Selamat pagi, Jakarta!
Di kota ini. Pagi-pagi, aku
tak lagi berkejaran dengan sepeda-sepeda yang dikayuh kaki-kaki cokelat, namun ditemani
debu dan suara klakson di perempatan. Pagi-pagi, aku tak lagi menyaksikan
semburat warna jingga, lalu perlahan-lahan berubah biru cerah menentramkan,
namun berganti oleh suara orang bergelantungan di bus sambil berteriak-teriak
memanggil penumpang.
Tetapi itulah hidup. Itulah
pilihan. Siapa meminta untukmu datang. Pada Jakarta yang penuh dengan kesibukan,
mengelupaskan kenanganku, padamu. Kotaku. Menghujaniku oleh pikiran-pikiran,
kesalahan-kesalahan, mimpi-mimpi yang dulu kubangun lalu perlahan menghilang.
Pagiku kelu, oleh rinduku.
Jatuh cinta, di pagi ini,
di ibu kota, ternyata tak lagi mengasyikkan seperti saat dulu berada di kotaku.
Tak lagi kutemukan kupu-kupu di langit biru, di dinding hatiku, karena di sini
langit pun abu-abu. Bagaimana bisa jatuh cinta di sini bisa menyenangkan,
sementara langit pagi di sini tak lagi mengumbar senyum cerah, hanya gelisah,
apakah nanti aku pulang ketika masih memandang asap kendaraan, atau justru
terjebak oleh parkiran kendaraan di jalanan?
Selamat pagi, Jakarta!
Begitulah yang kuucapkan
setiap aku berpapasan dengan bus kota. Ataupun kendaraan-kendaraan yang menerobos
ke perempatan jalan, meskipun nyala lampu masih tak mengijinkan berkendara. Lalu
aku teringat saat dulu ada di perempatan kotaku. Kuberdendang lirih memandang
satu persatu kendaraan yang melaju rapi di seberang jalan. Satu-satu kuhitung
tanpa khawatir akan mendengar lengkingan klakson di belakang. Pagiku terlalu
menyenangkan untuk kubuat sakit hati oleh suara makian.
Mengejar mimpi di sini tak
lagi mengasyikkan, jika tak ada persinggahan di ujung jalan. Yang ada hanya
keluh kesah, mengapa ada orang-orang yang tak peduli nyawa, merebut kekuasaan,
tanpa mempedulikan jalan yang berlubang? Mengapa hujan tak lagi menentramkan,
seperti saat kupandang di bawah gubuk, di tepi sawah, sambil bernyanyi kecil,
tentang langit yang berbintang, dan matahari yang menyinari bumi? Suara kodok,
berganti menjadi deru tetangga yanng melempar piring, karena anaknya yang baru
menginjak kelas tiga SD pulang dengan rokok di tangan.
Namun, begitulah sebuah
surga selalu diawali dengan batu-batu api sebesar gunung yang dilempar padamu.
Begitulah pelangi selalu bersama petir, hujan badai, dan langit abu-abu yang
tak mengeluarkan senyuman. Begitulah buka puasa dimulai dengan bangun
pagi-pagi, sebelum ayam-ayam berkokok, dan suara adzan berkumandang, kemudian
dilanjutkan dengan menahan lapar seharian. Jika mimpi hanyalah sebatas pohon
mangga yang berbuah ranum, tentulah gampang memanjatnya, karena ada tangga yang
bersiap menopang, atau galah yang sepanjang tiga langkah orang berjalan.
Itulah mengapa orang-orang
menyebutnya ‘mengejar bintang’. Agar panjangnya bumi ke langit dijadikan alasan
orang-orang untuk bangun pagi, melewati jalan-jalan berlubang, dan bertemu
dengan pengamen yang berubah menjadi perampok berpisau tajam. Itulah mengapa
Jakarta diumpamakan seperti dua mata pisau yang memiliki dua tujuan.
Mungkin engkau hanya
mendambakan hidup bergelimang uang, tanpa memikirkan kebahagiaan. Kemudian aku
menimpali, hidup bahagia bisa bermula dari tidak kelaparan, berkendara tidak
kepanasan, dan rumah tanpa memikirkan tagihan-tagihan.
Selamat pagi, Jakarta!
Di kota inilah aku
bertanya, di mana sebenarnya cinta berada? Apakah pada orang-orang yang
bergelantungan di jembatan sambil pacaran? Ataukan pada surga ketujuh di
hiburan klap malam. Namun, rahasia cintaku padamu dulu, di Jogja, cukup untukku
merasakan, bahwa cinta bisa bermula dari secangkir wedhang ronde di pinggir jalan. Seorang pengamen datang membawa
gitar, lalu bernyayi riang tentang lagu-lagu Sheila on 7 yang sendu, riang,
ataupun menggetarkan jiwa. Aku menatapmu, yang tertawan malu-malu. Sinar lampu
kecil, tak menyurutkan indahmu. Cinta juga bisa bermula di rintiknya hujan, di
bawah halte, hanya ada aku dan kamu berduaan. Tak ada lagu-lagu irama sendu,
karena aku tak butuh itu.
Namun, aku cukup berterima
kasih bisa hidup di jantungnya negara, di tengah riuh pemilihan pemimpin yang
membuat orang beradu mulut tanpa memikirkan kekeluargaan. Karena di sinilah,
aku punya cukup waktu untuk mengenang kenangan. Karena di sinilah, aku bisa
bersyukur pernah merasakan kebahagiaan.
Orang-orang memandang
Jakarta sebagai kemegahan. Padahal tersimpan cerita kecil di pinggir kota,
tempat anak-anak Tanjung Priuk berebut naik ke truk-truk besar, tanpa
memikirkan keselamatan. Tersimpan gundah di kolong-kolong tol, berimpit dengan
derit kayu dan kardus saat hujan. Ada jembatan-jembatan yang jadi saksi setiap
hari, seorang anak terhimpit di ratusan kendaraan yang berjejer rapi, dia
berdendang lagu untuk negeri. Ada pekerja-pekerja yang memilih tinggal di luaran Jakarta, karena tanah di kota tak lagi masuk di akal.
Jadi di sinilah aku
belajar, memandang segalanya dengan kacamata yang lebih besar.
Selamat pagi, Jakarta! Dan kamu, tentu saja.
Di balik, makian dan
cacian, setidaknya, aku pernah jatuh cinta. Di kota ini. Meski kenangan
tentangmu, di kotaku dulu, lebih pantas mengisi hatiku.
- W -
jakarta memang sarat dg problema baik masarakatnya dan kehidupan sosialnya
ReplyDeleteTapi orang rela untuk ke sini, tanpa diminta.
DeleteJakarta adalah kota yang dihuni oleh orang yang belum tahu.
ReplyDeleteDan kalau mereka sudah membaca banyak dari alamat blog ini: http://rakyatjelataindonesiarajin.blogspot.com/
Mereka akan tahu, apa fungsi dan manfaat sebenarnya dari Kota Jakarta. . . . .Hopefully
6 bulan saya tinggal di jakarta cukup menghambarkan sekeras apa kota ini bagi yg nekat mengadu nasib, bahkan yg gaji pas2an saja pun harus terseok-seok untuk bisa bertahan hidup
ReplyDeleteWah, saya malah hampir 6 tahun lebih :) Dan 'mencoba' untuk bertahan terus.
Delete