Juna terperangah melihat hamburan tuyul-tuyul
kecil yang berlompatan keluar dari lift. Para tuyul itu tak mempedulikan Juna
dan Dede yang kebingungan. Kedua orang itu berputar-putar menyaksikan ratusan
tuyul yang melompat, menari, berputar di sekeliling mereka.
“Banyak sekali,” pekik Juna di tengah
keriuhan. Ia mengibaskan tangannya saat tuyul-tuyul itu lewat di depannya.
Nyala kemilau warna merah keluar dari kalung
yang menggelantung di leher mereka. Juna menyambar salah satu tuyul yang
berlari, kemudian memegang lehernya. Tuyul itu tampak memandangnya dengan
tatapan merah menyala. Tak gentar, Juna membalas tatapan itu dengan mata
melotot. Tuyul itu menciut. Juna memegang kalung di leher tuyul, lalu dengan
tangkas dia menyerobotnya. Si tuyul mengerang, memegang lehernya dengan kuat.
“Apa yang kamu lakukan, Bos?” teriak Dede tak
mengerti.
“Aku harus tahu kalung apa ini,”
“Tapi kamu membuat mereka marah.”
Juna melihat ke sekeliling. Para tuyul
berhenti berlompatan. Mereka berkomplot memandang Juna. Juna menelan ludah. Ia
seperti terjebak di antara ribuan lebah yang siap untuk mengentupnya perlahan. Ratusan
pasang mata mengintimidasinya, menusuk. Juna menggenggam kalungnya.
“Dodo, apakah kamu tak bisa membantuku?” tanya
Juna perlahan.
Dodo yang berada di seberang sana, di dalam
mobil sport di parkiran Stasiun Gampir terperangah melihat begitu banyak tuyul
yang mengepung Juna saat ini. Tuyul-tuyul itu seperti dikendalikan oleh
sesuatu, mata mereka merah marah. Tak satupun jalan yang mereka berikan untuk
Juna dan Dede.
“Ehm, tunggu. Aku harus berpikir,” jawab
Dodo.
“Berapa lama? Kamu tak bisa membiarkan kami
terus berada di kepungan mereka. Cepat bertindak.”
“Di belakang kalian ada lift, kalian bisa
membukanya perlahan, lalu masuk.”
Dede menghela nafas. “Kamu pikir mereka
bodoh. Mereka bisa menerobos masuk. Lagian, lift akan bergerak naik. Itu sama
saja dengan memberikan nyawa kita pada Crain, Bodoh.”
“Ada waktu 3 menit untuk berpikir di dalam
lift. Turuti saja perintahku.”
Dede menekan tombol lift di belakangnya.
Bunyi lift membuka. “Awas saja sampai 3 menit lagi kita mati ditembak Crain,
kamu yang pertama akan kuhantui.”
Juna dan Dede masuk ke dalam lift. Lift
menutup perlahan. Beberapa tuyul mencoba menerobos. Juna dan Dede menendang
mereka tanpa henti. Pintu lift tertutup. Lift naik perlahan. Para tuyul mencoba
menerobos, tetapi yang mereka temui hanyalah ruang hampa. Mereka terjerembab
jatuh.
“Sekarang waktu tinggal 3 menit kurang. Apa
yang akan kita lakukan, Do?”
Dodo
berpikirlah, Dodo berpikirlah. Di dalam mobilnya,
Dodo tampak komat kamit membaca mantra untuk dirinya sendiri.
“Apa yang akan kita lakukan dengan
tuyul-tuyul kecil itu?” tanya Juna, tanpa berharap ada orang yang menjawabnya.
“Ah,
ingat permainan menangkap tuyul, Do?” tanya Dede pada saudaranya.
“Tentu saja.”
Dede menatap bos di depannya. “Bos, di
permainan menangkap tuyul, apa yang kamu lakukan untuk menaklukkan mereka?”
Juna mengingat permainan menangkap tuyul yang
selalu menjadi temannya saat ia merasa kebosanan. Saat ini dia sudah berada di
level 271, “Tentu saja memberi mereka mainan atau tidak….”
Dede dan Juna saling pandang.
“Musik,” teriak mereka berdua.
“Dodo, kamu bisa mengirimkan musik ke sini?”
tanya Dede.
“Ah, tentu saja, aku tinggal merentas sistem
sound di sana, tunggu 1 menit. Tetapi masalahnya,” Dodo mengutak-atik
laptopnya. Di laptopnya hampir tidak ada musik yang seru. Dia membuka Itunes.
Di sana hanya ada satu lagu yang belakangan ini ia dengarkan atas saran Gordon.
Lagu yang membuatnya terus bergoyang. “Hanya ada satu satu lagu di sini.”
“Lagu apa?”
“P A R T Y-nya SNSD,”
# # #
“Musik apa ini?” tanya Crain dengan
berteriak. Terdengar di seluruh ruangan suara musik dance dengan vokal cewek. “Janero,
apakah kamu tidak bisa berbuat sesuatu?” Sejak kemunculan tuyul-tuyul yang
berubah marah, Crain mendadak mengeluarkan tanduknya. Beberapa kali ia
membentak marah pada Janero. Untung saja kini para tuyul itu telah pergi semua
ke pelataran Monas.
“Aku sedang berusaha. Sistem tiba-tiba disadap
oleh seseorang. Apakah kamu tidak bisa diam sebentar?” ucap Janero tak kalah keras.
Arya yang di samping Janero menatap
bawahannya itu dengan muka murka. “Apakah kamu bisa memelankan suaramu. Ingat
bahwa di sini kita masih atasanmu, mengerti?”
Janero tak mempedulikan ucapan Arya dan terus
memandangi layar laptopnya. Sistem yang ia gunakan mendadak tidak bisa
digunakan, padahal ia sangat yakin bahwa ia telah mengujinya dengan baik.
“Cepat kamu perbaiki sistem itu, Bodoh,
sebelum malam ini berakhir.”
Arya mondar mandir di tempatnya. Malam ini
adalah malam yang telah ia nanti-nantikan selama bertahun-tahun. Setelah
bertahun-tahun ia merencanakan malam ini bersama Crain, ia berharap semuanya
bisa berjalan dengan lancar. Ia ragu apakah bisa menyelesaikan malam ini dengan
sempurna.
“Bagaimana dengan Juna?” tanya Arya.
Crain melihat tabletnya. Di layar, tampak
ruangan pelataran Monas sedang dipenuhi oleh makhluk-makhluk yang tengah
menari. Para tuyul itu tidak lagi memberontak, tetapi menikmati alunan musik
dance dari musik yang muncul entah dari mana.
“Mereka berdua tidak terlihat.”
Pintu lift berdenting pelan. Pintu terbuka.
Crain dan Arya menoleh kompak. Di dalam lift muncul wajah Juna dan Dede.
# # #
Juna dan Dede memandang ruangan di depannya.
Tampak semua mata sedang mengarah kepada mereka. Juna menginderai sesaat ruang
itu, di depannya ada dua orang bertubuh besar dengan senjata. Dengan kemampuan
bela dirinya, dia bisa saja melumpuhkan dua orang itu dengan cepat. Tetapi, di
depan mereka ada Crain dan Arya yang sedang berdiri, dan pasti bersenjata. Tak
ayal, Juna merogoh pistol di depannya, lalu menarik pelatuknya, membuat dua
orang di depannya tampak oleng. Juna mendobrak mereka dengan kaki kiri, dan dia
berlindung di balik tubuh yang tak bernyawa.
Dede melakukan hal yang sama, dia berlindung
dengan moncong senjata yang terus ia pegang erat. Juna melirik lorong di
samping kiri, mungkin itu itu adalah satu-satunya jalan untuk pergi. Mengulur
waktu. Atau ia kembali ke lift, ke pelataran. Tetapi pilihan pertama sepertinya
lebih menguntungkan.
Dede dan Juna saling melirik. Mengangguk
pelan tak terlihat.
Keduanya melempar tubuh besar di depannya ke
depan. Crain melancarkan tembakan, mengenai tubuh itu. Juna berlari ke lorong
di sisi kirinya, sementara Dede kembali ke dalam lift.
“Dodo, arahkan kami.”
# # #
Melihat dua musuhnya berlari terbagi dua,
Crain dan Arya pun memutuskan untuk membagi dua. Arya mengejar Juna, sementara
Crain berlari ke arah lift. Lift masih menutup. Ada waktu jeda sekitar 3 menit
sebelum akhirnya pintu lift terbuka.
“Janero, kuharap kamu bisa menyelesaikan ini
secepatnya,” ucap Crain sebelum ia masuk ke dalam lift. “Atau kamu memang bodoh
dan tidak berguna.”
Janero hanya memandang gamang. Ia melirik ke
sistemnya yang kini sudah kembali dengan benar. Tuyul-tuyul itu telah berfungsi
kembali dan ia tinggal memencet enter untuk mengaktifkannya.
# # #
Dede berlari menyeberangi lorong di
pelataran, sesekali ia melirik ke belakang. Ia tahu, orang yang kini sedang
mengejarnya sedang dalam kemelut kemarahan yang berada di puncak. Tetapi sesuai
dengan diskusi dengan Dodo dan Juna di dalam lift tadi, selama kurang dari 3
menit, ia harus membuat keputusan ini. Berpisah dengan Juna agar konsentrasi
Crain dan Arya terpecah.
“Jadi
rencananya seperti ini, kalian harus terpisah menjadi dua tim,” ucap Dodo saat
lift mulai bergerak naik.
“Dua
tim? Bercanda. Di depan kita ada musuh bersenjata dengan jumlah yang lebih
banyak. Kita harus bersatu.”
“Tetapi
justru itu, kita harus memisah konsentrasi mereka.”
“Aku
setuju dengan Dodo,” ujar Juna. “Kita memang harus memecahkan konsentrasi.
Dodo, apa yang ada di depan lift?”
“Ada
dua orang penjaga bersenjata. Di kiri kalian ada lorong.”
“Pertama,
kita harus melumpuhkan mereka berdua. Jadikan benteng agar kita tidak
tertembak, setelah itu aku akan berlari ke lorong untuk memancing salah satu
dari mereka agar mengejarku. Dede, kamu kembali ke lift, aku yakin salah satu
dari mereka pun akan mengejarmu. Pergilah ke luar pelataran Monas, berlarikan
sekencang mungkin agar kamu tidak tertembak. Setidaknya ini akan mengulur
waktu. Jika memungkinkan, lumpuhkan dia. Tetapi, jangan dibunuh. Aku tak tahu,
seberapa lama para tuyul itu terbuai oleh musik. Jika nanti mereka terlepas,
kalung yang mereka pakai akan memancarkan sinyal ke sistem pusat. Dan mereka
akan dikendalikan lagi. Jadi, sebisa mungkin kita harus menggagalkan itu.
Pengendali sistem ada di laptop Janero. Nanti, aku akan yang mengurusnya.”
Dede terus berlari menapaki lantai marmer di
sepanjang pelataran monas, ia berusaha agar tidak menyentuh diorama-diorama
perjuangan di sana. Setibanya di luar Monas, dia segera menuruni anak tangga
dengan cepat. Langit di sekitar Monas tampak menghitam pekat. Seperti mendung,
tetapi lebih hitam. Tidak ada gelegar petir, berarti itu memang bukan mendung.
Monas bak dikepung oleh asap tebal.
Kaki Dede cepat menuruni anak tangga.
Sesekali ia berpikir, orang yang ada di belakangnya sudah semakin dekat. Tetapi
ia tak berani menoleh. Tujuannya, ia akan membawa orang itu segera keluar dari
Monas, menjauh. Entah apa yang nanti ia lakukan, ia saat ini belum tahu. Ia
hanya berencana untuk menuruni tangga, pergi ke tanah lapang, lalu menunggu
Dodo memberinya instruksi.
Suara tembakan terdengar di belakang, diikuti
oleh suara teriakan yang ia kenal. Suara Crain.
Bagus,
Crain mengikutiku.
Suara tembakan terdengar lagi.
Aku
hanya terus berlari, atau sebentar bersembunyi dan kujegal Crain.
“Dede, sebaiknya kamu konsentrasi ke depan.
Jangan menoleh ke belakang. Aku akan memandumu. Hati-hati dengan kakimu.” Suara
Dodo terdengar menasehati di telinga Dede.
Iya aku
harus berhati-hati. Dede menasehati dirinya
sendiri.
Saat terdengar suara tembakan yang ketiga
kalinya, Dede lupa akan nasehat Dodo. Ia menoleh sebentar, keseimbangannya
terganggu. Saat ia kembali menatap ke depan, kakinya terkilir di anak tangga
terakhir. Tubuhnya terdorong ke depan, mukanya menabrak rumbut basah tak
berdosa. Ia merasakan ada sedikit tanah yang masuk ke dalam mulut. Saat ia
mencoba menggerakkan kaki kirinya, ia merasakan sakit seperti ribuan pisau yang
menyayat-nyayat. Ia memejamkan mata untuk menahan rasa sakit. Dan matanya
kembali terbuka perlahan ketika sosok berjas abu-abu sedang berjalan dengan
moncong senapan yang mengacung ke arahnya.
# # #
Mulut Dodo menganga, matanya menatap layar
monitor yang menunjukkan wajah saudaranya menahan sakit di atas rumput halaman
Monas.
“Dede bangun, kamu harus bangun. Ayo, Bro,
kamu pasti bisa.” Dodo berteriak-teriak menyemati. Pasalnya ia melihat Crain
sedang berjalan cepat ke arah Dede yang terjatuh. “Oh come on Man,”
Tetapi sepertinya, ia harus menyemati dirinya
sendiri juga. Saat ini, beberapa meter dari mobil yang ia tempati, dua orang
petugas berseragam dan bersenjata sedang berjalan ke arahnya. Untungnya, kaca
mobilnya berpelapis 80% sehingga orang yang ada di luar tidak dapat melihat
keadaan di dalam mobil.
Dodo menutup Macbook Pronya tanpa
mempedulikan beberapa aplikasi yang masih terbuka. Ia mengambil senjata yang
tersembunyi di dalam dashboard. Ia memasang alat penyetrum di pintu. Setelah
itu, dia menyelinap ke bangku kedua, membuka pintu perlahan. Lalu keluar dari
sisi mobil yang tak terlihat si penjaga. Dia berjalan pelan, mengendap. Ia
memencet tombol ON di handphonenya untuk mengaktifkan alat setrum dan alarm
mobil. Ia jongkok untuk melihat kaki si penjaga. Setelah memastikan aman, dia
berjalan pelan ke belakang.
Dua petugas itu sampai di mobil Dodo. Tanpa
memeriksa terlebih dahulu, salah satu dari petugas membuka pintu depan.
Akibatnya, tangannya tersetrum aliran listrik. Ia terjengkal ke belakang
menubruk penjaga satunya. Keduanya terjatuh di tanah. Suara alarm mobil
meraung-raung. Hal ini dimanfaatkan oleh Dodo untuk berlari kencang, walaupun
ia sangat kesusahan karena timbunan lemak di perutnya.
Dodo melompati pagar tanaman, lalu berhasil
menggapai gerbang keluar. Tetapi dari kejauhan, suara petugas itu meneriaki
dirinya sambil melepaskan tembakan. Orang-orang tampak gaduh dan menjauh dari
tempat kejadian pekara.
# # #
Jauh di atas pelataran Monas, Juna tampak
berlari menyusuri lorong dengan langkah lebar-lebar. Beberapa kali dia harus
menghindar saat Arya meluncurkan tembakan. Tetapi ia tak bisa berharap bisa
terus berlari, dia memutuskan untuk berhenti di salah satu tikungan. Menghadang
tubuh Arya yang berlari kencang. Tangan Juna menangkap lengan Arya, keduanya
terjatuh terjerembab di atas lantai marmer. Bergulingan beberapa kali. Pistol
di tangan Arya terlepas jauh.
Arya yang berada di bawah memanfaatkan
posisinya untuk menendang bagian belakang Juna dengan kaki kanan. Juna terpukul
ke depan, Arya menarik tangannya dan Juna terjatuh ke samping. Juna tak
berdaya. Arya bangkit, menarik kaki kirinya lalu menghantamkannya pada perut
Juna. Juna tampak meringis kesakitan, tetapi ia berhasil menarik kaki Arya
dengan cepat. Menyebabkan Arya terpelanting ke depan menubruk kursi kayu di
ujung lorong.
Arya bangkit, mengambil kursi kayu.
Mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menjatuhkannya pada tubuh Juna yang tak
berdaya di lantai. Juna sempat menghindar, ia bisa bangkit dan berdiri. Arya
mengambil pistolnya yang letaknya tak jauh dari tempatnya, lalu ia
mengacungkannya pada Juna.
“Arya, Arya….dengarkan aku. Aku sangat
percaya padamu, bukankah aku selalu mengatakan itu. Bagaimana kalau kita membicarakan
baik-baik hal ini? Dengarkan aku, dengarkan,” ucap Juna dengan terbata.
“Apakah kini aku harus menurutimu Tuan Juna?”
tanya Arya dengan sinis. “Kini tak ada yang membantumu. Di sini hanya ada kita,
aku dan kamu. Mengapa tidak kita selesaikan saja sekarang?”
“Arya dengarkan, sistem yang kalian bangun
itu membahayakan. Aku tahu tadi kamu berkelana, dan itu justru membangkitkan
iblis-iblis di sana. Kamu pasti tahu Mahesa, dia sedang ke sini, dia ingin
membalas dendam. Percayalah….”
“Persetan dengan mulut kecilmu, Juna. Sejak
melihatmu, aku memang tidak yakin akan bisa bekerja sama denganmu. Aku tidak
tahu mengapa Tuan Mata bisa mempercayakan Mata Rantai kepadamu.”
“Oke, jika jabatan itu yang kamu mau, aku
akan menyerahkannya. Aku akan memberikannya padamu, bukankah itu yang kamu mau.
Tetapi, turuti permintaanku. Akhiri semua ini, matikan sistem itu. Atau Jakarta
akan dalam bahaya.”
“Tidak. Aku tidak akan menghentikannya. Aku
sudah merencanakan ini bertahun-tahun. Dan aku memang membiarkanmu datang ke
Mata Rantai karena hanya kamu yang tahu letak batu itu. Hanya kamu.”
“Dan kamu tahu, batu itu palsu. Tuan Mata
yang menuliskannya sendiri. Batu yang kalian ambil itu palsu.”
“Jangan menggertakku, Juna.” Arya
mengencangkan genggaman tangannya pada pistol. “Jangan pernah menggertakku. Aku
sudah cukup mendapatkan perintah darimu akhir-akhir ini.”
“Aku mohon hentikan itu semua, dan aku akan
menuruti apa yang kamu mau.”
“Aku bukan anak kecil yang bisa kamu tipu
dengan ucapan murahan seperti itu, Juna. Sekarang aku tinggal membunuhmu. Dan
menyelesaikan misiku. Aku tinggal melenyapkanmu, membuat berita seolah kamu
telah kabur dari Mata Rantai karena merasa gagal membangun perusahaan itu. Kamu
jadi gila, kamu menempatkan bom di gedung Mata Rantai. Dan kamu jadi buronan.
Tugasku selesai. Lagian, ada banyak orang yang akan lebih mempercayaiku
daripada kamu.”
Juna mengambil nafas panjang. “Sejak lama aku
mengagumimu, Arya. Sejak lama. Aku tak menyangka kamu akan menjadi penghianat.”
“Persetan dengan ucapanmu.” Arya menarik
pelatuk pistolnya.
Terdengar bunyi tembakan keras. Suasana
mendadak menjadi sunyi. Juna berdiri di tempatnya dengan kaku. Tubuhnya
bergetar. Ia melihat ke dadanya yang ternyata masih bersih. Mukanya terangkat
dan ia menyaksikan sendiri saat tubuh Arya pelan-pelan terjatuh ke lantai
dengan luka tembak di kepalanya yang tampak memutih karena sebagian otaknya
keluar. Tubuhnya limbung bersimbah darah. Di belakang tubuh Arya, ada Janero
yang mengacungkan pistolnya.
Sementara itu, tembakan Arya meleset mengenai
dinding.
# # #
Jadi juna ama arya ntar akhir nya bersatu gitu yaaa hahaha #kabur
ReplyDelete