Jogja,
kala itu. Masa ketika kita sedang dalam ujian, pencarian jati diri.
Kamu
memang justru sengaja menari-nari di dekatku, sengaja mempertontonkan bahwa
kamu layak untuk kukagumi. Kamu justru bernyanyi riang di sampingku, lagu cinta
yang kau agung-agungkan. Kamu memang sengaja, biar aku merasa tersanjung dan
gembira. Aku tertawa, aku tersenyum. Hatiku lebih membuncah, saat kamu ada di
dekatku. Bernyanyi, menari, kadang jayus, kadang aneh. Tapi aku suka.
Jangan, nanti.
Jangan cantik-cantik, nanti
aku suka.
Jangan jauh-jauh,
nanti aku kangen.
Jangan dekat-dekat,
nanti aku cinta.
Jangan marah-marah,
nanti aku peluk.
Jangan manis-manis,
nanti aku cium.
Jangan nanti, sekarang
saja.
“Mainkan
gitar untukku, lagu yang kusuka. Lagu rindu,” katanya, suatu sore. Aku
menjemputmu, kita janjian untuk makan sop daging di utara Kehutanan UGM. Salah
satu makanan favoritmu.
Aku
hanya mengangguk. Apapun yang kamu minta, aku hanya akan mengangguk. Aku bahkan
tidak takut jika kamu memintaku untuk terjun ke sumur yang paling dalam.
Paling-paling aku mati. Tapi aku bahagia, karena itu yang kamu minta.
# # #
Jakarta, malam sabtu.
Kamu kok bodoh, kata kawanku lagi.
Tanpa bosan mendengarkan ocehan-ocehanku tentangmu yang kuulang-ulang. Untungnya,
kawanku tak pernah bosan sejak dulu. Dia yang paling spesial. Kami berdua
sedang berada di kafe langganan kami, janjian ketemu untuk membahas masalah
pembukaan outlet baru Kedai Kaos di Jogja. Sudah hampir dua tahun ini, kami
memang memutuskan untuk membuat usaha bersama. Dia yang punya modal, aku pintar
gambar. Menggabugkan dua hal itu menjadi usaha kami berdua : Kedai Kaos. Sebuah
impian kami berdua. Dia sudah fokus dengan usaha ini, sementara kakiku masih
setegah. Karena aku masih butuh uang bulaan untuk menutup cicilan. Jadi aku
masih jadi anak kantoran, meski sesekali harus menggambar.
Akhirnya
kami memutuskan untuk melebarkan sayap bisnis ke Jogja. Kota sejuta kenangan,
yang awalnya kutolak.
“Mengapa
mesti ke Jogja, sih Cuy?” kataku,
sore itu, agak galak. Aku kepanasan dalam artian harafiah. Hampir dua setengah
jam macet di Sudirman. Gila. “Ke Bandung kan bisa. Atau Surabaya, Semarang,
atau malah Bali.”
“Ya,
kan Lo sendiri yang bilang kalau kota
itu istimewa. Lo sendiri yang bilang sampai saat ini Lo masih menyesal karena
pindah dan menetap di sini, cuma sesekali pulang pas lebaran. Kalau kita buka
kedai di sana, tiap bulan Lo bisa pulang. Bisa mengenang tuh cerita-cerita
kenangan bersama gadis pujaan. Ya, kan?” Kawanku memang paling pintar
menggodaku untuk masalah ‘kenangan’. “Lagian, potensi di Jogja itu bagus. Kedai
Kaos kita kan menyasar anak mahasiswa. Nah, di Jogja kan banyak kampus. Gue
udah cek-cek beberapa lokasi, di Gejayan oke. Ada pusat distro juga di sana. Di
Babarsari juga oke. Mau deket UGM juga boleh.”
Dia
benar juga sih. Jogja memang gudangnya mahasiswa. Tapi aku tetap menolak. Gila
aja. “Ya, buat apa gue kembali?”tanyaku lirih.
“Gue nggak setuju ah.”
“Buat
apa? Pertanyaan bodoh macam apa itu? Keluar dari orang yang masih terjebak sama
masa lalu. Gue yakin jauh di dasar hati Lo, Lo itu setuju. Cuma gengsi aja.
Karena Lo sama Jogja itu perasaannya kayak Lo sama orang pujaan hati itu. Sudah
ditato di hati,” kawan menunjuk hatinya dengan telunjuk.
Setelah
melalui pertimbangan dan kesiapan hatiku, aku mengiyakan. Lo kan nggak harus setiap
waktu ke sana, kataku dalam hati.
Tentu
saja. Aku sendiri takut, terlarut dalam setiap kenanganmu, semakin dalam jika
harus ada di kota itu untuk waktu yang cukup lama. Biarkan ibukota yang
perlahan menghapus semua kenanganmu, meskipun akan berlangsung lama. Meskipun
aku sendiri ragu, aku akan rela menghapusnya. Biarkan asap-asap ibu kota
mengaburkan kenangan. Biarkan banjir-banjir di Jakarta menenggelamkan namamu.
“Ya
bagaimana Lo bisa lupa, Cuy,” kata kawanku,
sambil merebut ponselku. “Lihat playlist itunes-Lo. Ini semua lagu kesukaan
dia. Dan Gue tanya sama Lo, sudah berapa kali Lo muter film kesayangan dia di
laptop? Tak terhitung. Dengarkan, tak terhitung. Lo sakit sih, Men. Terlalu terobsesi sama sesuatu itu
tidak baik ngerti kan?”
Dan
aku hanya bisa diam, kembali mendengarkan lagu dari headset yang kupasang di telinga. Membiarkan kawanku mengoceh dan
memarahiku. Kau datang dan pergi, oh
begitu saja. Semua kuterima apa adanya. Itu Lagu Rindu-nya Letto, lagu
kesayanganmu. Bahkan ternyata, liriknya pun sebenarnya sudah menggambarkan
kisah kita.
# # #
Jogja, beranjak malam.
Hari itu.
Selepas
makan, seperti biasa kita berdua duduk saja di pelataran GSP UGM, berteman
gitar sambil berdendang. Aku yang memetik senar, kamu membuat bibirmu bergetar.
Satu-satu lagu mengisi kesepian malam itu. Dan aku sangat senang setiap berdua
denganmu seperti itu. Aku meminta pada Sang Khalik agar menghentikan waktu
begitu saja. Agar pohon-pohon tak berbisik. Agar malam tak menyisakan
kepedihan.
Kamu
memandangku, entah bermaksud apa. Dan aku memandangmu. Tentu saja. Kita
menikmati alunan lagu dari dentingan gitarku.
Di daun yang ikut
mengalir lembut // Terbawa sungai ke ujung mata // Dan aku mulai takut terbawa
cinta // Menghirup rindu yang sesakkan dada // Jalanku hampa dan kusentuh dia
// Terasa hangat oh didalam hati // Kupegang erat dan kuhalangi waktu // Tak
urung jua kulihatnya pergi.
[ Letto, Lagu Rindu ]
Itu
lagu kesukaanmu. Itulah yang menggambarkan perasaanku. Kita menghabiskan waktu
berdua saja.
Tuhan,
inikah rasanya jatuh cinta. Bukan lagi kupu-kupu yang terbang di perutku, tapi
ada gajah yang menginjak-injak, harimau yang mengaum-aum, buruk gagak yang
mematuk-matuk. Seisi kebun binatang berkonspirasi di dalam perut. Jantungku
lebih parah lagi. Bukan lagi tabuhan genderang yang bertalu-talu, tapi
perlombaan Marching Band Nasional pindah ke sana.
Biarlah-biarlah
aku saja yang menanggung perasaanku. Biarlah-biarlah aku yang menikmati
suaramu, tanpa bisa memiliki. Biarlah, perasaan ini menikamku habis-habisan.
Aku rela.
Aku
tak berani, aku terlalu takut kehilangan harimu.
Aku
terlalu takut, karena setiap detikku hanyalah dirimu. Kamu adalah udara yang
kuhirup, dan jika saja engkau tiada, aku pun tiada ada artinya. Aku hanyalah
kamu, bergantung padamu. Kamu adalah sejenis candu yang memabukkan hari-hariku.
Cukuplah, aku terlalu sakaw sekarang. Semakin hari, semakin kurasakan tubuhku
bergantung padamu.
Karena
saking takutnya pada perasaanku sendiri, aku bahkan terlalu takut hanya untuk
menggandeng tanganmu. Tidak, aku tak akan melakukannya. Biarkan tangan ini yang
menggenggam sendiri. Aku tak peduli.
# # #
Jakarta, hari ini.
Apakah
kamu masih mendengarkan lagu kesayanganmu? Kamu dulu mengoleksi kasetnya,
kemudian membeli CD-nya. Apakah kamu sekarang memenuhi ponselmu dengan semua
lagu-lagu itu? Kamu yang selalu bilang bahwa lirik-lirik itu membuatmu merasa
nyaman, merasakan terbang tinggi, lihat angkasa raya, tanpa memikirkan apa-apa.
Percayalah,
aku hafal setiap lirik yang ada. Karena setiap kumengikuti lirik itu,
kubayangkan dirimulah yang menyanyikannya.
Kawanku
bilang, kamu terlalu lama tertidur,
bangunlah.
Jika
benar, aku tertidur karena buaian kenangan dan lagu-lagumu, aku tak ingin
bangun. Aku hanya ingin terus bermimpi kini.
Dan bawa ku kesana //
Dunia fatamorgana // Termanja-manja oleh, rasa // Dan ku terbawa terbang tinggi
oleh suasana. [ Letto, Lagu Rindu ]
Hei, Apa kabar kamu?
Apakah
kamu masih sering datang ke Jogja? Dulu aku terlalu sering pulang, berharap
akan kembali bertemu denganmu. Di kereta, di pesawat, di bandara, di jalan. Aku
berharap bertemu denganmu. Atau aku hanya sekedar menjejaki kenangan-kenangan
bersamamu.
Karena
kita berpisah, tak ada kata-kata.
Aku
rindu. Sungguh rindu. Bahkan sampai kapanpun, aku akan rindu. Aku akan
mendengarkan lagumu. Apakah kita akan terus bertemu di mimpiku? Rindu ini,
meskipun menyiksa, buatku nyata dan bernyawa.
Kawan, sampaikan
salamku untuk dia, aku masih mencintainya.
Keterangan : Judul lagu
diambil dari lirik lagu Jackpot, Ku Masih Mencintainya
Thanks
ReplyDeleteBkn karna masih cinta sih,, tapi semacam apa ya? apa kabar mungkin? saling meminta maaf yg dulu pernah terjadi dll..
ReplyDeleteSemacam 'apa kabar' untuk mengingat sedikit kenangan? :)
Delete