Juna terperangah melihat tubuh Crain ambruk di atas rumput basah. Setetes keringat bergulir dari sela rambut cepaknya. Dia menelan ludah. Mendadak suasana berubah menjadi sunyi. Bahkan rumput pun ikutan menelan suara, melihat Crain tak berdaya di atasnya.
Sementara itu, langit Jakarta mulai menghitam
pekat. Asap turun perlahan. Mengepung Monas. Ada seseorang yang membangunkan
tidur panjang iblis-iblis di dunianya.
Juna melangkah maju, memastikan Crain telah
benar-benar tiada.
“Langit telah berubah. Aku harus memastikan
bahwa tidak akan terjadi apa-apa di sini,” Juna memandang satu persatu
asistennya. Tangan kirinya merogoh batu mata yang sempat ia sematkan di saku
jas tadi. “Aku harus menghentikan ini,”
“Tidak, Juna. Aku tak mungkin membiarkan kamu
mengorbankan dirimu sendiri.”
“Ariana benar, Tuan. Kita tak mungkin
membiarkan Tuan berkelana lagi. Ini sangat berbahaya. Mungkin kita bisa
melakukan bersama-sama.”
Juna berpikir sejenak. Tetapi tekadnya sudah
bulat. “Hanya aku yang bisa menghentikan ini.” Dia tersenyum kecil. “Terima
kasih, selama ini kalian telah membantuku melewati saat-saat sulit. Masih
selalu ada untukku meskipun aku tahu aku belum mampu memimpin Mata Rantai
dengan baik.”
“Tuan adalah pilihan yang tepat untuk Mata Rantai.
Dipilih oleh Tuan Mata,” ujar Dede.
Juna menggeleng. “Aku bahagia bisa bersama
kalian. Tetapi….” Juna menoleh satu persatu ke asistennya. “Aku harus
menyelesaikan ini.”
Ariana berlari kecil, menghamburkan tubuhnya
ke dekapan Juna. “Aku akan ikut denganmu,”
“Jangan bodoh,” sambung Juna. Dia memegang
pundak Ariana. “Mana mungkin aku membiarkanmu dalam bahaya,”
“Aku sudah terlalu sering ikut denganmu. Aku
akan baik-baik saja.”
Juna menggeleng. “Tidak, percayalah padaku.
Aku akan baik-baik saja.”
Ariana memandang Juna dengan tatapan nanar.
“Aku tak ingin kehilanganmu.”
Juna terkekeh. “Apakah aku cukup bodoh untuk
kehilanganmu?” Dia membelai rambut Ariana. “Tunggulah aku di puncak Monas, aku
sudah berjanji padamu akan membawamu ke sana. Mungkin malam ini, aku akan
benar-benar membawamu.”
“Berjanjilah akan kembali.”
Juna mengangguk. Dia menggenggam mantap batu
mata di sakunya.
# # #
Tikar itu terpampang di rumput basah. Di
atasnya duduk para anggota Mata Rantai.
Angin berhembus cukup kencang. Menerbangkan
debu-debu kecil, rumput-rumput kering, dan sampah-sampah.
“Jaga tubuhku,” ucap Juna sebelum matanya
menutup. Semua asistennya mengangguk. Juna memejamkan mata perlahan, memusatkan
perhatiannya pada satu titik di kegelapan.
Pikirannya satu persatu berloncatan, ke
kenangan. Ke satu hari, dimana ia baru bangun dengan kepala yang sangat sakit
di salah satu hotel di Bandung, ia bertemu dengan Arya yang mengatakan bahwa ia
adalah pewaris tunggal Generasi Mata. Ia tidak ingat detail pertemuan itu,
tetapi semenjak saat itu hidupnya telah berubah.
Dan semuanya menjadi sangat tidak beraturan.
Ia pun tidak beraturan.
Aku
harus menyelesaikan kekacauan ini.
Juna merasakan tubuhnya semakin ringan. Ia
paham kondisi ini. Tetapi, ada semacam angin yang mengaburkan tubuhnya. Ia
seperti terpelanting ke sana kemari. Ia tak boleh membuka mata. Membuka mata
sama saja dengan bunuh diri. Dia harus memastikan tubuhnya telah sampai ke
tempat yang ia tuju. Tubuhnya semakin ringan. Saat pantatnya seperti menyentuh
lantai dingin, sangat dingin, perlahan ia membuka mata.
Dan terkejutlah ia. Di depannya, ribuah iblis
sedang menunggu dengan mata merah menyala. Bentuk mereka rupa-rupa. Besar,
kecil, hitam, bertangan panjang.
Juna yakin bahwa ini adalah tempat yang sama
dengan yang biasa ia temui. Mengapa banyak sekali iblis di depannya?
Juna berdiri tergopoh.
Iblis-iblis itu seperti ingin menelannya. Mulut
mereka mengaga.
Sepertinya
aku harus berlari.
Dan Juna pun berlari. Ia berputar, ia harus
segera menjauh dan membakar batu mata rantai. Itu satu-satunya cara untuk membuat
semua iblis-iblis itu terbakar dan menjauh.
Derap langkah Juna semakin lama semakin
lebar, suaranya terdengar menggema. Ia tak berani menoleh ke belakang. Suara
iblis mengejarnya.
Tenang
Juna, tenang. Juna menenangkan dirinya sendiri.
Ia merogoh kantongnya, batu itu masih ada.
Lorong hitam membawa Juna pada sebuah ruang sempit dengan bau yang sangat
busuk. Juna berhenti, menoleh ke belakang. Iblis itu semakin mendekat.
Juna memandang ke sekeliling. Mayat-mayat bergelimpangan
di sana dengan keadaan yang sudah sangat mengenaskan. Lalat-lalat berterbangan
rendah, hinggap di tubuh-tubuh manusia yang sudah tak berbentuk. Bau anyir
menyeruak, membuat Juna mual. Dia yakin semua yang ia lihat kini adalah
makhluk-makhluk yang di dunia mati dengan tidak wajar. Bulu tekuk Juna berdiri.
Terdengar bunyi dengungan mendekat. Iblis itu
telah dekat ke ruang sempit itu. Juna dengan cepat merogoh batu mata dan korek.
Karena tergesa-gesa dan gugup, Juna menjatuhkan salah satu batu mata rantai.
Batu itu menggelinding menjauhinya dan berhenti tepat di salah satu tumpukan
sampah yang tak kalah berbau busuk.
“Sial,” umpatnya keras.
Iblis semakin dekat, ada di ujung lorong.
Mata mereka menatap Juna dari kejauhan.
Juna hampir saja melangkah mengambil batu
mata yang jatuh. Langkah kakinya terhenti di udara saat matanya melihat
binatang kecil yang keluar dari tumpukan sampah. Awalnya hanya satu ekor,
tetapi kemudian satu ekor itu seperti magnet bagi teman-temannya yang lain.
Mata dan sungut binatang itu menantang Juna. Sayapnya yang kecil siap terbang.
Juna menelan ludah saat ratusan kecoa kini
ada di depannya, di dekat batu mata.
# # #
Di waktu yang sama, Ariana kini telah berdiri
di ruang paling atas di Monas. Ia memandang Jalan Thamrin dan Sudirman di
depannya. Suasana dua jalan itu sangat lenggang, berbeda sekali keadaannya saat
siang hari. Ia jadi teringat percakapannya dengan Juna setelah Juna mengajaknya
makan malam beberapa waktu lalu. Ia berkata pada lelaki itu bahwa ia ingin sekali
bisa pergi ke pucak Monas pada malam hari.
Dan aku
ingin ke puncak itu bersamamu, Juna. Ucapnya dalam
hati waktu itu, menyambung ucapannya sendiri.
Ia memang ingin pergi ke tempat ini,
memandang kota Jakarta pada malam hari.
Ia ingin menantang Jakarta yang sibuk di malam hari. Jakarta pada waktu malam
sangatlah tenang, menyenangkan. Dan ia
sangat ingin ke sini bersama orang yang sangat ia cintai. Dan itu adalah Juna.
Awalnya dia ragu dengan perasaannya sendiri. Mungkinkah
ia mencintai orang yang awalnya ia benci? Ia benci dengan sikap Juna yang
arogan dan kekanak-kanakkan. Ia sempat tidak yakin Juna akan bisa memimpin Mata
Rantai. Tetapi ia menjaga sikapnya, karena Juna adalah pewaris Generasi Mata.
Orang yang telah dipilih oleh Tuan Mata. Dan Tuan Mata juga yang sudah merawat
dirinya.
Semua tampak begitu sulit. Tetapi, Juna bisa
membuktikan bahwa ia adalah orang yang pantas untuk dicintai. Dan ia memang
mencintai Juna. Ia bahkan sakit hati saat Juna dengan dengan orang lain.
Kini orang yang ia cintai itu sedang berjuang
sendiri di bawah sana. Ariana meminta yang lain untuk menjaga Juna. Ia tak tega
melihatnya seorang diri. Ia memilih
pergi dan menunggu. Ia akan menunggu. Dan itulah yang justru semakin meresahkan
hatinya. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu, termasuk menunggu Juna untuk
mengutarakan perasaannya. Apakah itu mungkin?
Ariana menggigit bibir bawahnya? Ia hanya
bisa pasrah. Pertarungan di alam antara dunia dan akherat tentunya sangat
berat. Ia hanya bisa berdoa agar Juna bisa selamat. Setidaknya ia bisa lega
melihatnya kembali memimpin Mata Rantai.
“Aku kini tak berharap lagi kamu mencintaiku,
aku hanya ingin melihatmu lagi,” ucap Ariana lirih, berkata pada dirinya
sendiri.
# # #
Juna seperti terjebak di antara dua hal yang
sangat ia benci. Di depannya ratusan kecoa sudah menyalakkan sungutnya. Seolah
mereka tahu bahwa Juna membenci mereka. Dan kini mereka akan balas dendam atas
teman-temannya yang Juna bunuh dengan sapu lidi, guling, ia injak.
Dan di belakangnya, para iblis sudah menunggu.
Ia tak punya banyak waktu. Keringat dingin keluar tubuhnya yang panas.
Kecoa-kecua menggerakkan kaki perlahan, Juna
mundur selangkah.
Ia teringat kejadian saat ia berumur enam
tahun. Saat itu, ia sedang dihukum untuk membantu bersih-bersih di rumah. Juna
kecil yang nakal dihukum oleh ayahnya. Ia cemberut saat harus menyapu halaman
belakang rumah. Dengan kesal, dia menggerakkan sapunya kasar. Di belakang rumah
mereka, ada semacam gudang yang jarang sekali dikunjungi. Juna yang kesal,
pergi ke gudang itu. Ia duduk seorang diri, berharap tak ada orang yang
menemukannya. Tiba-tiba ada hewan kecil yang merambati tangannya. Ia tersentak.
Seekor kecoa kecil menatapnya dengan senyum. Juna mengibaskan tangannya, jijik.
Dia memukul kecoa itu, tetapi kecoa itu justru terbang. Ia mengejarnya dengan
membawa sapu. Dia pukul-pukul kecoa itu, tetapi tetap saja si kecoa tidak mati.
Juna menyerah dan keluar dari gudang dengan rasa kesal yang menumpuk. Malam
harinya, kecoa itu datang kembali. Kali ini, bercampur dengan bubur ayam buatan
mamanya. Sepertinya, Juna telah mengusik kecoa itu dan teman-temannya sehingga
para kecoa balas dendam. Malam itu, keluarga Juna sibuk menyemprot kecoa di
seluruh ruang. Dan Juna pingsan karena sempat memakan kaki kecoa di buburnya.
Sejak saat itu, Juna paling takut dengan
kecoa.
Tapi saat ini, ia tak ada pilihan lain. Ia
harus mengalahkan rasa takutnya. Ia harus membunuh fobia yang sudah bersemayam
dalam dirinya seumur hidup. Jika tidak, ia akan kalah oleh semuanya. Ia kalah
dengan kecoa, ia juga pasti kalah dengan para iblis yang telah menghadangnya.
Tanpa melihat para kecoa yang mengelilingi batu mata rantai yang jatuh,
Juna melompat di antara mereka, mengambil batu mata dan melompat lagi ke depan
menjauhi kecoa-kecoa. Ada satu kecoa yang berhasil hinggap di tangannya, Juna
mengibaskannya. Kecoa itu terbang.
Juna menghela nafas lega. Kini di tangannya
ada empat batu mata. Para iblis seolah tahu kalau Juna akan membakar keempat
batu mata. Mereka berhamburan ke depan, mendekati Juna. Juna mengangkat batu
mata. Para iblis tidak berani mendekat.
“Mendekatlah, aku akan membakarnya,” teriak
Juna.
Para Iblis mengeram. Mereka diam di tempat.
“Majulah,” Juna menantang.
Aku
akan menyelesaikan ini. Aku harus kembali ke Mata Rantai.
Juna menyalakan korek apinya. Api berkilat
kecil menerangi gelapnya ruangan. Para iblis mengeram semakin keras. Juna
mendekatkan korek ke telapak tangannya. Timbul percikan api dari keempat batu
mata. Api itu semakin lebar. Juna melemparkannya ke depan. Keempat batu meledak
bersamaan, membakar para iblis. Ada kilat dengan cahaya putih menyilaukan mata.
Juna menuutp mata dengan tangan kanannya. Ia merasakan kepalanya mendadak
pusing. Rasa pusing yang sudah lama tak ia rasakan.
Juna merasa tubuhnya ringan. Saat ia membuka
mata, ia ada di sebuah ruangan yang serba putih, tanpa batas. Ia seorang diri.
“Hai Juna,”
Juna menoleh ke arah asal suara. Di sana, ada
seorang kakek tua berambut putih panjang dan berpakaian serba putih.
“Siapa kamu?”
“Apakah kamu tak mengenalku?”
Juna mengerutkan kening.
“Bukankah kamu seperti melihat dirimu sendiri
beberapa tahun ke depan,”
Juna menelan ludah, terpana. “Tu….Tuan Mata?”
“Ayahmu,”
Juna belum bisa mencerna apa yang ia lihat
kini. Orang yang kini ada di depannya benar-benar mirip dengannya. Ia memang
pernah melihat Tuan Mata di dalam foto. Namun, ia merasa bahwa foto Tuan Mata
tidak sedikitpun mirip dengannya.
“Bukankah anda telah me…” perkataan Juna
menggantung. Ia tak tahu harus melanjutkan atau tidak.
“Janganlah bersikap kaku dengan ayahmu.” Tuan
Mata terkekeh. “Apakah aku boleh meminta sesuatu sekarang?”
Juna mengangguk kecil.
“Bolehkah aku memelukmu?”
Juna tak tahu harus menjawab apa, tetapi ada
dorongan dalam hatinya yang memintanya untuk mengangguk. Ia pun mengangguk
kecil.
Tuan Mata merengkuh tubuh Juna dengan
tangannya yang keriput. Dia membelai rambut Juna perlahan.
“Maafkan ayahmu ini, Nak.” Ada isak tangis di
sela ucapan Tuan Mata. “Apakah kamu mau memaafkanku?”
Lagi-lagi Juna mengangguk. Ada dorongan lain
yang memintanya kembali.
“Sudah lama aku merindukan untuk memelukmu,
Nak. Aku sangat merindukanmu.”
Juna merenggangkan pelukannya. Ia menatap
Tuan Mata di depannya. “Mengapa kita bisa bertemu di tempat ini?”
Tuan Mata mengusap air mata yang jatuh di
pipinya. “Karena tentu saja kamu memiliki darah mata. Aku yang menginginkan
pertemuan ini, karena kita tak mungkin bertemu di Mata Rantai.”
“Mata Rantai telah hancur,” ujar Juna
perlahan. “Maafkan aku,”
Tuan mata menggeleng. “Kamu tentu tidak salah
atas semua kejadian ini. Aku sudah tahu bahwa ini semua akan terjadi. Ayah
justru berterima kasih kepadamu karena kamu telah bersusah payah membangun dan
melindungi Mata Rantai. Semua anak buahmu pasti bangga kepadamu.”
Juna terkekeh. “Aku bukan pemimpin yang
baik.”
“Siapa bilang? Semua asistenmu bangga
kepadamu. Dan ingatlah satu hal, kamu telah melakukan yang terbaik.” Tuan Juna
tersenyum kecil.
“Aku harus pergi. Aku tahu kita tidak diperbolehkan
bertemu di tempat ini.”
Tuan Juna mengangguk. “Aku sangat bangga
padamu.”
Juna mengangguk kecil untuk kesekian kali.
“Memimpinlah dengan hati, Juna. Memimpinlah
dengan hati nurani.”
Kali ini Juna tidak mengangguk, dia berbalik
dan menjauh. Kemudian dia berhenti kembali dan menoleh kepada Tuan Mata. “Aku
juga merindukanmu, Yah.” Lalu dia kembali berjalan.
# # #
Ariana memandang ke depan. Langit sudah
hampir pagi. Jakarta hampir bangun. Awan hitam berangsur-ansur telah
menghilang.
Apakah
dia telah berhasil? batin Ariana.
Dari kejauhan terlihat gedung Mata Rantai
yang terlihat sepi diantara gedung-gedung tinggi yang lain. Bentuknya yang khas
membuatnya mudah dikenali. Sudah bertahun-tahun Ariana hidup bersama Mata
Rantai. Baru kali ini, ia merasa sangat tak ingin kehilangannya.
Bukankah itu bentuk loyalitas tertinggi dar
suatu hal. Ketika kita, tak ingin kehilangan sesuatu itu. Ketika kita merasa
sangat memilikinya.
Ia kini sangat tak ingin kehilangan Mata
Rantai. Kekacauan akhir-akhir ini telah memperbesar rasa cintanya pada
perusahaan supranatural itu. Dan malam ini, ia sebenarnya benar-benar sangat
lelah.
Kini ia harus menunggu. Hanya menunggu.
Ariana melirik jam tangannya yang tertutup
lengan blessernya. Sudah dua jam ia menunggu. Tetapi ia sengaja, tak turun ke
bawah. Ia pasrahkan semuanya.
“Bukankah kamu tidak suka menunggu?”
Suara serak itu membuat Ariana menoleh. Ada
rasa lega saat mendengarnya. Karena Ariana tahu pemilik suara itu.
“Untuk alasan tertentu, aku tentu akan
menunggu.”
“Jadi, apa alasannya?” tanya Juna dengan
tersenyum.
Ariana tampak berpikir sejenak. Lalu, dia
membelakangi Juna. “Karena aku ingin menikmati Jakarta dari atas sini. Sudah
lama aku menginginkannya.
Juna berdiri di samping Ariana. “Maaf telah
membuatmu menunggu terlalu lama, Ariana.” Juna menggenggam tangan kiri Ariana.
Ariana tersentak. Ia menoleh dan mendapati
wajah Juna sangat dekat dengannya.
“Terima kasih sekali lagi,” ucap Juna pelan.
Ariana seperti kehilangan nafas. Ia kini
benar-benar dekat dengan Juna. Belum pernah ia sedekat ini. “Untuk apa?”
tanyanya terbata.
“Untuk semuanya. Sudah menjadi partner yang
baik selama ini. Maaf kalau aku tidak sempurna dalam memimpin Mata Rantai.”
Ariana menggeleng. “Sudah kukatakan padamu,
kamu yang terbaik.”
“Terima kasih juga karena sudah menungguku.”
“Aku senang menunggumu.”
“Bukankah kamu tidak suka menunggu.”
“Tetapi aku senang menunggumu.”
“Apakah kamu menungguku juga untuk jujur
bahwa…bahwa aku sangat mencintaimu?”
Ariana menelan ludah. “Apakah aku perlu
menjawabnya?”
Juan tersenyum. Jenis senyum yang sangat
melegakan.
Ariana merasakan tubuhnya menegang. Seluruh panas
tubuhnya berkumpul di satu titik di kepalanya. Ia tahu, Juna pasti akan
menciumnya. Ariana memasrahkan bibirnya. Ia membasahinya perlahan.
Juna menyentuh pipi Ariana, lalu memoles
bibirnya. Ia hampir saja mencium Ariana jika saja tidak ada suara lagu yang
sangat ia kenal. Juna menoleh ke arah asal suara. Ariana pun demikian.
Keduanya melihat Gordon sedang berdiri tak
jauh dari mereka, sibuk mematikan dering ponselnya.
Gordon terlihat gugup. “Oh, maafkan aku. Aku
tak tahu siapa yang meneleponku pagi-pagi buta seperti ini. Ternyata istriku di
rumah. Dia menanyakan kabarku, apakah aku baik-baik saja.” Gordon berkata
dengan nada terbata.
Juna dan Ariana tertawa, bukan tertawa karena
mendengar perkataan Gordon yang gugup. Tetapi mereka tertawa karena lagu yang
mereka dengar. PARTY, SNSD. Juna semakin akrab dengan lagu itu. Lagu itu juga
yang telah menyelamatkan dirinya dari para tuyul-tuyul. Juna tertawa semakin
keras mengingat kejadian itu.
“Aku permisi,” tanpa diminta Gordon pergi
meninggalkan Ariana dan Juna.
“Dia lucu,” kata Ariana setelah Gordon pergi.
“Dia sangat lucu.”
“Ya, dia sangat lucu.”
“Kamu juga lucu.”
“Mengapa jadi aku?”
“Apakah aku jadi boleh menciummu?”
Ariana mencubit pinggang Juna membuat Juna
tertawa semakin keras. Pagi itu, Jakarta mendadak menjadi indah.
# # #
EPILOG
Seminggu
setelah semua kejadian di Monas.
Suasana bandara Soekarno Hatta pagi itu
sangat ramai. Antrian mengular sejak di pintu masuk keberangkatan. Begitu juga
saat proses check-in.
Ariana dan Juna berdiri di depan pintu masuk.
Pagi ini, Juna akan pergi ke Singapura.
“Aku harus meninggalkanmu sebentar. Aku
benar-benar butuh liburan dan tentu saja aku merindukan Mama. Banyak hal yang
harus aku ceritakan padanya. Kamu jangan merindukanku,”
“Apakah aku terlihat akan merindukanmu?”
“Mengapa kamu selalu menanggapi suatu hal
dengan pertanyaan?”
Ariana tersenyum. “Hari ini aku bertindak
sebagai asistenmu, bukan kekasihmu, Tuan. Kuharap kamu bersikap profesional.”
Ariana menjaga jarak dengan Juna.
Juna pun ikut menjaga jarak, dia merapikan
pakaiannya, bersikap sopan. “Sebagai atasanmu, kamu kuperintahkan untuk menciumku
sekarang.” Juna menyodorkan pipinya ke Ariana.
“Ih, maunya.”
“Kamu menolak permintaan Bos?”
“Apakah kamu harus meminta?” Ariana memeluk
Juna, lalu mencium pipinya. “Ariana bakal kangen kamu. Cepatlah kembali.”
Juna mengangguk. Pagi itu, dia untuk pertama
kalinya, tak ingin meninggalkan Jakarta.
Pesawat Juna terbang sejam kemudian menuju
Singapura. Di dalam pesawat, Juna tampak melamun, membayangkan
kejadian-kejadian yang beberapa bulan ini terus menghantuinya. Ia teringat saat
dulu datang ke Singapura, memastikan bahwa apa yang dikatakan Arya adalah
benar. Dan mamanya membenarkan.
Juna menarik nafas. Perjalanan ini terasa
berat. Tetapi, ia harus melewati proses ini. Proses yang telah menguras tenaga
dan pikirannya.
Ia menikmatinya.
Bahkan ia melupakan rasa sakit di kepalanya,
yang kini telah berangsur hilang. Yang telah berangsur-angsur menjadi hal yang
biasa.
Juna yakin, perjalanan ini belum berakhir. Ini
adalah permulaan di Mata Rantai.
Tanpa sepengetahuan orang yang duduk di
sebelahnya, Juna meraba tato di pusarnya. Tato yang dulu ia buat di Bali. Di
sebuah toko. Ia tak menyangka bahwa tato itu adalah simbol-simbol di Mata
Rantai.
Tato itu telah mendarah daging di tubuhnya.
Ia membiarkannya. Karena perlahan ia mencintainya. Seperti kini, ia pun
mencintai Mata Rantai.
Juna memandang jauh ke luar pesawat. Di
antara arak-arakan awan, ia melihat Tuan Mata berdiri dengan senyum. Untuk kali
pertama, Juna membalas senyum itu.
# # #
Wah selamat ya udah mau dibikin versi cetaknya ^^b
ReplyDeleteDoakan yaaah :)
Deletemas...episode pertamanya di postingan bulan apa yah?
ReplyDeleteBisa dicek di link berikut ya episode pertama :
Deletehttp://www.wignyawirasana.com/2015/03/p-r-o-l-o-g-aryanda-putera-sudah.html