BAB 21
Di
Gedung Mata Rantai.
Berita Ronero yang bunuh diri dengan menyayat
tangannya lalu menggantung tubuhnya di tali, seperti sebuah bom atom yang
meledak di malam hari. Ariana sedang membaca Jurnal di ponsel di ruang kerjanya,
ketika ia mendengar berita itu. Malam ini, dia memang belum kembali ke
apartemennya karena sedang ada beberapa kerjaan yang harus ia kerjakan. Bunyi
sirine yang memberitahukan adanya tanda bahaya meraung-raung. Beberapa saat
kemudian, Arya meneleponnya dan memberitahu bahwa ada seseorang yang bunuh diri
di lobi.
Kasus ini kali pertama terjadi di Mata
Rantai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, orang yang bunuh diri adalah Ronero,
salah satu Chief Mata, yang sehari sebelumnya memimpin masa untuk berdemo.
Orang-orang di wawancara terkait kasus ini.
Muka-muka cengo tak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua shock dengan
kejadian ini. Namun, dari semua orang yang ada, Gasing Purwanto adalah orang
yang paling shock. Sejak orang-orang datang menemukannya terkapar dengan muka
pucat di lantai, dia tak banyak bicara.
Ariana berdiri tak jauh dari mayat. Apa yang membuat Ronero melakukan perbuatan
paling dibenci oleh Tuhan ini?
Ariana menatap Juna yang tampak berdiri
beberapa meter di depannya dengan tubuh tegang. Sejak datang bersama Arya, Juna
tak banyak cakap. Beberapa kali polisi menanyainya, namun justru Aryalah yang
menjawab.
Juna balik badan. Matanya menatap Ariana yang
berdiri di belakangnya sekilas. Muka Juna tampak mengeras dengan mata sayu
kelelahan. Dia hanya menyunggingkan senyum sedikit, lalu membuang muka dan
berjalan cepat meninggalkan kerumunan di lobi. Arya masih sibuk menanggapi polisi
yang menanyainya.
Ariana seperti melihat sisi Juna yang lain.
Dia tak lagi melihat seorang pria yang mencium wanita di gang kemarin malam,
dia tak melihat wajah arogannya ketika memerintah. Kali ini, Juna seperti
seorang anak kecil yang baru saja ketahuan membeli es krim padahal dilarang
oleh orang tuanya. Apa yang sedang ia
pikirkan?
Ariana menoleh dan menatap bagian punggung
Juna yang berjalan menjauh. Juna berhenti di depan lift, kemudian dia
menghilang di dalam lift. Ariana menarik nafas. Apakah aku harus menyusulnya? Dia terlihat sangat tertekan dengan
kejadian malam ini.
Pikiran Ariana bergejolak. Sifat egoisnya
muncul. Ia mengingat kejadian beberapa hari ini. Juna yang mendekatinya, lalu
kejadian malam itu setelah ia memergoki Juna sedang bercumbu dengan seorang
wanita di klub malam. Dada Ariana sesak mengingat hal ini. Tetapi, malam ini
Juna membutuhkan dukungan. Ariana tahu, dia sangat tertekan malam ini.
Ariana memutuskan untuk menyusul Juna. Dia
berjalan cepat ke arah lift, menekan tombol angka 12, lalu masuk ke dalam lift.
Lift membuka di lantai 12, dia keluar, berjalan cepat menyusuri lorong, lalu
keluar melalui tangga darurat. Di ujung anak tangga, dia menyentuhkan tangannya
setelah memastikan tak ada siapa pun di sana. Sebuah sinar biru menandai
tangannya. Ia mengangkat tangan dan menyisakan bulatan yang mengeluarkan sinar
biru, hijau, dan merah. Mata Ariana mendekat dan ketiga sinar itu mendeteksi
retinanya.
AKSES DITERIMA.
Dinding di depannya terbuka. Ariana cepat
masuk ke dalam lift yang mengantarkannya ke lantai 13. Di depan pintu ruangan
lantai 13, Ariana meyakinkan dirinya sendiri apakah dia akan menemui Juna atau
tidak. Dia menarik nafas, lalu mendorong pintu di depannya.
Sepi. Ariana tak melihat siapa pun di sana.
Ariana berjalan ke ruang tengah dan barulah di sana dia melihat Juna sedang
berdiri di dalam ruangan merokok yang tertutup oleh kaca bening. Asap rokok
mengelilingi tubuhnya, di tangan kirinya memegang segelar bir dingin yang
menyisakan gelembung-gelembung kecil.
Ariana berjalan mendekat ke ruangan merokok.
Dia berdiri di depan pintu dan berharap Juna melihat.
Juna seperti menyadari kehadiran seseorang,
dia menoleh. Dia memberi isyarat kepada Ariana untuk masuk ke dalam ruangan
merokok.
Ariana mendorong pintu kaca di depannya.
Pintu terbuka dan bau menyengat rokok menyerbu masuk ke hidung Ariana,
menyesakkan bulu-bulu di sana. Ariana jadi teringat dengan suasana lorong di
klub malam di mana ia melihat Juna sedang mencium seorang wanita. Rasa sesak di
hidungnya tak bisa mengalahkan rasa sesak di dadanya waktu itu.
Ariana tak berkata apa-apa, menunggu Juna bereaksi. Tetapi atasannya itu pun diam.
Beberapa kali Juna menghisap dalam rokok di
tangannya, bergantian dengan tegukan bir. Setelah menegak habis bir, dia
menaruh gelas bir di kursi bar di sampingnya. Tetapi malangnya, gelas itu tak
berdiri dengan sempurna. Tubuh gelas oleng, berputar sebentar, lalu meluncur
cepat ke lantai sebelum Juna menyelamatkannya. Tubuhnya berderai, seperti kapal
Titanic yang menubruk gunung es di Samudera Atlantik. Tetapi Juna hanya
melihatnya, membiarkan kaca gelas itu menjadi kepingan-kepingan.
Tubuh Juna mendadak terguncang. Pria itu
terisak, mengeluarkan suara tangis kecil. Ariana tertegun saat melihat tubuh
Juna ambruk di lantai, menyatu dengan kepingan gelas.
Ariana cepat merengkuh tubuh itu, tetapi
tubuh Juna terlalu berat. Ariana bisa merasakan kerapuhan di tubuh itu. Dia
memeluknya erat sambil mencoba menenangkan Juna.
“Hei, tenanglah,” ucap Ariana perlahan.
“Aku yang salah. Aku yang salah dengan semua
ini. Harusnya aku tidak menerima tawaran Arya untuk memimpin Mata Rantai.
Seharusnya aku menolaknya. Aku tak becus memimpin perusahaan ini.”
“Siapa bilang?” tanya Ariana.
Juna menoleh ke arah Ariana. “Kamu tidak
melihat, semua orang kecewa dengan diriku. Orang-orang berdemo. Dilan
meninggal. Ronero bunuh diri. Itu semua salahku.”
“Tidak ada hubungannya semua ini dengan
dirimu, Juna. Kamu adalah orang yang tepat pilihan Tuan Mata untuk memimpin
Mata Rantai.”
“Kamu tidak tahu Ariana, kamu tidak tahu.
Beberapa malam ini, aku bermimpi hal yang sama. Aku bermimpi tentang keruntuhan
Mata Rantai. Semua orang meninggalkanku, termasuk kamu. Bukankah ini semua
terjadi. Semua orang meninggalkanku dan dan….”
“Syuuutttt….” Ariana menggeleng. “Aku selalu
percaya Tuan Mata memilih orang yang tepat untuk perusahaan ini, Juna. Meskipun
beberapa orang mengkhianatinya, namun aku selalu yakin bahwa dia tak akan
membiarkan Mata Rantai jatuh ke orang yang salah. Mengapa dia tak menyerahkan
Mata Rantai ke kedua anaknya? Bukan karena kedua anaknya tidak memiliki darah
mata. Aku yakin Tuan Mata tak sepicik itu. Namun karena dirimu. Mengapa dia
tidak membiarkan pemilihan dewan langsung untuk mencari pemimpin Mata Rantai? Itu
karena ia yakin dengan dirimu, Juna. Tuan Mata mempercayaimu. Dan apakah
setelah kepercayaan itu, setelah apa yang kamu lewati selama ini, setelah apa
yang kamu pelajari, kamu akan menyerah?” Ariana menatap hangat Juna. Ariana
menarik nafas.
Juna menggeleng. “Aku takut. Aku takut
mengecewakan semua orang.”
“Tak ada orang yang akan kamu kecewakan jika
kamu sudah berusaha sekuat tenaga melakukan yang terbaik.”
Ariana mengangkat tangannya, lalu menyentuh
pipi kiri Juna. Dia tersenyum kecil. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Juna.
Dan dia bisa merasakan deru nafas Juna yang memburu.
“Aku tak ingin mengecewakanmu, Ariana.
Kejadian malam itu…”
Tangan lembut Ariana beralih ke mulut Juna.
Dia menutupnya. Dia tak ingin mendengar penjelasan apa pun malam ini. Karena ia
tahu, ada hal yang lebih penting dari penjelasan itu. “I know.” Ariana mengangguk kecil dan tersenyum.
Dalam keremangan cahaya di ruangan merokok,
Ariana masih bisa memandang wajah Juna dengan sempurna. Dari semua bagian di
wajah Juna, wanita itu paling menyukai mata dan bibir Juna. Mata Juna adalah
bentuk sempurna ciptaan Tuhan. Mata itu kerap menenggelamkan hati Ariana. Mata
kebiruan yang dinaungi oleh bulu panjang nan lentik dan alis mata yang tebal
dan hampir menyatu. Kata orang, alis yang hampir menyatu adalah simbol
kegalakkan dan kejantanan seseorang lelaki.
Dan bibir Juna adalah bibir merah merekah
untuk ukuran seorang cowok. Dengan garis tebal berwarna merah itu, semua wanita
pasti ingin dicium lelaki pemiliknya. Ariana bisa melihat kelembutan bibir Juna
malam ini. Dia selalu membayangkan bahwa bibir itu sangat kenyal saat
berciuman, tipe bibir lelaki yang pintar bermain dan membuat melayang seorang
wanita.
Jika malam-malam sebelumnya Ariana hanya bisa
bermimpi untuk menciumnya, malam ini dia tak bermimpi lagi. Ariana memejamkan
mata, saat bibirnya perlahan bersentuhan dengan bibir Juna. Dan Ariana tak
pernah salah, bibir itu memang sangat menyenangkan saat berciuman.
# # #
Di waktu yang sama, di bumi Jakarta yang lain.
Aryo Penangsang menjejakkan kaki di rumahnya.
Mesin mobil baru saja mati dan perlahan ia berjalan menuju pintu. Ia tak ingin
membuat keributan dan membangunkan orang-orang di rumah. Untung saja dia sudah
memiliki duplikat kunci rumahnya. Ia berhenti di depan pintu, mencoba mencari-cari
kunci di tas kecilnya dengan menggunakan senter dari lampu ponsel. Ia tergagap
saat ponsel itu mendadak bergetar dan nomer tak dikenal berkedip-kedip.
Siapa
yang malam-malam seperti ini menghubungiku?
Stafnya di Unit Pengelola (UP) Kawasan Monas
tak mungkin menghubunginya selarut ini jika tidak ada hal yang penting seperti dua
minggu lalu. Dua minggu lalu, tepatnya malam hari pukul dua belas, Penangsang
baru saja mematikan laptopnya dan beranjak tidur. Istrinya sudah terlelap. Ponselnya
bergetar dan nama salah satu stafnya ada di sana. Penangsang buru-buru
mengangkatnya karena ia tahu pasti ada hal yang cukup penting sehingga anak
buahnya itu menghubunginya.
“Ada apa?” suara Penangsang terdengar berat
karena rasa serak lehernya. Padahal dia sudah menelan FG Troches sepanjang
hari. Dia menjauh dari tempat tidur agar tidak mengganggu istrinya.
Suara anak buahnya terdengar kaku dan
terbata. “Maaf mengganggu malam-malam Pak. Ta tapi, ada hal penting yang harus
saya katakan segera.”
“Segera katakan. Kamu terdengar gugup. Aku
tak ingin mendengarmu bilang kamu kencing di celana.” Pria setengah baya
bertubuh tambun dengan perut buncit itu terkekeh.
Suara hening. Si penelepon seperti mengatur
nafas. “Saya kebetulan sedang bertugas malam ini, Pak. Dan saya menemukan hal
yang aneh di dekat peta kepulauan NKRI.”
“Hal aneh? Jangan membuatku bingung. Ada
apa?”
“Suara berderak dari kursi di dekat diorama
itu, Pak. Kursi bergeser sendiri. Awalnya saya mengira hal itu biasa saja.
Namun, malam ini saya benar-benar melihatnya.”
“Melihat apa?”
“Seorang anak kecil. Sedang duduk di sana.
Dan dia tiba-tiba menghilang.”
Malam itu, hujan mengguyur Jakarta. Suara si
penelepon berlompatan di antara derasnya air hujan dan petir. Penangsang masih
meragukan ucapan si penelopon. Maka dia hanya bisa menyarankan untuk tenang,
meskipun hatinya sendiri tidak tenang. Kasus pencurian benda-benda di
Museum-museum menjadi momok tersendiri untuk para pemimpin museum, termasuk
dirinya. Sebagai penanggung jawab UP Kawasan Monas dia bertanggung jawab
sepenuhnya untuk semua bagian di kawasan itu, termasuk menjaga aset-asetnya. Sebenarnya
hal yang paling sulit baginya dalam mengelola kawasan itu adalah berhadapan
dengan preman-preman PKL di sana. Untungnya, program penataan ulang dari
pemerintah provinsi Jakarta sangat membantunya. Gubernur sangat konsen dengan
penataan itu. Jadi masalah itu bisa terselesaikan segera. Kawasan Monas ditata
dengan sangat apik dan menjadi magnet tersendiri sekarang. Masalah pencurian
aset-aset juga menjadi perhatian khusus. Dibentuk tim gabungan untuk menjaga
museum-museum di Jakarta, termasuk di Monas.
Tetapi malam itu, anak buah Penangsang seolah
mendobrak kewarasannya. Dia bercerita bahwa beberapa malam ini, stafnya itu
seperti diganggu oleh suara anak-anak kecil yang berseliweran di Monas. Awalnya
dia mengira bahwa hal itu biasa. Dia pernah mendengar bahwa di setiap
gedung-gedung di dunia ini, selalu ada ‘penunggu’nya. Ada yang menampakkan diri
terang-terangan, ada juga yang hanya samar. Jadi ia pikir, itu biasa saja. Puncaknya
adalah ketika malam itu stafnya bilang bahwa kursi-kursi bergeser sendiri dan ia
melihat seorang anak kecil duduk di satu kursi.
Penangsang tak bisa berbuat apa-apa kecuali
menghubungi seorang yang ia kenal di Mata Rantai, Arya. Teman kuliahnya itu,
akhirnya mengutus seorang anak buah untuk menangani kasus itu. Dan selesai,
anak kecil itu tak muncul lagi di hari berikutnya. Kredibilitas Mata Rantai
untuk menangani kasus-kasus gaib memang tak diragukan.
Dua hari setelahnya, seseorang menghubunginya
kembali. Seorang yang tak ia kenal dan mengaku bahwa ia adalah salah satu Chief
di Mata Rantai. Dia meminta untuk bertemu, dan Penangsang pun setuju karena ia
pikir hal ini berkaitan dengan kasus anak kecil di Monas.
Orang itu menawarkan hal yang sangat
menggiurkan buatnya. Namun, dia bilang bahwa dia tidak boleh bilang kepada
siapa pun, termasuk Arya.
“Dua Ratus Lima Puluh Juta akan saya berikan
segera jika Bapak memperbolehkan saya untuk menggunakan ruangan paling atas di
Monas. Satu malam saja. Nanti, di malam detik kabisat. Hanya satu malam. Tak
ada yang tahu kecuali saya dan Bapak.”
Dan Penangsang tak segera memberikan jawaban.
Ada semacam hal yang bergejolak di hatinya. Tentang kredibilitasnya sebagai
pengelola UP Kawasan Monas, tentang kondisi keuangannya di rumah: anak
pertamanya baru saja masuk Fakultas Kedokteran, anak keduanya yang sedang
menempuh pendidikan di sekolah internasional di Jakarta, dan beberapa cicilan
mobil dan rumah. Semuanya berkecamuk di dada. Tetapi malam itu, dia tidak
menerima tawaran orang itu.
Orang itu hanya bilang bahwa jika dia berubah
pikiran dia bisa menghubunginya segera. Dan selama beberapa hari ini, dia terus
memikirkan tawaran itu.
Dia
bisa menerimanya dan hanya dia sendiri yang tahu. Tak ada yang tahu, stafnya,
istrinya, tak ada yang bakal ikut campur. Hanya dirinya. Dia hanya mengijinkan
orang itu satu malam, apa susahnya? Orang itu bilang bahwa ia tak menggunakan
ruangan itu hal-hal yang merusak. Jadi apa salahnya mengijinkannya?
Penangsang mengangkat teleponnya. Suara
beratnya menyapa peneleponnya.
“Halo Penangsang, sudah tidur?” Suaranya
sangat Penangsang kenal. Salah satu petinggi di provinsi ini.
“Oh, belum Pak. Mengapa menghubungi saya
malam-malam seperti ini? Ada yang bisa saya bantu.”
“Oh tentu saja.” Suara penelepon tampak
bersemangat. “Apakah saya bisa berbicara sebentar saja denganmu saat ini.
Namun, saya ingin memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar percakapan
ini. Termasuk istrimu.”
“Saya sedang sendiri.”
“Di mana kamu?”
“Di depan rumah. Saya baru saja pulang.”
“Oh, kamu pekerja yang teladan rupanya.
Pantas Pak Gubernur begitu bangga padamu dalam mengelola kawasan Monas.”
“Terima kasih pujiannya, Pak.”
“Baiklah, saya tak ingin berlama-lama.”
Peneleponnya itu menghela nafas. “Apakah beberapa hari lalu kamu bertemu dengan
seseorang dari Mata Rantai?”
Deg. Dia
tahu.
“Tenang saja, aku tak akan mengatakan kepada
siapa pun, Penangsang.” Orang itu terkekeh kecil. “Saya justru ingin
memperintahkan kepadamu.”
Jantung
Penangsang mendadak berdegup kencang. Keringat dingin keluar perlahan di tengah
dinginnya malam ini.
“Kamu sebaiknya menerima tawaran dia. Ini
bukan sebuah tawaran dari saya. Tapi ini perintah. Saya bisa saja melaporkan
hal ini kepada pihak penyidik. Namun, saya tidak mungkin sepicik itu padamu.
Yang saya perintahkan, kamu terima tawaran orang itu. Tidak akan membahayakan
untuk siapa pun. Kamu hanya perlu memberikan akses kepadanya satu malam dan
memastikan semua pengaman di Monas tidak akan mengganggunya. Itu saja. Dan kita
berdua aman, Penangsang.”
Penangsang menelan ludah, tak bisa berkata
apa-apa.
“Dia menawarkan uang berapa? Dua ratus lima
puluh juta?” Penelepon terkekeh. “Dia kemarin mengatakan kepada saya bahwa dia
akan menambahkan uangnya. Lima ratus juga, untuk kamu saja. Saya tak akan
meminta.”
Pikiran Penangsang berkelana. Uang sekolah
anaknya, cicilan, dan sederet hal lain seperti rayuan manja yang mendayu-dayu.
“Bagaimana?” tanya penelepon itu.
“Apa yang harus saya lakukan.”
“Kamu hanya perlu menelepon Alexa Crain
sekarang dan bilang bahwa kamu akan membantunya. Itu saja.”
# # #
[baca kelanjutannya di sini]
Halooo, Kak! Mau jadi bagian tim jelajah Kalimantan GRATIS? Ikuti lomba blog "Terios 7 Wonders, Borneo Wild Adventure" di sini http://bit.ly/terios7wonders2015 #Terios7Wonders
ReplyDeleteJangan sampai ketinggalan, ya!