BAB 26
Juna berdiri kaku, menyadari bahwa dua lelaki
di depannya adalah orang yang ia kenal. Setidaknya, ia mengetahui mereka. Yang
pertama tentu saja adalah Alexa Crain. Sejak remaja dia memang sudah terlihat
necis. Sementara yang kedua adalah Mahesa, makhluk yang beberapa hari lalu
mengikutinya. Jadi, ini adalah alam lain. Dan dia terjebak di dunia ini karena
ada sesuatu hal yang ingin direka ulang. Sebenarnya ini semua tak masuk akal,
tetapi Juna tak peduli dan terus berdiri mengamati dua remaja di depannya.
Suara peluit panjang memudarkan lamunan Juna. Dan diapun tidak menyadari bahwa kedua remaja di depannya sudah tidak ada. Juna melihat mereka sudah berlari menaiki tangga ke lantai dua, menuju gerbong kereta Taksaka Malam. Juna berlari mengikuti mereka. Seorang petugas sudah meminta penumpang untuk segera naik. Beberapa di antara mereka tampak membantu penumpang yang kebingungan. Crain dan Mahesa masuk ke gerbong dua.
Juna menoleh ke kiri dan ke kanan. Di mana aku?
Kamar itu cukup besar. Ada tempat tidur besar
di tengah-tengah dengan bed cover kotak-kotak berwarna cokelat. Sebuah meja
belajar memanjang bersandar di dinding. Di atas meja itu, banyak sekali mainan
kereta api. Mulai dari Lego, terbuat dari kayu, alumunium.
Pintu kamar terbuka. Muncul seseorang berkaos
putih dan celana pendek.
Crain? Pikir Juna. Ini memang kamar
Crain.
Alexa Crain berjalan ke arah meja, lalu
duduk. Beberapa kali dia mengecek ponselnya, kemudian dia letakkan lagi di atas
meja. Sepertinya dia menunggu seseorang.
Ponsel Crain berbunyi. Secepat kilat dia
menyambarnya, lalu ia tersenyum saat membaca nama yang tertera di layar.
“Hai, aku menunggu teleponmu dari tadi,”
Crain berjalan ke arah ke tempat tidur, dia merebahkan diri sambil terus
berbicara di teleponnya. “Aku merindukanmu. Apakah kamu tidak merindukanku,
Mahesa?” tanya Crain.
Juna menelan ludah. Crain? Mahesa?
Belum selesain keterkejutan Juna, mendadak
seperti ada gempa berkekuatan 8 SR. Kamar berputar, terguncang, melempar tubuh
Juna menabrak dinding. Dia pingsan.
Saat matanya terbuka, dia sudah berada di depan
sebuah pintu bertuliskan angka 305. Juna melihat sekeliling. Kanan kirinya
berupa lorong panjang dengan banyak pintu di dinding-dindingnya.
Terdengar langkah kaki yang berlari ke arah
Juna. Seorang pria dengan blezzer warna biru dipadukan dengan jeans.
Pria itu Alexa Crain dengan tampilan yang
sedikit lebih dewasa dari yang Juna temui sebelumnya. Raut muka Crain tampak
sedikit gelisah. Dia berhenti di depan pintu bertulis 305. Ia tampak ragu, tetapi
dia mengeluarkan kunci dari sakunya,
memutar kunci, dengan bimbang dia mendorong pintu perlahan. Dia melongokkan
kepala ke dalam apartemen.
Juna menyusul masuk ke dalam apartemen saat
Crain sudah berada di ruang tamu. Tak ada siapapun di sana. Dua botol minuman
beralkohol yang udah habis tergelatak di atas meja. Kulit kacang berserakan di
permadani tebal berwarna biru.
Crain sekilas menginderai ruangan. Terdengar
suara lirih dari pintu kamar. Mata Crain memicing. Kakinya perlahan mendekat
pintu kamar. Tangannya menyentuh gagang pintu, memutarnya perlahan. Pintu
terbuka lebar. Tampak di dalam kamar, Mahesa dan seorang lelaki seumurannya
sedang berpelukan di atas tempat tidur. Muka Crain berubah memerah. Dia tak
berkata apa-apa saat Mahesa mendekatinya, lalu merujuk dengan sejuta kata. Tapi
Crain hanya diam, bak Patung Pancoran siang hari di tengah ruwetnya lalu lintas
Jakarta.
Juna mendelik saat Crain menampar Mahesa.
“Aku selalu percaya denganmu, Sa,” ucap Crain
akhirnya, di sela-sela isak tangis.
Crain keluar dari apartemen Mahesa, menembus
tubuh Juna.
Juna terjengkal ke belakang, terjun seperti
jurang. Pandangannya menghitam. Ia terjatuh di tanah berumput basah. Suasana
sepi. Gelap. Dari jauh, dia melihat seorang pria yang berjalan tergesa, keluar
dari Jip tangguh. Dia menyeret karung, seperti diganduli oleh berton-ton pasir.
Keringat tampak keluar dari sela rambutnya yang berantakan dan membasahi
wajahnya yang putih bersih. Orang itu berhenti. Lalu dia menggali sekuat
tenaga.
“Aku mencintaimu,” ucap orang itu dengan
bibir gemetar.
Juna terpekik, tak bisa berkata apa-apa saat
orang itu mengeluarkan mayat dari dalam karung yang ia bawa.
“Aku ingin kamu abadi di sini, bersamaku.”
Dia terus menggali. Setelah lubangnya cukup dalam, dia memasukkan mayat itu ke
dalam lubang, menguburnya dengan tanah. Setelah selesai, dia menanam pohon di atasnya.
Orang itu menghela nafas kecil. “Aku
mencintaimu,” ucapnya lagi, seperti meyakinkan dirinya sendiri.
Juna ternganga karena ia tahu orang itu
adalah Alexa Crain dan orang yang dikubur tadi adalah Mahesa.
Orang itu lenyap, berganti dengan set-set
adegan cepat, seperti rol film yang diputar cepat. Sebuah kapak yang terayun
cepat, memotong leher. Kapak milik Crain. Crain yang mendadak memiliki muka
yang dingin, pucat, dan penuh dengan amarah. Dia memegang pisau, menghunus ke
tubuh-tubuh lelaki-lelaki.
Juna mundur, terjengkal, terduduk paksa.
Pantatnya terasa sakit. Sketsa-sketsa di depannya berubah menjadi sebuah ruang
tamu dengan kursi rotan reot. Di atas kursi, seorang lelaki tambun tertidur dengan
suara dengkuran yang mirip bajaj sedang ngebut. Terdengar langkah orang datang,
seorang anak kecil dengan parang di tangan kanannya. Belum sempat Juna
mencegah, anak kecil itu berlari kecil dan menusukkan parangnya ke dada orang
yang sedang tidur.
Mulut Juna ternganga. Dia memandang anak
kecil itu yang sedan membabi buta, menusuki dada orang dewasa yang tidur. Anak
kecil itu seperti menyadari dirinya sedang dilihat. Dia menoleh dan melihat
Juna.
Juna terpekik. Anak kecil tersenyum. Di
wajahnya penuh muncratan darah.
Juna seperti tersedot vacuum besar. Dia
terpelanting, terombang-ambing, bayangan bocah yang tersenyum menyeramkan
tampak memudar. Saat ia tersadar, dia telah kembali ruangan Crain di Galeri
Mahakarya.
“Apa yang terjadi? Tubuhmu mendadak penuh
keringat setelah wawancara itu?” tanya Ben Lenwa.
Juna tidak menjawab. Dia masih syok dengan
beberapa sketsa adegan yang ia lihat. Jika benar bahwa orang-orang itu adalah
Alexa Crain, berarti makhluk-makhluk yang menghantuinya beberapa hari ini
adalah makhluk-makhluk yang penuh dengan dendam.
“Lenwa, kamu pasti tahu, Galeri ini dulu
bekas tanah apa?” tanya Juna.
“Tanah lapang, luas. Penuh rumput dan pohon,”
“Milik Crain?”
“Ya, tentu saja. Dia membelinya sudah sejak
lama. Dan ada satu pohon yang seharusnya tidak boleh ditebang, tapi kemudian
ditebang.”
“Pohon? Di mana letaknya?”
“Kira-kira…” Lenwa tampak berpikir.
“Kira-kira di bawah sini,”
Juna berputar, tanpa mempedulikan orang-orang
yang melihatnya dengan tatapan tak mengerti.
Makhluk-makhluk
itu adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan Alexa Crain, batin Juna. Dan aku belum
tahu mengapa mereka saat ini sangat marah. Apa yang telah Crain perbuat?
Juna berputar, mencari-cari apa yang bisa
memberinya petunjuk. Matanya tertuju pada gulungan-gulungan kertas di atas
meja.
Blue
Print? Juna membuka gulungan itu. Peta Monas?
Judul di kertas itu adalah PROYEK MAHAKARYA,
tercetak dengan tinta biru.
“Kamu tahu apa ini?” tanya Juna pada Lenwa.
Lenwa menggeleng. Peta itu hanya peta biasa. Tidak ada petunjuk apapun. Ah, mungkin ini memang peta biasa. Tapi mengapa ada tulisan ‘Proyek Mahakarya’?
Terdengar suara lift yang berdenting. Semua
orang saling pandang. Ada orang yang
datang? Semua dalam posisi siaga, memasang kuda-kuda. Juna menarik pistol
yang ia sembunyikan di balik jaket tebalnya. Ia berjalan pelan menuju panel
pintu. Yang lain mengikuti dari belakang.
Pintu terbuka perlahan. Wajah Ariana muncul
di belakangnya.
“Astaga, kamu Ariana. Aku kira siapa.
Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Di mana yang lain?” tanya Juna. Dia
menyembunyikan kembali pistol ke balik jaket. “Bukankah seharusnya kamu dan
yang lain ada di depan gerbang untuk….” Juna menghentikan kata-katanya karena
melihat perubahan raut muka Ariana. Matanya memicing seperti seekor ular yang
sedang mengintai induk ayam. “Are you OK?”
Ariana memandang nanar. Dari balik rambutnya
yang hitam panjang, tersembul moncong pistol. Seseorang mendorong paksa Ariana
ke depan. Pintu terbuka sempurna dan terlihat Janero sedang berdiri di belakang
Ariana, memegang pistol. Sontak seluruh orang yang ada di ruangan seperti
tersengat ribuan tawon. Janero tak berkata apa-apa, dia kemudian mencengkeram
lengan Ariana kuat-kuat.
“Apa yang kamu lakukan, Janero? Lepaskan
dia!” bentak Juna.
Terdengar langkah kaki mendekat. Disusul oleh
suara kaki berdentam keras di lantai. Gordon masuk dengan mulut tersumpal dan
tangan terikat ke belakang.
“Tak kusangka badanmu seberat itu, Mr. Girls
Band,” kata suara renyah di belakang Gordon. Muncul dari balik badan Gordon
yang besar, tubuh necis Alexa Crain dengan stelan jas biru dan celana jeans. “Selamat
datang di ruangan pribadiku, Tuan Mata,” ucapnya dengan nada lirih, mengejek.
“Crain?”
Crain terkekeh kecil. Dia berjalan mendekat
ke arah kursi yang terletak di pojok ruangan, lalu duduk dengan santai di sana.
Kaki ia silangkan ke depan, tangannya lentik memegang pulpen.
“Sebenarnya saya tidak ingin melibatkan
kalian untuk proyek saya. Namun, ternyata kalian semua terlalu jauh melibatkan
diri kalian sendiri. Oh, mengapa saya jadi berputar-putar. Dan…” Crain menoleh
ke arah Juna. “mungkin sudah saatnya saya bertindak, Tuan Juna Mata.”
Juna memandang nanar ke Crain. Ia tak menduga
bahwa Chief Rantai itu memiliki sisi gelap yang menakutkan. Ia sudah melihat
bagaimana Crain membantai orang, menusuk dada, mengubur mereka.
“Apa maumu, Crain?” tanya Juna. “Aku akan
mengabulkan semua keinginanmu asalkan kamu melepaskan Ariana.”
Crain tertawa kecil. “Kamu bukan orang
kemarin sore, Juna. Aku tahu itu. Tapi orang kemarin sore inilah yang dipilih
oleh Tuan Mata untuk memimpin Mata Rantai. Banyak yang iri, tentu saja. Tetapi
aku tidak termasuk orang-orang itu. Aku hanya ingin…aku hanya ingin membantu
orang-orang untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Mata Rantai pasti akan bisa
membantu. Jadi jika, kamu mau bekerja sama denganku, aku dengan senang hati
akan menerimanya. Aku sudah terlalu capek membunuh orang-orang yang
menghalangiku.”
“Kamu sudah gila, Crain. Ini semua pasti
gara-gara pengalaman masa kecilmu?”
Crain mendelik, lalu menatap muka Juna.
“Jangan pernah menyebut-nyebut masa kecilku, Tuan Juna Mata.”
“Apa maumu?” tanya Juna. “Uang? Kekuasaan di
Mata Rantai? Semua akan kuberikan asal kamu melepaskan Ariana.”
“Kamu sama saja dengan orang-orang di
pemerintahan sana yang menebar janji-janji palsu, Tuan Juna Mata. Aku bukan
anak TK yang mudah dibujuk dengan permen warna-warni, Tuan.” Perkataan Alexa
Crain terdengar mengejek. “Setelah aku melepaskan Ariana, tentu saja kamu tidak
akan memberikan apa yang kamu ucapkan tadi. Aku sudah malas berbasa-basi.
Janero, bawa Ariana.”
Dodo dan Dede yang awalnya diam kini bergerak
maju, hendak merebuat Ariana. Janero
bergerak cepat. Ia mencengkeram lengan Ariana, Ariana terdengar
kesakitan, dan Janero langsung menyorongkan pistolnya ke kepala Ariana.
“Kalian jangan pernah macam-macam,” bentak
Janero.
“Janero, apa yang kamu lakukan? Jadi selama
ini….” Perkataan Dede terpotong.
Crain menyela perkataan Dede. “Orang yang
sakit hati akan melakukan apa saja.” Dia menoleh ke arah Janero. “Ayo, kita
pergi Janero. Bawa Ariana ke mobil. Dan untuk kalian yang masih ada di sini,
jika ada seorang pun yang bergerak dari ruangan ini, kalian akan langsung
mendengar bunyi keras pistol ini menyalak. Aku tidak menggertak, tapi aku tidak
pernah bercanda. Kalian tahu itu.” Crain memandang satu persatu orang di
depannya.
Tak ada yang berani maju dan berkomentar.
Crain berjalan pelan ke arah Juna. Dia
menyondongkan badannya, sehingga kepalanya tepat di samping telinga Juna. “Jika
ingin dia selamat, tukar saja Buku Petunjuk Batu Mata dengannya. Aku menunggumu
di gedung Mata Rantai, besok jam 5 sore. Aku tak punya banyak waktu.”
“Jangan sakiti dia,”
“Tentu saja, kecuali kamu tak menyerahkan buku
itu.”
Sesaat kemudian, Crain pergi dari ruang
pribadinya disusul oleh Janero yang menyeret paksa Ariana.
Juna berdiri mematung. Ia mendadak lupa
dengan tujuannya ke tempat ini. Ia juga lupa dengan makhluk-makhluk itu.
Setidaknya kini dia mendapatkan jawaban-jawaban pertanyaannya. Dan yang lebih
penting sekarang adalah ia harus segera menyelamatkan Ariana.
# # #
Berasa kayak di film-film fantasi...
ReplyDeletekayak FROZEN gitu...
eh, iya bukan sih??
Kenapa jadi frozen hahahaha :)
DeleteKingsman oi Kingsman :)