BAB 22
Keesokan
harinya.
Juna terbangun dengan badan letih dan penat. Dia
menaikkan selimutnya hingga menutupi semua tubuhnya sampai ke leher. Keadaan
kamarnya masih temaram, padahal ia tak tahu saja di luar sudah terang
benderang. Tadi dia sudah memberikan pesan kepada Ariana bahwa hari ini dia
sedang tidak enak badan dan membutuhkan waktu untuk istirahat. Dia juga sudah
menelepon Arya, meminta penjelasan tentang kasus Ronero dan Dilan. Dan meminta
Arya untuk segera mengusutnya sampai tuntas.
Hari
ini lebih baik aku menangkan diri terlebih dulu.
Juna menghembuskan nafas melalui mulut. Uap
dingin dari mulutnya mengenai kaca dan membuat kaca itu mendadak buram. Juna
menggerakkan tangannya untuk menghapus buram itu. Wajahnya terlihat kembali.
Saat tangannya menyentuh kaca tadi, dia menyadari bahwa ada sesuatu yang
janggal dengan kaca itu.
Juna menempelkan jari telunjuknya sekali
lagi, lalu menekannya. Jarinya tampak tidak menempel dengan bayangan di cermin
itu.
Kaca
dua arah? Tanya Juna dalam hati.
Pasti
ada di sini. Juna memeriksa keadaan cermin itu dan
berharap menemukan sesuatu yang dapat ia tekan atau tombol, atau apa pun.
Tetapi tidak ada.
Di mana
kamu?
Dia berpikir cepat. Lalu ia teringat dengan
semua akses kunci di Mata Rantai. Semuanya menggunakan sinar laser. Berarti
jika tidak menggunakan retina mata, maka menggunakan telapak tangan.
Juna menempelkan tangannya. Tidak ada reaksi
apa-apa. Juna memindah-mindahkan tangannya. Terdengar bunyi ‘tit’. Juna
menemukan posisi kunci. Dia menekan tangannya. Sinar laser mengelilingi telapak
tangannya. Dia menarik tangan itu, dan meninggalkan bekas berupa lubang kecil.
Dia tahu apa yang harus ia lakukan.
Mata
Juna mendekat ke arah lubang itu. Sinar memindai retinanya.
AKSES DI TERIMA.
Cermin itu membelah menjadi dua. Di baliknya
ada ruangan luas tersembunyi yang penuh dengan buku-buku yang tertata rapi di
rak. Dan ruangan ini, seperti ruangan membaca. Lampu terang benderang menyala
saat Juna menjejakkan kakinya di dalam ruangan.
Juna masuk dan meneliti satu persatu benda
yang ada di sana.
Tidak
ada yang tahu tentang keberadaan ruangan ini. Bahkan Dilan pun tidak, karena ia
tak memberitahuku. Apa yang sebenarnya disembunyikan Tuan Mata di sini?
Ruangan itu memang ruang baca. Ada kursi
goyang warna cokelat di tengah ruang. Rak-rak buku tertempel di semua sisi dinding.
Sebagian besar buku di sana adalah buku tentang
teknologi, alam gaib, bisnis. Juna juga tak menyangka bahwa ketertarikan Tuan
Mata pada teknologi sangatlah besar. Pantas saja, gedung Mata Rantai di bangun
dengan penuh teknologi.
Tuan
Mata ternyata gemar membaca.
Juna juga menemukan buku silsilah keluarga di
sana. Dan dia menelitinya. Semuanya mirip seperti apa yang diceritakan oleh
Arya. Yang berbeda hanyalah ada garis putus di bawah silsilah Tuan Mata dan kotak
kosong. Di sisi kanan kotak itu ada nama Andre dan Andra, kedua nama anak Tuan Mata.
Apakah kotak
kosong itu untukku? Tanya Juna pada dirinya
sendiri.
Juna tak ingin terlalu berkutat pada
silsilah. Maka dia meneliti satu persatu buku yang ada di sana. Kebanyakan
teknologi, komputer, dan yang paling mengejutkan adalah denah gedung Mata
Rantai. Di denah itu dijelaskan ruangan-ruangan khusus tersembunyi di gedung
ini.
Juna tersenyum kecil. Dia seperti beruntung
menemukan ruang baca ini. Dia jadi teringat dengan ruangannya di Digiforyou
yang penuh dengan buku bacaan. Dan ternyata minatnya pada buku menurun dari Tuan
Mata. Dan anehnya lagi, dia juga tertarik pada teknologi.
Mendadak dia rindu dengan ruangannya. Mungkin
besok dia bisa pergi sebentar ke sana. Namun yang lebih penting, hari ini dia
akan menghabiskan waktu di ruang baca itu.
# # #
Sehari
setelah pembunuhan di Mata Rantai.
Puluhan kilometer dari Mata Rantai, Fernando
merapikan kertas yang berserakan di meja kerjanya. Jam sudah hampir menunjuk
angka tujuh dan karyawan Digiforyou tidak ada yang tersisa. Biasanya tim
kreatif yang akan berdiam lama di kantor. Namun, proyek sudah selesai dan
mereka sedang mempersiapkan proyek baru untuk perusahaan otomotif di Indonesia.
Jadi, Fernando memberikan waktu istirahat kepada semua karyawan sebelum proyek
selanjutnya. Setelah ditinggal oleh Juna, dia yang bertanggung jawab penuh
terhadap kelangsungan Digiforyou. Dan kepercayaan itu tidak ingin ia
sia-siakan.
Fernando melirik ruangan Juna yang beberapa
bulan ini tertutup rapat-rapat. Biasanya malam-malam seperti ini jika sedang
lembur, Juna akan keluar dari ruangannya sambil membawa stik PS dan menantang
anak-anak yang lain. Atau dia akan mengajak mengobrol santai di balkon kantor
sambil merokok. Di penghujung malam, jika waktu sedang senggang, dia akan
diajak Juna untuk pergi ke klub, atau sekedar mengobrol di kafe di Kemang.
Fernando memandang pintu ruang Juna. Dan
berharap bosnya itu akan keluar. Dia menghela nafas kecil.
Astaga,
aku merindukan bosku itu.
Fernando mengambil kertas terakhirnya dan
meletakkannya di laci. Sudah hampir pukul setengah delapan. Dia sedang tidak
ada janji dengan siapa pun. Jadi lebih baik dia segera pulang dan bertemu
dengan jagoannya di rumah.
Terdengar langkah kaki mendekat. Fernando
menghentikan langkahnya.
Masih
ada orang di kantor? Pikir Fernando. Dia mendongak,
memandang pintu ruangannya yang berseberangan dengan ruangan Juna. Matanya
bertumbuk pada sesosok pria yang sangat ia kenal. Hampir saja ia tersedak
melihat sosok itu. Pria itu mengenakan T-Shirt warna hitam dibalut blasser blue black. Sepatunya tampak mengkilap
di tengah temaram cahaya ruangan. Pria yang tampak berbeda dengan penampilan
terakhir ketika ia temui beberapa bulan lalu.
“Tentu aku tidak pernah salah menitipkan
perusahaan ini padamu, Brader?” Pria itu terkekeh panjang.
“Aku tidak akan pernah mengecewakan panutanku
selama ini.” Fernando berdiri mendekat ke pria itu sambil tersenyum lebar.
“Kuharap kamu sedang tidak lembur malam ini.”
“Bagaimana aku bisa menolak perintah atasan?”
Fernando terkekeh. “Astaga Juna, sudah lama aku tidak melihatmu.” Fernando
menghambur ke arah pria di depannya, lalu memeluknya erat sebagai seorang
sahabat.
# # #
Di sinilah mereka kini, sebuah Kedai Kopi di
salah satu ruko di Mall of Indonesia : Coffee Tree. Tempat ini adalah salah
satu kedai kopi favorit Juna dan Fernando di Jakarta Utara. Dengan konsep
bangunan dua lantai. Coffee Tree menyediakan tempat dengan kesederhanaannya.
Pengunjung bebas untuk memilih kopi yang tersedia di toples-toples besar di
sebelah pintu masuk dan menyaksikan pemilik kedai yang dengan senyum membuat
kopi.
Berbeda dengan kedai kopi yang memiliki
peramu kopi, di Coffee Tree peramu kopi adalah pemiliknya sendiri. Dia ditemani
oleh karyawannya—yang semuanya cewek—dengan pakaian hijau mencreng dan sangat
ramah.
Tempat favorit Juna dan Fernando adalah
lantai 2, tempatnya di meja panjang kayu jati cokelat yang terletak di bagian
luar ruangan (tempat para perokok menikmati asap mereka). Ruangan ini tanpa AC.
Udara dingin tersembur dari 3 kipas besar yang berputar di atas kepala.
Namun kali ini, Juna memilih untuk duduk di dalam
dan menempati sofa panjang berwarna kuning.
“Tumben tidak di luar?” tanya Fernando.
“Sudah lama aku tak merokok,” jawab Juna.
Fernando terkesiap sebentar, lalu mengikuti
Juna yang sudah mengambil tempat duduk.
Pelayan datang membawa menu. Juna seperti
biasa memesan kopi Papua Nugini tanpa gula, sementara Fernando secangkir
toraja. Untuk cemilan mereka berdua kompak memesan pisang dan singkong goreng
andalan kedai ini.
Sejak bertemu dengan Juna malam ini, Fernando
menemukan Juna versi yang lain. Tidak ada lagi canda tawa dan guyonan seperti
dulu, mata Juna tampak letih dan berkantung, dia jadi lebih wangi dan sangat
rapi. Yang tidak berubah dari dia adalah semangatnya untuk bercerita. Sepanjang
perjalanan ke Coffee Tree, Juna bercerita tentang hal yang ia tutupi selama
ini. Kisah yang tentu saja sangat membuat Fernando terkejut.
Beberapa kali Fernando tampak mengerutkan
kening, mata terbelalak dan memicing tak percaya.
Dia
memimpin perusahaan supranatural warisan ayah kandungnya?
Belum lagi, kisah-kisah gaib yang Juna
ceritakan sepanjang perjalanan. Dari serangkaian cerita itu, Fernando seperti
melihat seorang Juna yang mendadak menjadi sangat tertekan dan depresi. Ia
paham, memimpin perusahaan yang sangat besar dengan puluhan ribu karyawan
tidaklah mudah. Dari serangkaian masalah di perusahaan, masalah tentang Human
adalah yang paling pelik. Ia juga mengerti bagaimana rasanya memimpin
orang-orang yang notabene sudah berpengalaman puluhan tahun di bidang itu.
Sebagai orang baru, Juna pasti harus menekan ego untuk terus menerus belajar. Dan
Fernando yakin, Juna akan melakukan itu.
Namun melihat kantung mata yang menghitam,
tubuhnya yang sedikit mengurus, Fernando yakin bahwa ada seseuatu hal besar
yang sedang ia hadapi. Dan malam ini, atasannya itu pasti sedang membutuhkan
penopang semangat.
“Aku merindukan tempat ini, Fernando.” Juna
melihat sekeliling. “Namun, seperti yang sudah aku katakan padamu, aku tak bisa
sebebas dulu. Apalagi aku sekarang bisa melihat makhluk-makhluk lain yang
berseliweran secara samar-samar. Seperti di sana…” Juna menunjuk satu tempat di
pojokan. Fernando mengikuti telunjuk Juna. “Ada seseorang yang berdiri di sana.
Tinggi besar. Dia sih diam saja, namun aku merasakan kehadirannya.”
Fernando bergidik. “Seseorang?”
“Ah, sudahlah. Lupakan. Semakin aku
menceritakannya, semakin tidak masuk akal.” Juna melirik makhluk astral yang
terus melihatnya kini. Bulu kuduknya meregang. Dia kembali melihat Fernando. “Jadi,
bagaimana kabarmu dan perusahaan kita.”
Fernando melupakan rasa penasaran tentang
makhluk yang diceritakan oleh Juna. “Aku baik. Perusahaan kita juga baik. Kita
baru saja menyelesaikan proyek dengan perusahaan telekomunikasi dan sekarang
bersiap untuk kerjasama dengan perusahaan otomotif. Kita merindukanmu, Jun.
Kita butuh kamu ada.”
“Aku pun merindukan kalian. Tapi….” Dia
mengingat semua hal tentang Mata Rantai dengan cepat. “Mata Rantai kini sedang
membutuhkanku. Meskipun ini sangat berat. Aku tak pernah sedepresi ini.” Dia
terkekeh kecil mengingat apa yang sudah ia rasakan beberapa bulan terakhir. Matanya
tampak berkaca-kaca. “Aku ingin menyerah begitu saja, meninggalkan Mata Rantai
dan kembali ke kehidupan normalku. Namun, ada seseorang yang bilang bahwa Tuan
Mata—ayahku—sangat mempercayaiku. Dia menyerahkan tonggak kepemimpinannya
kepadaku karena dia percaya. Dan apakah aku pantas mengkhianatinya? Namun,
dengan kasus-kasus yang menimpaku beberapa bulan ini, rasa-rasanya aku ingin
menyerah. Aku tak sanggup. Aku merasa gagal memimpin Mata Rantai.”
“Aku belum pernah mendengar seorang Juna
Januardo mengatakan hal itu. Juna yang kukenal tak pernah akan bilang bahwa dia
menyerah. Mungkin dia lupa dengan filosofi awal ketika dia mendirikan
perusahaan Digital Digiforyou yang sekarang sudah besar. Kesuksesan adalah tumpukan
ide yang belum berfungsi baik dan terus disempurnakan. Seperti apa yang telah
dikatakan oleh Thomas Alva Edison, dia tidak pernah merasa gagal selama
hidupnya, dia hanya berpikir bahwa 10.000 cara yang selama ini sudah
dilakukannya belum berfungsi/bekerja dengan baik. Sehingga dia selalu berusaha
memperbaikinya.” Fernando menatap Juna dengan serius. “Bukankah itu yang selalu
kamu katakan dulu?”
Ucapan panjang Fernando seperti hantaman
keras di ulu hati Juna, menyakitkan. Juna seperti tersiram oleh sebaskom air
dingin yang ditambah bongkah es. Terkadang kita memang harus disadarkan oleh
orang lain untuk segala hal yang kita anggap benar, dan orang lain menganggap
salah. Agar kita berpikir ulang tentang hal itu.
Di awal-awal mendirikan Digiforyou dulu, Juna
dan Fernando adalah dua orang gila yang tak pernah menyerah menyusun konsep,
menawarkannya kepada semua perusahaan, membuat ide-ide, dan ikutan pitching. Sebagai
konsultan baru di dunia digital, beberapa perusahaan belum ada yang mempercayainya.
Fernando hampir saja menyerah setelah dua tahun mereka menjalankan perusahaan
dan belum ada bintang keberuntungan yang menghampiri mereka. Namun, Juna selalu
menyemangati Fernando dan memberikan suntikan motivasi setiap hari. Prinsip
yang ia pegang sama dengan apa yang Thomas Alva Edison utarakan.
Kesuksesan
hanyalah tumpukan ide-ide yang belum berfungsi baik dan terus menerus
diperbaiki. Dan berkat prinsip itulah, kini
Digiforyou menjadi salah satu Konsultan Digital yang diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan
besar. Kliennya tidak hanya perusahaan nasional, badan negara, namun juga
perusahaan multinasional.
“Aku sangat yakin, kamu bisa melakukannya.”
“Aku hanya takut orang terlalu berekspektasi
terlalu jauh kepadaku. Aku takut mengecewakan mereka.”
“Lihat dirimu.” Fernando menuding Juna dengan
telunjukmu. “Lulusan Stanford University, memiliki perusahan konsultan Digital terkemuka di
Indonesia, cerdas, tampan. Perlu apa lagi yang aku sebutkan untuk
menyadarkanmu.”
Juna tersenyum simpul. Seolah ia mengejek apa
yang Fernando utarakan. Itu tidak cukup,
Fernando.
“Aku sangat bangga denganmu, Juna. Sebagai
sahabat, sebagai rekan kerja. Dan aku rasa, tidak akan ada orang yang kecewa
denganmu jika kamu sudah melakukan yang terbaik.”
Juna jadi teringat dengan ucapan Ariana
kemarin. Perkataan Fernando barusan benar-benar mirip dengan apa yang Ariana
katakan.
Tak ada
orang yang akan kamu kecewakan jika kamu sudah berusaha sekuat tenaga melakukan
yang terbaik.
Senyum mengembang di wajah Juna. “Terima
kasih sudah mengingatkanku, Fernando.”
“Semua orang pasti pernah berbuat khilaf.
Termasuk merokok, right?”
Juna mendadak tertawa. “Kamu tidak tahan
untuk tidak merokok saat mengobrol seperti ini.”
“Seperti yang selalu kita lakukan dulu,
Brader.”
“Oh, sudah lama aku tidak melakukannya.”
“Siapa yang membuatmu seperti sekarang?
Wanita mana?”
“Apa maksudmu?”
“Aku sudah mengenalmu cukup lama, Juna. Apa
yang ingin kamu sembunyikan terutama untuk urusan wanita. Apalagi yang bisa
mengubah seorang Juna Januardo si Playboy Kampus yang gemar minum, merokok,
clubbing selain seorang wanita baik-baik? Lihat dirimu sekarang. Tampilan necis
dan tidak ada bau rokok di tubuh.” Fernando memicingkan matanya.
“Kamu memang sahabat yang terbaik, Fernando.”
“As
always. Cepat ceritakan padaku.”
“Tidak malam ini, Brader. Aku harus kembali
ke Mata Rantai, besok ada meeting besar di kantor.”
“Oh, Come On.”
“Aku janji padamu, akan aku ceritakan padamu
nanti. Lagian, sekarang dia bukan siapa-siapaku.”
“Bukan siapa-siapa?”
“Kita belum pacaran. Maksudku aku dan wanita
itu.”
“Seorang Juna sekarang takut mengutarakan
cinta.”
“Bukan seperti itu. Dia berbeda.”
“Oh, aku semakin ingin mendengar ceritamu dan
melihat wanita baik-baik itu.”
“Sial.” Juna menonjok lengan Fernando. Dia
tersenyum lebar. Malam ini, rasanya beban berat di tubuhnya menguap seperti
sebotol alkohol yang tumpah di lantai.
“Apakah dia tipe orang yang tertutup? Atau
dia adalah orang yang gemar ke salon? Atau…”
Juna cepat memotong. “Tidak. Ariana tidak
seperti itu.”
“Oh, jadi namanya Ariana?”
“Sial, aku memang tak pernah bisa
merahasiakan apa pun darimu kampret.”
# # #
Mobil Juna melaju di jalan utama Senen,
Jakarta Utara. Juna duduk di kursi penumpang, sementara Gordon ada di belakang
kemudi.
Bertemu dengan Fernando malam ini seperti
suntikan bertonton multivitamin. Juna merasa terlahir kembali.
Ternyata
masih banyak orang yang mempercayaiku, menyayangiku. Fernando, Arya,
asisten-asistennya, dan tentu saja Ariana. Apakah aku pantas mengkhianati
mereka?
Mungkin Juna bisa bunuh diri jika tidak ada orang-orang
seperti mereka.
Juna merapatkan blessernya.
“Kedinginan, Tuan?” tanya Gordon. “Apakah
saya perlu mengecilkan AC-nya?”
Juna menoleh. Sejak meninggalkan daerah Mall
of Indonesia, Juna belum mengajak bicara Gordon. Pria bertubuh besar dan
bermuka sangar itu memang tidak terlalu banyak cakap juga. Dan Juna merasa
bersalah karena telah mengembara dalam pikirannya sendiri.
“Oh, tidak, Gordon. Aku hanya merasa sedang
menyesuaikan diri dengan kemampuan melihat makhluk-makhluk aneh.”
Gordon tak menimpali ucapan Juna. Dia
konsentrasi dengan jalanan Jakarta yang masih ramai.
Namun ucapan Juna, tidak sepenuhnya bohong.
Dia memang sedang menyesuaikan diri. Pasalnya, sejak di Coffee Tree, ada
makhluk yang terus menerus mengikutinya. Makhluk itu seolah ingin berbicara
dengannya. Dia berdiri tak jauh. Selama Juna dan Fernando asyik mengobrol,
makhluk itu tetap ada di tempatnya. Berdiri tegak dengan tangan bersidekap di
depan dada. Dan saat mobil Juna melaju di jalanan Jakarta, ia melihat makhuk
itu beberapa kali di tepian jalanan. Tetapi bagi Juna, itu adalah hal biasa
mengingat sekarang ini ia memiliki kemampuan untuk melihat makhluk astral.
“Gordon, apakah kamu ada CD atau apapun yang
bisa didengarkan?” tanya Juna memecah keheningan.
“Ada di dashboard, Tuan,” jawab Gordon. “Ah,
tapi…”
Terlambat, Juna sudah membuka dashboard dan
menemukan tiga CD bersampul personel wanita-wanita cantik korea.
Girl’s
Generation. Oh!. Love & Peace.
“Seharusnya Tuan tidak melihatnya.” Tampang
Gordon tampak kecewa.
Juna tertawa. “Haha. Tidak ada salahnya aku
mendengar, kan? Apa yang bagus?” tanya Juna.
“Tuan benar-benar ingin melihatnya?”
“Ya, daripada berdiam diri sepanjang
perjalanan. Aku ingin melihatmu menyanyi. Jadi, lagu apa yang bagus?”
“Ada single baru yang bagus dari mereka.
Judulnya PARTY.” Gordon merogoh ponselnya. Dengan sigap dia menyalakan
bluetooth ponsel agar tersambung dengan speaker mobil.
“Baiklah. Lets PARTY Gordooon.” Juna
berteriak, melepaskan semua beban di pikirannya. Ia tak ingin memikirkan apapun
saat ini. Termasuk makhluk aneh yang terus menguntitnya sepanjang perjalanan.
“PARTYYYYY….” Teriak Gordon. Dan Gordon pun
bernanyi sambil bergoyang. Juna terbahak melihat asistennya itu bergoyang
dengan tubuh kekarnya.
# # #
Juna menyusuri lorong Mata Rantai. Waktu
hampir tengah malam. Ia tak pernah semerinding ini melewati lorong-lorong sepi
di sana. Setelah kasus Ronero—yang sampai saat ini masih diselediki motifnya,
Mata Rantai menjadi semakin mencekam. Juna mempercepat langkah kakinya. Untung
menghilangkan pikirannya yang aneh-aneh, dia berdendang lirih lagu PARTY yang
mendadak jadi bersemayam di otaknya.
Ini
gara-gara Gordon, pikir Juna sambil tersenyum
kecil.
Juna masuk ke satu-satunya ruangan di lantai
2 yang masih terang benderang : Departemen Teknologi. Juna mendekatkan kedua
matanya di mesin pendeteksi. Setelah akses diterima, dia mendorong pintu di
depannya. Dia disambut oleh nyala lampu terang, suara musik korea yang tak ia
mengerti, dan suara jeritan khas orang main games dari dua orang yang sangat ia
kenal.
Juna melangkah kaki ke meja Dodo dan Dede,
dan ia memang mendapatkan dua asistennya itu sedang bertarung di depan
komputernya masing-masing.
“Apakah kalian tidak mendengar instruksiku
untuk mereduksi setiap pemborosan di kantor ini. Termasuk salah satunya adalah
listrik,” ujar Juna sok kalah. Padahal dia ingin tertawa saat mengatakannya.
Dodo dan Dede sontak menoleh dan langsung
melompat dari tempat duduk saat mereka menyadari ada Juna di belakang mereka.
“Oh, maaf Bos. Kami belum pulang karena sedang
menunggu rendering program. Kodenya cukup banyak jadi…” ucap Dodo salah
tingkah.
Dede menyembunyikan stik gamesnya di
belakang.
Juna melotot ke kedua asistennya. Belum
sempat mereka memberikan sanggahan, Juna langsung duduk di kursi yang tadi
diduduki Dodo.
“Siapa yang lebih jago dari saya?” tanya
Juna.
Dodo dan Dede langsung melengos lega. Mereka
menghembuskan nafas karena Juna tidak marah kepada mereka berdua.
“Kukira kamu marah, Bos,” komentar Dede dan
langsung duduk di samping Juna.
“Marah jika di sini tidak ada minuman dan
makanan selama kita bertanding,” ucap Juna sambil mengotak-atik stiknya. PES
2015 dengan grafis yang paling bagus dari seri-seri sebelumnya langsung
terpampang di layar Mac besar di depannya.
Dede menatap Dodo. “Langsung keluarkan
amunisimu dari kulkas untuk bos kita, Do.”
“Bereslah,” Dodo melompat dari kursi dan
langsung melesat.
Sejam kemudian mereka bertiga sudah adu lomba
permainan sepakbola. Sesekali mereka berteriak jika ada yang gol. Di antara
mereka bertiga, Dodo yang sedikit paling cupu.
Waktu hampir jam dua pagi saat Juna melirik
jam tangannya dan menyadari bahwa dia belum juga tidur. Dan dia tentu saja
melupakan tujuan utamanya mendatangi dua asistennya itu.
Akhirnya Juna mengakhiri permainan meski pun
dia kalah dengan Dede. Dia langsung melihat ke sekeliling, seperti mencari
sesuatu. Dan dia memang menemukannya. Dia melihat sosok makhluk yang sejak tadi
menguntitnya sedang berdiri tegang di pojok ruangan.
“Do, apakah alat Pelacak Hantumu sudah kamu
sempurnakan?” tanya Juna.
Dodo melihat bosnya sambil merasa bersalah.
“Nah itu, Bos.” Dia melirik Dede. Dede memberi isyarat mengiyakan. “Saya
kehilangan master aplikasinya. Sudah sejak pagi saya mencari di beberapa
komputer, namun belum ketemu.”
“Mengapa bisa hilang?” tanya Juna.
“Entahlah, mungkin saya lupa meletakkannya.
Tapi tenang saja, versi sebelumnya masih ada di tablet. Ada apa memangnya?”
“Dede, apakah bisa siapkan baskom, kertas,
dan pensil gaib seperti biasa?”
Dodo dan Dede saling memandang. Mereka berdua
menyadari apa yang sedang bos mereka perintahkan.
“Ada apa, Bos?” tanya Dede.
Juna berdiri, lalu memandang ke makhluk yang
sedang menatapnya. “Lakukan saja. Aku hanya ingin mengetahui motif makhluk yang
berdiri di pojokan itu. Sejak tadi dia mengikutiku.”
Dodo dan Dede saling pandang, lalu mereka
mengikuti arah telunjuk Juna.
Tak lama, peralatan sudah siap. Di atas meja
sudah ada baskom berisi air, kertas, dan pensil. Cara tradisional itu adalah
salah satu yang diwariskan Tuan Mata untuk berkomunikasi dengan makhluk-makhluk
astral.
Dodo sudah siap dengan tabletnya. Aplikasi
Pelacak Hantu telah menyala dan sinyalnya yang kuat segera mendeteksi
keberadaan makhluk itu. Warna titik merah menyala berkedip-kedip.
Juna, Dodo, dan Dede segera duduk melingkari
meja.
“Saya hanya ingin bertanya cepat. Saya belum
ingin pergi ke dunia mereka. Jadi ini adalah cara yang tepat. Mari kita
lakukan.” Juna mengangguk kepada Dodo dan Dede.
Lampu dimatikan.
Juna menarik nafas, lalu dia bertanya pelan.
“Siapa kamu?”
Pensil bergerak menulis di atas kertas.
Setelah terhenti, Dodo mengambil kertas itu lalu memasukkannya ke dalam baskom
berisi air yang telah didoakan.
“Roger.”
Hening. Pensil bergerak lagi.
“Saya
teman Andika.”
Andika? Juna memandang Dodo dan Dede
bergantian.
“Andika? Bagaimana kamu mengenalnya?”
“Kami
bersahabat sejak kuliah.”
“Apakah kamu marah karena kemarin kami
mengusirnya?”
“Tidak. Justru kami ingin meminta tolong.”
“Apa yang kalian inginkan. Kuharap kalian
tidak mengganggu Ben Lenwa dan keluarganya lagi.”
“Tidak, kami tak bermaksud seperti itu.”
“Apa yang bisa kami tolong.”
“Kami semua terperangkap.”
Mendadak angin berhembus kencang. Beberapa
benda terjatuh.
“Cepat katakan.”
“Tolong kami.”
“Apa yang bisa kami tolong?”
“Kami semua…”
Terputus. Tulisan terputus.
Pensil bergerak lagi. Angin semakin kencang.
Benda terjatuh. Dodo mengambil kertas, lalu memasukkan ke dalam baskom lagi.
“Kami terperangkap di bawah Galeri
Mahakarya.”
[ baca kelanjutannya di sini ]
huwahhh kak, akhirnya sampai ke chapter 19 ini mata rantainya T_T
ReplyDeleteaku udah baca serial ini sebelumnya secara marathon, ya, karena kemarin keputus di bagian 5 makanya hari ini langsung tancap gas sampai ke part 19, daebak banget kan, muahahahaa :D /apasih, na../
wah, aku masih ga nyangka lho kalau alexa itu dalang di balik semua kasus2 gaib yg belakangan ini jadi momok bagi mata rantai. apa jangan2 ada iblis yang memonitori si alexa ini, ya? hm bisa jadi.
dan, sebentar, kak aku boleh ngakak ga soal gordon yang joget party di mobil itu :"""
waduh, ternyata si gordon di sone akut TvT tampang doang sangar ya, tapi giliran diputerin Gee langsung semangat joget :D /dorrrr
ah, dan, kak, aku kagum sama semua detil-detil mengenai ilmu gaib yang ada di mata rantai ini! berapa lama kakak nge-research semua info mengenai ilmu gaib itu?!!!! daebak banget! sumpah :D
kaya misal detik kabisat tahun ini yang ehem, kebetulan, PAS bgt sama tanggal lahir aku!!!! ah, aku langsung berasa parno bukan main jadinya, lol~~~
anyway, dongeng ini one of my fav!!! aku selalu nunggu kelanjutannya!
chapter 20-nya ditunggu ya kak!
fighting!! :D
Wah panjang ya komentarnya hehe. Keren.
DeleteTerima kasih sudah mau membaca sampai BAB 19 yah. Nanti ditunggu saja kejutan-kejutan lainnya di bab-bab selanjutnya hehehe.
Research? Persiapan nulis 2 bulan aja (bentar yak haha). SUdah termasuk bikin outlinenya siih.
Ini nulisnya yang lamaaaa haha. Konsisten memang susah. tapi yang bikin semangat adalah pembaca-pembaca seperti kamu :)
Selamat Membaca,
maaf kalo komennya kepanjangan dan rusuh ini kak :/
Deletewhat?! 2 bulan?! itu ngga lama kak. pantes ya semuanya perfect dan mendetil. apalagi sekaligus dah ada outline-nya, itu ga bisa dibilang bentar or lama, tapi keren! :) yosh, semangat kak!
meskipun lama tapi yg penting tetep jadi kan kak. yahaha alhamdulillah, ya readers rusuh kaya saya bisa bermanfaat, okee!
semangat menulisnya juga, kak!