Jogja, sore hari.
Dari segala tempat
yang pernah jadi kenangan, mungkin satu tempat yang akan selalu kuingat adalah
tempat fotokopian di Jalan Kaliurang. Fotokopian ini tidak terlalu luas, tidak
memiliki plang lebar dengan tulisan besar-besar. Hanya kecil, terhimpit oleh
toko roti yang wangi dan warnet yang hidup 24 jam. Tidak banyak yang menyadari
keberadaan fotokopian itu karena ia tersembunyi dari motor-motor para gamers di depan warnet.
Orang-orang mungkin
tidak menyukai tempat itu, namun tidak denganku. Aku menyukainya. Meskipun aku
harus dengan sabar menunggu Pak Tua si pemilik fotokopi. Dia ditemani istrinya.
Berdua mereka suka bersenda gurau, bercerita tentang kisah cinta waktu muda.
Kata mereka, akulah satu-satunya pelanggan tetap. Customer yang lain hanya datang sekali, lalu menghilang. Mungkin
mereka tidak tahan dengan bunyi bising mesin fotokopian, atau kualitas
cetakannya yang kalah bagus dengan tempat lain.
Suatu hari, Pak Tua
bercerita bahwa dia berencana untuk menutup tempat fotokopian itu. Cerita itu
ia utarakan persis satu hari sebelum aku bertemu denganmu. Namun, istri Pak
Tua tidak menyetujuinya. Kata beliau, tempat fotokopian itu sangatlah
bersejarah.
“Dulunya fotokopian
ini ramai, Nak. Tapi ya itu, sekarang kalah sama mesin-mesin fotokopi baru.
Dengan pelayan-pelayan anak muda yang cepat, gesit, bukan seperti kami yang
sudah tua renta ini,” begitulah Pak Tua bercerita. Lalu dia merangkul istrinya,
membelai rambut putih dengan lembut. Kulihat matanya berbinar-binar. Dengan
jahil, beliau mencubit pipi keriput sang istri. “Tapi, istri Bapak yang cantik
ini, tidak mengijinkan untuk ditutup. Katanya ini bersejarah, dan sebagai orang
Indonesia, kita tidak boleh melupakan sejarah, terutama sejarah hidup kita
sendiri, kan?”
Bahwa dari sekawanan
hewan di lautan,
Selalu ada yang
tenggelam mengenaskan,
Atau berakhir di perut
hewan lainnya,
Hidup diawali dengan
membunuh. Seorang anak hidup, setelah sel pemenang mematikan kawan-kawannya.
Hidup selalu berkompetisi. Siapa membunuh siapa, untuk bertahan hidup, dan
menghidupi.
Sisa sore itu, aku
didongengkan kisah cinta mereka. Saat jatuh bangun di awal tempat fotokopian
ini berdiri. Saat mereka berhutang untuk membeli satu mesin, kemudian melunasi,
kemudian membeli lagi. Sempat merasakan ramainya pelanggan-pelanggan yang
datang, kemudian sepi. Karena gedung-gedung mulai dibangun di kanan kiri. Dan
tempat fotokopi mulai berjajar dari perempatan MM UGM hingga ke gang-gang kecil
di Pogung. Namun, tempat fotokopian inilah yang telah mengantarkan ketiga
anaknya Sarjana. Bahkan ada satu yang kini menjadi dokter, seorang polisi
berpangkat tinggi, hingga dosen di perguruan tinggi.
Sore itu hanya ada aku
yang duduk. Menunggu Pak Tua yang memfotokopi diktat untuk bahan ujian, yang
kupinjam dari seorang kawan. Aku tak peduli apakah Pak Tua kelupaan memfotokopi
halaman 2, lalu lompat ke halaman 4. Aku hanya ingin mendengarkan ceritanya.
Untunglah aku sabar, sambil menunggu hujan.
Hujan rintik sore itu
datang. Persis seperti saat aku kali pertama melihat wajahmu, di halte waktu
itu. Aku tak lupa senyummu yang sempat mengisi dua hariku, meskipun aku tahu
kamu lupa. Mungkin aku hanyalah seekor nyamuk yang mengganggumu tidur waktu itu,
membunuh rasa sepi karena menunggu hujan reda.
Dan Tuhan memang
selalu ajaib, suka memberi kejutan.
Sore itu, di tengah
rintik hujan
Kamu datang
Dengan wajah
malu-malu, turun dari kendaraan, melempar senyuman
Mantel kamu lepas, menyisakan
rambutmu yang menghitam basah oleh air hujan
Lalu semuanya bagiku
tampak indah
Aku tak butuh pelanggi
untuk menghiburku sore itu,
Cukup kamu.
“Hai...” begitulah
kiranya kamu menyapaku. Satu sapaan pendek yang langsung meluruhkan
pertahananku, asumsi-asumsiku.
Hai, bukankah berarti kamu mengingatku?
Kamu datang, duduk di
sampingku. Memandangku, tanpa malu. Pak Tua terus melanjutkan ceritanya,
mengulang-ulang bagian-bagian percintaan mudanya. Kamu tampak antusias mendengarkan, sementara aku mulai sibuk melirik-lirik
dirimu.
Wajahmu.
Matamu. Hidungmu. Rambutmu.
Kamu bercerita bahwa
semua tempat fotokopian di mana-mana penuh. Dia tidak tahu, ada tempat
fotokopian Pak Tua. Untunglah kamu menemukannya.
“Aku lupa menceritakan
pada kalian,” kata Pak Tua. “saat bertemu dengan istri cantikku ini,” lagi-lagi
beliau mencubit pipi istrinya. Istrinya tersipu malu. “hari itu hujan. Ya kan,
Cantik?” Sang istri mengangguk kecil. “Ya seperti ini, seperti kalian ini.
Aku melirikmu, kamu
tahu itu. Kamu membalasnya. Dan kita tertawa. Hari itu, hatiku buncah bahagia. Rasa-rasanya
bunga-bunga bermekaraan di sekitar kita. Pak Tua dan istri ikutan tersenyum,
saling berpelukan. Hujan menentramkan. Membahagiakan keduanya.
Perbedaan kisah cintaku
dengan Pak Tua hanya satu: pada akhirnya.
Pada akhirnya Pak Tua
bisa duduk bersebelahan dengan istri di depan penghulu, merasakan deg-degan
duduk di pelaminan, pegal-pegal karena berdiri seharian, lalu mengarungi
kehidupan bersama membangun rumah kecil mereka. Pada akhirnya pun, tempat
fotokopi mereka tidak jadi tutup.
Dan pada akhirnya, aku
hanya bisa memandangmu dari jauh. Jauh sekali. Aku di Jogja. Lalu Jakarta. Dan
kamu, entah ada di mana.
Selalu ada satu tempat
Yang tepat, untuk
kembali mengingat
Senyuman. Tatapan. Dan
tindak tanduk yang menyeruduk ke hati.
Tentang caramu menaklukkanku.
Membuatku buta oleh
warna-warna.
Selalu ada satu tempat
yang di kenang. Meski pun tak pernah lagi ada.
Kamu.
Aku tak pernah tahu,
apa yang kamu pikirkan sore itu. Apakah aku terlalu lancang, tanpa malu-malu
menatapmu, tanpa permisi mencuri-curi? Kupikir aku adalah Joker yang saat itu
menantangmu menjadi bagian dari rencanaku. Yang kuingat, kamu pun menyetujui
saat kusodorkan ponselku, lalu kuminta nomer teleponmu. Kamu mengetik perlahan,
lalu kembali menyerahkannya padaku.
“Aku Sabtu tidak pergi
ke mana-mana,” begitu katamu, saat hendak pergi. Hujan telah berhenti. Mungkin
juga jantungku.
ah cerita yang menarik
ReplyDeleteTerima kasih :)
DeleteWow!
ReplyDeleteSo beautiful.
Awalnya aku hanya bergayut, semakin tak kuasa, terhanyut, dan... akhirnya larut
Tenggelam dalam selaksa makna
Sungguh ini karya indah, teramat indah malah!
Terima kasih :)
DeleteMenarik banget saya suka
ReplyDelete😊
Terima kasih banyak...
DeleteApik 😊
ReplyDeleteAku hanyut dalam cerita uwu ini, Mas Banyu. Apakah ini kisah nyata?
ReplyDeleteBerdasarkan cerita dari seseorang :)
Delete