BAB 20
Juna mondar-mandir di ruangannya dengan raut
gelisah. Arya yang kini bersamanya, hanya bisa memandang kelakuan atasannya
itu, tak banyak bicara. Di luar Mata Rantai masih terlihat kerumunan orang
dengan teriakkan-teriakan penuh amarah dan nafsu. Dan Ronero tampak semangat
mengobarkan kalimat-kalimat tuntutannya.
Ronero Alverdo, lelaki berumur 40 tahun ini,
sudah lebih 15 tahun bergabung dengan Mata Rantai dengan prestasi-prestasinya.
Tiga tahun bergabung dengan perusahaan ini, Tuan Mata sudah mempercayainya
untuk memimpin Departemen Marketing & Promotion. Sejak itu, kariernya
lambat laun mulai naik dan berakhir
menjadi seorang Chief Rantai untuk
perusahaan kontraktor Mata Rantai. Ia bertangan dingin, dengan
pemikiran-pemikiran cerdas dalam hal penjualan dan strategi market. Tuan Mata
sangat menyukai lelaki yang selalu memakai topi warna hitam dan jas tebal
panjang dengan dasi warna merah itu, kecuali satu : sikap arogannya yang kadang
cablak dan tak terkontrol. Kini, dia seperti seorang kesetanan yang memimpin
masa begitu banyak, para karyawan Mata Rantai yang merasa ditekan oleh
kebijakan Juna Mata yang menerapkan Cost
Reduction Program, termasuk perampingan karyawan. Ronero tak menerima hal
itu. Karena perusahaannya adalah salah satu yang membukukan hal positif. Dan
seharusnya, ia tidak menerima imbas program Juna.
Tetapi bagi sebagian orang yang mengerti,
rasa sakit hati Ronero bukanlah masalah program yang dijalankan di semua lini perusahaan, bukan. Ia bukanlah sosok pemimpin yang labil dan tidak profesional
yang akan sakit hati oleh sebuah kebijakan yang sebenarnya akan menolong
perusahaan yang hampir bangkrut ini. Semua orang pun hanya mengira-ngira bahwa
kedatangan Juna Mata adalah sebuah ancaman untuk kariernya. Kematian Tuan Mata
bagi sebagian orang adalah sebuah kehilangan, namun sebagian lagi sebagai suatu
titik yang dapat meloncatkan karier mereka. Semua orang tahu, tak ada darah
Mata di kedua anak Tuan Mata. Itu berarti kesempatan untuk memimpin Mata Rantai
akan diserahkan ke umum, ke semua kandidat yang memenuhi persyaratan. Meskipun
itu menyalahi aturan, namun ini jelas sebagai satu kesempatan besar. Ronero
termasuk salah satu orang yang berambisi untuk itu. Sialnya, wasiat Tuan Mata
menyebutkan bahwa seseorang akan menjadi kandidat utama. Seorang anak muda yang
entah dari mana. Seorang anak kandung dari istri yang tak sah dari Tuan Mata.
Hal itu membuat Ronero murka. Bahkan dia
mulai mencari kesalahan-kesalahan Juna Mata. Sangat menyebalkan untuknya
dipimpin oleh seorang bocah kemarin sore. Dan itu membuat Ronero muak.
Kebijakan Juna untuk merampingkan perusahaan
berimbas pada sedikit protes pada sebagian karyawan, khususnya karyawan dengan
kelas bawah. Hal inilah yang
dimanfaatkan oleh Ronero untuk melakukan aksinya hari ini.
Dan sejak mendengar teriakan-teriakan di
depan Gedung Mata Rantai, Juna tak bisa mengendalikan dirinya. Dia mungkin
pernah diprotes oleh beberapa karyawan di Digiforyou tentang satu kebijakan,
tetapi tidak dengan demo seperti ini. Mereka akan menyampaikannya di meja
rapat, berdiskusi panjang, berdebat, dan berujung pada satu kesimpulan yang
disepakati bersama. Tetapi menghadapi ribuan orang yang berteriak murka dengan
tuntutan-tuntutan mereka, hal ini belum pernah Juna hadapi. Di kantornya, belum
ada orang General Affair yang bisa dengan lihai mengatasi ini. Diskusi dengan
mereka, seperti membunyikan terompet kecil di tengah dentuman bom nuklir.
“Apakah kamu bisa tenang dan duduk untuk
berbicara denganku, Tuan? Aku rasa masalah ini tak akan selesai jika kamu terus
mondar-mandir seperti itu,” ucap Arya kepada Juna.
Juna memandang Arya dengan bimbang. “Oh,
maafkan aku Arya. Aku hanya bingung. Aku belum pernah menghadapi hal seperti
ini.”
“Ya, aku tahu. Tapi, tahukah kamu, Tuan…”
Arya seolah sengaja menggantungkan kalimatnya
untuk menarik perhatian atasannya. Juna menoleh dan mengerutkan kening.
Arya sedikit tersenyum. “Kamu sangat berbeda
dari yang pertama kali aku menemukanmu. Kamu sedang berproses untuk menuju
sesuatu yang lebih sempurna.”
Juna tak mengerti dengan ucapan Arya. “Arya,
aku…”
“Lihatlah dirimu sekarang. Kamu adalah pemuda
hebat yang memimpin perusahaan ini. Tuan Mata pernah bilang kepadaku bahwa kamu
adalah orang yang tepat untuk mengurus perusahaan ini.”
Juna tahu bahwa Arya kini sedang membesarkan
hatinya. Dan ia memang sedang membutuhkannya saat ini. Ia butuh support dari
orang-orang di sekitarnya untuk melewati semuanya.
“Terima kasih Arya, aku…aku tak tahu apa
jadinya perusahaan ini jika tak ada kamu. Pantas saja, Tuan Mata sangat percaya
padamu.”
Juna melihat Arya seperti jelmaan dari Tuan
Mata : bijaksana, penuh dengan pemikiran yang tenang, dan selalu memberikan
saran-saran kepadanya. Dan kini, dia adalah satu-satunya orang yang ia percaya.
Juna jadi teringat dengan Batu Mata Rantai. Kini tak ada seorang pun yang tahu
tentang keberadaan batu itu. Jadi Juna pikir, mungkin Arya tahu tentang itu.
“Arya….” Juna mencoba meyakinkan dirinya.
“Apakah ada sesuatu yang belum kamu katakan padaku tentang Mata Rantai?”
Kini kening Arya yang dibuat mengerut.
“Apakah kamu ingin menanyakan sesuatu?”
Juna berpikir sejenak. Ia teringat dengan
perkataan Dilan malam itu. Tak ada yang
tahu tentang Batu Mata Rantai, kecuali diriku dan Tuan Mata. Kamu tak perlu
mengatakan kepada siapa pun. Ucapan itulah yang membuatnya kemudian ragu.
Namun, sekarang hanya Arya yang sangat ia percaya. Ya, sebenarnya ia berharap
kini ada Ariana. Tapi gadis itu sekarang sedang marah kepadanya dan ia tak
mungkin menghubunginya saat ini.
Jadi mungkin….
“Apakah kamu tahu tentang Batu Mata Rantai?” Juna
menarik nafas panjang.
Arya tampak sangat tenang saat Juna
menanyakan hal itu. “Jadi Dilan sudah mengatakannya padamu?” tanyanya.
Juna mengambil nafas lega. Jadi dia pun tahu.
“Ya, dia sudah mengatakannya. Dan…dan…hanya
dia yang mengetahui batu itu. Begini, dia mengatakan bahwa aku memiliki dua
jiwa. Istilah Dilan…dua roh yang bersemayam dalam tubuhku dan dua roh itu
membuatku menjadi manusia tidak stabil dan tidak seimbang. Dan satu-satunya
cara untuk itu adalah dengan...”
“Batu Mata Rantai,”
Juna mengangguk. “Dan aku tak tahu letak batu
itu sekarang. Jadi, apakah kamu…”
“Tidak. Hanya Dilan yang tahu. Karena Tuan
Mata hanya menyerahkannya padanya.”
“Dia tak meninggalkan petunjuk apa pun
buatku.”
“Aku akan mencoba membantu. Mungkin kita bisa
membaca ulang wasiat Tuan Mata atau buku yang ia tinggalkan.”
“Kamu tahu buku itu?” Juna menatap tak
percaya. “Oh, benar. Tuan Mata pasti juga mengatakannya padamu.”
“Kita bisa membacanya nanti. Yang penting
sekarang…kita harus menemui Ronero. Aku yang akan berbicara padanya.”
“Aku tak tahu apa yang terjadi jika tak ada
kamu, Arya.”
Juna tak mengerti apa yang dikatakan Arya
kepada Juna. Tetapi, setelah tiga puluh menit berunding, pasukan di depan Mata
Rantai tampak memudar dan perlahan menghilang. Juna mengambil nafas lega saat
gerombolan itu seperti semut yang menjauh dari gedung Mata Rantai.
Benar-benar
hari yang buruk, pikir Juna. Dimulai dengan pertengkaran dengan Ariana tadi malam gara-gara
Mariana, dan kini diakhiri dengan demo besar di kantornya. Ia pun berpikir bahwa
ia butuh menenangkan diri sekarang.
# # #
Jauh dari kota Jakarta, di Galeri Mahakarya.
Alexa Crain terlihat murka menegak sebotol
air dingin. Dia berjalan mondar-mandir. Beberapa kali dia mengangkat ponsel,
menekan nomer dengan cepat, namun seseorang yang ia hubungi tidak pernah
mengangkat.
Astaga,
ke mana orang bodoh itu? Umpat Alexa dalam hati. Rokok
di tangannya ia hisap panjang, lalu ia hembuskan asapnya ke udara. Pikirannya
benar-benar kalut.
Ia menekan dial nomer sekali lagi. Dan kali
ini tersambung.
“Ke mana saja kamu?” tanya Alexa langsung.
“Ada apa? Langsung saja.”
Sial,
orang ini benar-benar tidak tahu apa salahnya.
“Apa yang baru saja kamu lakukan?”
“Oh, kamu sudah mendengarnya? Bukankah kamu
sedang bersantai-santai di galeri nggak pentingmu itu?”
Alexa mendengus. “Jawab saja pertanyaanku.”
“Apa aku perlu menjelaskan? Aku baru saja
ingin mendobrak kepemimpinan Juna Mata si brengsek itu. Bukankah kamu akan
senang mendengarnya?”
“Heh, dengar, Ronero, aku tidak peduli dengan
apa yang kamu lakukan. Tetapi, ulahmu itu justru berbahaya untuk kita. Apa yang
ada di otakmu sehingga kamu melakukan hal bodoh itu? Demo? Apa yang kamu
harapkan? Kurasa kamu bisa lebih cerdas untuk melengserkan dia daripada memilih
cara perundingan seperti itu? Lalu apa, hanya karena berunding sebentar dengan
si brengsek Arya, kamu jadi pudar? Karena apa? Takut?”
Sosok di telepon terdiam.
“Kuharap kamu mikir sebelum bertindak. Aku tak
ingin, mereka curiga dengan apa yang sudah mulus aku rencanakan. Seharusnya,
kamu ikuti saja perintahku, dan….”
“Dan setelah dia lengser, kamu yang akan
memimpin Mata Rantai dan aku menjadi kacungmu? Bukankah seperti itu?”
Alexa terdiam.
“Apa menguntungkannya buatku?”
“Aku sudah menjelaskan padamu bahwa ini untuk
kebaikan kita. Aku hanya ingin…”
“Sudahlah Alexa, aku sudah menyerahkan batu
itu kepadamu. Urusan kita sudah selesai, dan aku sekarang akan melakukan apa
yang aku rencanakan. Aku tak perlu mengikuti perintahmu. Oh, iya, terima kasih
uangnya sudah aku terima.”
Klik. Sambungan terputus.
Alexa menggenggam ponselnya erat. Berengsek dia.
# # #
Malam
hari, setelah kejadian demo di Mata Rantai.
Gasing Purwanto tak pernah setakut malam ini.
Dia berjalan
terseok seorang diri di antara ruang-ruang Mata Rantai yang senyap. Ini hari
minggu dan sedikit sekali orang yang ada di kantor. Hari ini Miko—anak pertamanya—berulang tahun yang
kelima, namun dia harus berjaga shift sore dan melupakan acara ulang tahun Miko
yang akan dirayakan bersama sanak saudara. Tugasnya sebagai seorang satpam
tidak mengijinkan untuk tetap bersama anaknya malam ini. Untung sepanjang hari
tadi, dia sudah berusaha mengajak Miko untuk bermain, membeli kado ulang tahun
sesuai keinginan anaknya itu—sebuah sepeda, dan pergi makan berempat bersama
Miko, Niko—adiknya, dan Silviana—istrinya. Malam hari, Silviana tetap
menjalankan rencana semula. Membuat pesta ulang tahun kecil-kecilan untuk Miko
bersama sanak saudara.
Dan
di sinilah Purwanto kini, berhimpitan dengan ruang-ruang Mata Rantai yang
dingin, rumput-rumput hijau yang tampak berair di halaman, dan lorong-lorong
Mata Rantai yang sepi. Dia muak memandang pintu-pintu ruangan yang mendadak
lebih menyeramkan dari setan manapun. Sunyi. Bunyi langkah sepatu boatnya
semakin memperburuk suasana. Suaranya terdengar kasar karena bergesekan dengan
lantai marmer. Kadang bau wangi menyeruak keluar dari pengharum ruangan yang
distel otomatis setiap satu menit di setiap sudut. sela-sela ventilasi sempit
yang ada. Ia ingin segera pagi, segera bertemu dengan matahari, dan ia akan pulang ke rumah. Tetapi
tugasnya masih harus berjaga, duduk di kursinya di depan gerbang, bermodalkan
pentungan berwarna hitam yang menggelantung di pinggangnya, lalu setiap dua jam
sekali dia harus berkeliling di Gedung Utara Mata Rantai—bergantian dengan
temannya. Namun seharusnya, ia berkeliling bersama Dorman—temannya. Tetapi, Dorman
mendadak sakit perut dan bolak-balik ke toilet. Akibatnya dia harus berkeliling
seorang diri.
Mendadak
sudut-sudut Mata Rantai menjadi menyeramkan. Selama 15 tahun bekerja di sini, Purwanto
tak pernah setakut ini. Dia memang pernah beberapa kali melihat hal-hal gaib di
Mata Rantai. Mitos tentang hantu-hantu di gedung perkantoran memang terdengar
klasik, tapi itu memang benar. Dan Purwanto pernah melihatnya langsung. Tetapi, tak sedikit pun ia takut akan hal itu.
Namun, entah mengapa, malam ini terasa ada yang lain di sini. Bulu kuduknya
mendadak berdiri saat berkeliling tadi.
Purwanto
sudah mengitari gedung utama Mata Rantai dengan sempurna. Buru-buru dia ingin
kembali ke pos, menyeduh kopi, dan mengobrol bersama rekannya yang lain. Ia
mempercepat langkah menyusuri lorong di lantai dua. Tepat di ujung anak tangga
lantai dua yang menghubungkan dengan lantai pertama, Purwanto berhenti.
Tubuh
Purwanto menegang, bulu kuduknya berdiri dengan sempurna, matanya melotot ke
depan. Ia mencium bau anyir yang menyengat. Di depannya ia berdiri, sesosok
tubuh menggelantung dengan kaki tak menapak lantai, lehernya terjerat tali yang
terikat dengan pagar pembatas lantai dua. Tubuh itu kaku, mukanya pucat,
lidahnya menjulur dari mulutnya. Tangan kanannya menggelepar di udara dengan
darah menetes deras dari nadi yang terpotong paksa.
Mulut
Purwanto tercekat. Detik kemudian dia berteriak-teriak.
Mayat
itu berputar-putar di udara, lalu berhenti menghadap ke arah Purwanto. Matanya
yang melotot menatap kosong. Tubuh itu milik Ronero.
# # #
baca kelanjutannya di sini.
Berarti gw mesti baca dari seri 1 nich ??? #kemudianLelah gagaga
ReplyDeleteHaha,,,bantuin promolah Kaka :)
Delete