“Setelah dipelajari dan ditekuni bertahun-tahun, namun kemudian hilang karena tidak ada yang meneruskan itu sedih rasanya. Seperti ada yang hilang dari dalam hati. Generasi muda desa ini lebih memilih bermain internet dan bekerja di perusahaan daripada belajar membuat dan melestarikan wayang kulit. Padahal potensi kerajinan wayang kulit ini sangat besar.”
Kereta Prameks yang membawa aku dan rekanku dari
Jogja akhirnya sampai di Stasiun Purwosari, Klaten. Dari stasiun, kami berdua
masih harus naik taksi online selama
setengah jam untuk menuju tempat tujuan kami. Benar-benar perjalanan yang cukup
melelahkan. Perjalanan panjang itu akhirnya kuisi dengan bermain-main di dunia maya:
melihat postingan orang di Instagram, membaca cuitan orang-orang di Twitter, bermain
games, atau hanya sekedar mengecek status
rekan di Facebook.
Setelah setengah jam, akhirnya kami sampai di
Butuh, Sidowarno, sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah. Di kampung yang berada
sekitar 11 kilometer arah selatan Kota Solo atau 28 kilometer dari pusat
kabupaten Klaten, inilah terdapat usaha kerajinan wayang kulit yang biasa
digunakan untuk pementasan-pementasan dalang, salah satunya dalang legendaris
Ki Mantep Sudharsono.
Rasa lelah perjalanan langsung terhapus saat
kami disambut senyum lebar Pak Mamik, orang yang akan kami temui. Di depan
rumahnya, Pak Mamik duduk di depan meja panjang yang dilengkapi dengan beberapa
pemahat dan lembaran kulit kerbau kering yang siap disulap menjadi wayang yang
indah. Ada beberapa wayang yang belum jadi berserakan di sekitarnya.
“Ayo sini masuk, Mas, Mbak. Maaf sedikit
berantakan, maklum saja usahanya di rumah. Duduk santai saja, Mas Har. Saya
panggilkan rekan saya yang lain biar ceritanya semakin komplit. Kalau sore-sore
ini pada santai kok,” tutur Pak Mamik bersemangat.
Aku duduk di ruang tamu yang banyak dihiasi
oleh hiasan wayang kulit. Selain foto keluarga, di dinding juga terdapat wayang
kulit yang sudah difigura rapi. Suasananya mendadak menjadi syahdu. Mungkin
karena sejak kali pertama datang, gerimis sudah menemani kami. Namun, bisa juga
karena langgam Jawa yang terdengar dari radio. Ingatanku seperti masuk ke mesin
waktu, kembali ke masa-masa kecil dulu di Jogja. Sejenak aku memejamkan mata.
Kembali mengingat suara tembang Jawa Asmorondono dan Gambuh yang selalu didengarkan
oleh Bapak. Benar-benar damai.
Saat datang, Pak Mamik sudah ditemani oleh
rekannya. “Kenalkan Mas, ini Pak Suraji, salah satu pengrajin wayang kulit juga
di sini.” Usia Pak Suraji terlihat tidak begitu jauh dengan Pak Mamik, lebih
dari setengah abad. Namun terlihat keduanya masih memiliki semangat yang luar
biasa. Keduanya tak henti-henti tersenyum, membuatku ikutan tersenyum juga.
Senyum yang dihasilkan dari bibir dan wajah berseri yang akan bercerita tentang
semangat beliau dan rekan-rekannya untuk melestarikan budaya melalui usaha kerajinan
wayang kulit.
Pak Mamik dan Pak Suraji merupakan generasi ketiga
yang menekuni kerajinan wayang kulit di desa tersebut. Kerajinan ini merupakan
kekayaan utama Dukuh Butuh selama bertahun-tahun. Mereka berdua kompak
bercerita bahwa mereka mempelajari kerajinan wayang kulit bahkan sejak SD.
Anak-anak jaman dulu di desa ini berbeda dengan
anak jaman sekarang. Dulu ketika pulang sekolah, kegiatan mereka sehari-hari ya
belajar membuat wayang kulit dari orang tua mereka. Seni yang disebut Tatah
Sungging ini, Pak Suraji pelajari sejak tahun 1970-an. Berarti sudah hampir lebih
dari setengah abad. Cerita yang diamini oleh Pak Mamik.
“Dulu pulang sekolah ya mainannya tatah sama
kulit kerbau di depan rumah. Tak tok tak tok. Anak sekarang kok mainannya HP
sama apa itu….net…net,” Pak Suraji
menengok ke arah Pak Mamik. Sambung Pak Mamik, “Internet, Mas.
Facebookan, main games.” Keduanya
lalu tertawa bersama-sama.
Jika kita datang ke kampung ini di tahun-tahun
1970 hingga awal tahun 1990an, kita akan lebih sering melihat anak-anak kecil
yang duduk di depan rumah, tampak tekun memegang pemahat dan palu kecil, di
temani oleh lagu-lagu langgam Jawa. Hal yang berbeda ketika hari itu saya
datang. Di depan rumah-rumah di kampung tersebut memang masih ada kegiatan
menatah kulit kerbau, namun tidak ada anak-anak kecil yang ikutan membantu.
Semua dikerjakan oleh para orang tua. Di pojok kampung, saya melihat anak-anak
remaja duduk di atas motor sambal memegang ponsel pintar bermain Mobile Legend.
Ironi yang memang terjadi di desa tersebut.
REGENERASI YANG
TERKENDALA MODERNISASI
Menatah wayang kulit atau seni tatah sungging
itu memang mengasyikkan. Syahdu dan tenang, kata Pak Mamik. Bisa dikerjakan
kapan saja di rumah. Namun ternyata keasyikkannya terkalahkan oleh
permainan-permainan online atau dunia
maya yang menawarkan kehidupan virtual jaman sekarang. Mungkin hal ini
dikarenakan pembuatan wayang yang tidak dibilang mudah dan cepat. Sementara
anak Milenial jaman sekarang lebih menyukai hal-hal yang cepat, mudah berpaling
ke lain hati, dan bosan (kompas.com).
Proses pembuatan wayang kulit itu memang
terbilang cukup lama. Bukan jenis pekerjaan instan yang langsung akan terlihat
hasilnya dalam satu dua hari. Bahkan dibutuhkan jiwa seni agar dihasilkan
wayang kulit yang halus dengan warna-warna yang menarik. Satu wayang besar
dengan detail yang kompleks bahkan bisa dibikin berminggu-minggu oleh penatah
professional. Bisa dibayangkan jika dibuat oleh orang yang tidak sabaran. Wayang
kulit yang dibuat asal-asalan biasanya akan terlihat kasar dan tidak detail.
Wayang ini harganya akan lebih murah.
Belajar membuat wayang kulit itu bisa tahunan. Banyak
tahapan yang harus dipelajari. Tahap mencetak pola, menatah kulit kerbau yang
sudah dipola, mendetailkan setiap pola, hingga memberi warna. Semua tahapan
dibutuhkan waktu yang lama. Ada beberapa orang yang memang spesialis untuk
pekerjaan-pekerjaan tertentu. Seperti Pak Suraji yang memang spesialis untuk
membuat gagang wayang dari tanduk kerbau. Pekerjaan ini tidak semua orang bisa
karena butuh ketelitian dan kesabaran. Tanduk Kerbau yang kaku bisa dibuat
meliuk-liuk dengan bantuan api dari teplok (lampu minyak).
“Bukan pekerjaan yang gampang, tapi bisa
dipelajari,” kata Pak Mamik.
Hasil pekerjaan yang detail tersebut memang
membuahkan hasil. Harga wayang kulit memang bervariasi tergantung tingkat
kedetailannya. Bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok harga. Wayang kulit kelas
kasar bisa dijual dengan harga 400 ribu hingga satu juga. Wayang kulit kelas
menengah bisa dijual dengan harga satu juta hingga dua setengah juga. Sementara
untuk wayang kulit dengan detail yang sangat halus dijual dengan harga 2.5 juta
sampai 5 juta tergantung besar kecilnya. Pemesanan bisa per satuan atau satu
kotak. Untuk dalang yang mau pementasan bahkan memesan untuk satu paket.
“Satu kali pementasan bisa membutuhkan 200-250
wayang kulit, Mas. Itu jumlah yang sangat besar. Nilainya bisa ratusan juta,
kisaran 300-400 juta. Tidak mungkin dikerjakan oleh satu dua orang pengrajin.
Jadi kalau ada yang menang tender, biasanya akan dibagi-bagikan ke pengrajin
yang lain.” ucap Pak Mamik menjelaskan. Hal ini lagi-lagi karena keterbatasan
pengrajin yang mulai berkurang saat ini.
Wayang Kulit Dukuh Butuh memang sudah terkenal
dikalangan para penikmat wayang sejak dulu. Karakter wayangnya yang lebih
ramping dengan warna yang berani menjadi nilai tambah sehingga disukai oleh
dalang-dalang. Hal ini memudahkan pengrajin dalam hal pemasaran. Getok tular alias dari mulut ke mulut,
begitu kata Pak Mamik. Dari mulut ke mulut saja, para pengrajin sudah kualahan.
Selama ini tidak ada biaya promosi khusus untuk pemasaran. Wayangnya saat ini
sudah dipesan dari Solo, Semarang, Blitar, Ngawi, Ponorogo, Jakarta, dan juga
beberapa kota di luar Jawa. Dan uniknya, setiap pengrajin memiliki pelanggan
dalang masing-masing. Setiap dalang memang ‘jodoh-jodohan’ dengan pengrajin.
“Bagaimana jika pemasarannya dikelola dengan
baik, wah pasti sudah sangat kualahan karena kebanjiran order.”
Selain pembuatan wayang kulit, mereka juga
menerima pembuatan souvenir-souvenir. Namun kadang orderan yang datang justru
ditolak karena (lagi-lagi) kurangnya
tenaga untuk membuatnya. Padahal permintaan selalu ada, seperti untuk souvenir
pernikahan atau perusahaan.
BERJUANG DI TENGAH
KERIUHAN DUNIA MAYA
Para pengrajin di sini percaya bahwa permintaan
wayang kulit masih akan terus ada sejalan dengan usaha pemerintah daerah untuk
melestarikan kebudayaan daerah. Pemerintah yang rajin menggelar pagelaran
wayang di desa-desa atau kabupaten turut membantu menciptakan dalang-dalang
muda. Hal ini berimbas pada permintaan wayang kulit ke Dukuh Butuh. Belum lagi
ada sekolah khusus Dalang di Institut Seni Indonesia, di kota Solo, yang
melahirkan dalang-dalang muda. Pesanan wayang pun semakin sering.
Namun gempuran dunia digital dan modernisasi
menjadi kendala untuk melestarikan kerajinan ini. Padahal melihat potensinya
yang sangat besar, Pak Mamik dan Pak Suraji yakin bahwa pekerjaan ini tidak
kalah menghasilkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Menurut mereka, para
generasi sekarang tidak tahu bahwa penghasilan pengrajin ini jauh lebih besar
dari UMR Daerah.
“Ya saya bisa menyekolahkan anak hingga
sekarang, bahkan sudah ada yang bekerja juga, bisa membuat gubuk sederhana ini,
semuanya berkat bikin wayang,” kata Pak Mamik sambil tertawa. Aku dan rekanku
ikut tertawa sambil melihat gubuk yang
dibilang Pak Mamik, yang sebenarnya adalah rumah besar yang lengkap dengan
furniturnya.
Sayang sekali potensi besar itu tidak dilirik
sama sekali oleh generasi Milenial yang justru tertarik dengan keriuhan dunia
maya dan modernisasi. Ibaratnya seperti permata yang tertimbun di dasar
samudera. Dibutuhkan effort yang
keras untuk mengambilnya. Seperti potensi kerajinan Wayang Kulit Dukuh Butuh
yang tertutup oleh kehidupan serba instan di dunia maya.
Selain dibutuhkan ketekunan, ketelitian, dan
waktu yang lama dalam pembuatannya, ternyata anak-anak remaja di Dukuh Butuh
menganggap bahwa pekerjaan ini tidak prestise. Sehingga mereka setelah lulus
SMA/Kuliah lebih memilih bekerja di kota-kota besar.
Beberapa orang tua pun beranggapan bahwa belajar
membuat wayang kulit ini dikhawatirkan menyita waktu mereka saat kecil.
Sehingga jarang sekali diajarkan. Alhasil, generasi Milenial Dukuh Butuh lebih
memilih terlibat di dunia digital daripada belajar membuat Wayang Kulit. Saat
ini, dari 700an Kepala Keluarga di desa tersebut, hanya ada sekitar 75an orang
yang menjadi Pengrajin Wayang Kulit. Angka ini terus menerus berkurang seiring
berjalannya waktu. Sungguh sangat disayangkan.
Pak Mamik mengeluarkan ‘harta karunnya’ berupa
mal-mal (cetakan) wayang dalam bentuk lembaran-lembaran kertas karton tipis
berukuran A2. Mal inilah yang sebagai panduan untuk pembuatan wayang. Warisan
yang sangat langka dan harus diwariskan. Harta yang harus dijaga.
Kerajinan wayang kulit ini merupakan kekayaan
utama Dukuh Butuh. Pak Mamik dan Pak Suraji adalah contoh masyarakat yang terus
menginginkan kesenian ini tetap eksis. Sebagai kesenian yang telah dinobatkan
oleh UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita
narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece
of Oral and Intangible Heritage of Humanity), berarti wayang adalah warisan
Indonesia yang sangat bernilai. Sehingga kerajinan pembuatan Wayang Kulit di
Dukuh Butuh memang harus dilestarikan.
“Cerita pewayangan itu memiliki makna yang
bagus untuk kehidupan. Banyak sekali nilai-nilai yang dapat kita pelajari. Kami
sebagai pengrajin wayang kulit berharap agar kesenian ini tetap ada sampai
kapanpun. Kami akan ikut melestarikannya melalui usaha kerajinan wayang kulit
ini,” ujar Pak Mamik tampak yakin dengan ucapannya.
Gayung bersambut. Semangat itu ternyata
mendapatkan dukungan. Sembilan tahun yang lalu, pemerintah melalui pemerintah
daerah mengucurkan dana ke desa-desa untuk membentuk kelompok-kelompok usaha
bersama. Dimotori oleh Kepala Desa, bersama pengrajin lainnya, Pak Mamik dan
Pak Suraji kemudian membentuk KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) di Dukuh Butuh.
Namun ternyata kelompok itu tidak berjalan
mulus sesuai harapan mereka. Kendala utama justru berasal dari para pengrajin
itu sendiri. Pada awalnya meyakinkan para pengrajin-pengrajin di Dukuh Butuh
bukanlah perkara yang mudah.
“Awal-awalnya susah, Mas, untuk meyakinkan
mereka. Kebanyakan pengrajin menyerah untuk melestarikan kerajinan pembuatan
wayang. Akhirnya mereka hanya melanjutkan apa yang sudah mereka tekuni saja.
Tanpa ada niatan untuk mewariskan ke generasi sekarang. Itu kan yang salah.
Bisa hilang kalau tidak diwariskan ke anak cucu.”
Namun setelah diberikan pengarahan beberapa
kali, pengertian berulang-ulang tentang pentingnya melestarikan warisan
kebudayaan ini, akhirnya sebagian besar setuju untuk membuat kelompok usaha
bersama. Perlahan namun pasti usaha itu mulai menunjukkan hasilnya, seperti
mulai dibentuk kepengurusan, kesekretariatan, hingga rencana-rencana
pengembangan usaha.
“Yang masih susah memang pengrajin-pengrajin
yang masih baru, namun melihat yang tua-tua semangat mereka ikutan semangat
juga,” ujar Pak Mamik berapi-api sambil tertawa.
SEMANGAT BERBUDAYA
MENJADI KAMPUNG WISATA
Setelah pembentukan KUBE, seluruh pengrajin
kemudian dipetakan. Selama ini memang tidak ada pendataan untuk seluruh
pengrajin. Pemetaan ini memudahkan juga ketika ada tender-tender wayang kulit
dalam jumlah yang besar. Setiap pengrajin memang tidak bersaing di setiap
tender, bahkan untuk harga pun dibuat sama. Selain itu, pemetaan ini juga bermanfaat untuk
pemusatan penyediaan bahan baku wayang kulit, yaitu kulit kerbau kering.
Sebelum adanya KUBE, bahan baku masih dibeli secara sendiri-sendiri atau
berkelompok kecil. Bahan baku bisa didapatkan dari luar jawa.
Semangat pembentukan kelompok ini cuma satu :
jangan sampai kerajinan pembuatan wayang kulit ini hilang begitu saja dan tidak
dilestarikan.
“Setelah dipelajari, ditekuni, dan dipelajari
bertahun-tahun, namun kemudian hilang karena tidak ada yang meneruskan itu
sedih rasanya. Seperti ada yang hilang dari dalam hati. Generasi muda desa ini
lebih memilih bermain internet daripada belajar membuat wayang kulit. Padahal
potensi Kerajinan Wayang ini sangat besar,” kata Pak Suraji.
Aku sampai merinding ketika beliau mengucapkan
hal tersebut. Semangat yang tentu saja harus terus berkobar.
Semangat dan kepedulian pengrajin Dukuh Butuh untuk
melestarikan kerajinan Wayang Kulit inilah yang menarik perhatian Astra. Astra melihat
bahwa Dukuh Butuh memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan desa wisata
kerajinan wayang kulit. Melalui program Kontribusi
Sosial Berkelanjutan Astra, Astra kemudian mencanangkan Dukuh Butuh,
Sidowarno sebagai Kampung Berseri Astra (KBA) yang ke-74. KBA ini diimplementasikan
kepada masyarakat untuk mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas, dan
produktif dengan landasan potensi utama dari setiap desa.
Harapannya program KBA Dukuh Butuh dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Dukuh Butuh melalui kegiatan
kerajinan wayang kulit. Selain itu, program ini juga bentuk kepedulian Astra
untuk melestarikan salah satu warisan budaya yang bernilai tinggi : Wayang
Kulit.
“Setiap Kampung Berseri Astra memiliki karakter
yang berbeda-beda, namun memiliki empat pilar sama yaitu kesehatan, lingkungan,
pendidikan dan kewirausahaan. Keempat pilar tersebut kemudian diintegrasikan
sesuai potensinya. Karena di Dukuh Butuh ini potensi utamanya adalah Wayang
Kulit, maka Astra akan membantu mengangkat potensi tersebut,” ujar Bapak Agah
Gumelar, Team Leader Environmental and Social Responsibility Astra.
Astra hadir tidak untuk memberikan ‘ikan-ikan’
kepada masyarakat Dukuh Butuh, namun memberikan kailnya. Kail tersebut hadir
dalam bentuk pendampingan program, sarana, pelatihan, dan alat-alat. Tujuan
jangka panjangnya adalah menjadi desa wisata yang menginspirasi desa-desa
lainnya untuk memberdayakan potensi di desa tersebut, seperti Desa Wisata
Gerabah Kasongan di Yogyakarta.
Kick Off program Kampung Berseri Astra Dukuh
Butuh, desa Sidowarno, dilaksanakan pada tanggal 11 Agustus 2018. Pada acara
tersebut juga diberikan beasiswa kepada 30 putera puteri dari pengrajin wayang kulit
Dukuh Butuh yang masih bersekolah.
Program KBA Dukuh Butuh Sidowarno ini akan
dievaluasi selama 2-3 tahun ke depan baik dari segi kewirausahaan, program
pendidikan, kebersihan, dan juga kesehatan masyarakat, sehingga diharapkan
setelah proses pendampingan, Dukuh Butuh Sidowarno sudah siap untuk menjadi
Desa Wisata yang berkelanjutan.
Karena kendala terbesar di Dukuh Butuh adalah regenerasi, maka melalui program ini akan dicanangkan kegiatan ekstrakurikuler pembuatan wayang kulit di sekolah-sekolah. Selain itu, akan dibentuk pusat informasi kerajinan wayang kulit sebagai sarana untuk belajar. Saat ini juga sedang proses untuk pembuatan gedung sekretariat yang nantinya sebagai pusat informasi kegiatan kerajinan wayang kulit dan sarana untuk belajar seni tatah sungging. Nantinya diharapkan seluruh lapisan masyarakat dapat ‘berwisata’ sambil belajar pembuatan wayang di Dukuh Butuh.
Tentunya dengan pendampingan ini, diharapkan
regenerasi Penatah Wayang Kulit akan berjalan dengan baik dan tidak akan hilang
begitu saja.
Dunia digital memang seperti pedang bermata
dua. Di satu sisi memberikan efek negatif, seperti yang terjadi di Dukuh Butuh
yang mulai kehilangan generasi penerus penatah wayang kulit. Namun di sisi
lain, dunia maya juga sebagai sarana Para Pengrajin di desa ini untuk
menyebarkan semangat melestarikan kebudayaan wayang kulit dan juga pemasaran
yang lebih luas. Dengan adanya program KBA, masyarat di Dukuh Butuh yakin
nantinya akan banyak masyarakat yang berminat untuk belajar seni Tatah Sunggih
atau bahkan menjadi penatah Wayang Kulit.
Komitmen Astra pada program ini memang selaras
dengan salah satu butir Catur Dharma perusahaan yaitu bermanfaat bagi bangsa
dan negara. Dengan komitmen ini, Astra telah membantu 77 KBA di seluruh
Indonesia, salah satunya Dukuh Butuh Sidowarno yang bersemangat untuk terus
melestarikan kebudayaan melalui kerajinan Wayang Kulit di tengah gempuran dunia
digital dan modernisasi.
Terima kasih Astra.
Salam SATU INDONESIA.
Keren dan kreatif semoga mendapatkan hasil yang setimpal ya mas.
ReplyDeleteThank you. Iya, bismillah saja :)
DeleteYang paling penting sudah ikutan berkarya dan menebarkan semangat.
Salut dengan semangat warga desa ini untuk melestarikan budaya. Dukungan Astra terasa banget ya Mas. Semoga makin banyak desa yang meniru langkah desa di Klaten ini agar budaya lokal tak tergerus perkembangan zaman. Anak-anak tetap mengenal kearifan lokal.
ReplyDeleteIya sebagai generasi yang melek IT dan dengan kemudahan internet sudah sewajibnya kita membantu menyebarkan informasi terkait budaya dan semangat untuk melestarikannya.
Deleteseru yah kang bisa ngeliat pembuatan wayang kulit, oh ini di Klaten ternyata. mantabbb
ReplyDeleteIya, seru banget karena bisa mendengar cerita langsung dari Bapak-bapak di sana.
DeleteJarang-jarang sih. Dan aku baru pertama kali juga :)
Kemarin sempat ke Klaten juga main river tubing di sungai pusur, klo tahu ada KBA di Klaten, pasti mampir.
ReplyDeleteKampungnya memang sedikit jauh dari Klaten Kota, justru lebih ke arah Solo.
DeleteMenarik programnya, terutama ekstrakurikuler pembuatan wayang kulit. Sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan ekstrakurikuler pembuatan batik, tapi saya belum pernah dengar dengan pembuatan wayang kulit. Semoga programnya terus berkelanjutan :)
ReplyDeleteIya, sayang sekali jika nanti tidak ada penerusnya. Untung saja sajaat ini sudah ada Astra yang siap membantu merealisasikannya.
DeleteItu bagus kegiatan ekstrakurikuler untuk para siswa ikut membuat karya kerajinan wayang kulit, mas.
ReplyDeleteMemang semestinya dari dulu secara kontinyu dilaksanakan kegiatan melibatkan generasi muda untuk ikut berkarya dan ikut melestarikan kesenian adat budaya.
Kalau tidak begitu, generasi muda lama kelamaan akan asing dengan kebudayaan negaranya sendiri.
Nah benar: asing dengan budaya bangsa sendiri.
DeleteDari cerita Para Pengrajin di sana, memang mereka kesulitan regenerasi. Sangat disayangkan yah. Semoga program ini akan terealisasi dengan baik :)