BAB 27
Arya membenarkan letak jam tangannya yang menunjuk angka tujuh. Jam tangan warna perak bergaris emas itu kini tertata sempurna di tangan kanannya.
Arya membenarkan letak jam tangannya yang menunjuk angka tujuh. Jam tangan warna perak bergaris emas itu kini tertata sempurna di tangan kanannya.
Pintu keluar terminal kedatangan domestik
sudah cukup ramai. Tetapi gerombolan Juna Mata belum terlihat. Arya menoleh ke
kanan dan ke kiri, dan berganti ke ponselnya. Tak ada satu pun yang bisa
dihubungi.
Astaga
ke mana mereka?
Tadi shubuh, ponselnya berdering. Ada missed call lebih dari sepuluh kali dari
Tuan Juna. Arya hampir saja tidak mengangkat. Namun, di dering yang kesebelas,
dia meraih ponselnya. Juna berbicara dengan cepat. Dia meminta untuk dijemput
di bandara pagi hari. Ia belum mengatakan apa-apa, kecuali satu kalimat yang
membuat kening Arya berkerut.
“Mata Rantai dalam bahaya, Arya. Aku harus segera ke Jakarta. Dan perintahkan semua satuan keamanan untuk siaga.”
Kalimat itulah yang memaksa Arya untuk bangun
bergegas dan mengendari BMW 1 Series 5 ke bandara. Dan kini ia berdiri di pintu
keluar sambil sesekali menengok ke dalam bandara. Kecurigaannya hanya satu,
Juna sedang merahasiakan sesuatu darinya.
Jadi ketika Juna tampak di pintu keluar, ia
buru-buru menyambutnya. Muka Juna tampak lusuh dengan rambut berantakan,
sungguh tidak seperti biasa. Ke mana Eva
sehingga tidak mengurusi penampilan bosnya ini?
“Ada apa?” tanya Arya.
“Sesuatu yang penting. Sangat bahaya, kita
harus segera ke Mata Rantai. Kamu sudah memerintahkan semua keamanan di Mata
Rantai untuk diaktifkan?”
“Tentu saja. Ada apa ?” Arya mengulang
pertanyaannya. Dia melirik kepada Dodo, Dede, dan Gordon. Ketiga tidak memberi
jawaban. “Oh iya, ke mana Ariana?”
“Disandera Alexa Crain, dan mereka kini
sedang menuju ke Mata Rantai,”
“Apa?” Arya berhenti. Yang lain mengikuti.
“Kalian jangan bercanda.”
“Aku tidak bercanda, Arya. Mata Rantai sedang
dalam bahaya. Aku tidak tahu, apa yang Alexa Crain rencanakan. Tetapi dia
sedang mencari sesuatu di Mata Rantai. Tentu saja ia menyandera Ariana karena
ia menganggap akulah yang tahu sesuatu yang ia cari itu.”
“Batu Mata Rantai?” tanya Arya. Semua orang menoleh
kepadanya. “Legenda batu itu tentu saja…sangat membuat semua orang ingin
memilikinya. Kekuatan, kemurnian, dan kekuasaan menyelubungi batu itu seperti
doa-doa yang terus dipanjatkan di tempat suci. Crain, jelas saja ingin
menginginkannya.”
Juna menghela nafas kecil. “Dan dia belum
tahu cara menggunakan batu itu sebelum ia membaca buku yang Tuan Mata Generasi
tulis. Itu yang ia cari.”
“Jadi dia sudah memiliki batu itu?” tanya
Arya.
“Aku rasa sudah. Itulah mengapa kita harus
cepat-cepat menyelamatkan Ariana sekarang. Tapi aku harap kamu mengantarkan
kami ke coffee shop dulu, kami kelaparan. Crain memintaku untuk datang ke Mata
Rantai pukul 5 sore. Kita masih punya waktu.”
“Dan kamu mematuhinya? Dengar Tuan Juna, Mata
Rantai adalah rumahmu, perusahaanmu, dan kamu bebas ke sana kapan saja.”
Juna menatap Arya lekat. “Tapi aku tak ingin
menyakiti siapa pun, terutama Ariana.”
“Lebih baik aku menghubungi orang-orang di
Mata Rantai agar berhati-hati.”
“Crain benar-benar sudah gila. Aku sudah
menyaksikan sendiri bagaimana dia menghabisi nyawa orang-orang yang ia sayangi
satu persatu. Mengubur mereka di bawah Galeri Mahakarya. Ia pasti akan
melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan sekarang aku
takut, dia akan menyakiti Ariana. Itu saja.”
Semburat Jingga mengantarkan mobil Arya
merapat ke gedung Mata Rantai. Gerbang Mata Rantai tertutup rapat. Arya menekan
tombol interkom sambil menyebutkan kata sandi Mata Rantainya. Gerbang terbuka
sedikit, muncul dua orang berseragam menghampiri mobil Arya.
“Halo Pak Tora, selamat sore. Mengapa
gerbangnya tidak membuka sendiri?” sapa Arya.
“Hanya Anda dan Tuan Mata yang diijinkan
untuk masuk ke dalam,” kata Pak Tora, salah satu orang berseragam itu.
“Apa maksudnya?” tanya Arya sambil melepas
Ray Ban hitamnya.
Pak Tora membuka jas yang membungkus badannya
dan di sana terpasang panel-panel personal bom dengan kabel merah dan biru. Dengan
gerakan perlahan dan tak bersuara, Pak Tora mengucapkan kata ‘Maaf’. Arya
melirik ke orang yang berseragam satunya. Ia memang belum pernah melihat orang
itu di Mata Rantai. Arya memicingkan mata.
Arya menoleh ke arah Juna. “Kita harus turun,
Tuan Juna. Hanya kita berdua yang diijinkan untuk masuk ke dalam.” Arya berkata
lirih sembari memberi isyarat kepada Juna dengan melirik sebentar ke petugas
berseragam di depan gerbang.
Juna memahami isyarat itu. Ini semua pasti
ulah Crain. Dan Juna yakin sekarang Crain sedang berada di dalam gedung Mata
Rantai.
“Gordon, kamu ambil alih kemudi. Dan kalian
bertiga tetap berjaga-jaga di sini, jika ada apa-apa, kuharap kalian bisa
dengan sigap membantu,” ujar Juna kepada Dodo, Dede, dan Gordon.
Ketiganya mengangguk.
Juna mengikuti langkah Arya untuk keluar
mobil. Hawa panas Jakarta menyergap mereka.
Ia teringat saat dulu pertama kali datang ke Mata Rantai. Ketika ia
harus mengikuti Arya untuk naik busway, berjalan dari halte ke halte, dan
akhirnya tiba di Mata Rantai. Ia teringat ucapan Arya, bahwa dirinya harus
membumi, harus lebih peka dengan keadaan sekitar. Ya, ia pun sadar bahwa kini ia
memang harus lebih peka lagi dengan apa yang terjadi di sekililinya. Kejadian
beberapa bulan ini telah memporak-porandakan hidupnya. Semuanya terjadi begitu
cepat, begitu nyata. Dan untung saja ada orang-orang di sekitarnya yang masih
mendukungnya. Termasuk Arya.
“Arya,” ujar Juna beberapa meter dari pos
penjagaan Mata Rantai. Arya menoleh sambil terus berjalan. Juna tersenyum
kecil. “Terima kasih.”
“Untuk?”
“Karena kamu selalu ada, membantuku. Tuan
Mata, maksudku ayahku tidak salah memilihmu.”
Arya membalas senyum Juna. “Aku hanya
melakukan apa yang seharusnya kulakukan, Juna. Ayo, kita segera selesaikan
ini.” Arya menepuk pundak Juna.
Pos penjagaan dijaga ketat oleh
petugas-petugas bersegerama. Juna mengenal beberapa. Tetapi sepertinya sebagian
orang telah mengikuti perintah Alexa Crain. Masing-masing memegang senjata, ada
pula yang sengaja diacungkan kepada petugas yang dirasa masih memihak pada
Juna.
“Pemeriksaan,” ucap seorang petugas yang
memiliki kumis tebal.
Juna mengangkat tangannya ketika petugas itu
menepuk-nepuk pundaknya. Juna seperti seekor kura-kura yang kehilangan
cangkangnya. Ia dianggap tamu, padahal ia adalah pemiliknya. Arya pun
diperlakukan sama.
“Tidak ada senjata, kalian berdua boleh
masuk.”
Juna dan Arya dikawal oleh dua petugas dengan
senjata di depan dada. Perjalanan dari gerbang ke lobi terasa panjang. Setelah
sekian lama di sini, ini adalah kedua kalinya ia berjalan dari gerbang ke lobi
sambil melihat dengan nyata gedung Mata Rantai. Kedua kalinya ia merasa seperti
tamu. Jika dulu ia berjalan bersama Arya sebagai seseorang yang akan dinobatkan
sebagai pemimpin Mata Rantai, maka sekarang ia berjalan sebagai seorang
tawanan.
Pintu lobi terbuka lebar saat mereka masuk.
Tetapi tidak ada Crain di sana. Juna mengamati ke kanan dan ke kiri, tidak ada
tanda-tanda apa-apa. Dua petugas membawa mereka ke arah lift. Belum ada
tanda-tanda tentang Crain. Saat petugas itu memencet angka 5 di lift, lalu lift
terbuka, Juna tahu ke manakah mereka akan pergi. Dua petugas meminta Juna dan
Arya untuk berjalan cepat. Menyusuri tangga darurat, berhenti di depan dinding.
Salah satu petugas memberi isyarat kepada Juna.
Juna menempelkan tangannya, sinar hijau
mengelilingi tangannya, lalu sebuah lubang kecil mengeluarkan sinar untuk
menginderai retinanya. Dinding membelah menjadi dua. Pintu lift terbuka, dan
mereka masuk. Lantai 13 menyambut mereka seperti mayat yang telah diam dua
hari. Lorong dengan permadani tebal mendadak menjadi seperti kamar mayat. Di
ujung lorong, pintu besi menyambut mereka. Salah satu petugas mendorongnya.
Mereka berempat disambut oleh Alexa Crain
yang tengah duduk di sofa sambil memegang segelas wine bening dengan lentiknya.
Mendadak pandangan Juna mengabur, ia teringat dengan semua hal di alam bawah
sadarnya. Cara Crain membunuh ayahnya, mengubur Mahesa, semua berlompatan. Di
telinganya terdengar dengungan lirih, seperti bisikkan-bisikkan yang ingin
memberitahunya sesuatu.
Di sisi sofa yang lain, Janero tengah duduk
sambil menodongkan pistol ke Ariana yang mulutnya disumpal dan tangannya
diikat. Ariana memberi isyarat kepada Juna dengan menggelengkan kepala.
Syukurlah
dia baik-baik saja, batin Juna.
“Akhirnya kalian sampai juga, aku sudah cukup
lama menunggu.” Crain melirik jam tangannya. “Kalian telat sepuluh menit. Untuk
ukuran seorang pemimpin Mata Rantai, tentu itu bukanlah prestasi.”
“Apa yang kamu lakukan, Crain?” bentak Arya.
Salah satu petugas yang tadi membawanya tambak menyiagakan senjatanya.
Crain memberi isyarat agar petugas itu
menurunkan senjatanya. “Aku hanya ingin bertransaksi dengan Tuan Juna. Kuharap
kamu tidak perlu ikut campur,”
“Setelah apa yang kamu dapatkan dari Mata
Rantai, dari kepercayaan Tuan Mata, sekarang ini yang kamu lakukan?”
“STOP, jangan memberiku ceramah. Aku sedang
tidak ingin berdebat. Dan jangan membuatku kesal. Asal kalian tahu, aku
melakukan ini untuk kebaikan semua orang. Aku hanya ingin membantu orang-orang
yang membutuhkan, mereka yang kehilangan kasih sayang. Itu saja. Dan biarkan
Tuhan yang menghakimi sendiri perbuatanku, apakah benar atau salah. Kalian
bukan kaki tangan Tuhan yang diberi mandat untuk membenarkan atau
menyalahkanku.”
“Kamu sudah gila,”
Juna menyentuh lengan Arya. “Tenanglah. Aku
akan menuruti permintaannya.” Juna tersenyum kecil.
“Tapi Tuan…”
Juna menggeleng.
“Ternyata kamu sudah mengerti, Tuan Juna.
Segera bawa kemari buku petunjuknya wasiat dari Tuan Mata dan aku akan
memberikan Ariana kepadamu.”
Juna mengangguk. Dia kemudian berjalan ke
kamarnya dikawal oleh petugas. Dia menuju dinding di dekat tempat tidurnya. Ia
menempelkan tangannya di sana, dinding terbuka, sebuah almari kecil dengan
pintu kaca ada di dalamnya. Juna membuka almari itu lalu mengambil buku
bersambul cokelat yang ada di dalamnya. Juna memperhatikan sekilas buku itu.
Buku petunjuk Mata Rantai. Ia sendiri masih belum tahu tentang guna buku itu
dan malam ini ia harus melepaskannya.
Tanpa mempedulikan petugas yang sedang
berdiri di ambang pintu, Juna membuka cepat buku itu. Tulisan-tulisan tangan di
sana tampak tergambar jelas. Dari semuanya, gambar di sampul belakangnyalah
yang selalu membuatnya bingung. Gambar hewan, seperti kumbang yang digambar
dengan grafis bunga-bunga. Apa maksudnya?
Juna menggeleng. Dia harus cepat memberikan
buku itu lalu menyelamatkan Ariana. Ia sendiri tidak mengerti apakah tindakannya
sekarang benar atau salah. Dulu ketika ia datang kali pertama ke sini, ia
memang bertekad untuk meneruskan Mata Rantai, warisan ayahnya. Tetapi malam
ini, ia justru akan menyerahkan warisan buku petunjuk Batu Mata Rantai ke orang
lain. Ia merasa gagal untuk memenuhi permintaan ayahnya.
Juna menutup buku itu, lalu berjalan keluar
dari kamarnya.
Di luar kamar, semua orang sudah berdiri
menyambut Juna di depan kamarnya.
“Ini bukunya,” ucap Juna. “Tetapi sebelumnya
serahkan dulu Ariana kepadaku atau aku benar-benar akan memusnahkan buku ini.”
Juna mengacungkan korek api di dekat bukunya.
Crain terkekeh. “Aku suka caramu
bertransaksi, Tuan Juna. Tetapi tenang saja, aku bukan tipe pebisnis yang
mengingkari janji. Kuharap kamu pun begitu.” Crain menoleh ke arah Janero.
“Lepaskan dia.”
Janero melepas sumpalan mulut Ariana dan juga
ikatan tangannya. Ariana memberontak pelan, lalu ia berjalan ke arah Juna.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Juna. Ariana
menggeleng.
“Sekarang serahkan buku itu!” perintah Alexa
Crain. Moncong-moncong senjata mengarah ke arah Juna, termasuk milik Janero.
Juna menyodorkan buku yang ia pegang ke arah
Crain. Crain menyambutnya dengan muka berbinar. Ia seperti seorang anak kecil
yang baru saja diperbolehkan ibunya untuk memakan es krim cokelat besar. Ia
membolak-balik buku yang ia peroleh. Di halaman-halaman tertentu, matanya
tampak membelalak senang.
“Aku sudah lama menginginkan buku ini,” ucap
Crain terkekeh kecil. “Dan malam ini aku akan segera menyelesaikan misiku.” Ia
menoleh ke arah Janero. “Sekarang waktunya kamu untuk balas dendam, lampiaskan
amarahmu saat ini. Bukankah kamu menginginkan Ariana menjadi milikmu?” Crain
tertawa mengejek. “Kamu boleh membunuh mereka berdua, lalu mengawetkan Ariana
di kamarmu, atau kamu bunuh saja Juna Mata, dan kamu masukkan Ariana ke kamar
itu. Bukankah akan menyenangkan bercinta dengannya di kamar Tuan Juna?” Crain
kini tertawa lebar.
Juna mengepalkan tangannya keras. Mukanya
berubah merah. Dia mencengkeram tangan Ariana kuat.
“Dan Tuan Juna, sebelum kamu berada di alam
lain yang benar-benar nyata, bukan lagi alam bawah sadarmu, aku ingin katakan
bahwa Gedung ini ternyata memiliki banyak sekali sistem keamanan yang sulit
ditembus. Tetapi untung saja, kamu menempatkan Janero di Departemen IT bersama
dua asisten terbodohmu. Aku jadi punya akses untuk melihat seluruh ruang di
gedung ini. Dan tidak sulit bagiku untuk menanamkan bom waktu di salah satu
gedungnya.” Crain melirik jam tangannya.
“Tinggal lima belas menit lagi bom itu akan meledak.”
Juna semakin mempererat pegangannya pada
tangan Ariana. Kali ini dia benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan
amarahnya. Tetapi, ia sedang berada di pihak terpojok. Di depannya ada tiga
orang di pihak lawan yang sedang memegang senjata. Tentu saja jika ia berontak,
maka ia seperti menyerahkan tubuhnya pada macan yang kelaparan.
“Aku harus pergi. Sekarang urusanmu, Janero.”
Crain memasukkan buku petunjuk batu mata rantai ke dalam tasnya. Ia berbalik
badan dan berjalan perlahan, kemudian berhenti. Ia kembali menoleh. “Sudah
cukup dramanya, Sayang. Kita harus segera menyelesaikan misi ini. Lekas kemari,
aku sudah lelah berpura-pura.”
Juna memicingkan matanya tak mengerti. Crain
sedang melihatnya, lalu memandang Ariana. Juna menoleh ke arah Ariana meminta
penjelasan. Tetapi mata Ariana menyinarkan kepolosan, seperti bayi yang baru
keluar dari rahim.
“Aku juga sudah lelah berpura-pura,” suara
bass itu membuat Juna menoleh. Ia memandang Arya yang berjalan santai dengan ke
dua tangan di saku celana. Ia berjalan ke arah Alexa Crain. Crain menyambut
Arya, ia mengalungkan tangannya ke lengan Arya. Keduanya menoleh ke arah Juna.
Juna menelan ludah. “Arya?” ucapnya pelan.
Crain tertawa kecil. “Sudah terlalu banyak
orang yang sakit hati di sini, Juna. Karena kamu.” Dan dia bergelendot manja di
tangan Arya. Arya membelai rambut Crain. Keduanya berjalan menjauh.
Juna berdiri mematung di tempatnya. Ia masih
belum percaya dengan apa yang dilihatnya.
Arya?
Arya yang sangat ia percayai?
Mendadak angin berhembus. Hawa panas seperti
datang tiba-tiba. Kesadaran Juna pulih kembali. Di hadapannya, ada tiga macan
lapar dengan gigi yang siap menerkam dirinya dan Ariana. Juna melirik ke kiri,
ia mendapati figura ada di sisi kirinya. Lalu ia beralih melihat Ariana.
“Ariana, apakah kamu membawa tisu? Sepertinya
tisu basah di kamarku habis,” Juna mengerlingkan matanya, memberi isyarat.
Ariana melebarkan matanya. “Di kamarku,” kata Juna, menekan kata-katanya.
Ariana menggerakan kepalanya tanda mengerti.
Juna menoleh ke ketiga macan di depannya. “Apakah
kalian akan berdiam diri saja?” tanya Juna.
“Aku sudah menantikan ini, Juna.” Janero
menarik pelatuk pistolnya.
“Begitupun aku, Janero.” Juna meraih figura
di sampingnya dengan cepat, melemparnya ke sisi kanan. Ketiga macan di depannya
menoleh, mengikuti figura. Juna memanfaatkan kesempatan itu untuk menendang
pintu di belakangnya. Pintu kamar terbuka, Ariana masuk ke kamar di susul oleh
Juna. Dengan sigap Juna menutup pintu kamar dan menguncinya. Terdengar tembakan
dan gedoran pintu.
“Cepat lari ke toilet!” teriak Juna. Ariana
menuruti, dia berlari ke toilet. Juna menyusul.
Di dalam toilet, Juna menyentuh cermin di
sana. Tangannya terdeteksi, lalu matanya. Cermin membelah dan ia masuk ke dalam
ruangan di dalamnya, disusul oleh Ariana. Terdengar tembakan lagi, dan gedoran
pintu berkali-kali. Sebelum tiga macan itu menemukan mereka, Juna menutup
kembali pintu cermin.
Di dalam ruang baca rahasia, Juna mencari
kacamata Tuan Mata.
“Aku tidak tahu ada ruangan ini di gedung
ini,” kata Ariana.
“Peta rahasia Mata Rantai pun tidak tahu.
Tuan Mata sengaja menyembunyikannya. Mungkin ia sudah menduga akan ada hal
seperti ini, penghianatan seperti ini.” Juna memakai kacamata Tuan Mata. Dia
memandang ke sekeliling, mencari-cari.
“Mencari apa?” tanya Ariana.
“Pintu rahasia,” jawab Juna. Dia
mendapatkannya. Di salah satu rak buku, ada tombol rahasia yang hanya terlihat
dengan kacamata Tuan Mata. Sebuah tombol yang seharusnya di dunia nyata
terlihat sebagai sebuah buku tebal. Juna menggeser buku itu. Rak buku bergerak,
terbuka. Sebuah pintu ada di baliknya.
“Ayo masuk,” perintah Juna. Ariana
mengangguk. Di balik pintu itu adalah sebuah lift yang akan membawa mereka ke
halaman tak terjamah di lorong bawah tanah yang akan membawa mereka ke pintu
rahasia di belakang gedung Mata Rantai. Lift bergerak cepat turun ke bawah.
Di luar toilet, Janero dan dua petugas
keamanan sedang kebingungan mencari-cari Juna dan Ariana.
Pintu lift terbuka. Ruangan gelap. Juna ragu
untuk melangkah maju.
“Kenapa? Kamu nggak takut gelap kan?” tanya
Ariana sambil mengeluarkan ponselnya. Ia mencari aplikasi senter di sana, lalu
menyalakannya.
“Aku tidak takut sama gelap,” jawab Juna.
“Tapi kuharap di sini tidak ada kecoa.”
“Oh iya, kecoa. Ha ha ha,” Ariana tertawa.
“Apa yang kamu tertawakan di tengah suasana
genting seperti ini?” tanya Juna. “Aku di sini masih bosmu,”
“Bos yang otoriter?” Ariana memicingkan mata.
“Atau yang takut kecoa?” Lagi-lagi dia tertawa.
“Cukup Ariana, lebih baik kamu hubungi Dodo
atau Dede suruh mereka untuk menjemput kita di belakang gedung. Aku yakin,
Crain dan Ariana sedang merencanakan sesuatu. Mereka akan pergi ke suatu
tempat.”
“Pergi ke suatu tempat?”
“Monas,”
“Monas?”
“Ya, aku melihat peta kawasan Monas di ruang
bawah tanah Crain di Galeri Mahakarya dengan subyek PROYEK MAHAKARYA. Aku yakin
mereka akan ke sana dengan membawa batu mata rantai. Tapi aku belum tahu
mengapa mereka ke sana. Tetapi yang jelas, mereka akan melakukan sesuatu.”
Juna merasakan bisikan di telinganya semakin
kuat. Pandangannya mengabur.
“Ada apa?” tanya Juna.
“Entahlah, aku seperti merasakan ada makhluk
berkekuatan besar yang berusaha memberitahuku sesuatu.” Juna memejamkan mata.
“Mahesa,” ucap Juna kemudian.
“Mahesa?” tanya Ariana. “ Siapa?”
“Kekasih pertama Crain. Crain menguburnya di
Galeri Mahakarya. Ia mengawetkannya di sana. Karena ia tak ingin Mahesa
dimiliki oleh orang lain, makanya dia membunuh Mahesa dan mengawetkannya. Dan
dia membunuh orang-orang yang berusaha merebut Mahesa darinya.”
“Lalu mengapa Mahesa sekarang tiba-tiba
muncul seolah ingin balas dendam?”
Juna memutar otaknya. Lorong di depannya
semakin gelap, tetapi mereka berdua harus tetap berjalan. Dia memegang tangan
Ariana erat karena ia tak ingin tiba-tiba ada kecoa di depannya.
“Kamu ingat pertengkaran Eva dan Gerry di
butik mereka beberapa bulan silam?”
Ariana mengangguk. “Sebelum kita makan di
Blok S?”
“Oh kamu rupanya mengingat makan siang di
Blok S bersamaku?”
“Cukup Juna, itu bukan bahasan penting
sekarang.”
“Tetapi kamu mengingatnya?”
“Iya aku mengingatnya, puas?”
“Berarti kamu mencintaiku?”
“Pertanyaan macam apa itu, Juna.”
“Aku mencintaimu,” ucap Juna. Matanya menatap
mata Ariana dalam remang cahaya yang
keluar dari ponsel Ariana.
Ariana menghela nafas perlahan. “Apakah kamu
tidak menanyaiku, apakah aku mencintamu?”
“Apakah kamu mencintaiku?”
“Apakah perlu kujawab?”
Tangan Juna meraih kepala Ariana. Ia
memandang bibir Ariana yang merah dan kecil.
Ariana balas menatap Juna. Di tengah
kegelapan seperti ini, mata Juna masih tetap membuat seluruh tubuhnya luruh ke
tanah.
Bibir Juna mendekat ke bibir Ariana. Lalu
keduanya bersentuhan. Juna membuka perlahan bibirnya, lalu memainkan lidah dan
bibirnya di bibir Ariana. Ariana terpejam, menikmati setiap kejutan dari bibir
Juna yang terkesan tebal namun mengasyikkan.
Bunyi sinyal low battery ponsel Ariana menghentikan ciuman mereka. Dan mereka
baru tersadar bahwa mereka sedang dalam bahaya.
“Mengapa aku harus menciummu di suasana
seperti ini?” Juna mendengus dan dibalas Ariana dengan tawa.
“Kamu belum menyelesaikan kalimatmu sebelum
kita membahas makan siang blok S,” ucap Ariana dengan muka merah, malu. Ia
masih kaku setelah berciuman dengan Juna barusan.
“Ingat pertengkaran Gerry dan Eva?” tanya
Juna. Ariana mengangguk. “Kamu pernah bilang kepadaku bahwa pasangan seperti
Gerry dan Eva itu memiliki cinta yang besar. Jika salah satu diantara mereka
cemburu, maka mereka bisa berbuat apa saja. Jadi aku rasa….”
“Mahesa cemburu pada Arya,”
“Tepat.”
“Dan dia ingin balas dendam.”
“Dan ini bukan sekedar balas dendam, tetapi
pertarungan yang melibatkan dua supranatural. Crain memegang batu mata rantai.
Dan sesuai yang kutahu, batu itu bisa mengendalikana makhluk-makhluk gaib, atau
justru sangat berbahaya bagi yang memegangnya. Apapun yang mereka rencanakan,
kita harus mencegahnya. Kita harus bergegas ke Monas.”
“Aku sudah menghubungi Dodo dan dia akan
menjemput kita di belakang gedung. Kita harus segera ke sana.”
Juna mengangguk. Ia merenung sejenak.
“Ada apa?” tanya Ariana.
“Aku hanya tidak percaya, ini semua terjadi
di Mata Rantai, di bawah kepemimpinanku. Di surat wasiat yang Tuan Mata tulis
untukku, beliau memintaku untuk melanjutkan Mata Rantai yang hampir bangkrut.
Dia berharap padaku, dia berharap aku bisa mengembalikan kejayaan Mata Rantai.
Tetapi aku malah membuat semuanya berantakan. Aku gagal, aku merasa gagal
Ariana.”
Ariana menggeleng pelan. Dia menempelkan
telunjuknya di bibir Juna. “Ini semua bukan salahmu, Juna. Aku tahu, kamu sudah
melakukan yang terbaik. Ini karena ulah orang-orang yang berkhianat, mereka
yang menginginkan kehancuran Mata Rantai.”
“Dan Arya….” Juna menekan kata-katanya. “Aku sampai
detik ini bahwa dia…” Juna menggeleng, “…bahwa dia mengkhianatiku. Mengkhianati
kepercayaan Tuan Mata.”
Juna jadi teringat kejadian tadi pagi di
bandara. Pantas saja, Arya langsung menyahut bahwa Crain sedang mencari batu
mata rantai. Padahal dia belum mengatakan apa-apa. Itu karena Arya pun ada di
balik ini semua. Ia pun ada dalam misi pencarian batu mata rantai.
“Sudahlah, Juna. Kamu tidak perlu menyesali. Kita
harus bergerak cepat.”
Mereka tiba di ujung lorong. Juna mendorong
pintu besi di depannya. Langit gelap menyambut mereka. Sebelum mereka bergerak,
terdengar bunyi dentuman keras dari belakang mereka. Juna menoleh ke belakang
dan ia melihat salah satu gedung Mata Rantai runtuh karena bom. Api menyala,
menimbulkan cahaya di tengah malam. Suasana mendadak ramai oleh rauangan mobil
polisi.
Juna mengumpat dalam hati. Ia melupakan
ucapan Crain tentang bom yang ia letakkan di gedung Mata Rantai. Dan Crain
benar-benar tidak bercanda. Dia menghanucrkan salah satu gedung itu.
“Ini pengalihan,” kata Ariana tiba-tiba.
“Pengalihan?” tanya Juna.
“Iya, agar orang-orang tidak ada yang
mengetahui perbuatan mereka di Monas.”
Lampu di otak Juna seperti menyala. “Mengapa
aku tidak berpikiran sampai segitunya.” Lalu dia seperti menyadari sesuatu.
“Astaga, mengapa aku tidak menyadarinya?”
“Apa?”
“Aku sekarang mengerti, apa arti simbol gambar
sampul belakang di buku petunjuk mata rantai. Awalnya kukira itu adalah gambar
kumbang berwarna kuning kecokelatan dengan grafis bunga. Ternyata itu bukan
kumbang, tetapi kekutu.”
“Kekutu? Apa yang kamu bicarakan, Juna.”
“Apa bahasa inggris kekutu?”
“Bug?”
“Ya, Bug.
Bug dalam istilah IT berarti suatu kesalahan desain pada suatu perangkat keras
komputer atau perangkat lunak komputer yang menyebabkan peralatan atau program
itu tidak berfungsi semestinya. Tahun 1945, sewaktu ukuran komputer masih
sebesar kamar, pihak militer Amerika Serikat menggunakan komputer yang bernama
"Mark 1". Suatu hari komputer ini tidak berfungsi dengan semestinya,
setelah komputer itu diperiksa ternyata ada suatu bagian perangkat keras di
mana terdapat serangga yang tersangkut. Setelah serangga itu diangkat dari
perangkat keras, komputer dapat berfungsi dengan baik. Maka sejak saat itu kata
kekutu lekat dengan masalah-masalah pada komputer.”
“Lalu?”
“Ah, aku belum bilang kepadamu bahwa Tuan
Mata menyukai dunia IT. Banyak sekali bukunya tentang IT di ruang bacanya. Dan
ia meninggalkan petunjuk di buku batu mata dengan simbol itu.”
“Langsung ke pokok permasalah, Juna.”
“Batu Mata Rantai yang Crain temukan itu
bukan batu yang asli. Tuan Mata sengaja melakukannya karena ia tahu akan ada
perpecahan di perusahaan ini karena legenda batu itu. Tuan Mata masih menyimpan
batu itu rapat-rapat di tempatnya, di Masjid Luar Batang. Ini adalah sebuah bug, kesalahan agar batu itu tidak
berfungsi. Atau bahasa gampangnya, ini adalah pengalihan. Dan aku tahu apa yang
harus kuperbuat sekarang, Ariana.”
baca kelanjutan kisahnya di sini
Baca tulisan ini serasa baca novel-novel luar negeri...
ReplyDeletemantav bro!!
lanjutkan!!
salam kenal...
Yg ini keren bro..udh nebak arya terlibat tp ttg bug,excellent..lanjuuuuttt!!!!
ReplyDelete