BAB 24
Setelah bertemu dengan Ben Lenwa, Juna Mata
mulai merasakan pikirannya penuh dengan tebakan dan asumsi tanpa dasar. Namun,
ia sedikit yakin bahwa apa yang akan ia hadapi nanti adalah sesuatu yang sangat
besar. Sekumpulan makhluk yang belum diketahui motivasinya. Sebuah dunia di
luar akal sehatnya. Tetapi, jika ia membiarkan itu semua terjadi, mungkin saja
sesuatu yang sangat buruk akan terjadi.
Juna harus menyelesaikan ini. Ia membutuhkan
cara untuk mengendalikan makhluk-makhluk itu. Meskipun Roger bilang bahwa
mereka terjebak di Galeri Mahakarya, tetapi Juna merasa bahwa ada sesuatu yang
tersembunyi di balik ini semua. Dan berususan dengan makhluk-makluk itu
mengingatkan Juna dengan percakapannya bersama Dilan beberapa waktu lalu. Tentang
batu mata rantai yang sedikit terlupakan olehnya.
Dilan pernah bilang bahwa roh di dalam tubuh Juna tidaklah satu. Itulah yang menyebabkan dia sering mengalami kelabilan tingkat tinggi. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, maka jiwanya akan goyang. Kedua roh akan saling menguasai. Dan itu berarti sebuah ancaman bagi Juna. Jika dua roh itu saling berebut untuk menang, indera ketujuh Juna lambat laut akan meredup. Ia tak mungkin bisa kembali ‘berkelana’. Satu-satunya cara untuk menyatukan mereka hanyalah dengan batu mata rantai. Dan mungkin, batu mata rantai bisa membantunya untuk menghadapi makhluk-makhluk itu.
Sore ini, Juna kembali ke kamarnya. Ia
membuka kembali buku wasiat dari Tuan Mata. Tetapi tidak ada keterangan yang
sangat membantu di buku itu. Di dalamnya tidak ada alamat, atau petunjuk
keberadaan batu mata rantai. Buku wasiat itu hanyalah penjelasan tentang batu
mata rantai, tentang mata rantai itu sendiri. Dari semua hal di buku itu,
gambar di sambul belakangnyalah yang paling menarik. Sebuah gambar animasi
sederhana, seperti sebuah hewan. Seperti jangkrik, atau justru kecoa. Tidak
terlalu menarik. Juna menutup buku itu lalu memasukkannya kembali ke tempatnya.
Dia berjalan ke toilet. Menyentuh cermin di
sana dengan tangannya. Cermin terbelah menjadi dua. Dia berjalan masuk ke
ruangan di belakang cermin itu. Bau buku-buku kuno langsung menyeruak ke
hidungnya.
“Apakah dari sekian banyak buku ini tidak ada
yang bisa menjelaskan tentang batu mata rantai?” Juna bergumam seorang diri.
Dia memilah-milah buku-buku tebal di sana. Buku-buku
itu tertata rapi di rak-rak besi. Sebagian besar adalah buku tentang teknologi
dan IT.
IT's
hidden face: Everything you always wanted to know about Information Technology.
A look behind the scenes by Claude Roeltgen and Dr. Andreas Resch.
Practical
Reverse Engineering by Bruce Dang, Alexandre Gazet.
Dan masih banyak lagi buku-buku lainnya. Beberapa
buku memang tidak asing bagi Juna karena dulu sempat menjadi Text Book saat ia
kuliah.
Selain buku tentang IT, juga ada beberapa
buku tentang pengetahuan alam gaib, tentang kasus-kasus alam gaib di dunia, dan
hal-hal magis lain yang belum pernah Juna temui sebelumnya.
Juna menyandarkan tubuhnya ke kursi dan
menarik nafas panjang. Tidak ada satu pun buku yang menjelaskan tentang batu
mata rantai. Asal usul, mengapa ada, terbuat dari apa, bahkan apa manfaatnya.
Di buku wasiat itu, hanya ada sedikit penjelasan tentang kegunaan batu mata
rantai seperti yang sudah dijelaskan oleh Dilan.
Juna mengeliling sekali lagi rak-rak besi
sambil memastikan bahwa tidak ada buku yang ia lewatkan. Tetap tidak ketemu.
Akhirnya dia menyerah dan duduk kembali di kursi kesayangan Tuan Mata. Yang
kini menarik perhatian Juna adalah kaca mata baca berframe kulit ular tipis
namun kokoh dan terletak di meja kecil di samping kursi.
Pasti
ini milik Tuan Mata.
Iseng Juna memakai kaca mata itu. Dia berdiri
dan mematut wajahnya di cermin.
Sekarang
aku benar-benar seperti Tuan Mata di frame foto yang berada di kamar. Dia tersenyum simpul menyadari kesimpulannya sendiri.
Mendadak penglihatannya sedikit mengabur dan
ada bunyi ‘tit’ pelan. Juna tersentak sedikit. Lensa kacamata itu mendadak
menampilkan sebuah tulisan dengan font italic
berwarna biru.
AKSES DITERIMA. SELAMAT DATANG JUNA MATA.
Lensa itu berubah menjadi semacam monitor:
ada info tentang suhu ruangan di sudut kiri, ada info tentang waktu, dan angka-angka
lain yang tidak Juna mengerti. Juna merasa bahwa kacamata ini bukanlah kacamata
sembarangan. Tetapi ketika ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan,
ia tak menemukan perubahan apa-apa. Ruangan masih tertata sama seperti ketika
ia tak mengenakan kacamata. Jadi apa fungsinya?
Pandangan Juna berhenti pada salah satu rak.
Juna merasa bahwa rak itu tadi adalah rak tentang teknologi, namun kini ia
seperti melihat judul-judul buku yang tak ia kenal. Jelas sekali bahwa
judul-judul itu kini bukanlah judul tentang buku IT.
Juna mendekat. Mengambil satu buku dan
membaca judulnya perlahan. MATA RANTAI
DAN PENDIRINYA. Juna membukanya perlahan.
Sepertinya
tadi tidak ada judul buku yang seperti ini.
Juna membuka kacamanya. Dia memicingkan
matanya. Judul buku di tangannya berubah.
TEKNOLOGI
INFORMATIKA DAN PERKEMBANGANNYA PADA ABAD 21.
Juna memasang kembali kacamata. Dan kini yang
terlihat di sambul buku itu adalah judul MATA RANTAI DAN PENDIRINYA.
Juna mengamati satu persatu buku di rak.
Semua judulnya memang tentang Mata Rantai.
Pasti
ada yang menjelaskan tentang batu mata. Pasti.
Juna menyusuri tanpa terlewat satu buku pun.
Akhirnya dia menemukannya. Sebuah buku tebal di rak paling atas.
BATU MATA RANTAI : SEJARAH DAN MANFAAT
Jantung Juna mendadak berdegup kencang. Dia
membuka halaman demi halaman buku itu. Beberapa bab awal menjelaskan tentang
sejarah batu mata. Itu tidak terlalu
penting sekarang, pikir Juna.
Ayolah,
kamu pasti ada. Kamu pasti ada di sini.
Sampailah Juna pada Bab yang menjelaskan
tentang keberadaan batu mata.
Batu
mata rantai yang berjumlah empat buah disembunyikan oleh generasi pertama mata
rantai di sebuah masjid di daerah Pluit dengan petunjuk dan keamaan yang
berlapis. Tujuannya agar batu itu mendapatkan siraman doa setiap detiknya. Manfaat
batu itu yang pada awalnya sebagai penyeimbang kehidupan dan roh-roh, takutnya justru
disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Batu
mata rantai haruslah tetap berada di tempatnya. Tidak ada yang tahu
keberadaannya, kecuali orang-orang terpilih dari generasi Mata Rantai. Batu itu
telah dijaga oleh orang-orang pilihan, yang tidak pernah memikirkan kehidupan
duniawi, kecuali pengabdiannya kepada Sang Pecipta.
Awalnya,
batu mata rantai diyakini menjadi sebuah sarana untuk menyeimbangkan kehidupan
dunia roh halus. Namun, sayang kehadirannya justru akan menjadi petaka karena
ulah orang-orang yang menginginkannya. Batu itu harus tetap dilindungi.
Kening Juna mengerut. Apakah kini orang-orang
sedang memperebutkannya? Tetapi mengapa Dilan bilang kalo ia harus mencari batu
mata rantai itu untuk menyatukan roh di dalam dirinya.
Juna membaca kembali kalimat berikutnya.
Generasi
mata rantai memang dilahirkan memiliki indera ketujuh yang bisa menembus altar
lain. Dia pula yang diciptakan dengan dua roh yang bersemayam dalam dirinya.
Tidak ada yang bisa memastikan bahwa roh itu dua-duanya baik, dua-duanya jahat,
atau gabungan keduanya. Batu itulah yang nanti akan membantu menyatukannya.
Batu
itu akan bermanfaat di setiap tahun kabisat, atau detik kabisat, atau ketika
matahari, bulan, dan bumi dalam satu garis lurus sempurna. Selain bisa
menyatukan roh, dia juga bisa mengontol roh agar mengikuti kemauan orang yang
mengendalikan batu mata rantai.
Juna tercekat. Alexa Crain pasti mengincar batu itu untuk mengendalikan roh-roh yang
ada di Galeri Mahakarya, ujar Juna dalam hati.
Batu
mata akan sempurna manfaatnya, atau justru menjadi bumerang bagi orang yang
mengendalikannya.
Tentu
saja, batu mata adalah simbol Mata Rantai. Dan kehancuran batu mata sama saja
dengan kehancuran Mata Rantai. Dengan adanya batu mata, para pemimpin-pemimpin
Mata Rantai akan saling berebutan untuk memilikinya dan menguasai seorang diri
perusahaan yang telah aku bangun.
Aku
sudah meramalkan bahwa hal ini akan terjadi. Karena sifat serakah manusia,
tidak bisa dielakkan dalam setiap sendi kehidupan. Keserahakan hanya dikontrol
oleh emosi. Emosi tidak bisa dikendalikan oleh batu mata. Batu mata hanyalah
sebuah simbol.
Tertanda
Haryan Saverado,
Luar
Batang, 1960.
Juna membaca kalimat terakhir dengan pikiran
mengambang. Luar batang? Daerah mana itu?
Dia mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik
kata itu di google. Di halaman pertama google, disebutkan ada satu tempat
keramat di Luar Batang yang sering dikunjungi oleh orang-orang : Masjid Keramat
Luar Batang.
# # #
Tanpa pikir panjang, mobil Juna melesat ke
daerah Sunda Kelapa. Ia sangat yakin bahwa petunjuk tersirat di buku itu
mengarah ke Masjid Keramat Luar Batang. Ia harus mencari orang yang menjadi
penjaga masjid itu dan mengabdikan hidupnya untuk masjid dan Tuhan.
Sepanjang perjalanan, Juna menafsir apa
kira-kira yang Alexa Crain akan lakukan dengan batu mata. Ia pasti belum tahu
bahwa selain bisa mengendalikan roh, batu itu juga bisa menjadi bumerang untuk
dirinya sendiri. Pantas saja, para pendiri Mata Rantai tidak pernah menggunakan
batu itu untuk memecahkan kasus-kasus. Karena mereka tahu bahwa mudarat dari
batu itu lebih banyak daripada manfaatnya.
Juna semakin yakin bahwa mimpi-mimpi yang
menyambanginya beberapa malam ini adalah sebuah pesan berantai dari generasi
mata rantai sebelum-sebelumnya. Bahwa sekarang timbul gerakan-gerakan baru di
dalam Mata Rantai yang sedikit demi sedikit menggerogoti tubuh Mata Rantai.
Dan satu-satunya cara untuk mencegahnya
adalah dengan menghilangkan batu mata.
Mobil Juna berhenti di daerah Sunda Kelapa.
Ia dicegat oleh orang yang memberitahukan bahwa mobil tidak bisa masuk ke
dalam. Ia diberitahu bahwa untuk mencapai Masjid Luar Batang, ia harus berjalan
kaki atau menggunakan ojek. Pilihan kedua adalah yang paling tepat karena Juna
mengejar waktu.
“Siapa penjaga masjid itu?” tanya Juna kepada
si tukang ojek.
“Seorang yang setia kepada Tuhan.”
“Saya ingin menemuinya,” ucap Juna.
“Berarti kita tidak perlu ke masjid Mas. Saya
akan antarkan.”
Ojek itu langsung melesat berlawanan arah,
padahal Juna sudah melihat menara masjid dari kejauhan. Ojek itu berjalan cepat
menyusuri gang-gang sempit, sesekali dia harus berhenti ketika berpapasan
dengan gerobak sayur atau pengangkut sampah. Untung saja si tukang ojeknya
sudah cukup lihai. Sepertinya dia sudah cukup sering mengantarkan orang ke
tempat tujuannya ini.
“Pak, apakah banyak orang yang mencari si
penjaga masjid ini?” tanya Juna penasaran.
Si tukang ojek tampak berpikir sejenak.
“Beberapa waktu lalu ada juga yang mencari. Dia seperti Mas ini. Pakaiannya
necis dan wangi. Saat itu saya diberi tips lumayan besar.” Bapak tukang ojek
itu tertawa.
Pasti
Alexa Crain, pikir Juna.
“Tetapi waktu itu saya masih mengantarkannya
ke rumah si penjaga,” kata Bapak itu.
“Loh sekarang memangnya kita mau ke mana?”
“Si penjaga sudah pindah,” ujarnya.
Motor si tukang ojek menyusuri jalan kecil
yang becek, lalu berhenti disebuah tanah lapang berpagar seadanya.
“Dia sekarang ada di dalam.” Tukang ojek itu
menunjuk papan bertuliskan MAKAM KAMPUNG KALI, PLUIT.
Dahi Juna mengerut. “Dia sudah pindah jadi
penjaga makam?”
“Tidak. Dia sudah meninggal.”
Juna terpekik, “Apa?”
“Dia ditemukan membusuk di rumahnya. Diduga
karena sakit. Tetapi entahlah, polisi tidak melanjutkan penyelidikan karena keluarganya
tidak mengijinkan. Dia memang tinggal sendiri di sini, jadi orang-orang mengira
dia pasti sakit dan tidak ada yang merawat. Sungguh malang nasibnya, padahal
dia orang yang sangat baik. Dia mengabdikan hidupnya untuk masjid dan Tuhan.”
“Ke mana keluarganya?”
“Mereka tinggal di kampung. Tidak ada yang
ikut dengannya.”
“Jadi rumahnya sekarang kosong?”
Bapak itu mengangguk.
Juna seperti tidak memiliki daya. Jika penjaga
itu telah tiada, siapa kira-kira yang tahu letak batu mata rantai? Tetapi jika
mendengar penjelasan si tukang ojek tadi, bahwa ada seseorang yang datang
sebelum dirinya, Juna beranggapan bahwa pasti batu mata itu telah dicuri.
Tidak banyak waktu yang tersisa. Juna harus
mengambil sikap sekarang, dengan atau tanpa batu mata rantai.
Juna meraih ponselnya dan memencet nomer Ariana
yang sudah ia hafal di luar kepala.
“Ariana, bisakah kamu memesankan tiket
pesawat untukku dan tim malam ini?” tanya Juna.
“Ke mana?” tanya Ariana dari seberang telepon.
“Ke Jogja. Aku butuh untuk besok pagi. Tolong
kamu usahakan. Oh iya, kuharap kamu, Dodo, Dede, dan Janero ikut serta. Ada
urusan yang sangat penting.”
“Baiklah, aku akan segera mencarikan.”
“Tunggu dulu. Apakah kamu ada kontak Ben
Lenwa?”
“Ya, sepertinya ada.”
“Hubungi dia, katakan bahwa aku mengajaknya
ke Jogja besok ini.”
# # #
ini kenapa gak dijadiin novel aja kak?
ReplyDeletehttp://sastraananta.blogspot.com/2015/08/peluang-keuntungan-bernama-investasi.html
Mungkin di Indonesia, novel genre seperti sekarang belum banyak peminatnya hehe :)
DeleteBut, I will try,
baca yang ini dulu... harusnya baca yang part sebelumnya dulu ya eng..
ReplyDeleteJangan lompat2 bacanya nanti bingung hehe
Delete