupan alam gaib pemberian Ariana. Ia juga sudah
mempelajari beberapa kasus yang sudah dipecahkan Mata Rantai. Dan dia harus
siap untuk malam ini, apapun yang akan ia hadapi nanti.
Semua orang duduk mengelilingi meja bundar,
kecuali Lenwa yang saat ini memilih untuk tidur di kamar. Ia merasa bahwa apa
yang dilakukan oleh Mata Rantai sia-sia. Ia menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa
di rumahnya kini. Semuanya sudah selesai. Tetapi Naya memaksa agar Mata Rantai
tetap melakukan pembersihkan terhadap rumah mereka.
Tepat pukul 23.00, ritual pembersihan itu pun
dimulai.
Selama lima belas menit tak ada tanda-tanda
apa pun. Kertas putih masih tetap putih. Air di baskom masih tetap tenang.
“Tunjukkan tanda-tanda jika kamu ada,” ucap
Juna pelan. Tapi tetap tak ada reaksi apa pun.
“Mungkin harus orang yang dekat dengan anak
itu yang memanggilnya,” tukas Ariana tegas. Dia memandang Gru seolah
mengisyaratkan anak itu untuk melakukan apa yang ia katakan.
Gru hanya mengguk kecil. Dia mendekat ke arah
baskom, lalu memanggil temannya itu.
Pet. Nyala lilin padam. Angin berubah sangat kencang. Pensil di atas
meja bergerak-gerak, lalu menulis di atas kertas putih. Mendadak ada bau
menyengat yang menyeruak. Bau itu timbul tenggelam seiring dengan hembusan
angin.
Juna mengambil kertas, lalu memasukkannya ke
dalam baskom. Perlahan, tulisan di sana terlihat.
Hai
Gru…apakah kamu akan mengajakku bermain?
Semua mata saling memandang. Juna memegang
tangan Gru.
“Apakah kamu ada di sini?” tanya Gru.
Pensil itu bergerak lagi, lalu menuliskan
sesuatu. Juna perlahan mengambilnya dan memasukkan kembali ke dalam air.
Aku di
belakangmu.
Gru perlahan menoleh ke belakang. Tak ada
siapa pun di sana. Tetapi, tangannya merasa ditarik oleh sesuatu yang sangat
panas. Gru mencoba melepaskannya, tetapi tarikan itu sangat kuat. Tubuhnya
terdorong ke depan. Dengan cepat, Juna meraih tangan Gru. Terlambat.
Tubuh Gru melayang di udara, lalu menubruk
pintu depan. Juna berlari dan meraih kaki Gru dengan sigap. Untung saja dia
belum terlambat, Juna menangkap kaki itu lalu menariknya dengan kuat. Gru
terpelanting ke lantai. Dia menangis.
Naya berlari ke arah Gru sambil berteriak
lantang.
Juna meraih tubuh Gru lalu mendekapnya erat.
“Cara ini tak mungkin di lakukan lagi. Aku
harus pergi ke dunianya,” ujar Juna kepada asisten-asistennya.
“Tetapi kamu belum pernah mencobanya, Tuan.
Aku takut kamu akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Sebaiknya kita
berkomunikasi dulu kepadanya lewat media ini. Toh, kita memiliki Pelacak Hantu
yang bisa membantu,” kata Ariana was-was.
“Terlambat, sinyal Pelacak Hantu merah. Tak
bisa digunakan,” kata Dodo sambil mengamati layar laptopnya yang mendadak
hitam.
“Apa boleh buat. Kalian harus membantuku,”
ujar Juna mantap. Matanya menunjukkan keseriusan.
Semua orang kembali mengelilingi meja bundar.
Di atasnya masih ada baskom, kertas, dan pensil. Dodo menyingkirkan benda-benda
itu dan menggantinya dengan mainan kereta api. Harus selalu ada media yang
digunakan untuk berkomunikasi. Dan Juna merasa, kereta api itu adalah alasan
anak itu datang ke mari. Datang menemui Gru.
Juna berkonsentrasi. Menurut buku pengetahuan
alam gaib di Mata Rantai yang ia baca, dia harus memusatkan pikirannya di satu
titik. Ia harus seolah-olah memandang titik kecil di ruangan yang hitam dan
gelap. Titik itu perlahan-lahan akan semakin memudar.
Juna menarik nafas.
Tubuhnya terasa ringan.
Suara di sekitar telinga semakin keras dan
berbisik-bisik. Kepalanya berdenyut. Tetapi dia masih terdiam dan
berkonsentrasi.
Mimpi itu kembali datang. Ruangan gelap
berubah menjadi gedung Mata Rantai yang megah. Orang-orang berjubah hitam.
Langit mendung bergelayut. Suara dengungan orang-orang membuat kepalanya
pening. Lalu, Mata Rantai runtuh. Tanpa sisa. Menyisakan ruangan berlorong
sempit dengan cahaya seadanya. Dan hanya ada dia di sana.
Juna membuka mata. Dia melihat ke kanan kiri.
Tak ada siapa pun kecuali dinding kokoh berwarna merah maroon. Juna berjalan
pelan menyusuri lorong tak berujung. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Hidunya
mencium bau menyengat, seperti bau busuk dari binatang yang sudah mati beberap
hari. Semakin jauh ia berjalan, semakin bau itu menyeruak ke hidung dan
dengungan di telinga yang semakin keras.
Di ujung lorong, dia bertemu dengan ruangan
besar. Di sanalah ia bertemu dengan orang-orang bermuka datar tanpa ekspresi.
Muka mereka putih pucat. Ada yang hanya berdiri saja, ada yang duduk, ada yang
meraung, ada yang menangis.
Juna bertanya kepada setiap orang yang
berpapasan dengannya. Tak ada yang menyahut. Dia terus berjalan. Mungkin inilah
tempat yang Ariana katakan : tempat di antara dunia dan akherat. Tempat para
arwah penasaran tinggal. Tempat iblis-iblis berkeliaran dan berusaha untuk
melarikan diri dengan kabur dan mencoba kembali ke dunia lagi. Para iblis yang
menggoda manusia sebagai bentuk kesenangan mereka. Agar manusia-manusia itu
bisa meninggal dengan cara-cara tak wajar, agar tempat ini dipenuhi oleh
iblis-iblis seperti mereka. Agar mereka tidak merasa kesepian.
Juna terus berjalan sampai dia menemukan
seorang anak yang terduduk lesu sambil mendekap mainan kereta api. Anak itu
menatap Juna, lalu kembali menundukkan kepala sambil terisak. Anak itu adalah
teman Gru, Andika. Akhirnya Juna menemukannya.
“Hai…,” Juna menyapanya.
Andika tak menanggapi. Dia terus menangis.
“Mengapa kamu menangis di sini?”
Andika mendadak berhenti menangis. Dia
mengusap air matanya. Mukanya mendongak menatap Juna. Juna tersontak saat
melihat muka Andika yang penuh dengan darah.
Andika menyeringai. Giginya yang kekuningan
menambah kesan menyeramkan. Dia berdiri.
Juna mundur satu langkah.
Andika berlari menjauhinya. Juna mengejarnya.
Lorong itu semakin gelap. Juna kehilangan jejak. Andika menghilang. Juna
kebingungan melihat ke kiri dan ke kanan. Yang ada hanya ruang kosong, hitam.
Saat ia mencoba menyesuaikan diri, muncul
seorang pria. Kira-kira berumur 20 tahun. Tak seperti orang-orang di sini yang
beraut pucat, orang itu tampak segar. Dia seperti manusia pada umumnya. Juna
menghela nafas pelan. Apakah orang itu
seperti dirinya, memiliki kemampuan untuk menembus tempat ini.
“Hai, maaf. Apakah kamu melihat seorang anak
kecil berlari ke sini?” tanya Juna kepada orang itu.
Orang itu menggeleng. “Akulah anak kecil
itu.” Dia menyeringai.
Juna terkesiap. Matanya membelalak. Meskipun
muka orang itu tidak semenyeramkan beberapa orang yang ia temui sebelumnya,
namun Juna merasa bahwa orang di depannya ini adalah iblis yang sangat
menakutkan.
“Siapa kamu?” tanya Juna lantang.
“Andika. Bukankah kamu mencariku?”
Mata Andika melotot, warna putihnya berganti
menjadi merah.
“Bukan, kamu pasti bukan Andika.”
“Sebaiknya kamu tidak menggangguku lagi. Dan
cepat tinggalkan Gru.”
Andika berjalan mendekat ke arah Juna,
tangannya meraih cepat leher Juna. Lalu menekannya keras. Nafas Juna tertahan.
Juna dengan sigap meremas tangan Andika dan
menendang perut Andika dengan dengkulnya. Andika terjengkang ke belakang. Namun,
dia masih bisa berdiri kembali. Dia tertawa keras sekali. Beberapa detik
kemudian, mukanya yang segar berubah menjadi pucat pasi. Dia memandang ke arah
Juna dengan ganas. Detik kemudian, muka itu perlahan berubah. Sedikit demi
sedikit. Hidung berganti, mata berganti, rambut pun berganti.
Muka itu bermetamorfosis menjadi muka Ben
Lenwa.
Juna menelan ludah.
“Siapa kamu?” tanya Juna.
Orang itu kembali tertawa. Matanya yang merah
memandang marah ke arah Juna. Dia berlari ke arah Juna, lalu dengan cepat
meraih leher Juna dan kembali mencekiknya. Kali ini cekikannya lebih kuat. Juna
meronta. Keduanya ambruk di lantai. Ruangan yang temaram menjadi penghalang
Juna untuk meloloskan diri. Dia mencoba menggapai apapun yang ia bisa. Tapi
gagal. Tangan Andika semakin kuat mencekeram.
Tubuh Juna terbanting dan Andika menekannya
dengan kedua lututnya. Juna meronta. Nafasnya tercekat. Dia menggunakan lutut
kirinya untuk menendang Andika dari belakang. Andika sedikit lengah, Juna
kembali menendangnya. Kali ini, tubuh Andika terpelanting ke depan.
Kesempatan itu Juna gunakan untuk melarikan
diri. Dia berlari, kembali ke lorong panjang berdinding merah maroon. Dia terus
berlari dan berlari, berharap segera kembali ke dunianya.
Dia terus bertanya dalam hati, siapa
sebenarnya orang itu? Andika? Lenwa? Pikirannya terus mengembara. Namun dia
tetap berlari.
Juna melihat pintu bercahaya di ujung lorong.
Juna mempercepat larinya, lalu menerobos pintu itu.
Juna tak tahu bahwa Andika yang berlari di
belakangnya pun, kini ikut melompat. Menembus altar, ke dunia yang sebenarnya.
# # #
Di bawah temaram lampu dan suara menghentak
dari DJ Everdeen, Janero menggoyangkan tubuhnya tak beraturan. Dia tak
mengikuti alunan musik, tubuhnya meliuk pelan padahal musiknya berdentam keras.
Pikirannya melayang ke beberapa hal belakangan ini. Rasa cintanya pada Ariana
yang jelas-jelas masih ada, namun wanita pujaannya itu tidak lekas membalas.
Justru lebih terkesan mencampakkannya. Prestasinya di Mata Rantai yang mendadak
turun karena Juna memindahkannya menjadi asisten Dodo dan Dede. Dan
kehidupannya yang mulai terasa sepi di Jakarta di usianya yang hampir menginjak
kepala tiga.
Dan malam ini, ketika semua orang pergi
menyelesaikan kasus Lenwa, dia memilih untuk pergi ke club seorang diri. Dia
menegak beberapa gelas minuman beralkohol, bergoyang tanpa henti meskipun tidak
mengikuti alunan musik, dan duduk sambil bercerita lepas dengan orang-orang
yang bernasib sama dengannya. Kesepian, dicampakkan.
Ini semua jelas-jelas karena kedatangan Juna
di Mata Rantai. Semua menjadi kacau karena kehadiran pemimpin muda itu. Janero
seperti tersingkir dari beberapa hal. Termasuk kedekatannya dengan Ariana.
Ariana lebih sibuk melayani bos barunya daripada menemaninya untuk duduk minum
kopi atau pergi nonton. Selain itu, gara-gara Juna juga dia kehilangan posisi
penting di Mata Rantai.
Kini ia terpuruk. Apa yang lebih buruk dari
nasib seorang lelaki yang kehilangan wanita pujaannya dan karier? Tak ada.
Semuanya seperti berkonspirasi untuk menjauh dari kehidupannya.
Dan iblis sepertinya menyukai orang-orang
yang sedang dalam keputusasaan. Iblis akan tertawa saat melihat mereka yang
terpuruk dan kehilangan arah hidup. Maka malam ini, seorang manusia bernama
Janero, sedang dalam kegundahan yang luar biasa besar. Dia dihubungi oleh
seseorang yang memintanya untuk menyelesaikan suatu tugas. Janero menjauh dari
suara bising di dalam club.
Janero yang terpuruk pun menyetujui
permintaan orang itu. Apalagi tugas itu berhubungan dengan orang yang kini
sangat ia benci.
“Apakah kamu membencinya, Janero? Aku tahu
kamu sangat membencinya,” kata orang itu. Suaranya diberat-beratnya.
Iblis mendekat, mendekap erat telinga Janero,
lalu membisikinya perlahan. Kamu memang
membencinya, mengapa tidak kamu bunuh saja dirinya.
“Ya, aku sangat membencinya,” jawab Janero
dengan nada marah.
“Langkah ini adalah untuk menghancurkan
kehidupannya, Janero. Dan tentunya mengembalikan kesuksesan kamu di Mata
Rantai. Seperti yang sudah aku katakan padamu, waktu itu. Dia masih terlalu
muda untuk memimpin Mata Rantai. Kita tidak bisa diperbudak olehnya. Apakah
kamu mau diperintah oleh anak bau kencur itu?”
“Tidak,” teriak Janero. Hatinya mulai panas.
“Kudengar dia sekarang juga sedang dekat
dengan Ariana.” Suara orang di seberang sana sedikit melemah, seperti sedang
memberi waktu Janero untuk berpikir. “Itu sangat menyakitkan, Janero.”
Tangan Janero mengempal keras. Iblis di
sekitarnya bersorak sorai gembira.
“Lakukan apa yang kuminta, dan aku akan
memberikanmu imbalan. Tentunya aku bisa dengan mudah mengembalikan posisimu di
Mata Rantai, saat Juna Mata sudah terguling nanti. Kurasa untuk mencurinya,
kamu memiliki waktu yang cukup. Karena sekarang kamu berada di departemen yang
tepat. Bersyukurlah.”
# # #
baca kelanjutannya di sini.
No comments