BAB 23
Pagi hari
berpuluh kilometer dari Mata Rantai.
Kawasan pinggiran kota Bekasi Timur semakin
padat dengan pembangunan mall baru yang membujur dari timur ke barat di
pinggiran tol Cikampek. Mall itu memang belum tampak wujudnya. Sekarang masih
berupa bongkahan-bongkahan batu dan cor-coran. Alat-alat berat menderu-deru di
sekitar proyek. Tak jauh dari tempat itu, sang arsitek sedang duduk menikmati
segelas kopi pahit di sebuah rumah semi permanen yang terbuat dari
potongan-potongan kayu. Ini sudah kopi keduanya. Diskusi panjang dengan kepala
proyek, bagian pengembang, dan investor adalah diskusi panjang menguras
otak. Ia
ingin mempertahankan idealismenya, membangun sesuai dengan apa yang ada di
pikirannya. Namun, idenya terpentok dengan kepala proyek dan dana investor.
Jadi, dia harus memangkas idealismenya mengikuti apa yang semestinya.
Ben Lenwa, si arsitek itu, meneguk kopinya.
Tiba-tiba ia merindukan Galeri Mahakarya. Ia merindukan saat mengerjakan proyek
itu. Ketika ia bebas mengekspresikan semua idenya ke dalam kertas putih,
mewujudkannya menjadi sebuah bangunan megah yang sesuai keinginannya. Alexa
Crain sebagai investor tidak pernah ikut campur terhadap pembangunan Galeri
Mahakarya. Lenwa bebas menuangkan idenya. Bukankah itu adalah puncak dari
seorang pekerja seni, ketika ia bebas menuangkan apa yang ada di otaknya. Tanpa
harus memperhatikan selera, dana, peraturan-peraturan, birokrasi. Dan ketika
jadi, hasilnya memang sungguh luar biasa.
Kopi Lenwa tinggal ampasnya. Pria yang suka
memakai topi itu melongok ke Titan klasiknya.
Sudah
jam dua. Dia janji akan datang sejam yang lalu. Pikiran
Lenwa mengembara ke pagi hari tadi. Saat ia hampir berangkat ke tempat kerja.
Ponselnya berdering dan menampilkan satu nama yang tak pernah terpikirkan
olehnya: Juna Mata. Terakhir ia bertemu CEO Mata Rantai itu beberapa bulan
lalu. Semenjak kasus di rumahnya selesai, mereka tak pernah bertemu lagi. Namun,
angin apa yang membawa CEO muda itu untuk menghubunginya tadi pagi. Ia tak
mengerti.
Tepat saat matahari hampir menjadi semburat
jingga dan para pekerja mulai duduk sambil mengipas wajah dengan potongan
kardus, pria nomer satu di Mata Rantai berjalan tegap melewati bongkahan batu.
Sesekali dia harus melompat dan menghindar. Di depannya, Ali, sang mandor,
membimbingnya untuk menuju persinggahan Ben Lenwa.
Pasti
ada sesuatu yang sangat penting.
Juna bilang bahwa dia terkena macet di TB
Simatupang dan di Bekasi Barat. Ada truk terguling. Dan ponselnya habis baterai
sementara dia lupa meletakkan kabel chargernya.
Juna tanpa banyak basa-basi, langsung ke
pokok permasalahan. Sebelumnya, dia sedikit mengulur waktu agar si mandor
segera meninggalkan mereka. Seperti tahu bahwa tamunya membutuhkan privasi,
mandor Ali pergi meninggalkan Juna Mata dan Ben Lenwa di rumah semi permanen.
“Kopi?” tanya Lenwa setelah Ali pergi. Juna
mengangguk. Tanpa gula, ujarnya.
Lenwa pun segera sadar bahwa sore itu akan
menjadi sore yang panjang. Tamu yang ditawari minuman, kemudian menyetujuinya,
seakan memberi isyarat bahwa dia butuh bersantai, bercerita, mengobrol cukup
lama.
Secangkir kopi dengan asap membumbung segera
hadir di hadapan Juna dibawakan oleh seorang gadis berambut ikal dari dapur. Juna
menyeruputnya.
“Jadi apa yang bisa saya bantu? Tentunya Tuan
Juna datang ke sini bukan untuk kembali menyelidiki apa yang terjadi tempo
hari. Apakah ada yang lebih penting?” tanya Lenwa.
Tanpa bicara, Juna mengeluarkan secarik
kertas yang ia sembunyikan di balik blezer hitamnya. Ia membentangkan kertas
itu di atas meja kecil di depannya. Gambar itu menunjukkan sebuah gambar
digital yang diprint dengan printer khusus. Sebuah sketsa foto digital.
“Apa ini?” tanya Lenwa sedikit kebingungan.
Foto itu adalah sebuah gambar menyeramkan. Seperti
sebuah sudut suatu ruangan. Di sisi dinding kanan, ada meja kecil menempel
dengan Mac di atasnya. Gambarnya tidak terlalu jelas. Namun, Lenwa masih bisa
melihat ada seseorang bertubuh tinggi besar yang berdiri di dekat meja. Matanya
merah menyala, rambut sebahu yang acak-acakkan, dan muka yang tidak terlalu
jelas. Mulut Lenwa menganga saat melihat kaki orang itu tidak menapak lantai
marmer di bawahnya.
“Siapa dia?” tanya Lenwa lagi. Mukanya
berubah keruh.
“Namanya Roger. Kemarin dia mengikutiku. Asistenku
menangkap sosoknya melalui kamera ultraviolet. Roger seolah ingin mengatakan
sesuatu kepadaku. Dan dia teman Andika.”
Lenwa menaruh kertas itu di atas meja. “Andika?”
“Ya, Andika. Mungkin Roger mengikutiku karena
akulah yang telah berhasil mengusirnya dari tubuhmu, Lenwa. Dia terus
mengikutiku, seolah ingin mengatakan sesuatu.”
Lenwa berdiri. “Aku sibuk sekarang, jadi
mungkin….”
Juna tahu, Lenwa pasti tidak ingin hari-hari
kelamnya kemarin diungkit kembali. Ia pasti tidak ingin berurusan dengan
makhluk-makhluk itu.
“Aku tidak ingin melibatkanmu, Lenwa. Tapi,
aku membutuhkan keterangan darimu.”
“Aku tidak tahu apa-apa. Lebih baik kamu
segera pergi, Tuan. Aku harus bekerja.”
“Roger menyebutkan bahwa dia, Andika, dan
mungkin puluhan makhluk lain terjebak di bawah Galeri Mahakarya.”
Lenwa seperti tersengat listrik tegangan
tinggi. Dia menoleh cepat, terkejut, dan seolah tertangkap basah oleh Juna
bahwa ia mengetahui sesuatu. Ia duduk kembali di hadapan Juna, lalu kembali melihat
kertas di hadapannya.
“Kamu pasti tahu sesuatu, Lenwa. Aku tahu
itu.”
“Mengapa kamu ingin tahu?” tanya Lenwa.
“Tadi malam, aku mewawancarainya. Roger
mengatakan bahwa dia sedang terperangkap di Galeri Mahakarya. Lalu dia menangis
meraung-raung. Akhirnya aku kembali berkelana, menemuinya di dunia antara nyata
dan akherat. Di sana, kutemukan dia menangis tersedu. Aku mencoba bertanya, dia
hanya menggeleng-geleng. Namun, dia mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin
menyingkirkan dirinya dan teman-temannya di Galeri Mahakarya. Seseorang yang
dekat denganku, Lenwa. Namun dia tak mengatakannya padaku. Dia hanya bilang bahwa
selain ingin menyingkirkan mereka, dia juga akan menghancurkanku, Lenwa.”
Lenwa menoleh. “Aku tak mengerti.”
“Aku kembali ke alam nyata, karena tiba-tiba
dia menghilang. Aku tak bisa mengejarnya terlalu jauh karena aku takut tersesat
di dunia itu. Jadi aku mewawancarainya lagi. Dan dia menuliskan satu nama di kertas.”
“Alexa Crain?” tebak Lenwa. Bertepatan dengan
itu, Juna mengeluarkan kertas yang lain. Kertas yang ia bentangkan berdekatan
dengan foto si makhluk tadi. Di sana ada nama Alexa Crain tertulis dengan
pensil ultraviolet.
Juna mengangguk, seakan yakin bahwa Lenwa
pasti akan mengatakan itu. “Awalnya aku kaget saat mengetahui apa yang ia
tulis. Aku tak bisa berspekulasi apapun. Crain, dia adalah Chief Rantai. Dan
dia sedikit banyak telah membantu perusahaan Mata Rantai. Dia jugalah yang
selalu menentang Ronero. Aku tak percaya. Makanya, aku mencarimu untuk mencari
tahu.”
Mandor Ali berjalan ke arah mereka, lalu
duduk di kursi kayu di dekat rumah itu. Ia menyalakan rokok.
Lenwa berdiri, menyambar jaketnya. “Masih mau
kopi lagi?” Dia memberi isyarat kepada Juna.
Juna mengerti akan isyarat itu. Dia ikutan
berdiri. “Tentu saja. Namun, kopi di sini kurang enak. Apakah kita bisa ke
kedai kopi terdekat?”
# # #
Mereka berdua tak benar-benar ke kedai kopi. Mobil Juna berjalan mulus di tol
yang mengarah ke Jakarta. Lenwa sudah bilang ke mandor Ali bahwa dia harus
pergi sebentar bersama kawannya.
Dalam perjalanan itu, pikiran Lenwa kembali
ke malam itu. Malam di mana dia merasakan tubuhnya mendadak seperti melayang di
udara. Malam saat ia mengitari Galeri Mahakarya untuk memastikan setiap detail
dari Master Piece-nya itu. Ia limbung
karena mendadak kepalanya pusing dan hampir saja dia menubruk pintu kaca di
balkon lantai 2 Galeri Mahakarya. Dan dia melihat mukanya. Muka lelah dengan
mata merah.
Dia seperti tidak melihat dirinya sendiri.
Namun yang lebih mengejutkan bukanlah mukanya itu. Bukan muka yang bermata
merah. Tetapi seseorang yang berdiri di belakangnya. Saat itu, Lenwa menoleh
dan melihat dengan jelas orang itu. Orang itu tinggi besar, berambut
acak-acakkan, dengan muka tak beraturan, dan mata merah seperti dirinya.
Lenwa mendorong pintu di belakangnya
perlahan, dia berjalan mundur. Orang itu mengikutinya masuk ke dalam rumah. Dia
ingin menjerit, namun yang keluar justrulah suara orang lain. Suara serak.
Suara Andika.
“Andika,”
“Roger,” ucap Lenwa, dengan suara serak.
Dan Lenwa langsung seperti terseret ke dunia
lain yang gelap. Dia berteriak-teriak meminta tolong, namun tak ada yang
menolongnya. Dia berlari ke sana ke mari. Terjauh, menubruk dinding, dan
kemudian suatu hari dia menemukan Juna Mata berlari ke arahnya. Menuntunnya
menuju pintu bercahaya.
“Aku pernah melihat makhluk yang ada di foto
tadi, Tuan Juna. Di Galeri Mahakarya.” Detik kemudian, Lenwa menceritakan
secara lengkap apa yang telah ia alami selama ini. Yang sejujurnya telah ia
sembunyikan dari siapa pun. Ia juga masih menyimpan satu rahasia penting,
sesuatu yang belum pernah ia alami sebelum-sebelumnya. Tetapi sore ini, ia
dengan lancar menceritakan pada Juna Mata. Seperti ada dorongan dari dalam
dirinya yang memaksanya untuk bercerita.
“Aku pernah mendengar Alexa Crain berbicara
dengan seseorang di ruang kerjanya, beberapa bulan sebelum peresmian Mata
Rantai. Kebetulan saat itu sedang tahap penyelesaian Galeri Mahakarya. Ruangan
Alexa Crain adalah sebuah ruang bawah tanah yang kurancang. Saat itu, aku
hendak ingin memeriksa sesuatu. Dan kebetulan juga, aku mendengar dia
berdialog. Awalnya aku mengira dia sedang kedatangan tamu. Tapi ternyata, dia
berbicara dengan makhluk yang kulihat dua hari sebelum peresmian. Aku baru
menyadarinya setelah terbebas dari dunia gelap itu. Namun, aku tak berani
bilang kepada siapa pun. Aku tak ingin ikut campur, karena gara-gara Alexa
Crainlah aku bisa memuaskan diri menciptakan sebuah seni Arsitektur, My Master Piece.”
“Apakah dia memuja sesuatu?”
Lenwa menggeleng. “Aku tak mengerti. Selama aku
bekerja sama dengannya, aku tak melihat tanda-tanda keanehan. Kecuali malam
itu. Dia tipe orang yang suka menyendiri di kamarnya, atau di ruangan paling
atas di Galeri Mahakarya. Dia akan duduk lama-lama di ruangan paling atas itu
sambil memandang Gunung Merapi yang menjulang. Dia juga sering ke Panti
Asuhan.”
“Ya, aku tahu. Hasil tiket Galeri Mahakarya
ia sumbangkan untuk Panti Asuhan.”
“Tapi yang tak pernah orang tahu, kehidupan
pribadinya. Dia terlalu misterius. Keluarganya, teman-temannya.”
Juna mengangguk. Ia memang kurang peduli
dengan kehidupan-kehidupan orang-orang di Mata Rantai. Termasuk kehidupan Alexa
Crain.
“Aku harus berbicara dengannya,” ujar Juna.
“Apakah Tuan Juna berpikir dia akan
mengatakan sesuatu?” Lenwa terkekeh. “Sebenarnya saya tak ingin ikut campur
dalam urusan ini, tapi….” Dia menggantungkan ucapannya. “Tuan telah membantuku
terbebas dari Andika. Jadi apa salahnya saya membantu, kan? Lagian saya sudah
terlibat.”
“Aku sebenarnya tidak tahu harus berbuat
apa.”
“Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.”
“Apa?”
“Tuan harus melakukan wawancara di Ruang
Kerja Alexa Crain, di Galeri Mahakarya. Tentu saja, tanpa sepengetahua Crain.”
# # #
Di waktu yang sama, di lantai 2 gedung Mata
Rantai.
Janero tampak serius mendengarkan percakapan dua
orang pria melalui headset yang menempel di telinganya. Di layar laptopnya,
grafik DOTA 2 tampak bergerak, seperti dimainkan. Namun, Janero tak benar-benar
memainkannya. Dia berkonsentrasi mendengarkan percakapan itu. Jauh dari
mejanya, Dodo dan Dede sedang ribut tentang Master Penangkap Tuyul-nya yang
hilang.
Tangan Janero meraih Iphone 6 di atas meja
kerjanya. Dengan cepat dia membuka aplikasi Whatsapp, mencari nama Alexa Crain,
lalu mengetik pesan dengan cepat. Ia menekan enter. Tanda centang dua warna
hitam muncul di samping pesan itu.
# # #
Beratus kilometer dari ibu kota, Mamak Melati
sedang menyiram ratusan bunga yang bermekaran di halaman, di bawah plang
penunjuk nama : PANTI ASUHAN SELALU BAHAGIA. Halaman yang tak terlalu luas itu
disulap menjadi taman penuh bunga berwarna-warni. Setiap sore, belasan
kupu-kupu datang menari-nari di atas bunga-bunga itu sambil menemani Mamak
Melati menyapu, menyiram tanaman, dan mencabut rumbut liar. Kadang ia dibantu
oleh penghuni panti lain yang sudah dewasa. Namun hari ini, anak didiknya
sedang belajar bersama-sama di serambi. Mereka diajar oleh mahasiswa-mahasiswa
yang sedang KKN di Desa Ringinrejo, Kabupaten Bantul. Panti asuhan yang
terletak di pinggiran Pegunungan Seribu, di selatan Kota Yogyakarta, itu tampak
ramai sore itu.
Pekerjaan Mamak Melati terhenti saat sebuah Lexus
NX F Sport warna Platinum Silver masuk ke pekarangan panti. Mobil SUV Sport itu
berhenti di bawah pohon mangga yang tertanam di deket pagar. Mamak Melati tak
perlu menebak-nebak siapa pemilik mobil mewah itu karena pemiliknya sudah
sering datang ke Selalu Bahagia. Minimal sebulan dua kali pemiliknya datang. Menyapa
anak-anak panti, memberikan apa yang mereka butuhkan, lalu duduk berlama-lama
di mushola di halaman belakang Selalu Bahagia.
Mamak Melati mematikan air kran, lalu
mendekat ke arah mobil. Dia memperhatikan saat pintu mobil terbuka perlahan,
dan LLYOD mengkilap keluar langsung menapak di atas pasir padat. Cahaya jingga
sore hari menyorot Rolex keemasan yang tersembul dari balik kemeja putih
bergaris tipis si pemilik mobil. Tangan
kanannya menenteng jas hitam yang sedikit kusut.
Mamak Melati tersenyum kecil. Sudah sebulan
ini, ia tak melihat donatur utama Panti Asuhan Selalu Bahagia itu. Beberapa
hari ini, dia memang bermimpi didatangi kembali olehnya, si pemilik wajah teduh
dan senyum menawan yang selalu dirindukan oleh penghuni-penghuni panti. Alexa
Crain, orang itu, adalah malaikat bagi anak-anak di Selalu Bahagia. Setiap
datang ia selalu membawa mainan-mainan, alat tulis, baju, dan tentu saja uang
untuk mereka. Terakhir dia datang bersama teknisi-teknisi yang memasang
komputer di ruang belajar dan juga internet. Daan sore ini, Alexa Crain datang
kembali. Masih dengan senyuman yang sama.
“Hai, Amak. Apa kabar?” sapanya. Dia memeluk
tubuh Mamak Melati. “Bagaimana kabar Stevan, Andri, Vian?” Dia tersenyum kecil.
“Mereka sedang belajar di serambi. Pasti
mereka senang kamu datang. Aku akan memanggil mereka.”
“Tak perlu Amak. Tak perlu. Aku hanya
sebentar saja. Aku butuh menenangkan diri. Oh iya, ada beberapa barang di
mobil. Mungkin, Pak Abah bisa membantu untuk mengeluarkannya. Aku sedang ingin
pergi menyendiri.”
Mamak Melati menyambut dengan senyum. Ia
paham apa yang Alexa Crain maksud dengan ‘pergi menyendiri’. Ia pun tak bisa
mencegahnya. Sore itu, ia memang seperti melihat Alexa Crain yang berbeda.
Donatur utama itu tampak sedikit kelelahan.
Jadi, apakah ada hal lain selain pergi ke
rumah Tuhan untuk menenangkan wajah yang kelelahan?
Mushola itu terletak di tengah kolam yang
penuh dengan ikan koi besar dan bunga teratai. Tidak terlalu besar, namun cukup
untuk menampung penghuni panti yang berjumlah 50 orang. Dinding-dindingnya
terbuat dari kayu jati pilihan yang difurnis mengkilap, dilengkapi dengan
jendela-jendela melengkung besar sehingga siapa pun yang sedang ada di dalam
mushola itu akan terlihat dari luar. Untuk mencapai ke sana, semua orang harus
melewati jembatan semen permanen. Di sepanjang jembatan, ada pot-pot bunga
warna-warni. Mamak Melatilah yang sengaja meletakkan pot-pot itu untuk
mempercantik luaran mushola. Di sekeliling kolam, terdapat pohon-pohon rindang
yang menaungi mushola sehingga jika siang hari, siapa pun yang ada di mushola akan
terasa sejuk.
Mushola itu adalah tempat favorit Alexa Crain
jika ada di panti ini. Saat pertama kali datang ke Selalu Bahagia, tempat
inilah yang menyita perhatian. Dengan desain sederhana di tengah kolam, tempat
ini terkesan sangat menyejukkan. Meskipun malam itu hujan turun, namun ia masih
bisa merasakan nuansa sejuk dan menentramkan tempat ini.
Malam itu adalah salah satu malam paling
depresif di hidupnya. Ia mengendari mobilnya tanpa arah menuju selatan kota
Yogyakarta, menyusuri Jalan Parangtritis yang panjang. Waktu menunjuk angka dua
malam, dan suasana jalan sudah sepi. Mobil Alexa bergerak lurus. Sepanjang
jalan, pikirannya menjamah satu persatu kejadian yang terjadi beberapa jam
sebelumnya. Ia masih ingat detail kejadiannya. Pertengkaran hebat, emosi tanpa
kontrol, pisau yang menghujam ke jantung, darah. Semuanya berkelebat satu
persatu membentuk rangkaian pengalaman buruk. Ia berteriak-teriak sepanjang
jalan. Mobilnya berhenti saat ia melihat seorang anak kecil melintas di tengah
jalan. Anak itu tampak kedinginan. Crain kemudian menolongnya. Anak itu mengaku
adalah salah satu penghuni sebuah panti asuhan yang sedang kabur. Alasannya, ia
sedang rindu dengan kedua orang tuanya. Ia ingin menemui mereka. Namun, apa
daya justru ia tersesat di keramaian kota Yogyakarta. Ia berniat untuk kembali
ke panti asuhannya, tetapi ia tak ingat jalan.
Cerita anak itu menggugah hati Alexa Crain. Karena
ia pernah mengalami saat-saat sendiri dan tidak punya siapa pun seperti anak
itu. Saat itu, ia merindukan ibunya. Ia merindukan kebersamaan dengan orang
tuanya. Malam itu, mobil Crain berhenti di sebuah Panti Asuhan sederhana. Di
tempat itulah ia mengenal Mamak Melati dan penghuni yang lain. Sejak saat
itulah, ia justru menjadi donatur tetap panti. Ia merenovasi panti asuhan,
termasuk tempat favoritnya : Mushola Al Hikmah. Setelah ia berbincang dengan
Mamak Melati, ia minta ijin untuk duduk di dalam mushola. Ia melirik baju
putihnya yang masih tersisa sedikit darah. Ia kemudian menangis seorang diri di
sana.
Alexa Crain melepas sepatunya, lalu membasuh
kakinya dengan air kran. Lantai mushola yang dingin menyambutnya. Ia merasakan
tubuhnnya seperti dijalari jaringan es yang menyejukkan. Crain mendekap jas
hitamnya, menempelkannya ke dada. Ia merasakan ada semacam benjolan di jas itu.
Crain mempercepat langkahnya, sebelum benjolan itu menyembul dan terlihat oleh
orang lain.
Crain duduk dengan gelisah di atas permadani
merah yang lembut. Ia meletakkan jasnya, lalu membukanya. Setelah terbuka,
Crain melihat empat batu menyala yang memancarkan cahaya berbeda-beda. Biru,
hijau, merah, kuning. Getaran di jantungnya semakin kencang saat melihat
batu-batu itu.
Setelah memastikan tidak ada siapa pun di
mushola, meletakkan batu-batu itu di atas permadani.
Waktunya
semakin dekat, ucapnya dalam hati. Aku akan menjadi sempurna, aku akan membantu
siapa pun yang membutuhkan kasih sayang. Tak akan kubiarkan lagi orang-orang
kesepian.
Crain tersenyum kecil, kepada dirinya
sendiri. Pagi ini, ia merasa terlahir kembali. Setelah puluhan tahun ia
menjalani kesendirian dan kesepian. Ia kini telah lahir utuh kembali. Apalagi
dengan batu mata rantai yang kini ada padanya. Ia merasa sangat beruntung. Apa
yang ia cita-citakan sebentar lagi akan terwujud. Dengan kedigdayaan dalam
dirinya, ia bisa melakukan apa saja. Tentu saja dengan bantuan batu mata
rantai. Legenda batu itu hanya segelintir orang saja yang tahu. Hanya
orang-orang pilihan yang mengetahuinya. Pantas saja batu itu diperebutkan oleh
orang-orang yang mengetahuinya. Dan kini, batu itu ada di tangannya. Meskipun
untuk memperolehnya, ia harus membunuh. Ia harus menghabiskan nyawa orang,
mengirim mereka ke alam lain. Ia sangat menyesal karena telah melakukan itu.
Tetapi, bukankah sejak kecil dia memang sudah melakukannya.
Ia teringat malam tahun baru sewaktu ia kecil,
hari dimana ia menjadi pembunuh untuk kali pertama. Saat itu, seperti ada setan
yang mendadak menjejali tubuhnya. Setan itu mengontrol secara penuh jalan
pikirannya sehingga ketika ia melihat ayahnya membabi buta menghajar ibunya, ia
segera mengambil pisau dan menghunuskan pisau itu ke perut ayahnya. Sedikit pun
ia tak menyesal. Orang biadab seperti ayahnya memang pantas mendapatkan
tusukan-tusukan pisau dari tangannya. Namun, perasaan bersalah tetaplah ada.
Menjalani kehidupan dengan masa kecil sangat kelam, membuat Crain seperti
dirasuki oleh makhluk lain yang mengomando jalan pikiran.
Malam itu, malam dimana ia sedang dibuai
asmara setelah sekian tahun ia mengalami kesendirian, ia pulang ke rumah dengan
perasaan kalut. Mendadak ia teringat pacarnya. Ia kembali ke apartemen pacarnya
tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Begitu sampai, ia mendapati ada sepasang sepatu nangkring di apartemen kekasihnya
itu saat ia masuk (dia memiliki kunci lain apartemen itu, karena apartemen itu
adalah hadiah darinya). Ia langsung mengendap masuk. Ia mendengar ada suara
bisik-bisik di dalam kamar. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri saat ia
melihat ada seseorang lain yang sedang bercumbu dengan kekasihnya. Dengan
kemarahan, dia langsung membabi buta, mengambil pisau di dapur, lalu seperti
seekor singa yang menemukan daging segar, ia menyergap mereka. Seperti saat ia
membunuh ayahnya dulu, malam itu ia pun melakukan seperti ada komando dari
setan-setan di pikirannya.
Alexa Crain menghela nafas panjang mengingat
semua kejadian masa lalunya. Ia memejamkan mata sambil menenangkan diri.
Aku
pembunuh, Tuhan. Maafkanlah aku. Aku tahu kamu Maha Pemberi Ampun. Maka, aku
maafkanlah aku. Ampunilah aku. Ampunilah hambamu ini.
Di sela-sela doanya, ia teringat saat
beberapa minggu lalu ia menghubungi Ronero dan memintanya untuk mengambil batu
mata rantai. Sebelumnya, ia memerintahkan Janero untuk mencari tahu di manakah
letak batu mata rantai. Janero bilang bahwa Dilanlah kunci satu-satunya. Maka,
hari itu, ia memerintahkan Ronero untuk menguntitnya.
Di daerah Pluit, akhirnya Ronero bisa
menemukan rumah kecil di belakang sebuah Masjid. Rumah seorang penjaga masjid.
Seorang bapak tua yang akhirnya Ronero bunuh setelah ia menyerahkan batu mata
rantai. Entah, bagaimana Ronero bisa membujuk orang tua itu. Tetapi, seperti
apa yang telah Ronero katakan, bahwa orang itu telah ia bunuh. Sehari setelah
kejadian itu, Dilan menjadi korban selanjutnya.
Dilan, seperti mendapat satu firasat bahwa
akan ada yang mengambil batu mata rantai. Ia menghubungi Ronero dan mengatakan
bahwa Ronerolah yang mengambil batu itu dan membunuh penjaga masjid. Maka sore
itu, Ronero menjadikan Dilan korban selanjutnya. Ia menembak ban mobil Dilan
sehingga mobilnya menabrak pembatas jalan. Belum cukup kekejian itu, Ronero
mendatangi mobil itu, lalu membunuh Dilan dengan senapannya. Moncong senapan
tepat mengenai kepala Dilan.
Aku
pembunuh, Tuhan. Maafkanlah aku.
Hari dimana demo berlangsung di Mata Rantai
adalah hari pertengkaran Crain dan Ronero. Ronero yang telah mendapatkan uang
hasil jerih payahnya karena telah mencuri batu mata rantai, justru tidak ingin
menyerahkan batu itu kepada Crain. Cekcok sore itu ditelepon adalah puncak dari
segalanya. Tetapi, Crain memili cara untuk menyingkirkan Ronero. Ia sendiri
yang melakukannya, tanpa meminta bantuan siapapun.
Ia mengirimkan semua foto-foto Ronero saat
sedang melakukan pembunuhan di pluit, penembakan Dilan. Crain bukanlah orang
kemarin sore yang tanpa persiapan. Dia sudah menyiapkan cara-cara khusus untuk
memojokkan Ronero. Ia memotret setiap kejadian pembunuhan itu dan menjadikannya
sebagai alat untuk menjebak Ronero. Karena Crain tahu, Ronero bukanlah orang
yang diam. Dia ambisius. Dia licik. Dan menghadapi orang seperti itu,
satu-satunya cara hanyalah dengan kelicikan.
Maka dengan tekanan yang berat, Ronero justru
mengakhiri hidupnya sendiri dengan menggantung di lobi mata rantai. Sejam
sebelum ia melakukan aksinya itu, ia menerima semua foto-fotonya. Ia lalu
menelepon Crain. Dan dengan angkuh Crain hanya bilang : Kamu ingin mengakhiri hidupnya di penjara, atau justru mengakhirinya
sendiri. Kamu tinggal pilih, Ronero.
Aku
pembunuh, Tuhan. Ampunilah hamba-Mu ini.
Crain mengusap air matanya yang mendadak
mengalir di ujung matanya. Untuk mencapai cita-citanya, ia harus menghabisi
orang-orang. Ini karena sejak kecil ia sudah belajar untuk membunuh. Ini karena
dia telah menghabisi orang yang ia cintai, pacarnya. Dan tentu saja selingkuhan
pacarnya. Ia belajar dari peristiwa-peristiwa itu.
Malam saat ia telah membunuh pacarnya, ia
memasukkan pacar dan selingkuhannya ke dalam kantong. Merapikan apartemennya
dengan cepat. Ia menghilangkan semua jejak, termasuk identitas pacarnya. Ia
membawa kedua jasad melewati jalan lurus di Pantura, menuju ke Yogyakarta. Dia
telah membeli sebuah tanah di Lereng Merapi. Di sanalah rencananya, ia akan
membangun sebuah vila mewah untuknya dan pacarnya itu. Mereka akan hidup
bahagia. Itulah cita-cita Crain. Tetapi, cita-cita hanyalah tinggal cita-cita.
Pacarnya telah meninggal. Dan Crain menguburnya di tanah itu, tanah yang kini
telah dibangun galeri pribadi miliknya : Galeri Mahakarya.
[ baca kelanjutannya di sini ]
Baca ini kok tiba2 membayangkan..pacarnya crain si andika ya???trus roger itu selingkuhannya si pacar ya hars???
ReplyDeleteHem, bisa jadi bisa jadi :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteuwah!! akhrinya MR ke-20 rilis jugaa!!
ReplyDeleteduh, ka, di bagian ini suka deh samaplot yang diambil dari sudut pandang Crain. seenggaknya, kita ga dibiarin berspekulasi mengapa dia sedikit banyak terlibat dalam kejadian tragis yng dia buat sendiri. seruuu!!!
ditunggu Mata Rantai 21-nya!! semangatt :D