Pintu lift di pintu selatan Monumen Nasional
terbuka. Nyala lampu menyinari wajah Crain dan Arya. Keduanya masuk ke dalam
lift. Lift berjalan pelan ke tinggian 115 meter dari permukaan tanah, membawa
kedua orang itu ke pelataran puncak Monas dalam waktu 3 menit. Botol-botol
bening menyambut mereka di dalam keremangan. Cahaya yang ada hanyalah berasal
dari nyala lilin di atas bangku kayu. Dua orang bersenjata ada di dekat pintu
lift.
Arya melirik ORIS di tangannya. Lima belas
menit lagi sudah tengah malam.
Crain dan Arya duduk di atas tikar. Di
depannya ada baskom dan lilin. Crain merogoh sesuatu dari dalam jasnya. Ia
mengelurkan kain warna merah maroon yang membungkus keempat batu mata rantai.
Ia membuka kain itu di atas meja. Tampaklah batu mata rantai yang berbeda warna,
berkilauan terkena terpaan cahaya lilin.
Crain sependapat dengan Arya. Batu itu memang
terlihat sangat indah. Teksurnya sangat kuat dengan warna mengkilap bening.
Jika dilihat dari beberapa sisi, warnanya berubah menjadi sangat bening, lalu
kembali ke warna semula.
“Apakah kamu yakin akan ikut denganku
berkelana?” tanya Arya.
Crain memandangi kekasih di depannya dengan
sayu. Ia teringat kejadian setahun lalu, saat ia terakhir kali berkelana. Sebagai
seorang Chief, dia memang memiliki kemampuan berkelana layaknya para Mata
Rantai lainnya. Mereka bisa menembus altar lain, tetapi tidak memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi dengan makhluk-makhluk di dalam altar itu. Hanya
orang dengan indera ketujuhlah yang bisa, layaknya para generasi Mata. Kemampuan
mereka berkelana hanya untuk mendeteksi, menganalisa, dan melihat apa yang
sebenarnya terjadi dengan si makhluk. Komunikasi yang mereka lakukan hanya bisa
lewat perantara media lain. Misalnya, dengan kertas. Memutuskan untuk berkelana
seperti halnya memutuskan diri untuk menyerahkan nyawa. Mereka bisa saja
tersesat dan tidak bisa kembali. Dan Crain pernah mengalaminya. Setahun lalu,
ia hampir saja tidak bisa kembali ke dunia nyata.
“Lebih baik
kamu di sini saja, menjagaku,” pinta Arya.
“Kamu tidak apa-apa sendirian?” tanya Crain.
Arya menggeleng. Dia melihat ke jam tangannya
lagi. “Sebentar lagi dan kita harus segera
melakukan peluncuran. Aku hanya perlu waktu lima menit untuk berkelana
mengaktifkan batu itu agar bisa memerintah para prajurit tuyul untuk bergerak
menyebarkan chip sistem kita. Batu itu akan melindungi kita dari iblis-iblis
pengganggu. Aku hanya butuh ketenangan.”
“Aku akan menjagamu, Arya, sepenuh hatiku.”
Crain menarik moncong pistol dari dalam jasnya.
# # #
Pada waktu yang sama, mobil Juna melesat di
daerah stasiun Gambir. Stasiun itu masih tampak ramai. Juna memarkirkan mobilnya
di dalam stasiun.
“Kira-kira Crain akan melakukan apa malam
ini?” tanya Juna.
“Menanam bom lagi, di Monas?” tebak Dodo.
“Mungkin dia sedang melakukan sesuatu di
sana,” sambung Dede.
Ketiganya berlari keluar dari Stasiun Gambir.
Mereka mencari pintu masuk ke dalam Monas, tetapi semuanya tertutup. Dan
anehnya, pintu-pintu itu dijaga oleh aparat-aparat bersenjata lengkap.
“Mereka bukan aparat polisi, kan?” tanya
Juna. “Apa yang mereka lakukan di tengah malam seperti ini.”
“Jadi kita harus ke mana?” tanya Dede.
“Peta. Kita perlu peta,” ujar Juna.
Dede mengeluarkan tabnya. Dia membuka
browser. Browser masih ada di tab salah satu kanal berita nasional. Sedetik
kemudian kanal berita itu membuka ke halaman utama. Berita paling atas
menunjukkan info tentang detik kabisat yang akan terjadi malam ini.
“Astaga, aku lupa kalau hari ini ada detik
kabisat,” kata Dede.
“Detik kabisat?” tanya Juna.
“Kekacauan internet. Mengapa aku tidak
berpikiran itu. Crain pasti memanfaatkan kekacauan internet untuk melakukan
sesuatu. Apa yang bisa ia lakukan dengan batu mata dan sebuah sistem saat
kekacauan internet?”
“Uang. Pengalihan yang ia lakukan dengan
mengebom gedung Mata Rantai pasti agar polisi tidak menyadari apa yang mereka
lakukan di Monas di Monas. Janero bersama mereka, kan?” tanya Juna. Dodo dan
Dede mengangguk. “Janero bekerja di Departemen IT bersama kalian, dan setelah
itu kalian kehilangan Aplikasi Pelacak Hantu. Bertepatan dengan itu, kini Crain
memegang batu mata rantai. Mereka pasti menggunakan keduanya untuk pencurian
uang.”
“Bos Juna benar,” ucap Dodo. “Mereka pasti
memanfaatkan Aplikasi Pelacak Hantu untuk membuat satu sistem. Mereka akan
meluncurkannya di puncak Monas.”
Ketiganya menatap Puncak Monas yang tampak
bersinar di malam ini.
“Jam berapa?”
“23.55.”
“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Juna
kepada dua asistennya. “Kita harus bagi dalam dua tim. Aku dan Dede akan pergi
ke puncak Monas. Dan kamu Dodo, kamu yang mengarahkan kita berdua. Karena aku
yakin, Crain pasti sudah memasang banyak ranjau di tempat ini.”
Lidah api di puncak Monas tampak megah.
Hiasan lampu berwarna ungu dan orange menambah keelokan puncak Monas di malam
hari.
“Aku baru sadar, Monas begitu indah di malam
hari,” ujar Juna di tengah kepanikannya. Ia jadi teringat dengan keinginan
Ariana untuk pergi ke puncak itu malam hari. Semoga dia baik-baik saja.
“Tak banyak yang tahu bahwa pada salah satu
sisi lidah api di puncak Monas itu ada sosok "wanita misterius",”
sambung Dede tiba-tiba.
“Wanita misterius?” tanya Juna, menoleh
dengan kening berkerut.
Dede memandang puncak monas. “Keberadaan
‘wanita misterius’ di lidah api Monas hanya tampak dari sisi tertentu.
Penampakan tersebut bisa dilihat dari arah Istana Merdeka. Lidah api itu
terlihat seperti sosok perempuan yang sebagian rambutnya tersanggul pada bagian
atas dan tergerai panjang di sisi samping. Banyak yang bilang bahwa sosok itu
sengaja disamarkan oleh Presiden Pertama, salah satu penggagas Monas. Seorang
perempuan yang sengaja ditempatkan untuk menyemangati Sang Presiden ketika
bekerja.”
Menyemangati?
Juna bertanya dalam dirinya sendiri. Ariana semoga kamu baik-baik saja, cepatlah
datang.
“Ngomong-ngomong misterius, mengapa langit di
sekitar sini tampak misterius sekarang?” tanya Dodo sambil memandang perubahan
langit yang berkabut hitam.
Juna dan Dede ikut mengamati. Kabut itu
berasal dari sisi timur.
Telinga Juna berdenging keras. Ia merasakan
kepalanya sedikit pening. Ia sudah hafal dengan tanda-tanda ini. “Pasti ada
wawancara pemanggil iblis di atas sana.” Juna mengamati perubahan langit yang
mendadak berwarna sedikit jingga. “Mungkin malam ini, kita tak hanya akan
berhadapan dengan Crain.”
# # #
Tepat pukul 23.56, Arya memusatkan pikiran
dalam satu jiwa. Tangannya menggenggam keempat batu mata yang berkilauan. Lama
kelamaan tubuhnya terasa ringan, seperti kapas yang berada dalam putaran angin
puting beliung. Ia terus naik, naik, dan naik. Tubuhnya semakin tidak berisi
dan ketika ia membuka mata, ia sudah berada di ruangan gelap tanpa cahaya. Ia
menoleh ke belakang dan ia melihat pintu bercahaya di sana. Arya memeriksa
tangannya. Keempat batu mata masih ada di sana.
Arya berdiri perlahan. Ia memeriksa ke kanan
dan ke kiri. Sunyi. Jika keempat batu itu terjatuh, suaranya pasti menggema ke
mana-mana.
Arya meyakinkan dirinya bahwa ia pernah ke
tempat ini. Ia hanya perlu duduk di pusaran tempat, menggelar batu itu di atas
lantai, lalu membaca mantra. Dan semuanya selesai.
Ia pun berjalan perlahan. Memasuki ruangan
semakin dalam. Ia disambut oleh lorong berdinding merah maroon. Ia menyusuri
lorong itu. Beberapa kali dia berpapasan dengan manusia tanpa kepala, kadang
tanpa mata. Tetapi ia berusaha untuk tidak bergeming, ia harus memusatkan
pikirannya pada tujuan.
Di ujung lorong, dia berbelok ke kiri dan
bertemu dengan ruangan luas berpenerangan redup. Di tengah ruangan itu, dia
duduk bersimpuh. Ia letakkan batu itu di atas lantai. Dan dia mengambil buku
petunjuk batu mata dari dalam jasnya.
Ia membuka perlahan buku itu, mencari mantra
yang harus ia baca.
Angin berhembus seperti dari ribuan kipas
angin yang berjejer di depan Arya. Buku petunjuk mata berkibar. Arya
memegangnya kuat-kuat. Degungan kuat terdengar di telinganya. Ia bisa merasakan
ada ratusan bahkan ribuan makhluk sedang menuju ke arahnya. Bau busuk bak
berton-ton sampah daging menyeruak. Arya hafal bau apa ini. Ini pertanda
kedatangan mereka. Bau iblis-iblis yang
mengoda.
Arya berusaha membuka buku itu. Ia membacanya
perlahan.
# # #
Crain berjalan mondar-mandir di samping tubuh
Arya. Arya beberapa kali mengeluarkan keringat dan terlihat keningnya berkerut.
Crain menggigit bibirnya. Ia bersidekap tangan di depan dada. Jantungnya
berpacu seperti seorang anak yang sedang dikejar anjing galak.
Semoga
kamu baik-baik saja.
Detik kabisat sudah tinggal semenit lagi. Dan
Arya belum juga kembali.
“Apakah kami sudah boleh membuka botol-botol
ini?” tanya salah satu petugas kepada Crain.
“Belum. Jangan, aku harus menunggu dia
kembali.” Crain menggigit kuku jempolnya.
Astaga
mengapa ia belum juga kembali.
Crain melirik jam tangannya. 30 detik lagi.
Denting pintu lift membuat Crain melupakan
kegelisahannya. Pintu lift terbuka dan Janero bersama dua orang bersenjata lain
keluar dari dalam lift.
“Ke mana saja kamu? Apakah kamu sudah
membunuh Juna?” tanya Crain.
Janero menggeleng. “Belum. Dia kabur.”
“Apa? Kabur?” Crain memeriksa tab di
tangannya. Tab itu menampilkan enam sisi layar berbeda dari CCTV yang di pasang
di sekitaran Monumen Nasional.
“Tapi aku pastikan mereka tidak akan ke sini.”
“Juna bukan orang yang bodoh, Janero.” Crain
mengangkat tabnya dan memperlihatkannya pada Janero. Di salah satu layar, dua
orang sedang mengendap di pelataran bawah Monumen Nasional. “Lihat!”
Crain melirik tubuh Arya yang mengeluarkan
banyak keringat. Dia belum juga kembali.
“Kamu segera aktifkan sistem kita, Janero.
Aku tak mau membuang waktu, kita tak bisa menunggu Arya lagi,” ujar Crain. Dia
kemudian melirik ke dua petugas di samping lift. “Kalian bereskan dua orang
yang ada di pelataran!” perintah Crain dengan nada membentak.
# # #
Juna memandang diorama-diorama perjuangan di
pelataran bawah Monas. Ruangan itu bercahaya redup. Ia seumur hidup tinggal di
Jakarta belum pernah pergi ke Monas. Dan malam ini, ia baru saja mencatatkan
sejarah di hidupnya. Bukan untuk liburan, tetapi untuk menggagalkan rencana
Crain.
“Dodo, kita harus ke mana?” tanya Dede yang
berdiri di samping Juna.
“Kalian lurus ke depan, ada lift di sana.
Satu-satunya cara untuk sampai puncak hanya dengan lift itu. Aku akan memandu
kalian. Aku sudah memetakan layout Monas dengan sistem. Aku mengirim drone
kecil untuk melihat dari atas. Sistem akan menunjukkan secara keseluruhan
layout Monas, termasuk jika ada musuh di depan kalian.”
Suara Dodo bergema di telinga Dede dan Juna.
Mereka berkomunikasi dari sistem yang ditaruh di kornea mata Dodo dan Dede.
Bentuknya menyerupai softlens bening.
Juna dan Dede berlari kecil menuju lift.
“Tunggu…” ucap Dodo.
“Ada segerombolan tikus kecil bersenjata yang
menuju ruang pelataran. Persiapkan diri kalian. Mereka dari arah pintu masuk.
Berlindunglah di balik diorama. Aku akan memandu kalian. Saat aku ucapkan
tembak, berarti kalian harus menembak.”
# # #
Crain lega saat melihat mata Arya terbuka
perlahan.
“Astaga, kamu telah kembali. Aku begitu
khawatir melihat tubuhmu.”
Arya mengambil nafas panjang. “Tenanglah, aku
tak apa-apa. Aku sudah membaca mantera itu dan kini waktunya kita meluncurkan
sistemnya. Iblis-iblis dan tuyul-tuyul itu akan mematuhi kita.”
Janero menatap laptopnya. Sistemnya sudah
seratus persen sempurna. Dan malam ini dia akan meluncurkannya.
Di samping Janero, Crain berdiri dengan kerut
kening berlipat-lipat. “Sudah siap?”
Janero mengangguk.
“Luncurkan,”
Janero kembali mengangguk. Dia memencet
tombol enter di laptopnya. Botol yang berisi tuyul-tuyul itu bergetar hebat.
Asap keluar dari botol-botol itu. Detik kemudian segerombolan tuyul-tuyul kecil
berkumpul, tertawa. Di dadanya mengalung benda kecil berlampu. Lampunya
berkedip-kedip, sebuah sensor yang terhubung dengan sistem di laptop Janero.
“Saatnya bermain anak-anak manis.”
Janero melihat layar laptopnya yang
menampilkan peta Jakarta secara satelit. Dia memperbesar layar, mendetailkan
peta itu. Tampak gedung di sekitar Monas.
“Bermainlah sekarang.” Janero tampak beberapa
kali memencet tombol, seolah dia sedang bermain games online. Di layarnya
tampak titik-titik merah. Jumlahnya ratusan yang kini bergerak-gerak.
“Mereka akan menjadi pencuri-pencuri ulung
malam ini,” Arya terkekeh panjang.
Tuyul-tuyul itu tampak menari-nari tertawa di
tempatnya.
“Segera sebar mereka ke bank dan rumah-rumah
koruptor Janero. Sudah waktunya.”
Janero mengetik sesuatu di laptopnya. Tetapi
tidak terjadi reaksi apa-apa. Titik-titik itu masih berkedip di tempatnya.
Keringat muncul dari sela-sela rambut Janero.
“Ada sesuatu?” tanya Arya seperti melihat
kepanikan Janero. Janero tampak diam. Arya menoleh ke arah tuyul-tuyul itu.
Kini tuyul-tuyul itu tampak diam, tidak lagi berjoget. “Mengapa tuyul-tuyul itu
diam saja, Janero?”
“Aku tidak tahu. Sistemnya berhenti.”
Crain menelan ludah. Ia melihat wajah tuyul
itu berubah menjadi merah. Mata mereka menyala terang.
“Sepertinya mereka marah,”
Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka.
Dan di dalamnya ada Juna dan Dede.
“Mengapa mereka belum mati?” teriak Crain
sambil mengacungkan telunjuknya ke arah lift.
“Crain, dengarlah, kamu harus segera
mematikan sistem itu. Karena apa, karena batu yang kalian pegang itu bukanlah
batu mata yang asli,” teriak Juna.
Arya mengamati batu yang ia pegang. “Bagaimana
kamu tahu kalau batu ini palsu?”
“Ini pengalihan. Kamu lihat kan di belakang
buku petunjuk batu itu ada gambar semacam kumbang. Itu kekutu, dalam bahasa pemrograman
itu adalah bug. Pengganggu sistem. Sengaja diciptakan oleh Tuan Mata karena dia
sudah tahu bahwa akan ada penyusup di Mata Rantai.”
Crain mengacungkan pistolnya. “Serahkan batu
itu, Juna. Atau aku akan menembakmu.”
“Apakah jika kamu menembakku, kamu akan
mendapatkan batu itu? Hanya aku satu-satunya orang yang tahu letak batu itu di
mana.”
Crain menurunkan senjatanya perlahan. “Apa
maumu?”
“Aku ingin kamu mematikan sistem itu, Crain.
Ini berbahaya. Tidak hanya sistem itu, tetapi juga batu itu. Batu mata itu
sangat berbahaya.”
“Tutup omong kosongmu, Juna.” Crain
mengacungkan pistolnya kembali.
“Sekarang, kamu tidak hanya membuat marah
tuyul-tuyul itu, tetapi wawancara pemanggil iblis kalian, telah menumbuhkan
rasa benci dari iblis-iblis. Mereka sedang menuju ke mari. Dan kamu masih ingat
Mahesa?”
Muka Crain tampak memerah.
“Dia ingin balas dendam dengan kalian.”
Juna menekan tombol di lift sambil mendorong
tubuh Dede ke samping. Pintu lift menutup perlahan. Bertepatan dengan itu,
Crain menarik pelatuk pistolnya.
# # #
baca kelanjutannya di sini
No comments