Dia terbungkus kaca, sangat cantik. Bagaimana aku bisa jatuh cinta kepadanya? Setiap hari, pagi dan petang, aku memandangnya dari kejauhan. Seperti seorang pengemis kecil yang sedang menanti sisa-sisa kue gosong dari toko kue. Andai aku bisa lebih dekat lagi. Setiap selongsong matanya menyala menatapku, aku hanya bisa tersenyum dan menahan nafas. Dialah penyemangatku setiap pagi.
“Berapa
harganya?” tanyaku suatu hari, sambil memandangnya sekali lagi. Sore itu,
sepulang kerja, aku datang menemuinya. Petugas yang selalu membersihkannya
menyapaku, menjelaskan tentang
skema pembelian. Dia menyebutkan satu angka yang langsung membuat ludahku beku.
Seorang tukang ojek pengkolan yang tak
tentu pendapatannya setiap hari harus menabung berapa lama untuk bisa
memilikinya, pikirku saat itu.
“Mengapa
tidak kredit saja?” tanya petugas itu. “Itu akan lebih mudah.”
Aku
menggeleng pelan.
Lalu aku pulang
dengan mimpi-mimpi kecil. Sebuah mimpi yang setiap pagi dan sore selalu
berkobar kala
melihat si cantik.
Aku bertekad akan membawanya pergi dari toko itu suatu saat. Aku hanya perlu
bekerja keras, mencari uang setiap hari.
Di
setiap doaku pagi dan petang, dialah yang menjadi prioritasku. Tuhan ijinkan aku membawa New Vario ESP CBS
warna hitam yang ada di toko itu ke rumah. Untuk hadiah puteri kecilku. Aku
tersenyum, percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan doa itu.
Tuhan
kemudian menunjukkan mukjizatnya. Setiap hari aku bisa menyisihkan uang untuk
kutabung. Lalu ada saja rejeki yang datang. Misalnya, tiba-tiba ada yang
menawari untuk menjualkan tanah miliknya. Aku akan mendapatkan upah jika
berhasil menjualnya. Tak berapa lama, ada seorang saudagar yang menawar tanah
itu. Aku mendapat upah, saudagar itu pun memberiku pundi-pundi tambahan.
Tepat
satu bulan sebelum puteri kecilku akan masuk ke universitas di kota, aku sudah
mengumpulkan semua dananya. Aku pergi ke sana, ke toko itu. Melihat dengan
linangan air mata syukur. Aku tak bisa membayangkan puteri kecilku akan
melompat kegirangan melihatku membawa sepeda motor ke rumah. Dia pasti tidak
akan cemberut lagi. Dia akan memaafkanku yang sudah berjanji setiap hari.
Sengaja
aku bilang kepada petugas di showroom
motor agar motornya disimpan dulu, tidak
perlu diantar ke rumah. Biarkan motor itu mendapatkan nomer polisi sementara
dahulu. Aku yang nanti akan
menjemputnya, lalu mengendarainya ke rumah dengan gagah. Aku yang akan
menyerahkannya sendiri kepada puteri kecilku.
Maka
siang itu, aku dengan hati bak taman bunga, mengendarai motor itu. Sudah
bertahun aku tak pernah mengendarai motor bagus dengan suara halus. Motorku sendiri adalah motor bebek bekas keluaran awal
tahun 2000. Aku tersenyum sepanjang jalan,
seperti seorang pemuda yang baru saja diterima cintanya. Kusapa semua orang,
meskipun tak kukenal.
Saat
aku sedang berhenti, membeli martabak manis kesukaan puteriku (pst, kami biasanya hanya bisa memakannya
sebulan sekali) sebagai pelengkap kejutan untuknya, kuceritakan kegembiraanku
pada si penjual martabak. Dia antusias mendengarnya.
Martabak
telah selesai dibuat. Aku hendak pulang membawa Varioku. Mendadak kepalaku
digelayuti berton-ton pasir. Di tempat parkir, aku tak melihat motor baruku. Si
cantik itu, dibawa lari oleh pencuri.
#
# #
Sehari
sebelum aku pergi ke showroom motor, aku sempat berbincang dengan puteriku.
Orang-orang memanggilnya dengan nama depannya, Annisa. Tetapi aku memanggilnya
dengan nama kesayanganku, Airin. Airin sekarang sudah akan duduk di bangku
universitas.
Airin,
gadis kecil yang dulu berkepang, kini akan semakin jarang di rumah karena
kesibukan di universitas. Sebenarnya, aku semakin khawatir kepadanya. Dari dulu
aku memang selalu menjaganya sebaik mungkin.
“Apakah
aku boleh pacaran?”
“Tidak
perlu. Ada waktunya kamu akan berpacaran. Aku dan ibumu dulu berpacaran ketika
sudah dewasa. Ibumu cinta pertama dan terakhir ayah.”
“Apakah
aku boleh pergi ke pantai bersama teman-teman?”
“Ayah
bisa mengantarkanmu. Lagian anak-anak itu selalu mengendarai motor ugal-ugalan.
Aku tak akan mengijinkan puteri kesayangan ayah untuk berboncengan dengan
mereka.”
“Jadi,
apa yang diperbolehkan Ayah?
Semuanya dilarang.” Dia pura-pura cemberut.
“Belajar,
belajar, dan belajar. Buat ayah dan ibu bangga. Mengerti, kan?” Aku mencium
keningnya. “Saat dewasa, kamu akan mengerti mengapa ayah melakukan semua ini
untukmu Sayang.”
Dialah
satu-satunya harta yang kini kumiliki. Harta yang selalu kujaga. Aku tak ingin
dia terluka, dia disakiti. Aku menjaganya dengan sepenuh hati.
Suatu
petang, dia pulang dengan wajah berseri. Dia memberitahuku bahwa dia
mendapatkan beasiswa penuh di universitas. Yang membuatku bangga, aku tidak
perlu mengeluarkan banyak biaya karena dia menerima beasiswa. Sebagai seorang
yang selalu juara umum di sekolah, dia mendapatkan undangan khusus dari
universitas. Dia diterima di Teknik Industri tanpa biaya, bahkan hingga 8
semester.
Kemudian,
aku pun berjanji kepadanya. “Dengarkan ayah. Selama ini kamu sudah menjadi
puteri ayah yang paling baik, paling manis, paling pintar. Biarkan ayahmu ini
berjanji satu hal untukmu. Ayah akan membelikanmu motor. Biar kamu bisa
berangkat ke universitas tanpa kesulitan.”
Kulihat
matanya terbelalak lebar. Seperti seekor kucing yang tertangkap sedang memakan
ikan asin di dapur. “Benarkah? Tetapi, dari mana ayah mendapatkan uang? Aku
tidak ingin membebani ayah.”
“Ayah
tidak merasa dibebani, Sayang. Ayah punya uang untuk membelikanmu motor. Lusa,
ayah akan membawanya ke rumah.”
Dia
melompat kegirangan, dia memelukku. Aku merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
Sembari memeluknya, aku memandangi foto istriku. Airin benar-benar jelmaan dari
dirinya.
Aku
berkata dalam hati, berkata pada istriku. “Bukankah
aku sudah berjanji padamu, aku akan menjaganya. Aku akan merawat dan
membahagiakannya. Semoga kamu bahagia juga di Surga, Sayang.”
#
# #
Si
pencuri sudah jauh. Untungnya saya menemukan seorang Bapak Ojek dengan motor
bebek warna merah sedang menunggu penumpang tak jauh dari tempatku membeli
martabak. Aku langsung naik ke atas motornya, berteriak kencang agar dia mengejar
si pencuri. Sebelum pergi, dia berteriak kepadaku untuk memakai helm.
Bapak
itu kutaksir berumur 60-an
tahun. Ia mengendarai motor sangat pelan, sehingga si pencuri sudah melesat
jauh. Aku pun akhirnya memaksa si Bapak untuk tukeran. Aku yang ada di depan.
Hasilnya motor melesat kencang di atas aspal. Aku berhasil mengendari si bebek
dengan kecepatan penuh, berkelok di antara aspal rusak yang sedang diperbaiki.
Kuperhatikan,
si pencuri
menoleh ke belakang. Pencuri kecil yang malang, aku akan segera mendapatkanmu. Kepiawaianku
menjadi tukang ojek selama puluhan tahun teruji. Tinggal beberapa meter lagi
aku bisa menangkap pencuri itu.
“Hei,
berhenti, berhenti. Kembalikan motorku,” teriakku.
Pencuri
itu mempercepat laju motornya. Tampak lampu belakang motorku yang elegan
meliuk-liuk.
Jika kau buat
lecet sedikitpun, aku tak akan memberi ampun.
Aku berkata dalam hati.
Kuminta
Bapak Tua yang ada di belakang untuk memegang pundakku
erat-erat. Berkali-kali dia mencengkeram jaketku saat aku mendadak menekan gas
terlalu cepat, atau tiba-tiba mengerem tanpa pemberitahuan.
Tenang
Pak, aku pengendara handal. Ucapku kepadanya. Tetap saja, dia memperintahkan
aku untuk berhati-hati.
“Siapa
yang kamu kejar?” tanyanya.
“Pencuri.”
“Siapa?”
“Pencuri,”
aku berteriak.
“Apakah
kamu mengejar pencuri? Apakah motormu dia curi?”
Astaga,
ternyata orang tua di belakangku dari tadi tidak mendengar. Kudiamkan dia,
tanpa menjawab. Dia justru mengoceh tak karuan.
“Kuharap
kamu tidak membahayakan orang lain. Meskipun kamu mengejar pencuri,”
Aku
tahu. Aku tahu. Batinku dalam hati. Aku sudah mengendarai motor bertahun-tahun,
setiap hari. Aku tak ingin pencuri itu pergi jauh, membawa hadiah untuk
puteriku. Bagaimana perasaan puteriku jika ia mengetahui hadiahnya dicuri. Apa
yang harus aku katakan?
“Itu
hadiah untuk puteriku, aku harus mengambilnya kembali,” ucapku lantang, tak
berharap orang tua di belakangku akan menimpali.
“Aku
sudah tua, aku tak ada masalah jika harus pergi dulu ke Surga. Tetapi kamu,
kamu masih muda. Bisakah kamu memelankan motorku. Ingat, ini motorku. Aku tak
ingin kamu merusaknya.”
“Jika
kita berhasil mengejar pencuri itu, aku akan berterima kasih kepadamu.”
“Mengapa
orang-orang suka mengebut sepertimu. Bukankah mereka belum merasakan hidup
terlalu lama. Aku sudah hidup lama, aku sudah melihat dan mengalami berbagai
hal.”
“Aku
sedang mengejar pencuri.”
“Astaga,
di depan kita ada lampu merah.”
Aku
menoleh ke depan, memastikan bahwa apa yang dikatakan oleh Bapak Tua itu benar.
Beberapa meter di depan, aku melihat lampu sudah menyala orange. Orang-orang
melaju dengan kencang, termasuk si pencuri. Mereka seperti seorang pelari
marathon yang berdiri di belakang garis start, saat peluit dibunyikan mereka
langsung melesat melewatinya. Aku ragu untuk mengambil langkah, apakah aku harus
menambah gas, atau menekan rem perlahan. Kulihat ada seorang bapak-bapak
berjaket kulit melesat mendahuluiku. Lampu menyala merah saat dia melesat
melewatinya. Dan bunyi klakson bersahutan karena Bapak itu hampir menabrak seorang
anak berbaju seragam abu-abu yang menyelonong dari arah kiri.
Aku
menekan rem perlahan. Jantungku seperti mau terlepas, seperti akan menggelundung
ke aspal.
“Kukira
kamu akan menerobos seperti dia. Jika iya, kamu pasti sudah menabrak anak
berseragam itu,” si Bapak di belakangku berteriak tepat di kepalaku.
Mengapa dia
suka sekali berteriak-teriak.
“Tetapi
gara-gara aku tidak menerobos, aku kehilangan jejak pencuri kecil itu. Dia
pasti sudah jauh dan tertawa penuh kemenangan.”
“Setidaknya
kamu tidak jadi pembunuh.”
Aku
mendengus sebal. Lampu tidak kunjung hijau. Aku memegang erat gas.
Cengkeramannya semakin lama semakin kuat. Saat lampu sudah hijau, aku buru-buru
menekan gas. Membuat Bapak Tua mencengkeram jaketku erat sambil berteriak.
“Astaga,
apa yang kamu pikirkan. Kamu ingin membuat kita mati terjatuh?”
Aku
tak mempedulikan Bapak Tua itu. Aku terus melaju, bak seekor lebah yang memburu
seorang anak yang memakai baju merah. Aku tak peduli pada siapapun, aku peduli
pada puteriku. Aku tak ingin dia kehilangan apa yang menjadi idamannya.
Bukankah
akan menyenangkan melihatnya setiap pagi pergi ke universitas menggunakan
sepeda motor. Aku sangat berharap banyak kepadanya, puteri yang selalu aku
dongengnkan setiap malam. Dia hartaku satu-satunya. Akan aku jaga, melebihi aku
menjaga diriku sendiri. Aku masih ingat ketika dulu aku mengantarkannya ke
taman kanak-kanak untuk pertama kalinya. Dia menangis karena takut pada seorang
siswa berbadan besar. Aku harus menemaninya hari itu. Lalu, saat dia mulai
belajar naik sepeda, aku yang selalu mewanti-wanti dirinya agar selalu
berhati-hati. Aku mewajibkan dia untuk memakai helm kecil agar kepalanya tidak
terkantuk batu saat jatuh.
“Apakah
aku harus selalu pakai ini?”
“Untuk
melindungimu, Sayang.”
“Seperti
ayah melindungiku?”
“Tentu
saja. Septi Pirs,”
ucapku walaupun dengan susah payah, tetap saja aku tak berhasil mengejanya. “Begitu
kata Mas Awan, tetangga kita yang kuliah di universitas. Kemarin dia memberi
pengarahan tentang pentingnya berkendara yang benar. Nanti, jika sudah dewasa
kamu akan mengerti.”
Perlahan
saat dewasa, aku selalu melarangnya untuk bermain terlalu jauh. Karena aku tak
ingin berlianku tergores, cacat. Aku ingin terus menjaganya dan membuatnya
bahagia, seperti janjiku pada istriku.
Aku
akan melakukan apa saja untuk membahagiakannya. Meskipun harus mengejar pencuri
sampai titik darah penghabisan.
Motor
bebek Pak Tua melaju kencang, melebihi kecepatan sebelumnya. Pikiranku semakin
kalut saat tak kulihat pencuri itu di kejauhan.
“Kita
kehilangan jejaknya, aku gagal mengejarnya,” ucapku sambil terus mencari.
“Selamatkanlah
dirimu sendiri terlebih dahulu.”
“Aku
ingin membuat puteriku bahagia, Bapak Tua. Apakah kamu tahu?” Aku mulai
terisak. Sesegukan. Membayangkan wajah puteriku yang kecewa saat aku pulang tak
membawakannya sepeda motor baru.
Ayah berbohong
kepadaku. Aku membayangkan dia berkata
dengan bibir cemberut. Lalu dia akan mengunci diri di kamar. Tak mau berbicara
kepadaku. Astaga, apa yang harus kulakukan. Mataku mulai mengabur. Tetapi aku
terus berdoa, aku terus meminta. Di titik terlemahku, aku pun pasrah. Dan Tuhan
mengabulkan doaku.
Di
kejauhan, kulihat sepeda motorku melambat. Mungkin dia lengah karena merasa
tidak dikejar. Aku pun menambah kecepatan, sambil berteriak kepadanya. “Hei, maling
kembalikan sepeda motorku.”
Dia
menoleh. Terkejut. Dia berlari lagi.
Kali
ini, aku tak boleh kehilangannya. Kupacu sepeda motor Bapak Tua dengan
kecepatan penuh. Bapak Tua terdengar berdoa di belakangku. Di depan ada
perempatan, lampu hijau menyala. Aku mempercepat laju sepeda motor. Lampu
orange menyala, lalu merah. Aku masih
beberapa meter. Tetapi aku tak peduli, aku menerobos dengan kecepatan tinggi.
Berhasil, aku berhasil melewati lampu merah. Dan jarakku dengan si pencuri
semakin dekat. Coba tadi aku berhenti, pasti aku akan kehilangan si pencuri
untuk selamanya.
Tetapi
karena tindakanku itu, seorang polisi dengan motor besar mengejarku. Aku
tergagap. Aku mengejar pencuri, aku sendiri dikejar polisi. Polisi dengan lihat
mengendarai sepeda motornya, menyuruhku untuk berhenti. Aku tak menurut.
Kudengar si Bapak Tua memaki-makiku. Aku tak peduli. Bahkan aku tak peduli saat
perlahan plang peringatan kereta api mau lewat turun bersamaan dengan suara
sirinenya. Aku menerobos. Bukan karena menghindari si Pak Polisi, tetapi karena
aku ingin mendapatkan si pencuri.
Aku
tak mau gagal.
Tetapi
aku malah menabrak mobil yang mendadak berhenti di depanku. Aku terjatuh
terantuk aspal. Sebelumnya si Bapak Tua
memukul kepalaku kencang.
# # #
Aku
melihat puteriku di kejauhan, menari bersama ribuan kupu-kupu di
taman yang indah. Dia tersenyum penuh percaya diri, berputar-putar sambil
sesekali menggapai kupu-kupu. Ada keceriaan di wajahnya. Ada gurat kebahagiaan
yang tergambar. Kulangkahkan kaki menuju ke arahnya. Suara burung-burung
terdengar riuh rendah mengiringi setiap langkah.
Puteriku
menoleh kepadaku. Mendadak mukanya berubah.
“Mana
motorku?” tanyanya dengan muka masam. Wajahnya berubah menjadi sangat
menyeramkan.
Aku
terjaga.
Kurasakan
kepalaku pening. Aku tak lagi di taman yang indah. Aku di ruangan dengan bau
obat yang menyengat. Di sofa samping tempat tidurku, ada puteriku yang terduduk
sambil tertidur pulas. Aku menarik tubuhku. Kusandarkan tubuhku pada bantal.
Punggungku sebenarnya sakit sekali, tetapi aku berusaha untuk tetap duduk
dengan tegak.
Puteriku
terbangun. Ia mengucek mata.
“Hai
Gadis Kecil,”
“Ayah
sudah sadar?” tanyanya sambil berjalan ke arahku dengan raut senang. Senyumnya
mengembang, mirip seperti saat aku melihatnya di taman tadi.
“Berapa
lama aku tertidur?”
“Seharian.
Aku sempat khawatir karena ayah tak bangun-bangun. Dokter sedang memeriksa
hasil rontgen ayah. Takut ada sesuatu yang patah karena ayah jatuh cukup
keras.”
Aku
teringat dengan kejadian saat terjatuh dari motor. Aku teringat Bapak Tua. “Di
mana Bapak Tua yang sedang bersamaku?”
“Dia
sudah pulang bersama anaknya. Dia baik-baik saja. Justru karena hal ini, dia
tidak lagi diijinkan lagi ngojek sama anak-anaknya. Katanya Bapak Tua itu keras
kepala. Dia memaksa untuk
bekerja padahal anaknya sudah sukses semua. Benar-benar keras kepala, kan.”
Memang
betul, batinku. Dan juga cerewet.
“Seperti
ayah,” puteriku tersenyum. Aku cemberut. “Aku sudah bilang kepada ayah bahwa
ayah tak perlu bekerja terlalu capek, apalagi sampai ngejar-ngejar maling dan
tidak memperhatikan keselamatan ayah sendiri. Bukankah ayah yang bilang
sendiri, kita harus menjaga diri. Mengapa ayah jadi melanggar aturan sendiri?”
“Karena
ayah harus mengejar maling yang mencuri motor barumu,”
“Apakah
aku memintanya?” tanyanya kepadaku. “Airin sudah bilang bahwa Airin tidak mau
merepotkan ayah. Airin bisa kok naik angkot, atau sepeda. Asal ayah tidak
kebingungan mencari uang dan
kerepotan seperti sekarang.”
“Aku
ingin melihatmu bahagia, Sayang.”
“Apakah
ayah pernah melihatku sedih?”
Aku
menggeleng. Hampir menangis.
“Airin
selalu berterima kasih karena ayah sudah menjagaku. Tetapi ayah juga harus
menjaga diri juga. Karena ayah berkendara motor tidak mematuhi aturan, jadi
banyak yang dikorbankan. Ayah menyakiti tubuh ayah sendiri, ayah menyakiti
tubuh orang lain. Dan yang jelas, ayah merusakkan motor orang. Untung saja,
Bapak itu baik. Dia sendiri yang bilang kalau kita tidak perlu mengganti motor
itu. Karena dia tahu, ayah pun sedang kesusahan karena kehilangan motor.”
“Maafkan
ayah, Sayang.”
“Ayah
tidak salah.”
“Ayah
tidak bisa menempati janji untuk membelikanmu motor.”
“Siapa
bilang?” Puteriku mengeluarkan sebuah foto dari dalam sakunya. “Pak Polisi yang memberikannya kepada Airin.
Motor
ayah ketemu bersama pencurinya. Sama seperti ayah, pencuri itu juga menabrak mobil
yang berhenti mendadak karena dia
menerobos palang kereta api. Parahnya,
dia terpelanting dan menabrak trotoar. Sekarang pun dia sedang di rumah sakit.”
“Itu
motor kita?”
Puteriku
mengangguk. Aku tersenyum melihat motorku yang kembali. Meskipun bentuknya
sudah tidak karuan.
“Berjanjilah
padaku agar ayah tidak seperti ini lagi. Airin sayang ayah, Airin tak ingin
kehilangan ayah. Ayah tak perlu membuatku bahagia. Selama ini ayah sudah
membuatku bahagia karena ayah selalu melindungiku. Tetapi yang lebih penting,
ayah juga melindungi diri ayah sendiri.”
Aku
tersenyum dan mengangguk. “Sapti Pirst,” ucapku sambil
mengusap rambutnya.
“Safety
first,” balasnya.
End.
Cerita dongengnya mengalir seperti air, antar alur saling tersambung. Ini nih yg namanya content dan marketing seperti yg dijelaskan mbak eva noviana di acara blogger camp kemarin. Content dan marketing yang membuat tulisan dengan metode tulisan yg membuat pembaca tidak menyadari bahwa ini sedang membaca ulasan akan sebuah produk yg dipasarkan ^^
ReplyDeletebagus kak :))
Thank you.
DeleteBeruntung sekali kemarin bisa ikutan blogger camp.
ditunggu cerita ulasan blogger camp-nya.
Bagus ceritanya, semoga menang dan beruntung :D
ReplyDeleteBagus ceritanya, semoga menang dan beruntung :D
ReplyDeleteooo kompetisi ya. semoga menang mas. mantaps
ReplyDeleteAmin.
DeleteBagus :) ceritanya ngalir :D good luck ya :) semoga menang :)
ReplyDeleteTerima kasih ya...
Delete