Hujan turun. Dan aku menangis di bawahnya. Begitu kisah ini kumulai dengan analogi sederhana yang kuciptakan. Hujan turun, berarti langit sedang bersedih. Tumpahan air hujan bagai air mata yang mengucur deras. Petir menggambarkan suara gemuruh di hati. Satu hal yang pasti, kisah ini akan sangat memilukan.
Tuhan berkata bahwa Dia akan mengabulkan doa
insanNya di bawah hujan. Maka, aku pun berdoa.
Tuhan,
tolong hentikan hujan. Aku mohon. Pilu kudengar suara yang hujan timbulkan. Semakin
deras hujan turun, semakin kurasakan sakit di dada yang berdentam-dentam.
Mengapa aku bisa menangis di bawah hujan?
Sejam yang lalu, sebenarnya kisah ini
dimulai. Hujan belum datang. Bintang tampak berhamburan di atas langit. Semuanya
baik-baik saja. Sampai satu tetes air yang turun ke bumi untuk pertama kalinya
mengawali kisah ini dengan satu hal: dia—kekasihku satu-satunya yang kucintai—mendadak
ingin berpisah dariku, sehari sebelum kami berdua ada di pelaminan.
# # #
Kami hanyalah sepasang manusia yang
diciptakan dengan ego yang besar. Tetapi Tuhan mempertemukan kami sore itu, di
rintik gerimis saatku selesai olahraga di Pintu Selatan Senayan. Gerimis
membubarkan orang-orang yang sedang menimba kesehatan. Satu persatu menghilang,
termasuk diriku yang berlari kecil menghindari gerimis yang mulai membesar.
Lalu kulihat dia.
Dia tidak menghindari hujan. Dia membantu
seorang ibu-ibu tua yang barang jualannya berhamburan di tanah. Aku tak tahu
secara pasti apa yang terjadi. Tak ada yang membantu, kecuali dia.
Dia yang tampak cantik di bawah rinai hujan
turun. Rambutnya yang basah terurai serampangan, jatuh di dahi dan bahunya. Lalu
dia memandangku yang mematung tak jauh darinya.
“Mau bantuin? Buruan keburu hujan.”
Dan aku pun tersadar. Aku lari ke arah
mereka, lalu membantunya. Begitulah sore itu kami bertemu di Senayan. Di bawah
rinai hujan.
# # #
Orang tak banyak yang tahu, sore itu setelah
pertemuan kami adalah waktu terbaik selama hidupku. Kami duduk berdua menikmati
segelas kopi imbalan dari si ibu penjaja yang kami tolongi. Duduk berdua saja
di pinggiran GELORA sambil memandangi satu-satu air yang jatuh dari langit. Hujan
sore itu sungguh dicurahkan dari Yang Maha Romantis. Derai airnya berjatuhan
seperti melatarbelakangi obrolan kami. Pun ketika langit mulai menghitam dan
tinggal satu dua orang yang ada di sekitar kami. Kami masih terus bercengkerama
tanpa henti, mendadak obrolan kami melebar. Hobi, politik, musik, traveling,
aku merasa banyak kecocokan. Begitu mello-kah hatiku sore itu setelah sekian
tahun sendiri dan hanya ditemani oleh udara kering di jalanan Jakarta-setiapku
pulang dari kantor. Dan obrolan kami bermuara pada satu kalimat kecil yang
kuberanikan—sebenarnya aku takut, jantungku berdebar, dan kupertimbangkan
ribuan kali sambil melihat raut wajahnya yang mempesona. Tetapi akhirnya
kuutarakan juga.
“Apa yang salah dengan sore ini?” tanyaku
kaku.
Dia menatapku, mencari jawab dipertanyaanku
sendiri. “Entahlah, mungkin hujan turun sebagai pertanda bahwa langit sedang
menangis.”
“Ya, bisa begitu. Tetapi arti tangis bisa
bermakna dua. Tangis yang memang menyedihkan, atau tangis karena kebahagiaan.”
“Jadi sore ini, hujan menangis karena….” Dia
menggantung kalimatnya.
“Mungkin dia bersedih karena melihatku tak
memiliki nomer handphonemu,” aku nyengir. Benar-benar gombalan yang gagal.
Tapi dia justru tertawa.
Adakah yang lebih bahagia ketika melihat
orang yang kau cintai tertawa, di depanmu?
# # #
Sudah kukatakan padamu, bahwa cerita ini
dimulai dengan sangat memilukan. Ya, begitulah kira-kira aku akan
mendiskripsikannya.
Tetapi tunggu dulu, sebelum kukisahkan cerita
piluku, mengapa tak kusampaikan hari-hari bahagiaku bersamanya. Ratusan hari
aku bahagia, bahagia karena ada dia.
# # #
Hujan kembali turun. Mengapa dia selalu mengawali
kisahku bersamanya?
Rencanaku sore itu sebenarnya agak berantakan
karena hujan. Aku telah menyiapkan sebuah taman dengan ribuan bunga yang kutata
sendiri—baiklah aku mengaku bahwa aku dibantu oleh sahabat-sahabat terbaik.
Bunga-bunga yang kami bentuk menjadi gambar hati, agak kekanak-kanakkan, tapi
biarlah. Aku menyukai hal-hal yang berbau romantis. Di tengah taman, ada kolam
dengan ikan-ikan koi besar berwarna-warni. Kubiarkan koi-koi itu menari di
sana. Menambah keelokan sore itu. Di
tengah kolam, ada gasibu kecil beratap jerami. Di luar gasibu sudah kusiapkan
lampion besar bertuliskan namaku dan namanya, dan sebuah cincin.
Sore itu, aku akan melamarnya. Tapi
berantakan karena hujan.
# # #
Aku ingin mencintainya seperti hujan yang
mencintai bumi. Tahukah kamu bahwa jumlah air yang menguap dari bumi setiap
detiknya adalah 16 ton air, dan kemudian air-air itu akan kembali ke bumi dalam
bentuk hujan dengan jumlah yang sama. Bumi telah memberikan cintanya ke
langit, dan hujan membalasnya dengan
jumlah yang sama.
Kuberikan seluruh cintaku kepadanya karena
dialah yang membuat hari-hariku bahagia.
Setiap kulelah bekerja, menghadapi kerjaan
yang membosankan setiap hari, maka kuingat senyumnya. Senyumnya setiap hari
yang selalu berkata: Semangat, ya. Kamu pasti bisa.
Setiap pagi di awal minggu, dimana semua
orang berteriak ‘Aku membenci hari senin’, maka kamu akan berkata kepadaku: Tak
peduli hari senin atau minggu, aku akan mencintaimu setiap waktuku.
Dan diakhir hari yang melelahkan, kamu akan
bilang padaku: ‘Janganlah bermimpi tentang hal lain, mimpilah tentang diriku.
Aku akan selalu bahagia, apapun keadaanmu.’
Tetapi sore itu, setelah ratusan hari
kulewati hari bersamanya, di bawah hujan, kamu menangis. Aku pun begitu.
# # #
Pertengkaran kami dimulai dengan turunnya
hujan. Sehari sebelum pernikahan kami. Sebenarnya
pertengkaran itu dimulai sebulan lalu, menumpuk-numpuk hingga menjadi gunung
kekesalan di antara kami. Namun layaknya pasangan lain, kami pun kemudian suka
baikkan kembali. Kadang aku yang mengalah, kadang dia yang mengalah. Kadang
dua-duanya tersenyum dan saling mengalah.
Pertengkaran awalnya sederhana saja. Sangat
sederhana. Misalnya, mengapa dia lebih memilih warna merah muda untuk sampul
undangan pernikahan sementara aku suka biru. Atau, mengapa aku tak bisa
mengurusi souvenir yang menurutnya sangat mudah—padahal setelah kucari dia
pasti takkan setuju.
Begitulah pertengkaran itu dimulai. Sampai di
suatu titik, kami berdua mendaftar semua orang yang akan kami undang.
Sore itu hujan, dan kami duduk di beranda
rumahku—yang baru kubeli secara kredit.
“Ini siapa Arya?” tanyaku kepadanya,
kusodorkan sebuah undangan kepadanya.
“Temenku waktu SMP.” Dia tertawa kecil. “Aku
sudah pernah cerita deh kayaknya. Dia cinta pertamaku, aku wajib mengundangnya.”
“Aish,”
aku sedikit cemburu.
“Tak perlu cemburu seperti itu, sih. Dia
kisah cintaku 15 tahun yang lalu. Dan kurasa, aku sudah melupakan bagaimana
rasanya mencintainya. Hehe. Lagian ya, waktu SMA aku sudah pernah pacaran waktu
SMA, kuliah dua kali…”
“Wah calon istriku ini laku sekali ya,” aku
mencibir.
“Kamu harusnya senang dong, punya calon istri
yang populer.” Dia tertawa lagi. Tawa yang selalu membuat hariku teduh dan
menggembirakan.
“Kamu tahu kan kisah cintanya Rangga dan
Cinta di AADC. Mereka juga terpisah 15 tahun dan….”
“Syuuttt….jangan terlalu percaya dengan
film-film.” Dia menggeleng, mengakhiri pertengkaran kecil kami.
Dan kami pun memilah-milah lagi orang-orang
yang kami undang. Dia mengundang teman SMA-nya, aku pun ada. Teman kuliah, aku
pun begitu. Kemudian sampai di suatu titik, dia menemukan sebuah nama.
“Silvia?” tanyanya, mengerutkan kening.
Aku memandangnya, aku tahu arah pembicaraan
ini. Hujan semakin deras. Deras sekali.
# # #
Dari semua mantan kekasihku, dia paling
cemburu dengan Silvia.
Silvia Kiara Putri. Nama yang 5 tahun sejak
kuliah hingga aku awal kerja di Jakarta. Nama yang dulu pernah ada di setiap
hari. Tak seperti dia yang kutemui saat hujan tiba, Silvia kukenal saat pelangi
datang. Hujan sudah reda, pelangi indah muncul di langit—di atas gedung
fakultas Teknik UGM waktu kuliah dulu. Aku jatuh cinta padanya, seperti aku
jatuh cinta pada pelangi.
Jika kamu bertanya sampai detik ini apakah
aku masih memiliki rasa padanya? Mungkin akan kujawab ‘mungkin’.
Kami berpisah bukan karena kami tidak saling
mencintai lagi
Kami berpisah bukan karena aku menemukan
orang yang lebih baik, dia pun begitu.
Bukan. Bukan seperti itu.
Cinta kami terpisah karena suatu masalah yang
sangat sederhana, tetapi sangat kuno sekali. Adat. Adat dia tak mengijinkanku
untuk menikah denganku, begitu juga denganku. Apapun alasan yang kami
keluarkan, tak akan bisa mengalahkan peraturan adat kami. Kuno sekali, di
tengah kehidupan yang sangat modern ini.
Tapi begitulah kisah cinta kami. Kandas.
Tak seperti pelangi yang indah.
Dan justru sekarang, aku akan menikah dengan
orang yang datang saat hujan.
# # #
Sore itu, hujan semakin deras saat dia
berlari keluar dari rumahku. Menangis. Sebentar-sebentar, pertengkaran kami tak
sesederhana itu. Setelah dia menunjukkan sebuah undangan bertuliskan nama
Silvia, kami mulai mengungkit-ungkit kesalahan-kesalahan masing-masing.
Egolah yang kemudian bersemayam dalam hati
kami.
Aku, dia, sama saja.
Hujan menertawakan kami. Turun semakin deras.
# # #
“Mungkin kita memang tak pantas bersama. Aku
dan kamu terlalu egois dengan kepentingan masing-masing.”
“Kamu yang memulainya,” aku membentak.
Dia membuang muka. “Kamu yang memulainya
karena berani-beraninya mengundang mantan kekasih terbaikmu itu. Aku yakin…aku
yakin kamu masih mencintainya sampai detik ini.”
“Tentu saja.”
“Tentu saja?”
“Tentu saja tidak.”
“Tentu saja?”
Aku memilih diam.
John Grey dalam buku Men are from Mars, Women
are from Venus, menyebutkan secara rinci. Seringkali ketika pasangan
berselisih, maka pembicaraan akan berubah menjadi pertengkaran, kemudian tanpa
peringatan apapun akan menjadi pertempuran. Tak lama kemudian mereka tidak lagi
bicara dengan lemah lembut dan secara otomatis mulai saling menyakiti.
Dan aku tak ingin menyakitinya.
Tetapi aku tak ingin meminta maaf terlebih
dahulu. Karena di Planet Mars, meminta maaf merupakan suatu kesalahan. Namun
aku tahu, dia menungguku mengucapkan itu. Karena dengan begitu dia akan menang
adanya.
“Menurutku ini masalah sederhana,” kataku
kemudian. “Mengapa tidak kita lupakan saja. Ketahuilah, aku sangat mencintaimu
sekarang. Sangat. Di bawah hujan sekarang, dadaku sakit.”
“Sederhana menurutmu? Bagaimana kita akan
menikah jika masalah sebesar ini kamu bilang sederhana?”
“Iya mungkin kita tak cocok untuk menikah karena
masalah sesederhana ini kamu bilang besar.”
“Oke jika itu maumu, kita tak jadi menikah.”
Hujan deras turun.
“Siapa yang mau seperti itu?”
Ingat perkataan John Grey, kan? Jika
dilanjutkan maka hal-hal sederhana akan semakin membesar.
Hujan deras. Mengguyur tubuh kami. Meluruhkan
perasaan, meluruhkan amarah. Jika sudah seperti ini, tak ada yang bisa
dilakukan oleh seorang pria selain mengalah.
# # #
Aku dan dia bertemu saat hujan. Sore itu kami
bertengkar. Tetapi segera berbaikan karena aku segera memeluknya. Hari-hari
berjalan seperti biasa. Kami mengurus pernikahan kami.
Namun semakin hari, kulihat dia semakin
murung. Sangat murung. Puncaknya adalah kemarin, hujan turun, dia datang
padaku.
“Aku belum yakin,” ucapnya.
“Apa?”
Dia menggeleng. “Kita batalkan saja rencana
pernikahan kita.”
“Kamu gila.”
Dia menangis. Hujan turun deras. Astaga, kini
aku membenci hujan. Dia seperti memberikan backsound
atas pertengkaran kami.
“Cukup, aku cukup tertekan sebulan ini. Aku
mulai berpikir bahwa kita tidak benar-benar cocok. Aku yakin, kami masih
mencintai dia. Aku yakin, kita akan bahagia di hidup kita masing-masing.” Lalu
dia menangis.
“Jangan kamu sakiti hatiku sekarang ini.”
“Apakah kamu tidak menyakitiku?”
Aku menggeleng. “Apakah kita akan mengakhiri
hubungan kita setelah apa yang kita lewati bersama?”
Dia tak menjawab. Tergugu di bawah hujan. Aku
pun ikutan menangis. Bukan, bukan karena sedih, tetapi karena aku sangat
mencintainya.
“Aku sangat mencintaimu.”
Dia terus saja menangis.
“Apakah kamu tak pernah memahami, betapa
bahagianya aku memilikimu. Sejak pertama dulu, di bawah hujan di Gelora Bung
Karno? Saat untuk pertama kali kulihat kamu sangat cantik, bukan hanya cantik
wajahmu tetapi juga hatimu. Saat itu kuputuskan bahwa aku harus memilikimu.”
“……”
“Hujan selalu mengawali kisah kita. Awalnya
kukira dia menangis, karena langit sedang bersedih. Tetapi hujan ternyata juga
membawa kebahagiaan. Menumbuhkan pucuk-pucuk tanaman, menghijaukan yang
gersang.”
“Jika berlebihan akan banjir, kamu ngerti
nggak sih?”
Aku tertawa. Kutemukan lagi dirinya di
pertanyaannya barusan. Dia yang selalu bisa membantah, tetapi membuatku
bahagia.
“Aku tak pernah menyesal mengenalmu, meskipun
semakin aku mengenalmu maka selalu kutemukan kekuranganmu. Tetapi….aku bahagia
karena itu. Kekuranganmu membuatku berpikir, tak ada yang sempurna dan justru
itulah yang membuatku semakin mencintaimu.”
Aku mendekatinya. Kurengkuh tubuhnya, dia tak
menolak. Kupeluk dia, perlahan.
Seperti kata John Gray, salah satu cara
memenangkan hati para Venus adalah dengan memperlakukan dia seperti ketika kita
pertama kali bertemu dengannya. Maka kuperlakukan dia seperti saat aku bertemu
dengannya. Kupeluk, tanpa meminta apa-apa. Kuserahkan semua pada doaku, yang
kupanjatkan di bawah hujan turun.
# # #
Hujan, bagaimanapun aku sangat berterima
kasih kepadanya. Jadi buat apa aku menangis.
Dan Tuhan-pun sudah berjanji, saat hujan
berdoalah.
Tuhan, aku
tak ingin memintamu menghentikan hujan kali ini. Biarkan hujan ini meluruhkan
perasaan ego kami masing-masing.
Hujan, aku tak kan menangis lagi di bawahmu.
Semoga kamu akan menemani kami melewati hari-hari ini.
# # #
Keren tulisannya bro.
ReplyDeleteTerima kasih :)
Delete