Juna memandang Janero dengan mata nanar, bak seorang wanita yang dilamar kekasihnya di tengah keramaian padahal sebelumnya tak ada gelagat apa-apa. Lantai marmer membisu, dinding tak bersuara, keduanya mencelos melihat tangan Janero masih gemetar. Keringat menggulir membasahi dahi di tengah kedinginan AC yang menyekat kulit.
Juna terpaksa memundurkan kaki setapak dengan
perlahan. Ini situasi yang sangat sulit. Bisa saja saat ini, Janero menarik
pelatuknya kembali. Selongsong peluru kemudian melesat, merobek dada Juna tanpa
ampun. Bisa saja itu terjadi. Di tubuh Juna tak tersisa senjata apa-apa. Hal
yang paling dekat pun hanyalah potongan kayu dari kursi yang rusak, letaknya
beberapa langkah dari Juna. Jika ia mengambilnya, pastilah Janero sudah
berhasil meluncurkan pelurunya. Itu sama saja dengan bunuh diri.
Bibir Juna tak henti bergetar. Tetapi ia tak
tahu harus berkata apa. Matanya menginderai dengan gerakan cepat, ke kiri dan
ke kanan. Ia tak menemukan ide apa-apa. Kecuali pasrah.
Di luar perkiraannya, Janero menurunkan
senjatanya perlahan. Senjata itu terlepas dari pegangannya, jatuh berderai di
tengah kesunyian Monas. Lututnya menekuk cepat, ia menyusul pistolnya yang
sudah ambruk di lantai.
“Maafkan aku,” ucap Janero dengan lirih,
tetapi masih menimbulkan gema di ruangan. Ia menunduk memandangi tangannya yang
beku. “Selama ini, kamu belum pernah memanggilku bodoh. Aku memang cemburu
padamu karena kamu bisa dekat dengan Ariana. Ketahuilah, aku sangat cemburu
padamu. Kulihat Ariana begitu bahagia di dekatmu, matanya bercahaya. Sebagai
lelaki, kamu seharusnya menyadari kalau dia mencintaimu. Dan itulah yang
membuatku sakit. Dan rasa sakit itulah yang memaksaku untuk bertindak semua
ini. Aku seperti kehilangan kontrol. Apakah lelaki yang patah hati selalu
seperti ini?”
Juna mendengar suara isak tangis lirih.
Janero memandang Juna sendu. “Meskipun aku
cemburu padamu, tetapi tak pernah sedikitpun aku mendengarmu memanggilku dengan
sebutan bodoh, seperti dua orang busuk itu.”
“Janero, aku….”
“Aku ikut andil dalam aksi malam ini, aku
benar-benar menyesal. Jika kamu ingin menghukumku, aku siap. Aku benar-benar
siap, Tuan.” Janero mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
Juna tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya
memandang Janero yang bersimpuh tak jauh dari tempatnya berdiri. Apakah ini
hanya mimpi, atau apakah ini hanya sebuah strategi?
Tidak,
aku tidak boleh berburuk sangka. Hati Juna pun
meyakinkan.
“Aku memang harus menghukummu,” bibir Juna
akhirnya bergerak. “Kamu harus mematikan segera sistem ini, lalu kita
bersama-sama mencegah niat Crain untuk menguasai Jakarta. Apakah kamu siap
dihukum untuk itu?” Juna tersenyum.
“Apakah aku perlu menjawab?”
# # #
Layar laptop Janero memperlihatkan
titik-titik merah yang bergerak cepat keluar dari Monas. Di luar, langit sudah
berubah menghitam. Tak ada tanda-tanda petir akan berbunyi, tetapi suasananya
lebih mencekam dari kuburan malam yang baru saja ada orang meninggal di tabrak
kereta. Juna memandang langit Jakarta dari lantai atas Monas. Kabut asap warna
gelap menutupi cahaya bulan dan bintang. Dari kejauhan titik api di Mata Rantai
sudah menghilang.
“Bagaimana sistemnya, Janero? Apakah sudah
kamu matikan sekarang?” tanya Juna sambil mendekat ke arah Janero.
Janero menghentikan gerakan jari jemarinya di
atas keyboard. “Sebentar lagi. Tetapi aku tidak yakin, apakah langit Jakarta
akan berubah cerah kembali. Aku hanya bisa menghentikan para tuyul itu. Tetapi
tidak dengan kekuatan gaib yang sedang menuju Jakarta.”
“Iya, itu akibat Arya yang berkelanan di
dunia Astral. Dia membuat marah iblis-iblis itu. Dan sepertinya mereka mulai
bersekongkol dengan Mahesa untuk menuju ke sini. Aku pun tidak tahu, apakah
bisa menggagalkan mereka. Mungkin aku bisa berkelana lagi ke dunia itu,”
“Tidak, Tuan. Itu sangat berbahaya.
Sepertinya itu bukan solusi yang terbaik.”
“Apakah ada cara lain?” tanya Juna.
Janero terdiam. Detik kabisat sudah terlewat,
tetapi sistem yang ia bangun masih berjalan. Kini, dia tinggal menekan tanda
enter untuk menghentikannya. “Tuan, apakah batu mata itu benar-benar palsu?”
“Iya, itu batu yang palsu. Yang asli sedang
menuju ke sini,”
“Apakah kita tidak bisa menggunakan batu itu
untuk menghentikannya? Menurut legenda, batu itu adalah batu paling sakti yang
bisa mengendalikan dunia gaib. Bukankah Crain mengincarnya karena hal itu.
Kurasa, kita bisa menggunakannya untuk mencegah iblis-iblis itu menguasai
Jakarta. Mungkin iblis-iblis itu juga datang karena panggilan batu itu.”
Juna beralih melihat langit Jakarta. “Kamu
salah, Janero. Batu itu justru sangat berbahaya. Sangat berbahaya sekali. Tuan
Mata yang menceritakannya sendiri di bukunya. Batu itu sengaja ditempatkan di
Masjid Keramat agar setiap waktu dia memperoleh doa-doa. Agar kekuatannya
semakin melunak. Karena jika digunakan dengan salah, batu itu bisa membahayakan
banyak orang. Iblis-iblis akan berkeliaran, dan mereka bisa dengan mudah
merasuki orang-orang. Para iblis yang memburu tubuh manusia, agar tubuh mereka
kembali sempurna.”
“Jadi batu itu tidak bisa membantu kita?”
Juna menelan ludah. “Mungkin bisa. Tetapi
akan membahayakan bagi orang yang melakukannya.” Dia terdiam sesaat. “Karena
aku adalah pemimpin Mata Rantai saat ini, maka aku akan bertanggung jawab atas
kekacauan yang ada sekarang.”
Janero memandang atasannya dengan nanar.
Astaga,
apa yang akan dia lakukan?
# # #
Dodo tak mempedulikan dua petugas yang
mengejarnya. Di tengah lapangan Monas, larinya terhenti. Dia tak menoleh ke
belakang. Dia memperhatikan dengan saksama dua orang yang kini mematung di
depannya.
Ariana dan Gordon terpaku di tempat, di depan
Crain yang sedang menyandera Dede. Dede tampak menahan rasa sakit di kaki Crain.
Ia dibekap oleh Crain dengan kuat, di keningnya moncong pistol menempel lekat.
“Akhirnya kalian bergabung di sini semua.
Kita tinggal menunggu Juna, kan? Tetapi kurasa dia sudah mati di atas Monas.
Sekarang, tinggal kalian yang akan menyelesaikan ini semua. Serahkan batu mata
yang asli jika kalian tidak menginginkan temanmu ini mengakhiri hidupnya dengan
sangat mengenaskan.”
“Apa maumu, Crain?” pekik Ariana di antara
dinginnya udara malam. Beberapa kali ia harus merapatkan blazzer tipisnya.
Crain terkekeh. “Apakah aku harus
mengulangnya. Aku menginginkan batu mata yang asli.” Dia membuang muka. “Aku
sudah terlalu muak dengan negosiasi seperti ini. Lebih baik kalian segera
menyerahkannya, atau aku akan menyelesaikan ini dengan menyedihkan.” Crain
menekan moncong pistolnya ke dahi Dede.
Dede memejamkan mata. Ia hanya bisa menghela
nafas pelan-pelan. Kakinya seperti dimasukkan ke dalam satu ember berisi
campuran air dan bongkahan es. Jika malam ini dia harus mati di tangan Crain,
dia sudah siap. Lebih baik seperti itu daripada merasakan kakinya yang seperti
digergaji.
Ariana menahan tangannya di dalam saku
blesser. Di saku itu, empat buah batu mata masih tersimpan dengan rapi
terbungkus oleh kain sutera lembut. Tadi dia mengambilnya ke Masjid Luar Batang
ditemani oleh Gordon sesuai perintah Juna.
Di dalam lorong Mata Rantai, setelah dia dan
Juna dapat meloloskan diri dari kejaran Janero, Juna berkata bahwa batu mata
rantai yang dibawa oleh Crain adalah palsu. Percakapan itu, masih jelas teringat
di kepalanya.
“Itu
pengalihan, Ariana. Seperti bom yang meluluhlantahkan salah satu gedung Mata
Rantai. Bom itu ingin sengaja dinyalakan agar para polisi dan masyarakat di
Jakarta konsentraisnya ada di gedung Mata Rantai. Sepertinya, Tuan Mata telah
menyadari bahwa kejadian malam ini akan terjadi. Tetapi, tak ada tempat yang
aman di dunia ini, tak ada tempat yang rahasia. Semuanya akan terbongkar pada
waktunya. Untuk melindungi batu itu, maka dibuat replikanya. Dua-duanya
diletakkan di tempat yang sama. Yang satu di dalam Masjidnya, yang satu dibawa
oleh penjaganya. Tuan Mata sengaja melakukan itu, untuk mengecoh orang yang
berniat jahat untuk mengambilnya.”
“Dan
hanya orang yang ditunjuk oleh Tuan Mata yang bisa mengambilnya.”
“Tepat.
Dengan sebuah sandi.”
“Apakah
penjaga itu akan mempercayaiku?”
“Penjaga
itu telah mati. Dan sesuai pesan Tuan Mata, anaknyalah yang akan meneruskannya.
Wasiat turun temurun. Tentu dia akan mempercayaimu asal kamu membawa sandi yang
tepat.”
“Sandi?”
“Iya,
sandi yang tepat. Aku membacanya di salah satu buku Tuan Mata. Sebuah anagram
sederhana.” Juna terkekeh kecil. “Dan sandi itu ternyata selalu ada di sekitar
kita.”
“Apa?”
“Antara
Mati.”
“Antara
Mati?”
“Anagram,
permainan kata. Tentunya kamu tahu itu.”
“Astaga,
MATA RANTAI?” Ariana mencoba menyusun kembali huruf-huruf yang menyusun kata
Mata Rantai menjadi Antara Mati.
Juna
mengangguk. “Dan tempat yang sesungguhnya untuk menyimpannya adalah tempat
ANTARA HIDUP dan MATI. Sebuah makam yang ada di tengah-tengah tempat orang
hidup beribadah. Makam itu selalu didatangi oleh banyak orang untuk mendoakan
yang meninggal. Sebuah makam di salah satu sisi Masjid Luar Batang. Makam
seorang habib terkenal, Al-Habib Husein Bin Abubakar Alaydrus.”
“Dan
aku harus ke sana dengan menyampaikan kata sandi itu.”
“Iya,
ceritakan apa yang sebenarnya. Aku yakin…dia akan menerimamu.”
Ariana menatap dengan wajah penuh kebencian
pada Crain. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa salah satu Chief mata itu
telah mengkhianati Juna. Untuk hal yang menurutnya sangat tidak wajar. Bukankah
menolong seseorang tidak harus melukai orang lain? Jadi, dia pun akan
melindungi batu itu sepenuh hati. Dan akan menyerahkannya sendiri pada Juna.
“Cepat kamu berikan, atau aku akan menembak
kepala Dede,” gertak Crain dengan suara lantang.
Dua orang penjaga yang tadi mengejar Dodo
tampak membunyikan senapan panjangnya.
“Bunuh saja aku sekarang,” ujar Dede dengan
perlahan. “Jika itu yang kamu inginkan Crain. Apakah kamu akan membantu orang
dengan melakukan kejahatan seperti ini?”
“Tutup mulutmu, Bodoh,”
“Aku memang bodoh, tetapi aku masih punya
hati, Crain.”
Crain menekan keras pistolnya. Dede
memejamkan mata.
“Crain, sekarang kamu sendirian. Apakah kamu
tidak ingin melepaskan Dede dan mengakhiri ini?” tanya Ariana lembut.
“Percayalah, ini akan berakhir sia-sia.”
“Serahkan batu itu sekarang.”
Ariana mempererat pegangannya.
“Serahkan batu itu sekarang!” teriak Crain
dengan wajah marah.
“Hanya aku yang bisa mengaktifkan batu itu,
bukankah kamu tahu itu?” suara Juna terdengar dari anak tangga paling atas. Di
sampingnya, Janero berdiri memegang laptopnya. Semua mata menatap mereka.
Crain terkejut melihat Janero ada di sebelah
Juna. “Hai, Bodoh, mengapa kamu tidak membunuh Juna? Apa yang kamu lakukan di
situ? Di mana Arya?” teriak Crain.
“Mengapa kamu suka sekali memanggilku bodoh,
Crain?” tanya Janero. “Mengapa tidak kamu panggil namamu sendiri dengan sebutan
seperti itu?”
“Apa maksudmu?”
“Apa yang kamu lakukan sekarang akan berakhir
sia-sia, Crain. Aku telah mematikan semua sistemu. Lihatlah, tuyul-tuyul itu
telah tiada,” kata Janero. “Tetapi akibat perbuatanmu kini para iblis-iblis
sedang datang ke sini untuk menghabisi kita, menguasai Jakarta. Apakah kamu
tidak melihat langit Jakarta kini berubah menjadi hitam?”
Semua orang tergidik. Dua petugas yang
tadinya memihak pada Crain kini mulai menurunkan senjatanya. Dia melihat ke
arah langit yang kini semakin hitam pekat.
“Mereka sebentar lagi datang,” kata Juna.
“Dan satu-satunya cara untuk membusnahkan mereka adalah dengan membakar batu
mata rantai. Ariana, lemparkan batu itu padaku.”
Ariana tak bergeming. Juna melangkah
mendekatinya.
Crain tampak ragu. “Jangan macam-macam kamu,
Juna. Jika kamu bergerak sedikit lagi, aku akan membunuh Dede sekarang.”
“Kamu tidak akan membunuhnya, Crain. Meskipun
kamu membunuhnya, kamu tentu akan kalah malam ini. Semua orang tidak berpihak
padamu. Kamu sendirian, Crain. Bukankah kamu ingat waktu kecil telah mengalami
kejadian ini, kamu seorang diri ketika kamu membunuh ayahmu. Setelah itu, kamu
sendirian lagi. Kamu kesepian.”
“Apa yang kamu katakan?” gertak Crain.
“Crain kecil yang malang membutuhkan kasih
sayang. Apakah itu yang membuatmu menjadi psikopat? Membuatmu membunuh
orang-orang yang kamu sayangi. Mengubur mereka di bawah galerimu? Dan akibat
perbuatanmu itu, kini Mahesa sedang akan balas dendam. Kekuatan gaib sedang
menuju kemari. Jadi saranku, kamu lebih baik menyerahkan Dede dan serahkan
dirimu ke pihak yang berwajib. Aku bisa membantumu untuk meringankan beban
penjaramu.”
Juna kembali maju selangkah. “Ariana
lemparkan batu itu.”
Ariana menggeleng. “Tidak Juna, aku tidak
akan membiarkan kamu dalam bahaya. Aku tahu jika kamu membakar batu itu, maka
kamu akan musnah bersamanya.”
“Aku yang menyebabkan ini semua terjadi, aku
harus bertanggung jawab.” Juna mengangguk pada Ariana. “Lemparkan batu itu.”
Dengan pasrah, Ariana mengangguk kecil lalu
merogoh batu di dalam sakunya. Dia melemparkan dengan cepat dan Juna
menangkapnya tangkas.
“Kalian benar-benar tidak bisa diajak
kompromi. Aku tidak akan main-main sekarang.” Crain menekan pistolnya lagi
sambil menjambak rambut Dede. “Kalian tentu lebih senang membiarkan teman
kalian mati di tanganku.”
“Kamu membunuhnya, aku membakar batu itu, dan
kamu tidak mendapatkan apa-apa. Mungkin saja kamu akan ditangkap oleh polisi.”
Juna berteriak.
“Jangan menggertakku.”
“Kamu akan kembali sendirian.”
“Jangan menggertakku.”
“Kamu tidak punya siapa-siapa. Kamu mungkin
akan mendekam seorang diri di Galeri Mahakarya sampai tua.”
“JANGAN MENGGERTAKKU. AKU AKAN HIDUP BAHAGIA
DENGAN ARYA.”
Juna tertawa. “Ketahuilah, Arya telah mati.”
Crain membeku di tempatnya. Seperti Patung
Soedirman di tengah teriknya siang, dan dinginnya malam. Matanya berubah
seperti mata kucing di malam hari.
Dengan susah payah, dia menggerakkan
bibirnya. “Ap..apa maksudmu?”
“Arya telah mati, Crain. Kamu kini sendirian.
Apakah kamu melihatnya sekarang? Tidak, kan? Karena dia telah mati. Jadi….”
Tubuh Crain seolah luruh ke bumi. Ia membuang
muka untuk menyembunyikan buliran air mata yang mendesak keluar dari kelopak
matanya. Sesuatu di dalam hatinya memberontak, tetapi ia pun yakin bahwa apa
yang dikatakan Juna adalah benar.
“Aku telah menembaknya,” kata Janero. “Dan
kini pun aku siap untuk menembakmu.” Janero mengacungkan senjatanya. Tetapi
tangan Juna bergerak pelan, meminta Janero menurunkan senjatanya.
Air mata Crain tidak terbendung lagi. “Kamu
telah membunuhnya?” tanyanya perlahan dengan terbata. “Mengapa kamu membunuh
orang yang sangat kucintai?” Dia terisak.
Semua orang tak ada yang bergerak.
“MENGAPA KAMU MEMBUNUHNYA?”
Crain menangis. Dia ambruk di samping Dede
yang masih menahan sakit. Tetapi tangannya masih kuat memegang senjata. “Tuhan,
mengapa kamu selalu mengambil orang-orang yang kucintai? Mengapa?” Crain
berteriak seorang diri. “Ini tidak adil….ini tidak adil…” Dia menggeleng.
Juna seperti melihat orang lain, bukan Crain
yang arogran. Bukan Crain yang sejam lalu.
“Crain, serahkan senjatamu. Kita akhiri semua
ini,” pinta Juna.
Crain
mendongakkan kepala. Dia terkekeh panjang di antara tangisnya. “Apakah semudah
itu?”
Crain kembali menggenggam senjatanya,
mengarahkannya ke pelipis Dede. Dede terpejam. Ia sudah terlalu pasrah dengan
keadaan.
“Crain, pikirkan tindakanmu,” teriak Juna.
Crain menggeleng. “Apa pedulimu?”
“Crain, tidak ada gunanya kamu membunuh Dede saat
ini. Sekarang serahkan Dede dan kita bersama-sama mengusir iblis-iblis itu dari
sini. Serahkan senjatamu.” Juna perlahan bergerak mendekat.
Crain menggeleng lagi. “Mengapa aku selalu
sendiri, Tuhan.” Air matanya perlahan menyeruak dari kelopak matanya.
Juna melangkah selangkah lagi. Ariana
menggeleng, seolah memberi isyarat bahwa itu membahayakan Dede.
Crain memegang senjata kuat-kuat.
“Crain kemarikan senjatamu,” kata Juna lagi.
Dia menggeleng.
“Kita selesaikan ini. Percayalah padaku.”
Dia terisak. “Arya, mengapa kamu
meninggalkanku?”
“Crain, percayalah.”
Crain menggenggam erat pistolnya. Lalu
menarik tangannya, mengarahkan moncong senjatanya pada pelipisnya sendiri.
Suara tembakan terdengar berbarengan dengan
gemuruh langit Jakarta yang menghitam. Para iblis telah datang, saat tubuh
Crain ambruk menyatu dengan tanah. Di kepalanya, ada lubang berwarna merah.
# # #
Belum pernah nonton jelasnya.. :)
ReplyDelete