BAB 19
Mobil Juna melesat ke rumah sakit di daerah
Jakarta Pusat. Selamat perjalanan yang ia pikirkan adalah kata-kata Arya di
telepon tadi.
Dilan
meninggal. Cepatlah ke mari, karena ada satu pesan untukmu.
Percakapan dengan Dilan beberapa waktu lalu
memang belum ia cerna benar. Ia keburu harus menyelesaikan kasus Lenwa dan ia
melupakan sesuatu : Batu Mata Rantai yang akan Dilan tunjukkan kepadanya. Malam
purnama sebentar lagi dan seharusnya Dilan akan mengajaknya untuk pergi melihat
Batu Mata Rantai yang disembunyikan oleh Tuan Mata. Dan hanya Dilan yang tahu
tempat itu. Hanya dia. Kini, jika Dilan memang telah meninggal, lokasi batu itu
jelas tidak ada yang tahu. Kecuali, dia sudah menuliskan sebuah surat untuknya,
atau sebuah pesan. Seperti yang Arya katakan tadi.
Mayat Dilan ditemukan dengan keadaan yang
sangat mengenaskan. Mobil yang ia tunggangi menabrak pembatas jalan di daerah sepi
di Tanjung Priok. Saat ditemukan, keadaan mobil itu sangat mengenaskan. Namun
yang mengherankan, mobil itu seolah-olah memang sengaja dibenturkan ke dinding
pembatas. Namun yang lebih mengherankan lagi, di dalam mobil, Dilan dan
supirnya ditemukan dengan luka tembak di dada dan kepalanya. Mereka diikat dan
kepala mereka ditutup. Saat ditemukan, keduanya sudah tewas. Saat ini, polisi
sedang menyelidiki kasus ini. Karena ini sangat jelas, mereka berdua dibunuh
oleh seseorang dengan sangat profesional. Tidak ada jejak tangan di mobil
mereka. Yang ada hanya bau mesiu yang menyengat.
Awalnya polisi mengira bahwa kasus ini adalah
perampokan. Namun, dugaan mereka ternyata salah. Dilan tidak dirampok. Ponselnya
masih ada di saku celananya. Dompet masih untuh. Jadi, kasus ini murni adalah
kasus pembunuhan. Dan semua orang mulai bertanya-tanya, siapakah yang memusuhi
Dilan?
Tak perlu menunggu hari berikutnya untuk
pemakaman Dilan. Pagi itu, tubuh Dilan langsung menyatu dengan tanah. Semua
keluarga hadir, begitu pun dengan para petinggi Mata Rantai. Sosok Dilan adalah
seorang pengacara dan ahli hukum yang sangat dipercaya di Mata Rantai. Banyak
orang yang mendoakan kepergiaannya.
Keluarga Dilan meminta kasus ini agar segera
ditutup rapat. Tak ada pemberitaan di media. Semuanya tertutup. Mereka tak
ingin ditanyai macam-macam oleh para wartawan. Namun yang jelas, polisi masih
terus menyelidiki motif pembunuhan Dilan.
Juna pun juga menanyakan, pasti ini bukanlah
pembunuhan yang biasa
# # #
Beberapa hari setelah kematian Dilan, Juna
selalu dihantui oleh hal yang sama. Mimpi itu kembali datang. Semua orang
berada di depan gedung Mata Rantai dengan kerudung warna hitam. Semua
mendengungkan hal yang sama, ada yang berteriak, ada yang memaki. Juna berada
di tengah-tengah mereka, berhimpitan dengan tubuh-tubuh besar. Di kejauhan dia
melihat gedung Mata Rantai mulai runtuh dan orang bersorak-sorai. Sementara
dirinya tak bisa berbuat apa pun, kecuali hanya ikut berteriak dan teriakannya
tenggelam dalam lautan suara manusia.
Gedung Mata Rantai runtuh. Sebagian mengenai
orang-orang, sebagian orang berlarian. Tinggallah Juna yang berdiri seorang
diri dengan ratapan sedih melihat apa yang terjadi. Dari tempatnya berdiri, ia
melihat Dilan melambai ke arahnya. Namun, ada bunyi senapan keras dan tubuh
Dilan ambruk dengan luka tembak di dada. Di belakangnya, Ariana menjerit,
kemudian dia diseret paksa oleh algojo bertubuh besar. Juna hanya bisa
berteriak, tapi kakinya tak bisa digerakkan untuk berlari. Dia meronta. Dari
kejauhan pula, dia melihat satu persatu Chief Mata menjauhinya.
Dan di penghujung mimpinya, dia merasakan
tubuhnya terasa terbakar, kepalanya sakit karena suara dengingan dari kedua
telinga yang memekakkan. Dia limbung tanpa daya di atas tanah. Suara-suara
kecil di telinganya semakin menyiksa. Hidungnya mencium bau menyengat yang
busuk. Seperti bau katak yang telah mati berhari-hari.
Sunyi. Suara runtuhan gedung Mata Rantai
raib. Juna mendongak, orang-orang di sekelilingnya menghilang. Dan tersisa dua
orang dengan pakaian serba hitam yang berjalan menuju ke arahnya. Satu langkah
orang itu mendekat, bau busuk itu semakin dekat. Wajah mereka perlahan-lahan
terlihat.
Yang satu, bertubuh tinggi sekitar 180 cm
dengan kulit putih kecokelatan. Matanya tajam menatap Juna. Dan Juna seperti
mengenali orang itu. Dia seperti melihat hidungnya mirip dengan hidung orang
itu, matanya seperti mata orang itu, langkah kakinya seperti langkah kakinya.
Karena orang itu memang dirinya.
Juna terperanjak. Dia tergagap melihat
dirinya sendiri sedang berjalan mendekatinya. Dan di sampingnya, seorang pemuda
ceking dengan rambut dicat pirang tua. Dia sedikit membuka mata, sehingga
memperlihatkan gigi-giginya yang menghitam.
Lagi-lagi, Juna mengenal orang itu. Karena
beberapa hari ini dia memusnahkannya. Orang itu adalah Andika.
Mereka berdua berjalan cepat, mendekati Juna
dengan langkah mantap nan garang. Sesampainya di depan Juna, si orang yang
mirip dengan dirinya menarik paksa kaki kiri Juna. Juna terjengkal. Dan Andika
segera merangkak di atas Juna. Kedua lututnya menopang berat tubuhnya, dan
menjepit tubuh Juna sehingga Juna tak bisa bergerak. Dia terkunci rapat. Andika
tersenyum penuh kemenangan. Gigi-giginya yang menghitam tampak sangat
mengerikan. Mukanya mendekat ke muka Juna. Nafas Juna tertahan saat Andika
tiba-tiba mencium bibirnya. Sebelum Juna bisa berbuat apa-apa, Andika mencekik
lehernya. Nafas Juna tercekat. Dia mendengar orang yang mirip dirinya tertawa.
Bukankah
kata Dilan rohku yang lain itu baik. Bukankah….
Tiba-tiba….bruk….Andika ambruk di atas
tubuhnya. Tak sadarkan diri. Kesempatan itu, Juna gunakan untuk menarik
tubuhnya ke atas dan melepaskan diri dari tubuh Andika. Saat ia sudah terbebas,
dia melihat dirinya sendiri sedang berdiri memegang kapak. Kapak yang kini
sudah berwarna merah darah. Dia tersenyum kepada Juna.
Nafas Juna terengah. Lalu dia terbangun.
Seperti biasa dengan keadaan yang sangat menjengkelkan. Dia tertidur di lantai
hanya mengenakan boxer pendek. Tubuhnya sudah dipenuhi oleh peluh yang mengalir
perlahan di sela-sela perutnya yang padat. Di sampingnya tergeletak selimut
tebal yang sudah tak berbentuk.
Mengapa
aku tak bermimpi di atas kasur empuk? Tubuhku sakit semua. Juna mendengus, lalu segera naik kembali ke atas tempat tidur. Hari
ini ia sedang tak ingin berbuat apa pun. Dia ingin tenggelam dalam lautan
selimut, lalu melepaskan semua hal.
Dia masih syok dengan kematian Dilan. Baginya,
kematian itu seperti sebuah peringatan untuknya. Dia seperti dikuntit oleh
bayangan hitam yang seolah-olah akan menerkamnya dari belakang. Ia yakin, hal
itu ada kaitannya dengan Dilan. Apakah
Dilan akan memberitahu sesuatu untukku? Pikir Juna.
Lalu dia teringat akan sesuatu.
Juna berdiri meninggalkan selimutnya, dia
menuju dinding di belakang tempat tidur. Dia masih mengingat letak titik itu.
Dia meraba-raba dengan telapak tangannya. Ada bunyi ‘tit’ saat ia menyentuh
titik di sana. Dan dinding itu perlahan terbuka. Juna mengambil buku warna
kuning kecokelatan di sana.
Buku itu masih sama seperti saat terakhir ia
melihatnya. Perlahan Juna membuka satu persatu halaman, sampai dia membuka
halaman tentang informasi penyatuan roh dengan Batu Mata Rantai. Di sana
dijelaskan bagaimana keempat Batu Mata Rantai memiliki kekuatan untuk
menyeimbangkan roh di dalam tubuh manusia atas seijin Sang Pencipta. Di bawah
rembulan yang sempurna, keempat batu itu akan memancarkan sinar yang sempurna.
Dan saat itulah waktu yang tepat untuk menyatukan roh. Ada satu waktu lagi yang
bisa digunakan, yaitu ketika tahun atau detik kabisat. Dimana ada persimpangan
waktu di sana. Dan batu itu akan memancarkan sinar yang paling sempurna. Sinar
hijau, biru, kuning, dan merah yang kemudan menyatu. Semua hal akan tunduk
kepada sinar itu, karena sinar itu menyeimbangkan.
Juna membalikkan halaman itu. Di sana, Tuan
Mata menulis dengan lebih detail lagi. Ternyata Batu Mata Rantai tak sepenuhnya
bisa menyeimbangkan roh. Keseimbangan roh di dapat dengan konsentrasi tinggi.
Batu itu hanya menolong, namun batu itu juga sangat berbahaya. Sinarnya bisa
memanggil semua iblis-iblis dan roh jahat untuk berkumpul. Dan ternyata itulah
alasan Tuan Mata meletakkan batu itu di sebuah masjid. Agar batu itu senantiasa
didoakan. Sampai tiba waktunya harus dimusnahkan. Batu itu akan menjadi
perebutan oleh iblis-iblis yang merasuki diri setiap manusia. Jadi, batu itu
harus segera dimuskankan.
“…oleh penerus Mata Rantai, darah mata,” eja
Juna perlahan.
Jadi inilah yang sebenarnya ingin Dilan
katakan kepadanya. Bahwa batu itu adalah sangat berbahaya jika jatuh kepada
orang-orang yang salah.
Juna menelan ludah.
Di belakang buku itu, ada sebuah mantera
dengan bahasa yang tidak Juna mengerti. Sebuah tulisan dalam aksara jawa kuno.
“Oh, damn. Seharusnya aku memang tidak
menerima tawaran Arya untuk melanjutkan perusahaan ini,” Juna mengumpat. Namun,
dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia harus bisa melanjutkan Mata
Rantai. Mencapai titik yang Tuan Mata sampaikan dalam halaman terakhir buku
itu.
Mata
Rantai adalah perusahaan yang senantiasa akan menghidupi orang-orang di
sekitarnya, senantiasa menjaga keseimbangan alam, untuk mencapai titik paling
sempurna. Walaupun kita tahu, kesempurnaan hanyalah MilikNYA.
Juna mengambil ponselnya, lalu memotret
halaman mantera yang ditulis dengan aksara jawa. Dia lalu memasukkan kembali buku
itu ke dalam tempatnya.
# # #
Sore harinya.
Juna sedang duduk seorang diri di meja
kerjanya dengan setumpuk laporan dan pikiran yang penuh.
Kematian Dilan, kondisi perusahaan, dan
hal-hal gaib yang tiba-tiba berkonspirasi mengganggunya.
Dia harus relax malam ini. Mungkin dia bisa
mengajak Ariana untuk pergi jalan-jalan seperti malam itu, pergi ke Kota Tua
kembali. Atau hanya sekedar mengobrol. Yang jelas, dia ingin segera bebas untuk
sesaat.
Bunyi ponselnya membuyarkan lamunannya.
Sebuah pesan singkat.
Kamu di
mana, mengapa tidak pernah menghubungiku? Apakah bisa meneleponku sekarang?
Please, aku sedang membutuhkanmu. Mariana.
Juna mengerutkan kening. Mariana adalah
mantan pacarnya yang terakhir sebelum ia berada di Mata Rantai. Dan setelah di
Mata Rantai, dia tidak pernah lagi berurusan dengan wanita-wanita yang dulu
menemaninya. Namun, Mariana adalah salah satu mantannya yang sedikit membekas
di hati.
Juna tombol dial. Ia menghubungi Mariana.
“Halo….” Sapanya.
Dan percakapan selanjutnya didominasi oleh suara
isak tangis drama dari seorang wanita bernama Mariana.
# # #
Sudah lama Juna tidak datang ke club,
menggoyangkan kepala mengikuti musik, menegak bergelas alkohol dingin, lalu
berakhir dengan tubuhnya yang sempoyongan membawa seorang wanita untuk
menemaninya di kamar. Sudah lama ia tak melakukan kehidupan sebebas itu. Kini
tubuhnya terlalu letih untuk melakukannya.
Namun malam ini, dia datang kembali ke tempat
yang diberitahu oleh wanita yang meneleponnya tadi. Sebuah club di daerah
Kemang yang tentu saja sangat ia hafal karena dulu ia sering datang ke sini :
THE WEST. Ia mengenakkan stelan sewajarnya: celana jeans biru gelap, sepatu
sneakers, dan kemeja warna biru muda. Ia tak ingin terlihat mencolok dengan
penampilannya karena tentu saja ia pasti akan bertemu dengan orang-orang yang
mungkin mengenalnya.
Tadi Mariana merengek kepada dirinya untuk
datang menemuinya. Salah satu kelemahan Juna selain melihat kecoa adalah
mendengar seoran wanita menangis, mengiba, dengan suara pelan dan sesegukan. Ia
pernah melihat ibunya menangis seorang diri malam-malam, entah karena apa,
tetapi itu sangat menyakitkan. Saat itu, Juna masih berumur delapan tahun.
Namun hatinya seperti tergetar dan berjanji ia tak akan membiarkan seorang
wanita menangis di depannya.
Dan malam itu, Mariana bilang bahwa dia
sedang dalam keadaan sedih mendalam. Dia butuh Juna malam itu. Kangen, itu
perkataan pertamanya. Lalu dia menangig karena merasa kehilangan Juna.
Juna sebenarnya muak, karena itu pastilah
akal-akalan Mariana agar Juna mau kembali kepadanya. Mariana tetap merengek.
Dan dia mengancam, akan melakukan hal nekad malam ini jika Juna tidak datang.
Juna masuk ke The West. Suara musik
berdentam, kepala bergoyang, dan bau rokok menyeruak di permukaan. Juna
mencari-cari Mariana. Setelah melewati seorang borjuis yang sedang memberikan
gombalan tidak jelas kepada seorang wanita, seorang wanita yang sedang berjoged
dengan gerakan tak tentu, dan sepasang kekasih gay yang sedang bercumbu di
pojokan, Juna mendapati Mariana sedang terpuruk di salah satu sofa. Beberapa
botol minuman ada di depannya. Dan dia meracau tak tentu.
“Mariana, ayo ikut aku.” Juna mencoba merengkuh
tangan Mariana dan berharap wanita itu mengikuti perintahnya.
“Oh, Juna. Apakah itu kamu, Tampan. Oh, itu
memang kamu. Mengapa kamu meninggalkanku?”
Mariana memeluk leher Juna, lalu membenamkan
kepalanya dalam dada Juna. Juna mencoba melepaskan diri, namun Mariana justru
memeluknya semakin erat.
“Aku merindukanmu, Darling.”
“Kita harus pergi,”
“Apakah kita akan ke hotel, atau apartemenku.
Kita bisa bersenang-senang di sana. Berdua, sepanjang malam. Aku kangen bau
tubuhmu.”Mariana tertawa terbahak.
Juna jengah. Dia merangkul Mariana, lalu
memapahnya melewati segerombolan orang yang sedang berjoged di lantai. Suara
dentum musik semakin keras, teriakan bercampur dengan tawa, dan tentu saja bau
rokok dan alkohol menambah meriah malam itu. Dan menurut Juna, ini sangat
memuakkan dan ia ingin segera pergi.
Di lorong sempit dengan lampu remang, mereka
melewati beberapa pasangan yang sedang asyik bercumbu. Juna mempercepat
langkahnya, namun Mariana mendorong tubuh Juna hingga bersandar di dinding.
Mariana ambruk di tubuh Juna. Tangannya memegang kepala Juna, lalu bibirnya
dengan liar melumat bibir Juna. Jika hal ini ia lakukan dulu, mungkin dia akan
dengan senang hati melakukannya. Namun, kini suasana hatinya sedang tidak enak.
Dan dia ingin segera mengantar Mariana ke apartemennya, lalu memastikan bahwa
wanita itu bisa tidur dengan tenang.
Mariana semakin liar memainkan perannya, Juna
jengah. Beberapa kali dia memalingkan wajahnya. Namun malam itu, Mariana
seperti tersihir dengan alkohol dan tak membiarkan Juna lepas dengan mudahnya.
Saat Juna mulai terpedaya, dia melihat sosok yang ia kenal dari kejauhan.
Berdiri kaku menatapnya yang sedang mencumbu Mariana. Juna mendorong tubuh Mariana
untuk menjauh. Dia berdiri mematung dan bersiap untuk mengejar sosok itu. Namun
terlambat, ia melihat sosok itu mulai menangis.
Dan Juna benci saat melihat Ariana menangis.
# # #
Ariana tak pernah pergi ke club mana pun. Ia
tak menyukai suasana club yang penuh dengan suara hingar bingar, bau alkohol,
dan asap rokok. Dia lebih suka pergi ke museum, perpustakaan, atau berlatih
yoga. Tetapi malam ini, atas bujukan Janero di telepon, dia untuk pertama
kalinya menuruti permintaan pria yang menyukainya itu.
“Percayalah, aku ingin menunjukkan padamu,
bagaimana playboynya dia.”
Kalimat itu sebenarnya tak lekas membuatnya langsung
menyetujui permintaan Janero. Namun, ia kembali mengingat saat makan malam
berdua dengan Juna Mata beberapa waktu lalu. Juna yang begitu berbeda, gentleman, dan begitu sangat mempesona. Ariana
terpesona dan masuk ke dalam lingkaran kasih Juna. Dia beranggapan bahwa Juna
telah berubah. Dia sudah menjadi sosok pria penuh kharisma, yang tidak
mempermainkan wanita, dan bertanggung jawab kepada perusahaan warisan kakeknya.
Namun, rasa cintanya seolah mendorong rasa
ingin tahu. Maka dia menuruti Janero, pergi ke sebuah club yang bahkan tak ia
tahu : THE WEST. Sesampainya di sana, dia memonitor setiap inchi ruangan,
berharap dia menemukan sosok yang ia cari. Benar saja, dia menemukan Juna
disana. Sedang menarik seorang wanita ke dalam pelukannya. Wanita itu lalu
bergelayut manja di pelukan Juna. Ariana bersembunyi dan mengamati. Ia melihat
Juna dan wanita itu pergi. Di lorong sempit dengan lampu remang, mereka
berhenti. Si wanita mendorong tubuh Juna ke dinding, Juna diam tak berdaya.
Ariana menahan nafas saat keduanya bercumbu di bawah redup lampu.
Saat itu, ia tak tahu harus berbuat apa
kecuali menangis. Ia merasa bodoh. Sangat bodoh.
Tangisnya semakin pecah saat mata Juna
melihatnya. Dan ia pun berlari.
# # #
“Hei tunggu,” Juna menarik tangan Ariana. Dia
menggenggam erat lengan Ariana. Arian terhenti. “Tatap aku, aku bisa
menjelaskan semuanya.”
“Tak ada yang perlu dijelaskan, karena
inihanya….oh tidak…ini hak Tuan. Tuan bisa melakukan apapun yang Tuan suka.”
Arian menahan tangisnya.
“Ariana, dengar.”
“Tolong lepaskan saya, saya ingin pulang.”
“Ariana dengar.”
“Tolong.”
“Ariana dengar.”
“KAMU YANG HARUS DENGAR SAYA.” Tangis Ariana
pecah. Juan terdiam. “Tolong lepaskan lengan saya.”
Pegangan Juna mengendur. Ariana menghapus
tangisnya, lalu dia berlari meninggalkan Juna yang berdiri mematung di depan
The West.
# # #
Dari balik kemudi sedan hitamnya, Janero
melihat ke depan. Ia melihat saat Ariana keluar dari The West dengan tangis.
Lalu dia menyaksikan saat Juna dan Ariana bertengkar, dan Ariana meninggalkan
Juna sendirian.
Janero mengambil ponsel pintarnya, lalu
mencari sebuah nama. Ia memencet tombol dial dan menghubungi orang itu.
“Halo, Crain. Aku sudah melakukannya. Kuharap
kamu segera mentransfer uang itu agar aku bisa kabur.”
“….”
“Apa yang kamu inginkan lagi? Oh, aplikasi
itu sudah saya email. Apakah kamu belum menerimanya?”
“….”
“Apa? Kamu ingin aku menyingkirkannya? Ini
bukan bagian dari deal kita di awal.”
“….”
“Argh, baiklah, baiklah. Tapi kuharap kamu
mengirimkan uang dalam jumlah yang lebih besar. Aku akan segera menyingkirkan
Ronero.”
# # #
Berjam-jam
setelahnya.
Kepala Juna berdenyut sakit. Kali ini ia
sengaja untuk tidur di lantai yang dingin agar lantai itu bisa meredamkan tubuh
panasnya. Tadi malam, setelah melihat kepergian Ariana, Juna masuk kembali ke The
West. Bukan untuk menemui Mariana, bukan. Juna justru pergi ke meja bartender,
memesan sebotol Captain Morgan dengan segelas es, dan menghabiskan minuman rum
itu. Kepalanya langsung seperti digelayuti berton-ton barbel, namun dia masih
bisa tiba di kamarnya dengan selamat.
Pagi ini, dia bangun dengan kondisi sangat
buruk di atas lantai. Dia mabuk berat dan mengalami mimpinya. Dua kombinasi
yang cukup menguras tenaga dan membuatnya ingin mati detik ini saja. Tubuhnya
lemas dan kepalanya sangat ingin ia copot.
Dia merangkak naik ke atas kasur. Menarik selimutnya
lalu membenamkan kepalanya di sana. Perlahan ingatan tentang kejadian tadi
malam mulai jelas.
Ariana, panggilnya lirih.
Dan dia memejamkan matanya.
Saat ia sedang ingin meredamkan sakit
kepalanya, sayup terdengar teriakan-teriakan dari luar. Seperti suara TOA yang
buruk. Juna mengutuk siapa pun yang mengganggunya pagi ini. Dia melirik jam di
pojok kanan atas layar LED di dinding kamarnya. Pukul 7 pagi. Dan ini adalah
hari Sabtu. Siapa yang membuat keonaran pagi ini.
Sebuah dering pesan masuk ke layar LED-nya. Dari
Arya.
Kuharap
kamu sudah bangun dan melihat apa yang terjadi di luar.
Juna menekan tombol play di layar. Dan layar
berubah menjadi halaman depan Mata Rantai yang dipenuhi oleh ribuan orang yang
memakai baju hitam-hitam dengan ikat kepala putih. Beberapa diantara mereka
membawa bendera, beberapa membawa spanduk besar bertuliskan : SELAMATKAN NYAWA
KAMI, KEMBALIKAN HAK KAMI. TUBUH KAMI DIGEROGOTI UNTUK KELANGSUNGAN MATA
RANTAI.
Juna terlonjak. Apa-apaan ini?
Dan di layar, tampak Ronero sedang berorasi
dengan TOA di tangannya meneriakkan tuntutan-tuntutan pekerja kontraktornya.
# # #
BACA KELANJUTANNYA DI SINI
No comments