[SERIAL] MATA RANTAI (21)



BAB 24
Setelah bertemu dengan Ben Lenwa, Juna Mata mulai merasakan pikirannya penuh dengan tebakan dan asumsi tanpa dasar. Namun, ia sedikit yakin bahwa apa yang akan ia hadapi nanti adalah sesuatu yang sangat besar. Sekumpulan makhluk yang belum diketahui motivasinya. Sebuah dunia di luar akal sehatnya. Tetapi, jika ia membiarkan itu semua terjadi, mungkin saja sesuatu yang sangat buruk akan terjadi.
Juna harus menyelesaikan ini. Ia membutuhkan cara untuk mengendalikan makhluk-makhluk itu. Meskipun Roger bilang bahwa mereka terjebak di Galeri Mahakarya, tetapi Juna merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik ini semua. Dan berususan dengan makhluk-makluk itu mengingatkan Juna dengan percakapannya bersama Dilan beberapa waktu lalu. Tentang batu mata rantai yang sedikit terlupakan olehnya.

Dilan pernah bilang bahwa roh di dalam tubuh Juna tidaklah satu. Itulah yang menyebabkan dia sering mengalami kelabilan tingkat tinggi. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, maka jiwanya akan goyang. Kedua roh akan saling menguasai. Dan itu berarti sebuah ancaman bagi Juna. Jika dua roh itu saling berebut untuk menang, indera ketujuh Juna lambat laut akan meredup. Ia tak mungkin bisa kembali ‘berkelana’. Satu-satunya cara untuk menyatukan mereka hanyalah dengan batu mata rantai. Dan mungkin, batu mata rantai bisa membantunya untuk menghadapi makhluk-makhluk itu.
Sore ini, Juna kembali ke kamarnya. Ia membuka kembali buku wasiat dari Tuan Mata. Tetapi tidak ada keterangan yang sangat membantu di buku itu. Di dalamnya tidak ada alamat, atau petunjuk keberadaan batu mata rantai. Buku wasiat itu hanyalah penjelasan tentang batu mata rantai, tentang mata rantai itu sendiri. Dari semua hal di buku itu, gambar di sambul belakangnyalah yang paling menarik. Sebuah gambar animasi sederhana, seperti sebuah hewan. Seperti jangkrik, atau justru kecoa. Tidak terlalu menarik. Juna menutup buku itu lalu memasukkannya kembali ke tempatnya.
Dia berjalan ke toilet. Menyentuh cermin di sana dengan tangannya. Cermin terbelah menjadi dua. Dia berjalan masuk ke ruangan di belakang cermin itu. Bau buku-buku kuno langsung menyeruak ke hidungnya.
“Apakah dari sekian banyak buku ini tidak ada yang bisa menjelaskan tentang batu mata rantai?” Juna bergumam seorang diri.
Dia memilah-milah buku-buku tebal di sana. Buku-buku itu tertata rapi di rak-rak besi. Sebagian besar adalah buku tentang teknologi dan IT.
IT's hidden face: Everything you always wanted to know about Information Technology. A look behind the scenes by Claude Roeltgen and Dr. Andreas Resch.
Practical Reverse Engineering by Bruce Dang, Alexandre Gazet.
Dan masih banyak lagi buku-buku lainnya. Beberapa buku memang tidak asing bagi Juna karena dulu sempat menjadi Text Book saat ia kuliah.
Selain buku tentang IT, juga ada beberapa buku tentang pengetahuan alam gaib, tentang kasus-kasus alam gaib di dunia, dan hal-hal magis lain yang belum pernah Juna temui sebelumnya.
Juna menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menarik nafas panjang. Tidak ada satu pun buku yang menjelaskan tentang batu mata rantai. Asal usul, mengapa ada, terbuat dari apa, bahkan apa manfaatnya. Di buku wasiat itu, hanya ada sedikit penjelasan tentang kegunaan batu mata rantai seperti yang sudah dijelaskan oleh Dilan.
Juna mengeliling sekali lagi rak-rak besi sambil memastikan bahwa tidak ada buku yang ia lewatkan. Tetap tidak ketemu. Akhirnya dia menyerah dan duduk kembali di kursi kesayangan Tuan Mata. Yang kini menarik perhatian Juna adalah kaca mata baca berframe kulit ular tipis namun kokoh dan terletak di meja kecil di samping kursi.
Pasti ini milik Tuan Mata.
Iseng Juna memakai kaca mata itu. Dia berdiri dan mematut wajahnya di cermin.
Sekarang aku benar-benar seperti Tuan Mata di frame foto yang berada di kamar. Dia tersenyum simpul menyadari kesimpulannya sendiri.
Mendadak penglihatannya sedikit mengabur dan ada bunyi ‘tit’ pelan. Juna tersentak sedikit. Lensa kacamata itu mendadak menampilkan sebuah tulisan dengan font italic berwarna biru.
AKSES DITERIMA. SELAMAT DATANG JUNA MATA.
Lensa itu berubah menjadi semacam monitor: ada info tentang suhu ruangan di sudut kiri, ada info tentang waktu, dan angka-angka lain yang tidak Juna mengerti. Juna merasa bahwa kacamata ini bukanlah kacamata sembarangan. Tetapi ketika ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, ia tak menemukan perubahan apa-apa. Ruangan masih tertata sama seperti ketika ia tak mengenakan kacamata. Jadi apa fungsinya?
Pandangan Juna berhenti pada salah satu rak. Juna merasa bahwa rak itu tadi adalah rak tentang teknologi, namun kini ia seperti melihat judul-judul buku yang tak ia kenal. Jelas sekali bahwa judul-judul itu kini bukanlah judul tentang buku IT.
Juna mendekat. Mengambil satu buku dan membaca judulnya perlahan. MATA RANTAI DAN PENDIRINYA. Juna membukanya perlahan.
Sepertinya tadi tidak ada judul buku yang seperti ini.
Juna membuka kacamanya. Dia memicingkan matanya. Judul buku di tangannya berubah.
TEKNOLOGI INFORMATIKA DAN PERKEMBANGANNYA PADA ABAD 21.
Juna memasang kembali kacamata. Dan kini yang terlihat di sambul buku itu adalah judul MATA RANTAI DAN PENDIRINYA.
Juna mengamati satu persatu buku di rak. Semua judulnya memang tentang Mata Rantai.
Pasti ada yang menjelaskan tentang batu mata. Pasti.
Juna menyusuri tanpa terlewat satu buku pun. Akhirnya dia menemukannya. Sebuah buku tebal di rak paling atas.
BATU MATA RANTAI : SEJARAH DAN MANFAAT
Jantung Juna mendadak berdegup kencang. Dia membuka halaman demi halaman buku itu. Beberapa bab awal menjelaskan tentang sejarah batu mata. Itu tidak terlalu penting sekarang, pikir Juna.
Ayolah, kamu pasti ada. Kamu pasti ada di sini.
Sampailah Juna pada Bab yang menjelaskan tentang keberadaan batu mata.
Batu mata rantai yang berjumlah empat buah disembunyikan oleh generasi pertama mata rantai di sebuah masjid di daerah Pluit dengan petunjuk dan keamaan yang berlapis. Tujuannya agar batu itu mendapatkan siraman doa setiap detiknya. Manfaat batu itu yang pada awalnya sebagai penyeimbang kehidupan dan roh-roh, takutnya justru disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Batu mata rantai haruslah tetap berada di tempatnya. Tidak ada yang tahu keberadaannya, kecuali orang-orang terpilih dari generasi Mata Rantai. Batu itu telah dijaga oleh orang-orang pilihan, yang tidak pernah memikirkan kehidupan duniawi, kecuali pengabdiannya kepada Sang Pecipta.
Awalnya, batu mata rantai diyakini menjadi sebuah sarana untuk menyeimbangkan kehidupan dunia roh halus. Namun, sayang kehadirannya justru akan menjadi petaka karena ulah orang-orang yang menginginkannya. Batu itu harus tetap dilindungi.
Kening Juna mengerut. Apakah kini orang-orang sedang memperebutkannya? Tetapi mengapa Dilan bilang kalo ia harus mencari batu mata rantai itu untuk menyatukan roh di dalam dirinya.
Juna membaca kembali kalimat berikutnya.
Generasi mata rantai memang dilahirkan memiliki indera ketujuh yang bisa menembus altar lain. Dia pula yang diciptakan dengan dua roh yang bersemayam dalam dirinya. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa roh itu dua-duanya baik, dua-duanya jahat, atau gabungan keduanya. Batu itulah yang nanti akan membantu menyatukannya.
Batu itu akan bermanfaat di setiap tahun kabisat, atau detik kabisat, atau ketika matahari, bulan, dan bumi dalam satu garis lurus sempurna. Selain bisa menyatukan roh, dia juga bisa mengontol roh agar mengikuti kemauan orang yang mengendalikan batu mata rantai.
Juna tercekat. Alexa Crain pasti mengincar batu itu untuk mengendalikan roh-roh yang ada di Galeri Mahakarya, ujar Juna dalam hati.
Batu mata akan sempurna manfaatnya, atau justru menjadi bumerang bagi orang yang mengendalikannya.
Tentu saja, batu mata adalah simbol Mata Rantai. Dan kehancuran batu mata sama saja dengan kehancuran Mata Rantai. Dengan adanya batu mata, para pemimpin-pemimpin Mata Rantai akan saling berebutan untuk memilikinya dan menguasai seorang diri perusahaan yang telah aku bangun.
Aku sudah meramalkan bahwa hal ini akan terjadi. Karena sifat serakah manusia, tidak bisa dielakkan dalam setiap sendi kehidupan. Keserahakan hanya dikontrol oleh emosi. Emosi tidak bisa dikendalikan oleh batu mata. Batu mata hanyalah sebuah simbol.
Tertanda Haryan Saverado,
Luar Batang, 1960.

Juna membaca kalimat terakhir dengan pikiran mengambang. Luar batang? Daerah mana itu?
Dia mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik kata itu di google. Di halaman pertama google, disebutkan ada satu tempat keramat di Luar Batang yang sering dikunjungi oleh orang-orang : Masjid Keramat Luar Batang.
# # #

Tanpa pikir panjang, mobil Juna melesat ke daerah Sunda Kelapa. Ia sangat yakin bahwa petunjuk tersirat di buku itu mengarah ke Masjid Keramat Luar Batang. Ia harus mencari orang yang menjadi penjaga masjid itu dan mengabdikan hidupnya untuk masjid dan Tuhan.
Sepanjang perjalanan, Juna menafsir apa kira-kira yang Alexa Crain akan lakukan dengan batu mata. Ia pasti belum tahu bahwa selain bisa mengendalikan roh, batu itu juga bisa menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Pantas saja, para pendiri Mata Rantai tidak pernah menggunakan batu itu untuk memecahkan kasus-kasus. Karena mereka tahu bahwa mudarat dari batu itu lebih banyak daripada manfaatnya.
Juna semakin yakin bahwa mimpi-mimpi yang menyambanginya beberapa malam ini adalah sebuah pesan berantai dari generasi mata rantai sebelum-sebelumnya. Bahwa sekarang timbul gerakan-gerakan baru di dalam Mata Rantai yang sedikit demi sedikit menggerogoti tubuh Mata Rantai.
Dan satu-satunya cara untuk mencegahnya adalah dengan menghilangkan batu mata.
Mobil Juna berhenti di daerah Sunda Kelapa. Ia dicegat oleh orang yang memberitahukan bahwa mobil tidak bisa masuk ke dalam. Ia diberitahu bahwa untuk mencapai Masjid Luar Batang, ia harus berjalan kaki atau menggunakan ojek. Pilihan kedua adalah yang paling tepat karena Juna mengejar waktu.
“Siapa penjaga masjid itu?” tanya Juna kepada si tukang ojek.
“Seorang yang setia kepada Tuhan.”
“Saya ingin menemuinya,” ucap Juna.
“Berarti kita tidak perlu ke masjid Mas. Saya akan antarkan.”
Ojek itu langsung melesat berlawanan arah, padahal Juna sudah melihat menara masjid dari kejauhan. Ojek itu berjalan cepat menyusuri gang-gang sempit, sesekali dia harus berhenti ketika berpapasan dengan gerobak sayur atau pengangkut sampah. Untung saja si tukang ojeknya sudah cukup lihai. Sepertinya dia sudah cukup sering mengantarkan orang ke tempat tujuannya ini.
“Pak, apakah banyak orang yang mencari si penjaga masjid ini?” tanya Juna penasaran.
Si tukang ojek tampak berpikir sejenak. “Beberapa waktu lalu ada juga yang mencari. Dia seperti Mas ini. Pakaiannya necis dan wangi. Saat itu saya diberi tips lumayan besar.” Bapak tukang ojek itu tertawa.
Pasti Alexa Crain, pikir Juna.
“Tetapi waktu itu saya masih mengantarkannya ke rumah si penjaga,” kata Bapak itu.
“Loh sekarang memangnya kita mau ke mana?”
“Si penjaga sudah pindah,” ujarnya.
Motor si tukang ojek menyusuri jalan kecil yang becek, lalu berhenti disebuah tanah lapang berpagar seadanya.
“Dia sekarang ada di dalam.” Tukang ojek itu menunjuk papan bertuliskan MAKAM KAMPUNG KALI, PLUIT.
Dahi Juna mengerut. “Dia sudah pindah jadi penjaga makam?”
“Tidak. Dia sudah meninggal.”
Juna terpekik, “Apa?”
“Dia ditemukan membusuk di rumahnya. Diduga karena sakit. Tetapi entahlah, polisi tidak melanjutkan penyelidikan karena keluarganya tidak mengijinkan. Dia memang tinggal sendiri di sini, jadi orang-orang mengira dia pasti sakit dan tidak ada yang merawat. Sungguh malang nasibnya, padahal dia orang yang sangat baik. Dia mengabdikan hidupnya untuk masjid dan Tuhan.”
“Ke mana keluarganya?”
“Mereka tinggal di kampung. Tidak ada yang ikut dengannya.”
“Jadi rumahnya sekarang kosong?”
Bapak itu mengangguk.
Juna seperti tidak memiliki daya. Jika penjaga itu telah tiada, siapa kira-kira yang tahu letak batu mata rantai? Tetapi jika mendengar penjelasan si tukang ojek tadi, bahwa ada seseorang yang datang sebelum dirinya, Juna beranggapan bahwa pasti batu mata itu telah dicuri.
Tidak banyak waktu yang tersisa. Juna harus mengambil sikap sekarang, dengan atau tanpa batu mata rantai.
Juna meraih ponselnya dan memencet nomer Ariana yang sudah ia hafal di luar kepala.
“Ariana, bisakah kamu memesankan tiket pesawat untukku dan tim malam ini?” tanya Juna.
“Ke mana?” tanya Ariana dari seberang telepon.
“Ke Jogja. Aku butuh untuk besok pagi. Tolong kamu usahakan. Oh iya, kuharap kamu, Dodo, Dede, dan Janero ikut serta. Ada urusan yang sangat penting.”
“Baiklah, aku akan segera mencarikan.”
“Tunggu dulu. Apakah kamu ada kontak Ben Lenwa?”
“Ya, sepertinya ada.”
“Hubungi dia, katakan bahwa aku mengajaknya ke Jogja besok ini.”
# # #

baca kelanjutannya di sini

4 comments

  1. ini kenapa gak dijadiin novel aja kak?

    http://sastraananta.blogspot.com/2015/08/peluang-keuntungan-bernama-investasi.html

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin di Indonesia, novel genre seperti sekarang belum banyak peminatnya hehe :)

      But, I will try,

      Delete
  2. baca yang ini dulu... harusnya baca yang part sebelumnya dulu ya eng..

    ReplyDelete