Ada sebuah rahasia yang kusimpan rapat-rapat di hidupku. Aku menyimpannya dalam sebuah kotak kecil, kugembok, dan kutanam di dalam tanah. Tak ada yang tahu letak kotak itu, kecuali aku. Bibi Alena yang sangat galak itu pun tak tahu. Walaupun galak, aku sangat sayang kepadanya kok.
Baiklah, sekarang, aku akan mengatakan pada
kalian tentang rahasia itu. Dan di manakah aku menyimpannya.
Pertama, aku akan memberitahu letaknya
dahulu.
Begini, aku tinggal di sebuah rumah panjang
dengan pintu-pintu yang banyak. Di depan setiap pintu ada pohon rindang yang
biasa digunakan oleh aku dan teman-temanku. Kami bersantai, bermain, dan
dihukum di sana. Di sini, aku banyak sekali teman. Baiklah, aku mungkin lebih
senang menyebut mereka saudara. Mereka ada yang sudah berumur empat belas
tahun, delapan tahun, lima tahun, masih bayi, atau berumur tujuh belas tahun
sepertiku. Di sini, Bibi Alena adalah orang tua kami. Dia adalah kepala rumah.
Dibantu oleh para asisten-asisten yang sangat baik. Ada Miranti, Nana, Ismi, dan
masih banyak lagi. Dan ada satu lagi asistennya, Mang Jajang. Mang Jajang
adalah favorit kami karena dia yang biasa jadi pahlawan ketika kami digoda oleh
anak-anak lain.
Baiklah-baiklah, aku akan segera mengatakan
letak kotak itu. Aku meletakkannya di belakang rumah, di dekat kebun singkong
yang sengaja kami tanam untuk makanan kami. Di belakang rumah, memang terhampar
luas sawah nan hijau dan kebun-kebun penghasil buah. Aku menanam kotak
rahasiaku di bawah salah satu pohon mangga di belakang rumah. Aku tanam
rapat-rapat. Dan aku yakin, sampai sekarang belum ada yang tahu.
Kedua, aku akan memberitahu apa isinya.
Isi kotak itu adalah sebuah mantra. Mantra
yang diberikan oleh ibu peri di satu malam. Suatu malam, aku terbangun, lalu
berjalan keluar karena ada seseorang yang memanggilku. Di depan rumah, aku
terpana saat melihat cahaya terang dengan warna-warni indah. Di dalam cahaya
itu, aku melihat ibuku.
Aku memanggilnya. Ibu mengajakku mendekat.
Beliau memelukku. Sesuatu yang belum pernah aku dapatkan selama hidupku. Lalu,
dia memberiku secarik kertas putih bertuliskan tinta emas.
“Baca mantera ini, ibu pasti akan datang.
Tanamlah di belakang rumah, ambil setiap kamu kangen ibu. Tapi, jangan pernah
ada yang tahu.” Itulah nasehat ibuku.
Aku pun menuruti ibu. Kuletakkan secarik kertas
itu di dalam kotak kayu, lalu kutanam di bawah pohon mangga di belakang rumah. Setiap
aku kangen ibu, aku akan membongkarnya, lalu membaca manteranya.
Tak ada yang tahu. Aku tak pernah memberitahu
siapa pun. Karena kata ibu, tak boleh ada yang tahu. Jika ada yang tahu, maka
mantera itu tak kan bermakna lagi. Dan aku akan kehilangan ibu untuk selamanya.
Maka malam-malam selanjutnya, aku selalu
bertemu ibu. Aku sembunyi-sembunyi setiap keluar kamar. Dan belum pernah aku
ketahuan. Kucurahkan semua ceritaku setiap hari pada ibu. Bagaimana kehidupan
di rumah, bagaimana Bibi Alena sangat baik memperlakukan kami walapun galak,
pelajaran-pelajaran di sekolah, rasa kesepianku karena tak pernah setiap waktu
bertemu ibu.
Suatu malam, aku bertemu ibu lagi. Kami mengobrol
di bawah ribuan bintang di belakang rumah. Malam itu, aku khusus menceritakan
tentang seorang lelaki yang sedang membuat hatiku berbunga-bunga. Seorang
lelaki yang datang sore itu, dikenalkan oleh Bibi Alena sebagai seorang
‘pelatih’ di rumah kami. Lelaki yang pintar menggambar, pintar bermain gitar
dan menyanyi, pintar menarik hati Nisa, Keisha, dan bocah-bocah kecil lainnya,
dan dia juga pintar memasak.
Dialah lelaki yang membuat malam-malamku
tidur dengan sempurna. Apakah aku jatuh cinta? Aku tak tahu.
Ah, apakah aku jatuh cinta. Tolong beritahu
aku. Aku tak tahu, apakah aku mencintainya atau tidak. Namun, setiap aku
memandangnya aku selalu deg-degan. Setiap dia menatapku, jantungku berhenti
berdetak. Setiap dia memanggilku, bulu kudukku selalu berdiri. Aku selalu
bahagia setiap cerita tentang dia.
Tentang matanya.
Hidungnya.
Rambutnya.
Langkah kakinya.
Postur 179 cm-nya. Kulit sawo matangnya.
Caranya dia menendang bola bersama
saudara-saudaraku yang lain.
Dia membuat hari-hariku di Panti Pelangi
menjadi berwarna. Aku dan anak panti yang lain mencintainya. Namun, tidak, aku
yang paling mencintainya.
Namun kata ibu, aku tak boleh terlalu
memikirkannya. Aku harus rajin sekolah, harus konsentrasi dulu mengejar
cita-citaku.
Dia bernama Lanang Galih. Dan dia berhasil
menemukan kotak rahasiaku.
# # #
Lanang, begitulah kami memanggilnya. Sore itu,
dia datang untuk kali pertama. Bibi Alenalah yang membawanya. Aku sedang berada
di dapur waktu itu untuk menyiapkan makan malam bersama penghuni Panti remaja yang
lain. Ruang belajar tiba-tiba riuh saat Bibi Alena datang.
“Ada apa?” tanyaku pada Bali yang datang ke
dapur dengan wajah sumringah.
“Ada yang datang. Cowok. Ganteng.” Gadis yang
tahun ini duduk di kelas 10 SMA itu tampak tersenyum.
Aku tak mengerti dengan ucapannya, dan tidak
terlalu tertarik. Aku terus melanjutkan pekerjaanku: menggoreng pisang dan
menanak nasi. Nana kuminta untuk menurunkan sayur lodeh karena sudah masak. Alisa
menyiapkan lauk. Sementara Bali masih sibuk mengintip ke ruang tengah sambil
tertawa cekikikan. Nana dan Alisa pun jadi penasaran. Mereka berdua ikutan
mengintip dari balik korden yang membatasi dapur dan ruang tengah.
“Kak, kita ke depan dulu,” kata Bali. Mereka
bertiga langsung menghilang tanpa menunggu persetujuanku.
Aku tak menghiraukan mereka. Cowok ganteng? Tak ada yang spesial. Lagian,
aku sedang tak ingin berurusan dengan hal-hal lain selain pendidikan. Aku ingin
belajar dengan giat agar bisa memperoleh beasiswa ke universitas impianku. Aku
tak ingin mengecewakan Bibi Alena, satu-satunya orang tua yang kupunya.
Baiklah, akan aku ceritakan mengapa aku bisa
ada di sini.
Seperti halnya penghuni panti yang lain, kami
tak pernah tahu asal usul kami. Bibi Alena selalu bercerita bahwa kami datang
dengan keranjang emas dan diantar oleh peri cantik. Kami dititipkan karena peri
cantik ingin terus menebar kebajikan di muka bumi. Jadi kami pun ditinggalkan
di sini. Sewaktu kecil, aku percaya dengan cerita peri cantik itu. Namun,
lambat laun aku mulai tahu, Bibi Alena berbohong kepada kami.
Aku tak tahu siapa orang tuaku. Bagaimana
rupanya. Dan aku bahagia hidup di sini bersama yang lain. Di sini kami belajar
bersama, bermain bersama, dihukum bersama. Kami bertanggung jawab terhadap diri
kami masing-masing. Bibi Alena selalu mengajarkan kepada kami bahwa kami tak
boleh saling membebani. Di Panti, kami juga belajar berdagang. Hasil-hasil
kebun kami jual ke pasar dan ditukar dengan daging atau ayam. Kami diajarkan
untuk mandiri.
“Maaf, di manakah toiletnya?”
Lamunanku buyar karena ada seseorang yang
datang ke dapur. Aku menoleh.
Kami bertatapan. Siapa dia?
Aku terpaku.
Pria itu berdiri di depanku sambil tersenyum.
Dia berambut ikal pendek, namun disisir rapi. Hidungnya bangir. Dia memiliki
bentuk wajah yang tegas dan oval, dengan kulit bersih putih. Bibirnya merah dan
sedikit tebal. Dan dia memandangku.
“Maaf,” ucapnya lagi.
Dan aku pun kembali ke bumi, sadar dengan apa
yang telah kulakukan. Aku menunjuk pintu toilet di luar dapur. Tanpa
mengucapkan apa pun. Dia mengucapkan terima kasih, lalu permisi.
“Ganteng, kan?” tanya Bali yang tiba-tiba
sudah berada di dapur. “Dia anak donatur Panti. Katanya, dia sedang liburan di
desa ini. Dia Sarjana Teknik semester 6. Keliatan banget kalo otaknya cerdas,”
ujar Bali dengan penuh semangat.
“Biasa saja,” ucapku membalas perkataan Bali.
Aku kembali menggoreng pisang. Namun, aku sempat menoleh ke arah pintu toilet.
Dan di sana, ada dia yang menatapku lagi dengan tersenyum.
# # #
Namanya Lanang. Begitu Bali sering
menyebutnya sebelum tidur. Kami memang memiliki kebiasaan untuk bercerita
sebelum tidur karena kami satu kamar. Dia salah satu anak dari donatur Panti
yang sedang berlibur ke kota kami. Dia tinggal di ibu kota, kota dengan seribu
mimpi. Semua orang ingin ke sana, aku pun begitu nanti ketika dewasa. Mimpiku
satu, aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku adalah seorang wanita luar
biasa. Wanita dengan sejuta mimpi. Bekerja paruh waktu di perusahaan
International. Namun, kata orang, ibu kota itu sangatlah kejam. Apakah benar?
Menurut cerita Bali, Lanang bakal tinggal
sebulan di kota ini. Libur kuliah membuatnya bosa di ibukota dan memilih pergi
ke Yogya untuk mengisi waktu. Dan dia memilih tinggal di Panti kami. Dia
bersama dua teman lelakinya akan menginap dan berjanji kepada Bibi Alena bahwa
mereka akan membantu di Panti. Membantu? Membantu apa? Orang-orang modern yang
hidup di ibukota seperti mereka, apalagi mereka adalah anak orang-orang
berduit, pastilah susah hidup di desa seperti kami. Apakah mereka mau membantu
mencangkul di kebun belakang, menanam jagung atau ubi? Apakah mereka akan betah
tinggal di tempat yang kamar mandinya berebutan dengan anak Panti lain. Aku
sendiri tidak yakin.
Dua hari di sini, aku tak banyak bertemu
dengan Lanang. Aku juga tak mau peduli sebenarnya. Aku memilih untuk belajar
karena ujian kelulusan sebentar lagi. Aku harus rajin belajar agar bisa masuk
ke universitas impianku. Pak Jono, guru BK favoritku, sudah mendaftarkanku
masuk unversitas tanpa tes. Sebagai salah satu siswa berprestasi di sekolah,
aku mendapatkan jatah untuk mengikuti seleksi itu. Aku memang bukan juara umum
di sekolah, tapi aku masuk sepuluh besar. Jadi kata Pak Jono, aku berhak
mendapatkan kesempatan. Toh, kata beliau aku memiliki bakat yang bakal menjadi
unggulanku: aku pintar menari. Di bantu oleh beliau dan Pak Indarto, wali kelas
kesayanganku, aku pun mendaftar. Dan sekarang aku berharap-harap cemas bisa
masuk. Konsentrasi untuk lulus sekolah dan masuk universitas adalah hal utama.
Dan aku tak ingin terganggu oleh hal lain.
Termasuk Lanang.
Namun, lelaki itu tiba-tiba masuk ke dalam
lingkaran pikiranku. Saat malam hari, seperti biasa aku membaca mantera untuk
bertemu ibu, dia melihatku sedang berdiri sambil memegang kertas yang
kusembunyikan.
Aku terpaku, segera kusembunyikan kertas itu.
Dia mendekatiku dan bertanya : sedang apa aku
malam-malam seperti ini?
Aku menjawab dengan ketus : bukan urusanmu.
Dan aku berlari ke dalam rumah, masuk kamar,
dan menguncinya. Aku segera ambruk ke atas tempat tidur. Kertas di genggamanku
aku remat.
Aku benar-benar membencinya.
# # #
Pernahkah mendengar sebuah pepatah : segumpal
pasir yang kamu pegang, semakin kamu kuat menggenggamnya, maka semakin ambyar
pasir itu. Menghilang. Seperti juga halnya rasa benci, semakin kamu membenci
seseorang, maka yang terjadi justru sebaliknya.
Kamu malah memikirkannya.
Setiap detik justru ada dia.
Setiap waktu justu malah bertemu.
Setiap jam justru ada dia di pikiranmu. Kamu
tiba-tiba sok sewot, sok ingin melupakan, tapi yang terjadi dia malah selalu
ada.
Begitu juga yang terjadi padaku. Aku sangat
sangat membenci Lanang. Apa salahnya? Salahnya adalah dia melihatku sedang
membaca mantera. Bukankah kamu sudah tahu, bahwa mantera itu tak boleh ada yang
tahu selain diriku. Jika tidak, maka aku tak pernah lagi bertemu ibu.
Jadi aku membencinya. Aku sangat membencinya.
Tapi, semakin aku membencinya, aku justru
semakin bertemu dengannya. Misal, dia tiba-tiba ada di dapur, atau saat aku
menonton televisi, dia tiba-tiba lewat di depanku. Dia jadi semakin sering
terlihat. Dia yang bermain bola bersama anak Panti yang lain, membantu Bibi
Alena di kebun, dan oh ini yang kuheran dia mengajari anak-anak Panti tentang
internet. Dengan laptop yang ia bawa, dia membuat bocah-bocah di Panti
mengerubunginya seperti semut yang menemukan gula.
Dan aku justru muak. Dia mendadak menjadi
bintang di Panti. Bali menyukainya, Sam mengidolakannya, Aldo sangat senang
padanya. Karena dia pintar, cerdas, ganteng, dan pintar bermain sepak bola.
Dan sore itu, semuanya berubah.
Sore itu adalah malam minggu. Langit berhias
bintang. Cerah, tanpa cela. Dan suasana Panti mendadak ceria karena Lanang dan
teman-temannya mengadakan acara yang sungguh tak pernah terpikirkan oleh kami
:: Menonton Film bersama. Dia membawa proyektor, layar putih lebar, dan sebuah
film :: LASKAR PELANGI. Halaman Panti disulap menjadi sebuah bioskop mini. Bibi
Alena menggelar tikar, menyiapkan cemilan. Semuanya heboh dan antusias. Kecuali
aku.
Pukul delapan, film dimulai. Semua asyik
menonton, bahkan menangis. Dan aku memilih untuk berdiam menjauh ke belakang.
Aku tak ingin menonton. Aku memilih duduk sambil merenung. Aku ingin bertemu
ibu dan menceritakan tentang hal ini.
Di tengah lamunanku, Aldo datang. Bocah yang
akan naik ke kelas 5 SD itu mendekatiku.
“Kak Arin mengapa tidak ikut nonton?”
tanyanya masih dengan suara sedikit cadel.
Aku merengkuh kepalanya. “Kakak tidak minat.”
“Padahal malam minggu. Kakak nggak kesepian
duduk sendiri?”
Aku menggeleng.
“Atau sedang mikirin pacarnya, ya?” Dia
terkekeh.
Aku pura-pura cemberut.
“Kak Arin, kenapa nggak pacaran saja dengan
Kak Lanang? Dia orangnya baiiiikkkkkkkkk banget. Aldo suka sama dia.”
Aku tak menjawab. Semua orang memang
mengidolakan dia. Dan aku sudah sangat bosan mendengarkan semua orang
menceritakan kekagumannya.
“Selain jago sepak bola, dia juga sangat baik
mengajari Aldo PR matematika. Si Gibran yang belum bisa membaca, sekarang sudah
mulai bisa Kak. Dia juga mengajari Gibran berhitung. Kata Kak Lanang, membaca
dan berhitung adalah dasar kami untuk jadi cerdas. Apapun cita-citanya.”
“Kamu baru mau kelas 5 aja udah kayak gitu
ngomongnya.”
“Kan aku cuma mengulang kata-kata Kak
Lanang.”
“Terus dia juga mengajari internet. Ternyata
di internet semua ilmu ada ya Kak. Tadi aku diajari mencari di google lho.”
“Oh, ya?”
“Trus tadi diajak main games juga.”
“Apa?” aku mendelik. “Jangan kebanyakan main
games, nanti kamu malas belajar. Nanti nggak naik kelas.”
“Kata Kak Lanang, main games melatih kerja
otak.”
“Apaan. Bohong.”
“Trus, dia malah bilang, kalo aku bisa
memilih pekerjaan apapun yang aku sukai. Aku kan hobi main musik, jadi kata dia
aku harus giat belajar tentang musik dari sekarang.”
“Dengar ya kata Kakak, sekarang itu waktunya
kamu belajar yang serius dulu. Jangan kebanyakan main, jangan kebanyakan bercanda.
Ngerti, kan? Kak Lanang itu bohong sama kamu.”
“Siapa yang bohong?”
Suara itu mengaggetkanku. Aku menoleh dan
melihat Lanang sudah berdiri di belakang kami. Mendadak aku jadi canggung. Aldo
sudah berlari masuk ke dalam rumah kembali.
“Tidak baik mengajari bohong ke anak kecil,”
kata Lanang. “Jadi, justru kamu kan yang bohong.”
Aku diam. Mendadak aku muak dengannya.
Dia duduk di sebelahku. “Ada yang salah
denganku?” tanyanya.
Aku menoleh. Dan bertepatan dengan itu, dia
menatapku. Tatapannya menusuk. Dan dari jarak sedekat ini, aku baru menyadari
bahwa dia memiliki mata yang hitam dengan bulu alis yang lebat. Mata itu
dinaungi oleh alis lentik yang menambah kesan sejuk. Dan mata itu
menenggelamkanku. Aku tak bisa bicara. Kaku. Dia tersenyum.
“Maafkan aku jika aku ada salah padamu. Tapi
sungguh, malam itu aku tak bermaksud untuk menegurmu. Aku tak tahu apa yang
sedang kamu lakukan, tapi….sudahlah. Maafkan aku.”
Dan aku tak bisa berkata apa-apa.
Dia tersenyum lagi. “Kamu mau memaafkan aku?”
Aku jadi ingat perkataanku kemarin.
Orang-orang
modern yang hidup di ibukota seperti mereka, apalagi mereka adalah anak
orang-orang berduit, pastilah susah hidup di desa seperti kami. Apakah mereka
mau membantu mencangkul di kebun belakang, menanam jagung atau ubi? Apakah
mereka akan betah tinggal di tempat yang kamar mandinya berebutan dengan anak
Panti lain.
Tapi Lanang bisa hidup di sini. Hampir dua
minggu. Dan dia tidak pernah mengeluh dengan fasilitas di sini, termasuk kamar
mandi. Dia bahkan ikut membantu Bibi Alena di kebun. Astaga, aku sudah berburuk
sangka kepadanya.
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Aku
tersenyum sedikit.
“Nah gitu dong, kamu terlihat cantik saat
tersenyum.”
Dan mukaku mendadak memanas karena malu.
# # #
Ibu, apakah aku jatuh cinta?
Ternyata Lanang tak seburuk yang aku kira.
Dia menyenangkan. Dia humoris, dia bisa membuat suasana Panti menjadi berwarna.
Dan aku pun justru membantu dia saat mengajari anak-anak di sini.
Kami semakin dekat, Ibu. Tapi aku tak tahu,
apakah aku mencintainya atau tidak.
Namun malam itu, ketika semua orang sudah
tertidur, aku seperti biasa menyelinap keluar untuk membaca mantera dan bertemu
denganmu. Dan dia ada di belakang rumah. Kami bertemu, Ibu.
Dia mengajakku pergi ke tanah lapang. Kami
tiduran di sana sambil menatap bintang. Dia bercerita tentang banyak hal.
Tentang dirinya, cita-citanya, kehidupannya. Dan ketika giliranku bercerita,
aku menceritakan tentang dirimu, Ibu. Bahwa aku merindukanmu. Aku ingin bertemu
denganmu.
Dia memalingkan tubuhnya ke wajahku. Wajah
kami sangat dekat. Sangat dekat. Aku bisa melihat matanya dengan jelas, bisa
merasakan deru nafasnya yang panas dan memburu. Aku sedikit banyak mendengar
detak jantungnya. Aku pun sama seperti dia, deg-degan. Tangannya menyentuh
pipiku, menyelusuri wajahku.
Dan aku memejamkan mata, saat bibirnya yang
basah menempel di bibirku.
# # #
Ibu, malam itu, berakhir dengan cukup indah.
Aku tertawa, aku bahagia. Kami berdua bergandengan sambil berpegangan tangan,
berputar di lapangan.
Aku lepas. Aku bebas.
Sejak saat itu, hari-hariku menjadi indah. Aku
sering bersamanya. Aku sering diajaknya pergi ke kota membeli alat-alat tulis
untuk anak-anak Panti.
Hariku selalu ada dia.
Malam-malamku semakin bersamanya.
Dan aku melupakanmu, Ibu.
Aku melupakan manteramu.
Aku bahkan dengan ceroboh membacakan matera
itu di depannya. Aku seperti tersihir dengan pesonanya.
Malam itu, aku rindu padamu. Dan aku pun
membaca mantera itu. Tetapi, kamu tak datang. Kamu tak pernah datang lagi.
# # #
Ibu, aku pernah berjanji padamu, bahwa aku
akan belajar. Aku akan konsentrasi untuk kelulusanku dan masuk universitas
favoritku. Tetapi, aku seperti ingkar padamu.
Kamu telah menasehatiku, bahwa aku harus
rajin sekolah, konsentrasi mengejar cita-citaku.
Aku ingkar ibu. Maafkan aku.
Mungkin kamu marah, karena tidak mau
menemuiku lagi.
Namun, malam ini, aku membutuhkanmu. Aku
ingin bercerita lagi seperti dulu. Maafkan aku telah meninggalkanmu karena
sibuk dengan kisah cintaku.
Saat ini, aku sedang patah hati ibu.
Dia pergi, Lanang pergi. Dia kembali ke kota.
Sehari sebelum dia pergi, aku sempat menangis. Dan dia menenangkanku. Aku tak
ingin berpisah darinya. Dan dia berjanji, akan segera kembali ke sini.
Menjemput cintanya, yaitu diriku.
Tetapi, janji itu tak pernah ia tepati Ibu.
Tidak. Aku mungkin terlalu muda untuk
mengartikan ini. Aku belum terlalu tahu, mana yang baik, mana yang buruk.
Aku menangis, aku menangis karena
kebodohanku.
Sebulan setelah kepergiannya, dia tak
mengabariku. Tak ada. Dan aku tak tahu, ke mana ia pergi.
# # #
Hari
di mana ia pergi.
Aku mandi di salah satu toilet. Sayup
kudengar suara dua orang teman Lanang sedang bercakap di luar toilet. Mereka
sepertinya selesai mandi di bilik yang lain. Di tengah guyuran air, kudengar
dia membicarakan sesuatu. Dan itu aku.
“Jadi siapa yang menang?”
“Lanang. Kita kalah. Kita harus menyerahkan
PS4 kepadanya, lalu uang. Apalagi taruhan kita kemarin? Bangkrut kita.”
“Gadis itu terlalu mudah ditakhlukkan, tak
lebih dari dua minggu, kan?”
“Padahal aku sudah yakin Lanang tak mungkin
mendapatkannya.”
Siang itu, mendadak kepalaku seperti dipalu.
# # #
Aku hilang arah Ibu. Aku setiap hari
menangis. Bibi Alena mencoba menenangkanku.
Lanang menghilang.
Aku pernah bilang bahwa semakin kuat kita menggenggam pasir, maka pasir itu justru akan menghilang perlahan. Ternyata konsep itu juga berlaku untuk cinta.
Semakin kita mencintai seseorang, perlahan cinta itu akan pergi. Cintailah sewajarnya. Agar kamu tak merasakan sakit saat kehilangannya.
Aku terpukul. Aku ingin bertemu denganmu,
Ibu. Aku ingin menangis di pelukanmu. Berulang kali kubaca mantera itu, tapi kamu
tak pernah datang.
Aku ingin bercerita.
Malam di mana aku dan Lanang bersama
memandang kerlip bintang di tanah lapang, saat dimana bibir kami bertemu, dia
membimbingku ke semak belukar. Tangannya agresif menelusuri pahaku, lalu naik,
dan naik. Aku terpejam. Aku diam. Rasa cintaku mengalahkan semuanya. Saat dia
menyentuh bagian paling kujaga selama ini, seperti nasehatmu Ibu, aku menangis.
Namun, dia menenangkanku, dia menyentuh pipiku. Dia mencium leherku. Dan aku
pun terdiam, bahkan ketika dia, tak kulihat lagi ada selembar kain di tubuhnya.
# # #
wah ini belum selesai kah ? :3
ReplyDeletesudah kok :) ngambang ya.
DeleteHaloooo, Kak! Mau jadi bagian tim jelajah Kalimantan gratis? Ikuti lomba blognya di sini http://bit.ly/terios7wonders2015 #Terios7Wonders
DeleteJangan sampai ketinggalan, ya!
pinter banget nulisnya, butu berapa haru tuh buatnya... #HappyBlogging
ReplyDeleteHallo. Salam kenal. 1 hari aja kok.
Delete#happyblogging